1. Dialektika Hukum
Hukum merupakan dialektika dari hampir semua elemen baik ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Dialektika ini berlangsung terus-menerus dengan tidak meninggalkan sisi
kepastiannya.
Selasa, 03 Februari 2009
PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL[1]
Arfan Faiz Muhlizi, SH,MH[2]
abstract
The implementation of the scheme of development of law, and the most significanil
to be observed is the issue of legal and cultural awareness. The issue of legal
awarenwss is actually more complicated. Because the Indonesian society as a
pluralistic one involving a variety of awareness both individually and collectively.
Therefore, there is no single or uniform legal awareness eventhough we have to
admit that as a result of the comparative study are many identical awareness in a
pluralistic society. The existing identical awareness has to be utilized to form a
unification law, but the differences shall not be avoided, for sometimes it is related
to the foundation of a system or a sub system. In composing law, the legal
awareness should proportionately in place. Considering many regulation in
Indonesia. Merely based on elementary normative consideration and not lean on
preparation to empirical idea.
Keywords: legal awareness, society
Abstrak
Dalam melaksanakan perencanaan hukum, yang perlu mendapatkan perhatian
utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan kebudayaan
masyarakat tersebut. Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan
persoalan yang sebenarnya agak rumit. Hal ini disebabkan oleh karena
masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk atau pluralistik,
yang mencakup pelbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.
Dengan demikian terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal atau seragam,
meski harus diakui bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat bermacam-
macam persamaan di dalam masyarakat majemuk tersebut. Persamaan-
persamaan yang ada hendaknya dimanfaatkan untuk dapat menyusun suatu
unifikasi hukum, akan tetapiperbedaan-perbedaan yang ada tidak boleh
diremehkan, oleh karena tidak jarang menyangkut dasar dari sistem atau sub
sistem masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya dalam menyusun
peraturan perundang-undangan, kesadaran hukum seyogyanya mendapat tempat
yang proporsional. Hal ini perlu, mengingat bahwa banyak peraturan perundang-
2. undangan di Indonesia yang disusun semata-mata atas dasar pemikiran normatif
dan kurang disandarkan pada pasangannya, yakni pemikiran yang empiris.
Untuk itu maka diperlukan peranan kegiatan penelitian agar pemikiran normatif
tersebut bisa disandingkan secara proporsional dengan pemikiran yang empiris.
kata kunci: kesadaran hukum, masyarakat
A. Pendahuluan
Pembangunan biasanya diartikan secara sederhana sebagai upaya agar suatu
keadaan yang sedang dialami oleh manusia atau suatu masyarakat diubah sehingga
menjadi lebih menguntungkan bagi pihak yang membangun. Tetapiharus pula
dipahami pemaknaan “pembangunan” secara lebih komperhensif. Pembangunan
merupakan konsep yang lahir dari pertentangan yang panjang antara ideologi
Kapitalisme dan Sosialisme, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Fakih;
[3]
“Persaingan antara Kapitalisme dan Sosialisme telah mengambil bentuk perang
ideologi dan teori. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Januari 1949,
pertama kali presiden Amerika Harry S Truman melontarkan kebijakan Amerika
luar negerinya, dan untuk pertama kalinya diskursus “underdevelopment”
digunakan. Saat itulah konsep development secara resmi dilontarkan, dengan tujuan
utama dalam rangka membendung sosialisme di Dunia Ketiga.”
Sejak itu developmentalisme, yang kemudian diterjemahkan sebagai pembangunan ,
digunakan sebagai suatu ideologi yang menjanjikan harapan baru bagi perubahan
nasib berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga. Selanjutnya Mansour Fakih menjelaskan
bahwa yang dimaksud konsep development tidak lebih merupakan refleksi
paradigma Barat tentang perubahan sosial, yaknilangkah-langkah menuju “higher
modernity”. Modernitas diterjemahkan dalam bentuk teknologi dan pertumbuhan
ekonomi mengikuti jejak negara-negara industri yang mengacu pada revolusi
industri. Pembangunan selanjutnya lebih dimaksud demi peningkatan standar hidup
, dan itu hanya bisa ditempuh melalui industrialisasi. Pemerintah dalam perspektif
ini adalah sebagai subyek yang tugasnya mentransformasikan rakyat menjadi
objects, recipients, clients atau participant[4].
Modernisasi selanjutnya menjadi dasar developmentalisme. Kata modernisasi juga
berkonotasi sekularisasi, industrialisasi, persatuan nasional serta partisipasi massa.
Asumsi dasar modernisasi adalah bahwa tradisi adalah “masalah” (yang harus
diselesaikan) dan harus ditransformasi, sepertiapa yang dialami Eropa dulu. Teori
ini menggunakan beberapa argumen. Pertama, dengan metafora pertumbuhan
organisme. Pembangunan dipahami secara evolusioner berjalan dari tradisional ke
modern. Semua masyarakat berangkat darikeadaan yang sama, yaitu “tradisional”
dan itulah Dunia Ketiga dan akan berubah sepertidialami barat yang akhirnya
menjadi “modern”. Kedua, berpendapat bahwa jika etika protestan penyebab
pertumbuhan ekonomi di Barat, maka perlu dicari faktor yang sama untuk
pertumbuhan ekonomi di tempat lain, yang disebut sebagai the need for achievment
(N Ach). Yang mereka gambarkan sebagai prototipe dari masyarkat berprestasipada
dasarnya adalah masyarakat kapitalis. Dalam kenyataannya modernisasi dan
3. developmentalisme tidak berbeda dengan kapitalisme.[5]
Konsep developmentalisme semacam ini tentu tidak bisa begitu saja secara mentah-
mentah diadopsi untuk diterapkan di Indonesia yang mempunyai sejarah dan
struktur budaya yang berbeda dengan masyarakat Barat. Oleh karena itu bila konsep
ini dipaksakan untuk tetap diterapkan maka akan menimbulkan konflik-konflik yang
lebih rumit lagi. Agak sulit untuk berbicara mengenai “pembangunan” terlepas dari
perdebatan ideology sebagaimana dipaparkan di atas, tetapi untuk sementara, agar
mempermudah pembahasan makalah ini maka “pembangunan” yang dimaksud
dimaknai secara sederhana saja sebagai upaya untuk mengubah sesuatu menjadi
lebih baik.
B. Pembangunan Hukum
Meski bermaksud untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik, pada prakteknya
pembangunan mempunyai dua sisi; satu sisi berfungsi untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia, sedangkan pada sisi lainnya dapat memerosotkan kualitas hidup
manusia.[6] Pembangunan memberikan kontribuasi perubahan yang bermakna
positif, ataupun yang bermakna negatif. Oleh karena itu diperlukan perencanaan
pembangunan dalam rangka penetapan desain pembangunan, termasuk
perhitungan terhadap resiko dan cara mengatasi resiko pembangunan.[7]
Pembangunan hukum, haruslah dilihat secara holistik sebagai upaya sadar,
sistematis, dan berkesinambungan untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang semakin maju, sejahtera, aman, dan tenteram di
dalam bingkai dan landasan hukum yang adil dan pasti.[8] Proses pembangunan
hukum berkaitan erat dengan (i) proses pembuatan hukum atau perangkat
peraturan perundang-undangan yang memungkinkan nilai-nilai normatif yang
hidup di dalam masyarakat untuk diformulasikan sedemikian rupa dan kemudian
dilegitimasikan oleh kekuasaan umum menjadi norma publik (law making process),
(ii) proses pelaksanaan dan penegakan (law enforcement) yang memungkinkan
hukum yang dibangun dan dikembangkan menjadi hidup dan dapat bekerja secara
fungsional (living law in action), dan (iii) proses pembinaan dan pembangunan
kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan hukum dan sistem hukum yang
dibangun memperoleh dukungan sosial dalam arti luas (legal awareness).[9] Dengan
perkataan lain, pembangunan hukum itu secara sistemik menyangkut (a) materi
hukum dan prosedur-prosedurnya, (b) institusi, termasuk aparat yang terlibat di
dalamnya, mekanisme kerja institusi hukum, serta sarana dan prasarana penunjang
yang diperlukan untuk itu, serta menyangkut (c) kesadaran hukum dan budaya
hukum masyarakat yang menjadi subyek hukum yang bersangkutan.[10]
4. Menurut Lily Rosyidi, komponen-komponen sistem hukum adalah:[11]
(1) masyarakat hukum, adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity)
yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum
yang membentuk masyarakat hukum itu dapat berupa individu, kelompok,
organisasi atau badan hukum negara, dan kesatuan-kesatuan lainnya. Sedangkan
alat yang dipergunakan untuk mengatur hubungan antar kesatuan hukum itu
disebut hukum, yaitu kesatuan sistem hukum yang tersusun atas berbagai
komponen. Pengertian ini merupakan refleksi dari kondisi obyektif berbagai kelas
masyarakat hukum, yang secara umum dapat diklasifikasikan atas tiga golongan
utama, yaitu: (a) masyarakat sederhana, (b) masyarakat negara, (c) masyarakat
internasional.
(2) budaya hukum,
Istilah budaya hukum dalam bagian ini digunakan untuk menunjuk tradisi hukum
yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam
masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh
solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat
lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak
tertulis.
Bentuk hukum ini dikenal sebagai budaya hukum tidak tertulis (unwritten law) dan
terdapat dalam masyarakat-masyarakat tradisional sepertipada masyarakat Anglo
Saxon, Britania, dan masyarakat-masyarakat tradisional lainnya, sepertipada
masyarakat eskimo, indian, dan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Budaya hukum ini yang lebih dipandang sebagai budaya masyarakat Anglo Saxon,
kemudian ditransformasi ke dalam bentuk hukum kebiasaan (customary law) atau
kebiasaan hukum (legal customs). Dalam perkembangannya, budaya hukum Anglo
Saxon berkembang menjadi tradisi common law, yang kemudian menjadi salah satu
dari tradisi hukum besar dunia. Sedangkan hukum kebiasaan tetap ada dan
berkembang dalam masyarakat-masyarakat sederhana.
Disamping itu ada budaya hukum tertulis. Pada mulanya budaya ini dianut oleh
bangsa Prancis, dan masyarakat Eropa Kontinental pada umumnya, tetapi kemudian
menyebar ke seluruh dunia dengan nama civil law system.
(3) Filsafat hukum
Umumnya diartikan sebagai hasil pemikiran yang mendalam tentang hukum.
Diartikan juga sebagai nilai hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum.
(4) Ilmu hukum,
Ilmu hukum dijabarkan sebagai pengujian, dan pengembangan teori-teorihukum
yang berasal dari komponen filsafat hukum.
(5) konsep hukum,
Diartikan sebagai garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu
masyarakat hukum, yang pada hakekatnya merupakan pernyataan sikap suatu
masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat
atau teori hukum, design pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak
dipilihnya.
(6) pembentukan hukum,
Pembentukan hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu
masyarakat hukum, serta oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada
setiap kelas masyarakat.
(7) bentuk hukum,
5. Merupakan hasil dari proses pembentukan hukum. Secara umum diklasifikasikan
dalam 2 golongan; tertulis dan tidak tertulis.
(8) penerapan hukum,
Meliputi 3 komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi
yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini. Umumnya
meliputi lembaga-lembaga administratif dan judiciil.
(9) evalusi hukum.
Komponen ini merupakan konsekuensi dari pandangan ahli-ahli hukum Utilitarianis
yang menyatakan bahwa kualitas hukum baru dapat diketahui setelah hukum itu
diterapkan. Hukum yang buruk akan mengakibatkan akibat-akibat yang buruk. Dan
hukum yang baik akan melahirkan akibat-akibat yang baik.
C. Perencanaan Pembangunan Hukum Secara Sistemik
Pada dasarnya hukum nasional adalah suatu system[12] yang terdiridarisejumlah
unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi,
terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Asas utama
yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila
dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain, yang berlaku lokal,
atau berlaku di dalam dan bagi disiplin hukum tertentu. Semua unsur/ komponen/
fungsi/ variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang
tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi.
Untuk melaksanakan pembangunan dan pembaharuan hukum –yang merupakan
suatu sistem- diperlukan perencanaan.[13] Perencanaan merupakan unsur
manajemen yang sangat penting dalam mengelola organisasi[14]. Perencanaan
merupakan suatu perumusan dari persoalan-persoalan tentang apa dan bagaimana
suatu pekerjaan hendak dilaksanakan.[15] Perencanaan juga merupakan suatu
persiapan (preparation) untuk tindakan-tindakan kemudian.[16] Perencanaan
meliputi hal-hal yang akan dicapai, yang kemudian memberikan pedoman, garis-
garis besar tentang apa yang akan dituju.[17]
Kekhususan sifat perencanaan ialah dominannya fungsi perencanaan untuk
keberhasilan seluruh manajemen. Menurut pandangan politis strategis, jika
keseluruhan manajemen mempunyai nilai strategis, dengan sendirinya perencanaan
sebagai bagiannya tentunya juga mempunyai sifat dan strategis.[18] Dan bila
perencanaan sebagai langkah awal manajemen, bernilai strategis, besar harapan
bahwa keseluruhan manajemen akan bernilai strategis pula. Ini bermakna bahwa
6. konsep dan upaya pengerahan dan pengarahan potensi dan sumberdaya ke dalam
jalur kegiatan untuk mencapai tujuan harus direncanakan dengan konsisten.
Menerapkan perencanaan strategis dalam kerangka kebijaksanaan politik
pembangunan nasional, berartimenerapkan prinsip-prinsip manajemen dalam
kegiatan perencanaan hukum itu melalui pendekatan sistem. Pada intinya
merencanakan berartimengambil keputusan tentang hal-hal yang akan dilakukan di
masa depan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Artinya,
orientasi waktu perencanaan adalah masa depan yang secara implisit berartiproses
perencanaan harus memperhitungkan faktor ketidakpastian yang akan dihadapi
serta ketelitian melakukan analisis. Analisis yang dilakukan meliputi:[19]
1. Apa yang akan dikerjakan dan mengapa;
2. Dimana kegiatan tertentu akan dilaksanakan dan mengapa;
3. Waktu yang paling tepat untuk melaksanakan kegiatan terntentu dan apa
alasannya;
4. Siapa yang paling tepat untuk melaksanakan dan dengan alasan apa;
5. Cara yang paling efisien untuk menyelenggarakan semua jenis kegiatan yang harus
dilaksanakan berdasarkan pertimbangan apa.
Analisa yang demikian ini hanya mungkin dilakukan dengan terlebih dulu
melakukan penelitian yang mendalam terhadap hal-hal yang dipertanyakan di atas.
Di dalam suatu masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu
dilakukan dengan memanfaatkan hukum;[20] Hal ini disebabkan karena;[21]
pertama, hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam
mengatur hidupnya. Hukum merupakan bentuk pengaturan kehidupan manusia
yang paling tua, yang pada abad ke-20 telah diyakini sebagai design dan pengaturan
hidup yang paling modern dan representatif. Hampir tidak terdapat satupun negara
yang tidak berbentuk negara hukum.
Kedua, terbawa oleh hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu
masyarakat, terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat. Termasuk di
dalamnya pengaturan terhadap perubahan yang terjadi atau yang hendak dilakukan
oleh masyarakat.
Ketiga, fungsi mengatur itu telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung
dalam hukum, yang melampaui fungsi mengatur, yaitu juga berfungsi sebagai
pemberi kepastian, pengaman, pelindung, dan penyeimbang, yang sifatnya dapat
tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Potensi
hukum ini terdapat pada dua dimensi utama dari fungsi hukum, yaitu fungsi
preventif dan represif. Preventif adalah fungsi pencegahan, fungsi ini dituangkan
dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang hakekatnya
merupakan design dari setiap tindakan yang hendak dilakukan oleh masyarakat.
Design ini meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk resiko, dan
pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan resiko itu. Sedangkan
represif adalah fungsi penanggulangan. Fungsi ini dituangkan dalam bentuk
penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang
diakibatkan oleh resiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan dalam
perencanaan tindakan itu. Dimensi fungsi ini menunjukkan bahwa hukum
7. merupakan instrumen yang tidak hanya potensial untuk mengatur dan menjaga
harmonisasi kehidupan masyarakat, melainkan juga potensial untuk merekayasa
masyarakat.
Keempat, dalam isu pembangunan global itu hukum telah dipercaya untuk
mengemban misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana perubahan sosial atau
sarana pembangunan. Kepercayaan ini didasarkan pada hakekat dan potensi hukum
sebagai inti kehidupan masyarakat.
Fungsi baru itu berartiperkembangan dan beban baru bagi hukum. Rasio
pembangunan hukum itu terletak dalam perspektif ini. Untuk mengemban fungsi
barunya, hukum membutuhkan peningkatan kapasitas dalam bentuk pembangunan
dan pembaharuan terhadapnya. Pembangunan dan pembaharuan ini dapat
berbentuk rekonstruksi, intensifikasi fungsi, atau pengembangan fungsi.
Rekonstruksi itu dapat berbentuk penggantian, penataan, pengelolaan dan
pengembangan hukum.[22] Penggantian hukum dilakukan terhadap hukum yang
telah kekurangan atau kehabisan daya dukungannya. Penataan hukum dilakukan
terhadap hukum yang berada dalam kondisi mis-koordinasi, berbatas substansi tidak
jelas, atau yang bertumpang tindih fungsi dan substansi. Pengelolaan hukum
dilakukan terhadap hukum yang daya dukungnya telah memadai dan pengembangan
hukum dilakukan terhadap hukum yang daya dukungnya telah baik, berdasarkan
kebutuhan kondisi. Hal penting yang perlu ditegaskan dalam kaitan dengan
pembahasan terakhir ini adalah bahwa makna hukum ditempatkan tidak hanya pada
makna hukum normatif, melainkan terutama dalam konteks makna hukum sebagai
suatu sistem.[23]
Hukum sebagai sarana perubahan sosial dan sarana pembangunan ini kemudian
berkembang lebih jauh dengan melihat bahwa sebelumnya hukum harus mampu
menjadi sarana perubahan bagi birokrasi sebagai kaki tangan utama pembangunan.
Konsep ini dikenal dengan konsep hukum sebagai “bureucratic and social
engineering”. Konsep hukum “Beureucratic and Social Engineering” harus diartikan
penyelenggara birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan diharapkan masyarakat mematuhidan mengikuti
langkah-langkah penyelenggara birokrasi tersebut.[24] Hal ini dapat dilaksanakan
secara efektif jika penyelenggara birokrasi telah memahami fungsi dan peranan serta
posisi hukum sebagaimana berikut:[25]
1. Hukum dipandang bukan sebagai perangkat yang harus dipatuhi oleh masyarakat
saja melainkan juga harus dipandang sebagai sarana yang harus dapat membatasi
perilaku aparat penegak hukum dan pejabat publik;
2. Hukum bukan hanya diakui sebagai a tool of social engineering semata-mata
tetapi juga harus diakui sebagai a tool of social control and beureucratic engineering;
3. Kegunaan atau kemanfaatan hukum tidak lagi hanya dilihat dari kacamata
kepentingan pemegang kekuasaan melainkan harus juga dikaji dari prospektif dan
perspektif kepentingan stakeholder;
8. 4. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial dan birokrasi dalam kondisi
masyarakat yang bersifat vulnerable dan transitional, tidak dapat dilaksanakan
secara optimal hanya menggunakan pendekatan preventif dan represif semata-mata
melainkan juga memerlukan pendekatan restoratif, dan rehabilitatif;
5. Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal maka hukum
tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik, melainkan harus
dipandang sebagai sarana untuk merubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior).
Telah menjadi anggapan umum sekarang ini, bahwa hukum itu terdapat di seluruh
dunia, asal ada masyarakat manusia, sepertiadegium “ubi societas, ibi ius”.[26]
Dalam masyarakat yang sederhana, hukum yang dibutuhkan masih sederhana,
karena kebutuhannya masih sederhana. Tetapidalam masyarakat modern
hukumnya pun harus lebih sempurna, mengingat kebutuhannya yang semakin
beraneka ragam.[27] Masyarakat ini tidaklah statis, tetapi terus-menerus
berkembang, sehingga hukum pun harus terus-menerus dikembangkan dan
diperbaharui sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hukum adalah sistem
norma yang dinamis.[28]
Dalam era global sepertisekarang ini misalnya, pembangunan hukum nasional tidak
lagi dapat melepaskan diri dari pengaruh sekelilingnya[29]. Pengaruh itu dapat
berasal dari sistem hukum yang ada di seluruh dunia maupun fenomena sosiologis
yang terjadi. Persoalannya adalah bagaimana membangun hukum yang berstruktur
sosial Indonesia tanpa meninggalkan trends globalisasi yang melingkupinya.[30]
Pemikiran tentang pembaharuan hukum ini terutama bergantung pada konservatif
atau tidaknya golongan yang berkuasa.[31] Negara-negara otokratis yang dikuasai
oleh golongan yang ekslusif cenderung untuk menolak perubahan dan hanya melihat
hukum sebagai sarana untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sementara negara-
negara maju yang telah mencapai suatu keseimbangan dalam kehidupan politik,
ekonomi dan kemasyarakatan juga akan cenderung untuk konservatif dalam
pemikirannya tentang hukum.[32] Hal ini juga akan berpengaruh pada politik
hukum yang akan dijalankan[33]. Secara sederhana pertentangan antara dua
konsepsi pemikiran hukum merupakan pertentangan antara legisme (termasuk
aliran positivisme) dan aliran mazhab sejarah.[34]
9. Aliran legisme menyamakan hukum dengan undang-undang dan menyangka bahwa
segala pembuatan hukum (termasuk pebaharuannya) dapat begitu saja dilakukan
dengan undang-undang. Sebaliknya, mahzab sejarah menentang perundang-
undangan (legislation) sebagai suatu cara untuk membuat (dan memperbaharui)
hukum karena hukum itu tidak mungkin dibuat, melainkan (harus) tumbuh sendiri
dari kesadaran hukum masyarakat.[35]
Namun sebenarnya pertentangan ini bisa didamaikan dengan mengakomodasi
keduanya. Artinya, Indonesia yang sudah terlanjur menganut sistem hukum civil
law, yang berartilebih menekankan hukum sebagai undang-undang, selayaknya
melakukan pembaharuan hukum lewat pembaharuan peraturan perundang-
undangan (termasuk undang-undang). Hanya saja pembaharuan peraturan
perundang-undangan ini harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
Di dalam dunia pemikiran (atau filsafat) hukum, sikap ini dianjurkan oleh Eugen
Erlich, pemuka dari aliran Sociological Jurisprudence.[36] Yang menjadi konsepsi
dasar dari pemikirannya di bidang hukum adalah apa yang ia namakan sebagai living
law. Hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai
dengan living law yang merupakan inner order dari masyarakat yang mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
D. Penutup
Dalam melaksanakan perencanaan hukum, yang perlu mendapatkan perhatian
utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan kebudayaan masyarakat
tersebut. Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan persoalan yang
sebenarnya agak rumit. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia
merupakan suatu masyarakat majemuk atau pluralistik, yang mencakup pelbagai
kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.[37] Dengan demikian
terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal atau seragam, meski harus diakui
bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat bermacam-macam persamaan di
dalam masyarakat majemuk tersebut.[38]
Persamaan-persamaan yang ada hendaknya dimanfaatkan untuk dapat menyusun
suatu unifikasi hukum, akan tetapiperbedaan-perbedaan yang ada tidak boleh
diremehkan, oleh karena tidak jarang menyangkut dasar dari sistem atau sub sistem
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya dalam menyusun peraturan
perundang-undangan, kesadaran hukum seyogyanya mendapat tempat yang
proporsional. Hal ini perlu, mengingat bahwa banyak peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang disusun semata-mata atas dasar pemikiran normatif
dan kurang disandarkan pada pasangannya, yaknipemikiran yang empiris.[39]
Untuk itu maka diperlukan peranan kegiatan penelitian agar pemikiran normatif[40]
10. tersebut bisa disandingkan secara proporsional dengan pemikiran yang empiris.[41]
Teorihukum idealistis mengemukakan bahwa apabila ingin diketahui ada dan
berkembangnya hukum di tengah masyarakat, maka yang pertama kali harus
dipahami adalah kebudayaan dari masyarakat tersebut, sehingga menunjukkan
adanya keterkaitan yang erat antara nilai, norma, dan hukum.[42] Banyak ahli yang
berpendapat bahwa hukum akan terdapat di tengah masyarakat yang berbudaya.
Oleh karena itu Kohler menunjukkan bahwa (law is considered) (a) as to the past a
product of civilization; (b) as the present as a means of maintaining civilization; (c)
as the future as a means of furthering civilization.[43]
Pembuatan peraturan perundang-undangan (legislasi), dalam rangka pembangunan
dan pembaharuan hukum, merupakan tugas yang tidak mudah, bahkan sulit dan
berat karena program yang akan disusun itu akan turut menentukan kehidupan
seluruh bangsa di masa sekarang juga di masa depan. Oleh karenanya maka perlu
dilakukan perencanaan yang matang dalam memulai proses ini, meski pembaharuan
hukum itu tidak seluruhnya dapat direncanakan.[44] Perencanaan yang matang
dapat diwujudkan dengan terlebih dulu melakukan penelitian yang mendalam
terhadap permasalahan yang ingin diselesaikan sehingga dapat diketahui apakah
suatu ketentuan hukum yang sudah ada atau ketentuan hukum yang akan dibuat
sesuai atau tidak dengan kesadaran hukum masyarakat.
Dalam melakukan penelitian sosiologis dikenal beberapa jenis penelitian, yaitu:[45]
pertama, penelitian murni, bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
secara teoritis; kedua, penelitian yang terpusatkan pada masalah, bertujuan untuk
memecahkan masalah yang timbul dalam perkembangan teori; ketiga, penelitian
terapan, yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat atau
pemerintah.
Dalam pembaharuan hukum, jenis penelitian terapan merupakan jenis penelitian
yang sering dijadikan sebagai pilihan diantara jenis-jenis penelitian yang lain.
Namun demikian, selain jenis-jenis penelitian di atas, masih banyak sekali jenis-
jenis penelitian yang ada dan biasa digunakan, yang terbagi-bagi menurut bidang
yang diteliti, kegunaan, maupun metodenya.[46] Tetapitidak akan diperdebatkan di
sini tentang jenis penelitian mana yang paling tepat karena penelitian yang
dilakukan biasanya merupakan kombinasi dari berbagai jenis penelitian dan metode
penelitian. Metode-metode penelitain yang dikombinasikan itu tergantung pada:[47]
subyek penelitian (materi penelitian), tujuan penelitian, besar kecilnya dana
penelitian, sarana penelitian yang tersedia, tenaga peneliti yang tersedia, waktu yang
11. tersedia dan lingkungan/tempat penelitian dilakukan.
Penelitian hukum untuk menyusun suatu naskah akademik RUU, atau penyusunan
RUU dan untuk menemukan kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk
pembangunan, atau untuk perencanaan hukum harus merupakan penelitian
interdisipliner agar benar-benar berbobot dan hasilnya dapat dilaksanakan.
Setelah dilakukan penelitian, maka akan dapat diinventarisir berbagai permasalahan
dan berbagai alternatif penyelesaiannya yang digali dari kesadaran hukum
masyarakat. Inimerupakan data yang bisa dipakai untuk membuat suatu
perencanaan pembaharuan hukum yang aspiratif dan pada akhirnya akan
membentuk produk hukum yang responsif.[48] Namun demikian, oleh karena
masyarakat kita berubah dengan cepat -minimal dalam lima tahun terjadi perubahan
yang signifikan- maka kita juga harus memperhatikan nilai-nilai dan kebutuhan
masyarakat dimasa yang akan datang (futurologi) sebagaimana yang dikatakan oleh
August Comte, “savoir pour previor, previor pour prevenir”.[49]
[1] Tulisan ini diambil dari Jurnal Hukum PropatriaVol.II No.2 September 2008 –
Februari2009
[2] Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
[3] Mansour Fakih, Tinjauan Kritis Terhadap Revolusi Hijau, dalam Hatta Sunanto
et.all, Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat, Emansipasi dan Demokrasi
Mulai dari Desa, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000), hal 4
[4] ibid
[5] ibid
[6] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung:
Mandar Maju, 2003) hal.178
[7] ibid
12. [8] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi,
(Jakarta: PT Balai Pustaka, 1998) hal.28
[9] ibid, hal.29-30
[10] ibid
[11] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, opcit hal. 152-167
[12] BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana
Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996) hal.19
[13] Dalam UU No.25 Tahun 2004 pada pasal 1 angka 1, perencanaan adalah suatu
proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
[14] George R Terry merumuskan elemen-elemen manajemen adalah; planning
(perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan), dan
controlling (pengendalian/pengawasan). Lebih jauh tentang ini bisa dilihat di
Maringan Masri Simbolon, Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004), hal.36.
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana
Pembangunan Hukum Jangka Panjang, op.cit, hal.111
[19]Sondang Siagian, Manajemen Abad 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998) hal. 130
[20] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, op.cit
[21] ibid
[22] ibid
[23]Komponen-komponen sistem hukum adalah; (1) masyarakat hukum, (2) budaya
13. hukum, (3) filsafat hukum, (4) ilmu hukum, (5) konsep hukum, (6) pembentukan
hukum, (7) bentuk hukum, (8) penerapan hukum, (9) evalusi hukum. Lebih jauh
tentang ini lihat Lili Rasjidi, ibid. hal. 152-167
[24] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada
Media, 2003) hal.20-21
[25] ibid
[26] SunaryatiHartono, Tentang Cara-cara Pembentukan Hukum, Dalam,
Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan
Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 122
[27] ibid
[28] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, diterjemahkan oleh Somardi, (Jakarta:
Rimdi Press, 1995) hal.115.
[29] Anthony Giddens bahkan menyebut era global ini dengan “pemerintahan
global”, karena ia melihat mulai sangat besarnya pengaruh dari lembaga-lembaga
dunia seperti PBB, IMF dan World Bank. Di samping itu pembentukan Uni Eropa
mengindikasikan makin menguatnya kemungkinan untuk terciptanya pemerintahan
global. Lebih jauh tentang ini lihat Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga:
Pembaruan Demokrasi Sosial, diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002) hal.168
[30] Zudan Arif Fakrullah, Membangun Hukum Yang Berstruktur Sosial Indonesia
Dalam Kancah Trends Globalisasi, Dalam Wajah Hukum Di Era Reformasi:
Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.,
(Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2000) hal.51
[31] C.F.G. SunaryatiHartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung: Alumni, 1991) hal.82
[32] ibid
[33] Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum yaitu adanya keharusan untuk
menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai
untuk mencapai tujuan tersebut. Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung:
Alumni, 1986) hal. 34. Padmo Wahyono mengartikan politik hukum sebagai suatu
kebijaksanaan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang
akan dibentuk. Lihat Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hal. 60. Sedangkan menurut Teuku Mohamad
Radie, politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa negara mengenai
hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai kemana hukum hendak
dikembangkan. Lihat Tunggul Anshari Setia Negara, Politik Hukum Nasional
Terhadap Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun (ed), Dimensi-dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001) hal.162
[34] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan,
(Bandung: Alumni, 2002) hal.77
14. [35] ibid
[36]ibid, hal.78
[37] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dalam Masyarakat, Dalam, Himpunan
Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-
undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 285
[38] ibid, hal.286
[39] ibid
[40] Pemikiran normatif adalah pemikiran yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada
penelitian yang mencakup (1)asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf
sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4)perbandingan hukum, (5)sejarah hukum.
Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hal,13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan
Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat
Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15
[41]Pemikiran empiris adalah pemikiran yang dilakukan dengan cara meneliti data-
data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris
ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, ibid
[42] Hermayulis, Terbentuknya Hukum: Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Hukum
Di Indonesia, dalam, EKM Masinambow (editor), Hukum dan Kemajuan Budaya:
Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. DR. T.O. Ihromi,
edisi ke-2, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003) hal. 88-89
[43] ibid
[44] SunaryatiHartono, Penyusunan Perundang-undangan Dalam Repelita III,
Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan
Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 102
[45] ibid, hal.457
[46] berbagai jenis penelitian ini bisa dilihat dari berbagai buku tentang metodologi
penelitian.
[47] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-
20, (Bandung: Alumni, 1994) hal.121
[48] Nonet-Selznick membagi beberapa tipe hukum, yaitu; Hukum Represif, Hukum
Otonom, dan Hukum Responsif. Lebih jauh tentang ini baca Philippe Nonet dan
Philip Selznick, Hukum Responsif: Pilihan Di Masa Tranasisi, (Jakarta: HuMa,
2003) hal.23, 43 dan 59.
15. [49] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-
20, (Bandung: Alumni, 1994) hal.103