Dalam eksistensinya, sistem politik akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan tugas dan fungsi pemerintahan serta perubahan serta perkembangan yang ada dalam faktor lingkungan
Dalam eksistensinya, sistem politik akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan tugas dan fungsi pemerintahan serta perubahan serta perkembangan yang ada dalam faktor lingkungan
Kompilasi Pokok Bahasan dan Bahan Belajar Sispolin 2012-2013Zainal Muttaqin
Kompilasi pokok-pokok bahasan dan bahan belajar MK Sistem Politik Indonesia. Prodi Komunikasi FISIP Universitas Serang Raya Semester Ganjil TA 2012-2013
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
Sistem politik di indonesia
1. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATA BELAKANG
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif
atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu system, yakni
suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap
diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat
dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa
melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem
politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya
merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan
merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem
politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam
sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam
model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah
oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka
efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi
rakyat.
Sistem politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif, hal ini dipengaruhi oleh
elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut. Juga faktor sejarah dalam perpolitikan di
suatu negara. Pengaruh sistem politik negara lain juga turut memberi kontribusi pada
pembentukan sistem politik disuatu negara. Seperti halnya sistem politik di Indonesia, seiring
dengan waktu, sistem politik di Indonesia selalu mengalami perubahan.
Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan
berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas. Struktur
kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling
mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun
demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan
positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik Indonesia adalah
melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-institusi nasional dan
2. ii
internasional. Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan dari suatu sistem
politik Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.
Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik bangsa Indonesia.
Sedangkan budaya politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang
telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan
nilai dan norma perilaku. Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi
lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal
penjajahan kolonial maupun bentuk ―penjajahan‖ budaya pop (pop culture) di era globalisasi.
Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak pernah berdiri sendiri dari
sistem politik negara lain, setidaknya itulah maksud implisit yang diutarakan David Easton
melalui pendekatan analisa sistem terhadap sistem politik. Sampai kemudian, Gabriel
Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem politik yang lebih konkrit, yaitu
menggabungkan teori sistem ke dalam struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan
pemahaman bagaimana sistem politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem politik
lainnya.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka
layaknya suatu sistem, kami akan ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu
mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem
politik Indonesia. Oleh karena itu terlebih dahulu kami akan membahas pendekatan sistem
politik dari teori behavioral. kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pendekatan sistem
politik dari sudut teori struktural-fungsional, serta pembahasan pada arti penting sejarah
dalam mempelajari sistem politik Indonesia.
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian Elit Politik
2. Bagaimana hubungan antara elit politik dan masyarakat
3. Seberapa besar kontribusi elit politik terhadap masyarakat
3. Tujuan
a. Memberikan info terhadap masyarakat akan makna dari elit politik
b. Memberikan informasi seberapa besar manfaat elit politik kepada elit masyarakat
c. Memberikan informasi bagaimana kinerja para elit politik
3. ii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik
Adalah David Easton (1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard University,
memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik.
Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak
berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an. Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan
konteks spesifik. Sedangkan ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan
teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.
Sebagai pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik
menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah
saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untuk mengukur tingkah laku
politik seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan
(science) ditempuh dengan cara menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan
proses politik secara umum. Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi
saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut
Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari
beberapa masalah yang harus dipecahkan.
Easton menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup.
Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi,
bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah. Easton menggambarkan politik dalam
keadaan selalu bergejolak, menolak ide ―equilibrium,‖ yang mempengaruhi teori politik masa
kini (lihat teori institusionalisme).[1] Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik dapat
dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis. Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat
diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Fokus perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem
politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada perubahan.
Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya melakukan penelitian
akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan lingkungannya, baik di dalam maupun di
luar lingkup masyarakat.,
Secara sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti
halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari
sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut pandangan Easton bersifat
4. ii
khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua anggota dalam
sistem.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui
tiga dimensi: polity,[2] politik,[3] dan policy (kebijakan).[4] Easton berpendapat bahwa
definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami
realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Fokus pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai
prasyarat sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik. Setelah melalui proses
konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota masyarakat dalam bentuk
hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan tersebut, pada gilirannya, akan
menciptakan reaksi berupa opini dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan
kembali menciptakan tuntutan dan atau dukungan baru.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki
batasan dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi
input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output
sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:
Tahap 1 : Di dalam sistem politik akan terdapat ―tuntutan‖ untuk ―output‖ tertentu (misal:
kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2 : Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (―diproses dalam sistem‖),
memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3 : Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Tahap 4 : Ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan
tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut
(―feedback‖).
Tahap 5 : Kembali ke tahap 1.
Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan
―sistem politik stabil.‖ Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai tahapan, maka kita
akan mendapatkan ―sistem politik disfungsional.‖ Easton menetapkan batasan lingkungan
pada sistem politik dimana input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti
tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.
Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan
elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka peluang
5. ii
untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya
dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena:
1. Sifatnya yang mutlak;
2. Teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat
hancur atau konflik;
3. teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem.
Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat
diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);
4. Teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;
5. Teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul
akibat variasi.[5]
B. Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell
memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik
(comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik, tidak
hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing.
Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam
konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide
ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik
seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat
digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu. Sedangkan sistem
politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam
merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya.
Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton
dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan
suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai
subyek dari hukum ―stimulus dan respon‖ yang sama—atau input dan output. Pandangan ini
juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk
kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan.
Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam
6. ii
struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri
dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan
kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media,
perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan
mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi politik,
sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan
bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen
mewakili proses dimana sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi
dari warga negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan
duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem
menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem
politik.[6]
Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari
membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas tersebut,
pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen,
birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula,
sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan
kebijakan.
Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat
menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri
sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih
dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara Indonesia
seperti ilustrasi berikut ini.[7]
Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku
dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi. Tidak ada dua negara identik dalam
menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki
parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan. Agar lebih jelas, interaksi
antar berbagai fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan
sistem politik negara lain.
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi
berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari urutan
aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap
sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan
7. ii
kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena
mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan
dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus
memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai
ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.[8]
Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan,
seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana
dukungan politik dapat dimobilisasi. Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan.
Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian
pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan
diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui
proses pengadilan.[9]
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam
memahami sistem masih banyak kekurangan. Almond kemudian mencontohkan hasil
penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya
revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan
lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang
berbeda,[10] sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau
pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional
dalam memahami sistem politik.
Namun demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam
menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political culture)
sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat dengan sejarah
perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa
sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu
peradaban ataupun budaya masyarakat tertentu.
Oleh karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan
struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik
Indonesia yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam sistem
politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga eksekutif, lembaga legislatif;
jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan[11] dapat kita prediksi kecenderungannya di masa
mendatang.
8. ii
C. Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Peran penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan dengan faktor
lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup sistem politik merupakan
hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di luar sistem.
Budaya sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola perilaku, cita rasa,
yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu ke generasi lainnya. Dengan
demikian sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem politik sekarang tanpa paham akar
sejarahnya. Karena yang akan kita dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat
memberikan sumbangsih bagi kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan.
Pendekatan historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan
Theda Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif
pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat mengutamakan
metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan, politik, dan kebijakan
publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan historical institutionalisme terletak pada
upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi
perhatian publik maupun para ilmuwan politik.
Sebagai contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah
laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau mencoblos
dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari organisasi atau institusi apa
yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu.
Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional memandang
penting penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur berpikir dan melacak transformasi
dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks dan
hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada hanya
mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka memahami
pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Oleh karena itu, pendekatan historical
institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan yang fokus
pada analisis data dalam periode waktu singkat. [12]
Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert
Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia. Dalam mengaplikasikan sejarah dalam
sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem struktural-fungsional dengan empat
pendekatan, antara lain:
1. Masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi
kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
9. ii
2. Masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli
politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan
berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan
revolusi,
3. Masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari
tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan
pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai
politik, melahirkan konsep ―politik aliran,‖
4. Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan ―mempelajari
perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa
semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat
tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.‖[13]
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa sekarang, perlu
mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi pemerintahan Indonesia.
Kegagalan sistem dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah,
bukan merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan
tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras, diindoktrinasikan,
kepada sistem.
Pada akhirnya, apabila sistem politik harus berubah, institusi-institusi yang ada perlu
dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan fungsinya di masa depan dengan
memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa lalu sebagai input. Singkat kata, input
berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional dan internasional, seyogyanya
memperhatikan latar belakang sejarah mengapa input tersebut ada.
10. ii
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pengertian sistem Politik
1. Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.
2. Pengertian Politik
Politik berasal dari bahasa yunani yaitu ―polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya
politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara.[14]
Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar
pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut
tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai
politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.[15]
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam
rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
3. Pengertian Sistem Politik
Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk
satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta
melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau
kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan
Negara.[16]
Sistem Politik menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat
fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan
menunjukkan suatu proses yang langggeng
4. Pengertian Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan
dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan
penyusunan skala prioritasnya.
Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara
( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-
11. ii
keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya
kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan
terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud
suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di
Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan
membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok
kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi
Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah
merupakaninfrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan
aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai
dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
B. Proses Politik Di Indonesia
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa
berikut ini:[17]
- Masa prakolonial
- Masa kolonial (penjajahan)
- Masa Demokrasi Liberal
- Masa Demokrasi terpimpin
- Masa Demokrasi Pancasila
- Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
- Penyaluran tuntutan
- Pemeliharaan nilai
- Kapabilitas
- Integrasi vertikal
- Integrasi horizontal
- Gaya politik
- Kepemimpinan
- Partisipasi massa
- Keterlibatan militer
- Aparat negara
12. ii
- Stabilitas[18]
Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
- Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
- Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa
- Kapabilitas – SDA melimpah
- Integrasi vertikal – atas bawah
- Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
- Gaya politik – kerajaan
- Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
- Partisipasi massa – sangat rendah
- Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
- Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
- Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang
2. Masa kolonial (penjajahan)
- Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
- Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
- Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
- Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
- Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
- Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
- Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
- Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
- Keterlibatan militer – sangat besar
- Aparat negara – loyal kepada penjajah
- Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah
3. Masa Demokrasi Liberal
- Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
- Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
- Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
- Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
- Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
- Gaya politik – ideologis
- Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
- Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
13. ii
- Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
- Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
- Stabilitas - instabilitas
4. Masa Demokrasi terpimpin
- Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
- Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
- Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
- Integrasi vertikal – atas bawah
- Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
- Gaya politik – ideolog, nasakom
- Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
- Partisipasi massa – dibatasi
- Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
- Aparat negara – loyal kepada negara
- Stabilitas - stabil
5. Masa Demokrasi Pancasila
- Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
- Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
- Kapabilitas – sistem terbuka
- Integrasi vertikal – atas bawah
- Integrasi horizontal – nampak
- Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
- Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
- Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
- Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
- Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
- Stabilitas stabil
6. Masa Reformasi
- Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
- Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
- Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
- Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
- Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
- Gaya politik – pragmatik
- Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
14. ii
- Partisipasi massa – tinggi
- Keterlibatan militer – dibatasi
- Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
- Stabilitas – instabil
C. Sejarah Sistem Politik di Indonesia
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya.
Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi
diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya
terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem
politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang
memiliki tantangan dan tekanan.[19]
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti
dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan
melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus
dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan
pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah
kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai
keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli
politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18
dan 19 melihat prestasi politik diukur dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar
pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan
internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa
dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input
menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara
maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika
datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah
berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
15. ii
2. Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian
rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan
dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai
pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
3. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku
individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering
memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka
kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
4. Kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif
membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang
dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. Kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output,
output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya
partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup
dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki
kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas
internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan
pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
D. Perbedaan sistem politik di berbagai Negara
1. Sistem Politik Di Negara Komunis
Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, peniadaan hak milk pribadi, peniadaan hak-haak
sipil dan politik, tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya oposisi, serta
terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat
2. Sistem Politik Di Negara Liberal
Bercirikan adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok; pembatasan
kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama; penegakan hukum; pertukaran gagasan
yang bebas; sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak
kaum minoritas
16. ii
3. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia
Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang
demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Pemilihan langsung
7. Sistem pemerintahan presidensiil
17. ii
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Pengertian Elit Politik
Beberapa pendapat mengemukakan akan pengertian dari elit politik, diantaranya :
1. Menurut Laswell
Elit politik mencakup semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik.Elit ini
terdiri dari mereka yang berhasil mencapai kedudukan dominan dalam sistem politik dan
kehidupan masyarakat.mereka memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.
2. Menurut para teoritikus politik
Elit politik adalah mereka yang memiliki jabatan politik dalam sistem politik.Jabatan
politik adalah status tertinggi yang diperoleh setiap warga Negara.Dalam sistem politik
apapun, setiap struktur politik atau struktur kekuasaan selalu ditempati oleh elit yang
disebut elit politik atau elit penguasa.
3. Menurut Mills
Bahwa elit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata-pranata utama
dalam masyarakat.Dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan yang
membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
4. Menurut Gaetano Mosca
Dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk, satu kelas yang menguasai dan satu
kelas yang dikuasai.Kelas penguasa jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua
fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh
kekuasaan itu.Sedangkan kelas yang kedua jumlahnya lebih besar dan dikendalikan oleh
penguasa.
Elit Politik merupakan kelompok kecil dari warga negara yang berkuasa dalam sistem
politik.Penguasa ini memiliki kewenangan yang luas untuk mendinamiskan struktur dan
fungsi sebuah sistem politik.Penguasa ini memiliki kewenangan yang luas untuk
mendinamiskan struktur dan fungsi sebuah sistem politik.Secara operasional para elit
politik atau elit penguasa mendominasi segi kehidupan dalam sistem politik.Penentuan
kebijakan sangat ditentukan oleh kelompok elit politik.
Jadi bisa lihat dari beberapa pendapat di atas dan kita simpulkan bahwa pengertian
dari elit politik merupakan para orang-orang pilihan yang berkuasa, mempunyai kedudukan
tinggi dalam struktur warga negara.Mereka mengemban tugas mewakilkan rakyat dalam
menyampaikan aspirasi rakyat.
18. ii
Mereka juga adalah yang mengelola negara langsung dalam situasi apapun.Dalam keadaan
krisis maupun keadaan yang sejahtera.Karena melalui merekalah semua bisa terlaksana
dengan baik jika didukung juga oleh kinerja mereka yang baik pula.Sehinga bisa
menciptakan keadaan masyarakat yang adil, tenteram dan makmur.Sesuai isi Pancasila nomor
2 ―Kemanusiaan yang adil dan beradab‖.
2. Hubungan antara elit politik dan elit masyarakat.
Hubungan yang terjalin terhadap sang elit politik/penguasa dan elit masyarakat bisa terjalin
dengan baik apabila antara keduanya bisa saling kerja sama. Elit penguasa dalah kelompok
kecil yang dapat menentukan arah kehidupan suatu Negara.Sedangkan elit masyarakat adalah
elit yang dapat mempengaruhi lingkungan masyarakat yang dalam mendukung atau menolak
kebijakan elit penguasa.Oleh karena itu, para elit penguasa memiliki kepentingan untuk
menjalin komunikasi dengan elit masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang ideal.
Dalam keadaan budaya politik antara elit politik dan elit masyarakat ini mereka memang
harus saling mengisi. Budaya politik bisa dibilang suatu keadaan politik yang memang diatasi
bersama- samaantara elit politik dan elit masyarakat. Mereka memang harus ada keterjalinan
kerja sama dalam mengelola pemerintahan negeri ini. Mengatasi masalah isu-isu politik dan
emosional terhadap massa.
Para elit politik dan elit masyarakat memang dalam tipe yang sama. Karena tanpa elit
masyarakat, elit politik pun tidak akan bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Jika
para elit politik tidak mencari informasi terhadap kejadian keadaan masyarakat saat ini,
mereka akan telat dalam membantu mengatasi masalah yang ada dalam masyarakat.
Maka dari itu, mau tidak mau para elit politik harus selalu aktif dalam menjalin komunikasi
terhadap elit masyarakat.Dari mereka lah pekerjaan elit politik bisa berjalan karena sesuai
dengan fakta yang ada ataupun yang sedang terjadi.
Contoh dalam pemilu, para elit politik membutuhkan suara masyarakat yang
mendukungnya.Lalu dalam memutuskan suatu kebijakan, para elit politik juga membutuhkan
responsive dari masyarakat agar kinerjanya bisa berjalan dengan lancar.Yang pastinya yang
paling penting adalah konsistensi dalam kinerjanya.
Karena para elit politik itu sebenarnya mempunyai kesempatan besar dalam menyampaikan
impian ataupun aspirasi rakyatnya.Tapi sayangnya kebanyakan dari mereka lebih
mementingkan kepentingan peribadi pada saat menjadi elit politik, sehingga mereka tidak
seutuhnya berjalan sesuai filsafah suatu bangsa.Padahal mereka dijadikan sebagai
komunikator utama yang mengendalikan keadaan rakyatnya dengan baik.
Terkadang oknum-oknum para elit politik menjadi provokator terhadap rakyatnya untuk
menyampaikan suatu protes atas ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan negara yang telah
19. ii
ditetapkan. Ada juga oknum yang terbuai akan harta yang dimilikinya, seperti jabatan
sehingga mereka lupa akan apa yang harus mereka lakukan untuk kepentingan rakyat.Karena
tidak semua elit politik paham betul bagaimana menjalankan tugas dalam posisi yang mereka
duduki sekarang.
3. Kontribusi yang diberikan para elit politik kepada elit masyarakat.
Sebenarnya peluang yang dimiliki para elit politik itu sangat besar.Mengingat mereka adalah
para orang-orang terpilih yang menduduki kedudukan tinggi pada warga negara.Mereka
mempunyai andil besar dalam mengelola atau mengendalikan keadaan masyarakat secara
langsung.kesempatan besar pun tidak diragukan lagi untuk mengelola pemerintahan.
Mereka juga komunikator utama dalam struktur warga negara.Sehingga kontribusi yang
mereka lakukan juga harus lebih besar.Bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi.
Kontribusi yang mereka lakukan seharusnya bisa menguntungkan rakyat.Rakyat
menyampaikan aspirasi atau pendapat memang tidak dapat langsung kepada lembaga
tinggi.Dan merekalah para elit politik yang menyampaikan secara langsung kepada lembaga
tinggi negara.Apabila ada kebijakan yang memberatkan masyarakat maka para elit politk juga
lah yang menyampaikan keberatan atas kebijakan yang di ambil oleh para petinggi negara
lainnya.
Apabila para elit politik ini mengabaikan tugas yang diemban, maka keadaan negara yang
apabila sedang tidak stabil bisa terlalaikan juga.Dan ini bisa kita lihat bahwa para elit politk
yang seperti itu sebagai tingkah laku yang menunjukan rendahnya rasa tanggung jawab.
Dan apabila ada oknum elit politik yang suka membuat konflik antar warga negara atau antar
elit politik diakarenakan emosi yang tidak terkendali, ini bisa memberikan pengaruh besar
terhadap masyarakat.Karena lagi-lagi masyarakat yang menjadi korbannya. Tindakan
kepekaan akan adanya kemungkinan-kemungkinan solusi yang ditunjukan dengan sikap
frustasi dan marah menunjukan rendahnya alkimia emosi elit politik kita.
Coba kita ingat kembali George Washington yang berhasil dalam setiap usahanya ternyata
karena kemampuannya mengelola anergi emosi, khususnya sifat pemarah dan mudah naik
darahnya.Dia menunjukan dengan meminta maaf kepada siapa saja yang terkena akibatnya,
dan mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki ketidakenakan yang telah
diperbuatnya.
Ternyata tindakan minta maaf atau memperbaiki ketidakenakan yang telah diperbuat tidak
terlihat oleh para elit politik kita.Apalagi untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang telah
mereka perbuat. Dan bisa disimpulkan bahwa para elit politik kita masih rendah akan EQ
yang dimilikinya.
20. ii
BAB V
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan memakai system
demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Indonesia
menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Para Bapak Bangsa yang meletakkan dasar
pembentukan Negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama,
dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di
bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus
1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik. Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 -
1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang
bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan
desentralisasi kekuasaan.
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai
kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan
penyusunan skala prioritasnya.
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur
kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan
antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga
mengatur hak dan kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif
terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden
dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur,
sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain
yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan,
pengaturan, memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi. Saat ini UUD 1945 telah mengalami
beberapa kali amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen
konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan hubungan lembaga-
lembaga negara.
21. ii
DAFTAR PUSTAKA
Parikh, J.D. The New Frontier of Management (1994).
http://aceh.tribunnews.com/2012/11/24/elite-politik
Budiyanto, Drs. MM. Pendidikan Kewarganegaraan:Budaya Politik di
Indonesia(2006).
Varma, S.P. Modern Political Theory(1967).
http://aahifis29.blogspot.com/definisi elit politik
22. ii
MID TEST : ILMU LOGIKA
SISTEM POLITIK DI INDONESIA
DISUSUN OLEH :
NAMA : LA MAEMUDI
STAMBUK : 21208261
SEMESTER : II
PRODI : ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2013
23. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................1
1.2Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat...................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA......................................................................................3
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................10
A. Pengertian Sistem Politik di indonesia.......................................................10
B. Proses Politik di Indonesia..........................................................................11
C. Sejarah Sistem Politik di Indonesia.............................................................14
D. Perbedaan Sistem Politik di berbagai Negara............................................16
BAB IV PEMBAHASAN..........................................................................................17
A. Pengertian Elit Politik..................................................................................17
B. Hubungan antara elit politik dan elit masyarakat.........................................18
C. kontribusi yang diberikan para elit politik terhadap masyarakat..................19
BAB V KESIMPULAN.............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................21
24. ii
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat
dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan
tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul
“SISTEM POLITIK DI INDONESIA”
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau
menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Raha, Juli 2013
"Penulis"