Why Gameloft Choosing Yogyakarta? an approach of global level spatial integration which leads to knowledge spillover effect and enhancement of localities risen up process.
Economic Industrial Agglomeration became main trend of today economic geography. This phenomenon happens due to globalization and spatial integration of economic activities in global scale. While common economic analysis relied so much to macroeconomics indicator, does it will be better if we consider regional aspects of today economy?
Why Gameloft Choosing Yogyakarta? an approach of global level spatial integration which leads to knowledge spillover effect and enhancement of localities risen up process.
Economic Industrial Agglomeration became main trend of today economic geography. This phenomenon happens due to globalization and spatial integration of economic activities in global scale. While common economic analysis relied so much to macroeconomics indicator, does it will be better if we consider regional aspects of today economy?
Indonesia, bangsa yang dulunya masih cenderung tertutup, kini telahmemasuki era keterbukaan. Undang-Undang Keterbukaan InformasiPublik telah diundangkan di tahun 2008 dan sejak saat itu, warga negara Indonesia dijamin haknya untuk mengakses informasi publik, termasuk data yang dahulu aksesnya ditutup untuk publik. Indonesia juga telah mengadopsi inisiatif global Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pada industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan) - yang pada dasarnya tertutup dan penuh kerahasiaan. Baru-baru ini, EITI meningkatkan standarnya yang mengharuskan negara yang menerapkan EITI untuk menyediakan data laporan yang dapat diakses, digunakan kembali dan dibaca oleh perangkat mesin (format terbuka). Di samping itu, mengingat partisipasi Indonesia dalam Open Government Partnership (OGP), terdapat upaya yang progresif dari berbagai sektor dan pemerintah juga pemangku kepentingan lainnya untuk terus Transformasi Industri Ekstraktif Melalui Open Data memajukan dan mendukung penerapan open data: dalam sektor pelayanan publik, ekonomi dan perdagangan, politik dan demokrasi juga industri ekstraktif.
DAMPAK PEMBERIAN KEBIJAKAN IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) PADA LAHAN TERBUKA HIJAU (Studi Evaluasi Kebijakan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Malang, Nomor 4 Tahun 2011, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang, Tahun 2010 - 2030)
Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Perekonomian IndonesiaOswar Mungkasa
Kajian ini diharapkan dapat memebri masukan bagi tinjauan kebijakan perumahan di Indonesia. dilaksanakan bekerjasama dengan Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia memprediksi realisasi produksi batubara nasional tahun 2019 dapat menembus angka 500 juta ton (Kontan, 2019). Sementara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah memandatkan pengendalian produksi batubara yakni dengan memasang target produksi batubara tahun 2019 maksimal di angka 400 juta ton. Publik kembali dipertontonkan inkonsistensi kebijakan di awal tahun 2019 ini.
Kota Cerdas sering dimaknai hanya sekedar pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Tata kelola kolaboratif sebagai bagian dari indikator kota cerdas (indikator tata kelola/governance) mendorong agar masyarakat menjadi fokus utama dalam pengembangan kota cerdas
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016bramantiyo marjuki
Modul GIS Diklat GPS dan Pemetaan Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dilaksanakan di Yogyakarta 29 Maret - 2 April 2016
How to make Map Package in ArcGIS, more detailed about Map Packages see here http://resources.arcgis.com/en/help/main/10.1/index.html#/Creating_a_map_package/006600000403000000/
KEK Tanjung Lesung dan Implikasi Untuk Ekonomi Wilayah Bantenbramantiyo marjuki
Does Tanjung lesung specialized economic zone will boost Banten Economic income? or it is just mere an agglomeration of economic activity that will just increasing of the regional disparities of Banten and Indonesia.
Indonesia, bangsa yang dulunya masih cenderung tertutup, kini telahmemasuki era keterbukaan. Undang-Undang Keterbukaan InformasiPublik telah diundangkan di tahun 2008 dan sejak saat itu, warga negara Indonesia dijamin haknya untuk mengakses informasi publik, termasuk data yang dahulu aksesnya ditutup untuk publik. Indonesia juga telah mengadopsi inisiatif global Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pada industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan) - yang pada dasarnya tertutup dan penuh kerahasiaan. Baru-baru ini, EITI meningkatkan standarnya yang mengharuskan negara yang menerapkan EITI untuk menyediakan data laporan yang dapat diakses, digunakan kembali dan dibaca oleh perangkat mesin (format terbuka). Di samping itu, mengingat partisipasi Indonesia dalam Open Government Partnership (OGP), terdapat upaya yang progresif dari berbagai sektor dan pemerintah juga pemangku kepentingan lainnya untuk terus Transformasi Industri Ekstraktif Melalui Open Data memajukan dan mendukung penerapan open data: dalam sektor pelayanan publik, ekonomi dan perdagangan, politik dan demokrasi juga industri ekstraktif.
DAMPAK PEMBERIAN KEBIJAKAN IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) PADA LAHAN TERBUKA HIJAU (Studi Evaluasi Kebijakan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Malang, Nomor 4 Tahun 2011, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang, Tahun 2010 - 2030)
Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Perekonomian IndonesiaOswar Mungkasa
Kajian ini diharapkan dapat memebri masukan bagi tinjauan kebijakan perumahan di Indonesia. dilaksanakan bekerjasama dengan Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia memprediksi realisasi produksi batubara nasional tahun 2019 dapat menembus angka 500 juta ton (Kontan, 2019). Sementara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah memandatkan pengendalian produksi batubara yakni dengan memasang target produksi batubara tahun 2019 maksimal di angka 400 juta ton. Publik kembali dipertontonkan inkonsistensi kebijakan di awal tahun 2019 ini.
Kota Cerdas sering dimaknai hanya sekedar pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Tata kelola kolaboratif sebagai bagian dari indikator kota cerdas (indikator tata kelola/governance) mendorong agar masyarakat menjadi fokus utama dalam pengembangan kota cerdas
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016bramantiyo marjuki
Modul GIS Diklat GPS dan Pemetaan Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dilaksanakan di Yogyakarta 29 Maret - 2 April 2016
How to make Map Package in ArcGIS, more detailed about Map Packages see here http://resources.arcgis.com/en/help/main/10.1/index.html#/Creating_a_map_package/006600000403000000/
KEK Tanjung Lesung dan Implikasi Untuk Ekonomi Wilayah Bantenbramantiyo marjuki
Does Tanjung lesung specialized economic zone will boost Banten Economic income? or it is just mere an agglomeration of economic activity that will just increasing of the regional disparities of Banten and Indonesia.
Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Pengurangan Kemacetan lalu lintasbramantiyo marjuki
Intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi fenomena kemacetan lalulintas yang diakibatkan pertumbuhan kendaraan pribadi, keterbatasan jalan dan kurang berfungsinya transportasi publik.
Peran TIK Dalam Penyusunan Evidence-based Policy di Era VUCATri Widodo W. UTOMO
Disampaikan pada Kegiatan Workshop Internet of Things for Intellectual Property System
Kemenkumham, 10 November 2021
Dr. Tri Widodo W. Utomo, MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
Similar to Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its relevance for Indonesia (20)
Saya menawarkan bimbingan privat belajar penginderaan jauh dan GIS. Silabus ini untuk materi penginderaan jauh. Syarat dan ketentuan silahkan dibaca di file penawaran
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utarabramantiyo marjuki
Sosialisasi hasil kegiatan pemetaan penutup lahan dan penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi, Provinsi Kalimantan Utara, WWF Indonesia, Tanjung Selor, Juli 2017
Wonogiri Strategic Economy Development Acceleration Plan (Final Report of Regional Development Class Planning Studio at Master Program of Regional and Urban Development, Diponegoro University, 2017)
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its relevance for Indonesia
1. TUGAS MATA KULIAH
TEORI PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN
(PWK605)
Dosen Pengampu:
Dr. Ir. Hadi Wahyono, MA.
PERAN INFRASTRUKTUR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
TINJAUAN TEORITIS DAN PRAKTIS
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
2. 1
I. Pendahuluan
Kebijakan pembangunan wilayah secara umum ditujukan untuk mewujudkan
struktur ekonomi wilayah yang kuat dan menstimulasi aktivitas-aktivitas ekonomi
produktif, yang pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah.
Keberadaan infrastruktur telah lama diketahui sangat berperan dalam mewujudkan
kepentingan tersebut, di samping pembangunan sektor lainnya seperti pembangunan
sumberdaya manusia, konservasi lingkungan dan penguatan kelembagaan wilayah.
Secara teoritis, investasi infrastruktur di suatu wilayah akan memicu
pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut karena infrastruktur dapat memberikan
kemudahan akses untuk aktivitas produksi, memberikan ruang untuk mobilitas
faktor produksi, dan mengurangi pembiayaan untuk distribusi hasil produksi.
Namun dalam tataran praktis, hubungan antara penyediaan dan investasi
infrastruktur tidak selalu linier positif dengan pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi wilayah.
Guild (2000) telah melakukan kajian mengenai peran infrastruktur dalam
pembangunan wilayah, baik secara teoritis maupun praktis. Tulisan ini dimaksudkan
untuk mengelaborasi lebih lanjut temuan tersebut, melihat perkembangannya dalam
kurun 17 tahun setelah penerbitan tulisan Guild (2000), dan melihat konteks
kesesuaiannya dengan kondisi empiris di Indonesia.
II. Peran Infrastruktur Dalam Pembangunan Sosial - Ekonomi
Wilayah
II.1 Infrastruktur Dalam Teori Pembangunan Wilayah
Menurut Guild (2000), peran infrastruktur dalam pembangunan wilayah
secara konseptual setidaknya dapat dilihat dari dua teori pembangunan wilayah,
yaitu Teori Pembangunan Ekonomi Neoklasik (Neoclassical Economic
Development Theory) dan Teori Sebab Akibat Kumulatif (Cumulative Causation
Theory). Dalam Teori Pembangunan Ekonomi Neoklasik, pembangunan mulai
terwujud ketika industri usaha dan industri rumah tangga mampu menggunakan
tenaga kerja, modal, dan sumber daya alam secara efektif dan efisien. Di sini,
infrastruktur akan memegang peranan penting dan memberikan dua efek positif
dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama, ketersediaan infrastruktur akan
meningkatkan produktivitas modal fisik dan modal sumber daya manusia.
Meningkatnya produktivitas akan mampu menurunkan biaya produksi dan logistik,
sehingga pada akhirnya permintaan akan hasil produksi wilayah akan meningkat.
3. 2
Kedua, infrastruktur dapat dipandang sebagai salah satu investasi langsung di dalam
wilayah, sehingga dalam pembangunannya akan menyerap barang dan jasa di sektor
konstruksi, yang berimplikasi pada penambahan terhadap pendapatan dan hasil
produksi wilayah.
Selain Teori Neoklasik, peran infrastruktur juga dianggap cukup penting
dalam Teori Sebab Akibat Kumulatif. Dalam teori ini, pertumbuhan ekonomi
wilayah pertama kali muncul sebagai hasil dari stimulus awal seperti misalnya
kekayaan sumber daya alam wilayah yang kemudian dieksploitasi. Investasi yang
dilakukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam akan menarik investasi lebih
lanjut dan mulai menumbuhkan keunggulan atau daya saing wilayah. Infrastruktur
kemudian berperan sebagai penyedia fasilitas umum yang lebih baik dan
melengkapi fasilitas yang disediakan sektor swasta, menghilangkan kendala
kapasitas produksi, dan memperlancar arus barang dan jasa. Iklim usaha dalam
wilayah yang kompetitif sebagai ekses dari ketersediaan infrastruktur akan memicu
investasi swasta yang lebih banyak dan pada akhirnya meningkatkan arus modal
masuk ke dalam wilayah. Infrastruktur juga dapat menjadi faktor penarik munculnya
pasar kerja, dan selanjutnya membentuk aglomerasi ekonomi yang memicu
pertumbuhan ekonomi wilayah. Secara skematis, peran infrastruktur dalam
pembangunan ekonomi wilayah disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Ketarkaitan Output dan Keuntungan dari Investasi Infrastruktur
Angkatan Kerja Investasi Modal Swasta Investasi Infrastruktur
Fungsi Produksi
Output:
Regional dan Sektoral
Investasi
Dorongan
Manfaat Konsumsi
Sumber: Guild (2000)
4. 3
II.2 Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Terhadap Penguatan Sektoral
dan Sosial.
Guild (2000) mengemukakan bahwa pengaruh infrastruktur terhadap
pembangunan wilayah setidaknya dapat dilihat dari aspek sektoral maupun sosial.
Pengaruh ini bagi setiap wilayah besar kemungkinan akan berbeda-beda. Dilihat
dari kacamata sektoral, infrastruktur berperan dalam pembangunan sektoral melalui
peningkatan produktivitas, melengkapi investasi swasta, dan menjadi bangkitan bagi
masuknya investasi swasta dan rumah tangga. Infrastruktur dapat berperan sebagai
salah satu faktor produksi secara langsung maupun tidak langsung. Contoh dari
peran langsung misalnya, penyediaan listrik, air dan bahan bakar. Peran tidak
langsung misalnya penyediaan jaringan jalan dan jaringan telekomunikasi yang
mampu memperlancar dan mengurangi biaya produksi dan distribusi. Infrastruktur
juga dapat menjadi komplemen dan bangkitan bagi investasi swasta untuk masuk ke
dalam wilayah. Sebagai misal, invcstasi publik dalam bentuk pembangunan
infrastruktur jalan di suatu wilayah akan menarik investor swasta untuk berani
berinvestasi, mengingat mereka tidak perlu mengupayakan modal infrastruktur,
sehingga biaya produksi lebih rendah dan produk dapat lebih kompetitif di pasar.
Dilihat dari aspek sosial, pembangunan infrastruktur akan berdampak pada
perbaikan tiga indikator sosial yang meliputi pendapatan (income), aksesbilitas
(accessibility), dan konsumsi (consumption). Jika infrastruktur meningkatkan
produktivitas, maka pendapatan akan meningkat dan mampu menjadi penarik
berkembangnya pasar kerja. Pasar kerja yang tumbuh akan meningkatkan
pendapatan per kapita wilayah maupun rumah tangga. Efek ini ditunjang dengan
efek infrastruktur terhadap perbaikan aksesbilitas, dengan contoh pekerja yang akan
mempunyai akses yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan, hiburan
dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Kemudahan akses juga berimplikasi pada
kemudahan memperoleh barang dan jasa, sehingga pertumbuhan usaha penyediaan
barang dan jasa akan ikut tumbuh, yang pada gilirannya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah secara lebih cepat. Penduduk di dalam wilayah akan
memiliki waktu untuk melakukan interaksi sosial sebagai ekses dari kualitas
aksesbilitas yang baik. Penyediaan Infrastruktur yang berkualitas juga akan
memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan kualitas lingkungan, serta mendukung
pemenuhan kebutuhan akan lingkungan tempat tinggal dan berusaha yang sehat.
5. 4
II.3 Realisasi Peran Infrastruktur Dalam Pembangunan Wilayah di
Berbagai Negara.
Guild (2000) selanjutnya menyoroti bagaimana penerapan model konseptual
peran infrastruktur dalam pembangunan wilayah berdasarkan fakta empiris yang
dilaksanakan di berbagai negara. Melalui kajian literatur yang dilakukan, peran
infrastruktur dalam pembangunan wilayah secara empiris dapat dilihat baik dari
aspek sektoral maupun sosial.
Dilihat dari aspek sektoral, literatur-literatur yang dikutip Guild (2000) yang
berasal dari penelitian dari tahun 1980 sampai 2000 di berbagai negara menunjukkan
bahwa pembangunan infrastruktur mampu memicu pertumbuhan ekonomi
sebagaimana diuraikan dalam penjelasan teoritis. Keberadaan infrastruktur dasar
seperti jalan, listrik, air bersih, dan sanitasi mampu mempercepat pertumbuhan
ekonomi wilayah. Sektor yang memperoleh dampak positif tidak hanya aktivitas
ekonomi industri, perdagangan dan jasa, tetapi juga pertanian. Namun demikian
efek pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
ini terdapat variasi-variasi yang dapat disimpulkan ke dalam dua pernyataan,
Pertama, jika ketersediaan infrastruktur meningkatkan produktivitas sektor swasta,
yang terjadi selanjutnya adalah investasi swasta yang lebih besar. Kedua, jika
keberadaan infrastruktur berfungsi menggantikan peran swasta, maka investasi
pembangunan infrastruktur akan menghasilkan investasi swasta yang tidak terlalu
besar. Selain itu, terdapat beberapa kesimpulan umum terkait pengaruh infrastruktur
terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertama, keberadaan infrastruktur dasar
(jalan, listrik, air) memegang peranan lebih penting daripada infrastruktur
pendukung lain, dan kedua, efek positif infrastruktur lebih muncul di tingkat
nasional dan regional daripada tingkal lokal (metropolitan).
Dilihat dari aspek sosial, kajian empiris yang dikutip Guild (2000)
menunjukkan bahwa keberadaan infrastruktur akan meningkatkan pendapatan yang
lebih tinggi untuk sektor rumah tangga sebagaimana sektor industri. Sektor rumah
tangga mendapat kesempatan untuk memperoleh lapangan pekerjaan melalui
ketersediaan infrastruktur transportasi dan komunikasi. Infrastruktur juga
meningkatkan pendapatan secara langsung karena dalam pembangunan dan
pengelolaannya memerlukan faktor produksi barang dan sumber daya manusia,
walaupun efek pertumbuhannya tidak selalu permanen. Klaim teoritis infrastruktur
dapat meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan layanan
sosial lainnya juga dibuktikan dengan kenyataan empiris dari berbagai kajian yang
dilakukan di banyak negara (Guild, 2000).
6. 5
II.4 Implikasi Untuk Perencanaan Pembangunan Wilayah
Apa yang diuraikan dari pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa
perencanaan infrastruktur dapat menghadirkan pembangunan intra dan antar
wilayah sekaligus mengurangi kesenjangan antar wilayah. Selanjutnya, bagaimana
mekanisme terbaik untuk mengimplementasikan penyediaan infrastruktur dalam
perencanaan pembangunan wilayah?. Untuk kepentingan ini, Guild (2000) telah
melakukan kajian literatur teoritis, dan mendasarkan asumsi teoritis dari Hensen
(1965) dalam Guild (2000), yang menyebutkan bahwa pengaruh investasi
infrastruktur akan bervariasi efeknya tergantung dari tingkat pembangunan yang ada
di dalam wilayah.
Hensen (1965) dalam Guild (2000) membagi wilayah menjadi tiga kelas,
yaitu wilayah padat (congested), wilayah sedang (intermediate) dan wilayah
tertinggal (lagging). Wilayah padat memiliki karakteristik produktivitas yang tinggi
dibanding tingkat ketersediaan infrastrukturnya. Investasi infrastruktur pada
wilayah ini kemungkinan besar tidak akan terlalu berdampak positif. Wilayah
menengah memiliki potensi peningkatan produktivitas yang besar (sebagai misal,
wilayahnya kaya sumber daya alam), namun tidak memiliki infrastruktur yang
mendukung. Investasi infrastruktur pada wilayah ini akan mampu meningkatkan
produktivitas secara maksimal. Sedangkan wilayah tertinggal dicirikan dengan
kurangnya modal dan sumber daya manusia, sehingga tidak mampu untuk
mengeksploitasi potensi wilayahnya. Investasi infrastruktur pada wilayah seperti ini
tidak akan memberikan efek yang diharapkan dalam waktu singkat.
Lebih lanjut, Hensen (1965) dalam Guild (2000) mengusulkan perlakuan
investasi infrastruktur yang berbeda untuk tiga tipologi wilayah di atas. Untuk
wilayah padat, investasi infrastruktur ditujukan secara spesifik untuk permasalahan
utama yang dihadapi wilayah, tersebut tanpa melakukan ekspansi sistem wilayah.
Hal ini penting karena investasi infrastruktur yang tidak diperhatikan akan membuat
permasalahan di wilayah padat akan membesar dan pada akhirnya menyebabkan
kemunduran dan permasalahan wilayah menjadi semakin kompleks. Sedangkan
untuk wilayah menengah, pembangunan infrastruktur dasar seperti jaringan jalan,
jaringan komunikasi dan energi akan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Adapun
untuk wilayah tertinggal, investasi infrastruktur yang dianggap penting adalah
layanan sosial terlebih dahulu untuk menyiapkan sumber daya wilayah agar dapat
mengelola potensi yang ada untuk kemudian mulai bergerak ke arah produktif.
Preposisi di atas telah dibuktikan kebenarannya secara empiris berdasarkan
studi yang dilakukan di banyak negara, utamanya negara berkembang (Guild, 2000).
7. 6
Dengan demikian pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan wilayah dan mempunyai tujuan-tujuan khusus
yang konkret sesuai dengan permasalahan eksisting yang dihadapi setiap wilayah
(Guild, 2000). Bukti empiris dari kajian juga menjawab pertanyaan apakah investasi
infrastruktur terlebih dahulu atau menunggu meningkatnya aktivitas perekonomian
di suatu wilayah baru kemudian didukung pembangunan infrastruktur.
II.5 Perkembangan Lebih Lanjut
Hasil kajian Guild (2000) hanya menyajikan bukti empiris dari hasil kajian
yang dilakukan sampai tahun 2000. Untuk periode dari tahun 2000 sampai saat ini,
kajian-kajian hubungan antara pembangunan infrastruktur dengan pertumbuhan dan
pengembangan ekonomi wilayah antara lain dilakukan oleh Elburz et al. (2017),
yang menemukan adanya variasi hubungan antara pembangunan infrastruktur dan
pertumbuhan ekonomi di berbagai negara.
Hasil studi Elburz et al. (2017) menemukan bahwa pembangunan
infrastruktur di Amerika Serikat menunjukkan hubungan negatif dengan
pertumbuhan ekonomi wilayah, sementara di negara-negara Eropa justru
sebaliknya. Adapun untuk negara seperti China, India dan Turki menunjukkan tidak
adanya pengaruh yang signifikan. Hubungan positif di Eropa disinyalir disebabkan
oleh kondisi infrastruktur Eropa yang tidak terkoneksi sebelumnya, sehingga
pembangunan infrastruktur dapat memberikan efek yang maksimal.
Hubungan negatif antara pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan
ekonomi wilayah sebagaimana nampak dari kajian Elburz et al, (2017) disinyalir
karena adanya efek negative spillovers sebagai ekses dari kompetisi ekonomi antar
wilayah, yang berujung pada kehilangan pasar. Elburz (2017) juga menemukan
bahwa jenis infrastruktur publik yang paling berperan dalam memajukan wilayah,
lepas dari karakteristik endogen dari wilayah tersebut adalah infrastruktur
telekomunikasi. Elburz (2017), juga menyebutkan bahwa kajian empiris mengenai
hubungan antara investasi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan
sebelum tahun 1995 banyak yang tidak konsisten secara metodologi dan data,
sehingga tidak bisa diterima sebagai bukti empiris secara komprehensif.
8. 7
III. Peran Infrastruktur Dalam Pembangunan Ekonomi Regional
Indonesia
III.1 Dinamika Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Ekses Terhadap
Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Perencanaan pembangunan wilayah di Indonesia bisa dikatakan terlambat
mengantisipasi perubahan paradigma dibanding dengan perkembangan di luar
negeri. Sampai pada diberlakukannya Undang-undang Penataan Ruang Nomor 24
Tahun 1992 dan kemudian otonomi daerah Tahun 1999, perencanaan
pengembangan wilayah di Indonesia masih menggunakan pendekatan tradisional
dimana keluaran dari perencanaan wilayah adalah gambaran statis kondisi wilayah
di masa depan (dalam bentuk masterplan atau peta). Perencanaan wilayah belum
mempertimbangkan pendekatan proses perencanaan modern yang berorientasi
program daripada hasil akhir (Winarso dan Mattingly, 2002). Jika dilakukan kilas
balik ke belakang, kesadaran dan upaya akan pembangunan berdimensi
kewilayahan, lintas sektor, dan bottom up di Indonesia beserta kebijakan terkait
sudah muncul sejak tahun 1970-an, namun dalam tataran praktek tidak tercapai
karena kuatnya ego sektoral, dan pengaruh sentralisasi pemerintahan (Deni dan
Jumantri, 2002). Selain itu, Pemerintah Orde Baru juga cenderung lebih pragmatis
dan mengejar pembangunan yang berorientasi stabilitas politik.
Pembangunan wilayah yang bersifat sentralistik pragmatis sampai sebelum
berjalannya otonomi daerah disinyalir menjadi salah satu penyebab dari disparitas
ekonomi wilayah di Indonesia. Aktivitas ekonomi industri Indonesia terpusat di
Jawa dan sebagian Sumatera (Kuncoro, 2007 dalam Kuncoro, 2013). Dengan
demikian maka pembangunan infrastruktur lebih banyak dilakukan di Kawasan
Barat Indonesia daripada Kawasan Timur Indonesia. Disparitas ini nampak nyata
dari hasil kajian indeks infrastruktur yang dilakukan Fitriandi et al. (2014) dan Latief
et al. (2016), yang menemukan dominasi pembangunan infrastruktur di provinsi-
provinsi Kawasan Barat Indonesia. Jika dirunut kembali, memang pada dasarnya
penduduk Indonesia lebih terkonsentrasi di kawasan barat daripada kawasan timur.
Potensi penduduk yang besar di barat ini yang membuat industri lebih memilih
wilayah barat daripada wilayah timur sebagai pusat aktivitas produksi, dan secara
otomatis pembangunan infrastruktur mengikuti dari dinamika demografi dan
ekonomi yang terjadi (sesuai dengan pragmatism pemerintah yang telah diuraikan
sebelumnya).
9. 8
III.2 Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di
Indonesia
Profil Demografi yang berimplikasi pada pembangunan infrastuktur dasar,
dan berimplikasi lebih lanjut pada pemusatan aktivitas ekonomi dan aglomerasi di
Kawasan Barat Indonesia, merupakan salah satu permasalahan wilayah mendasar di
Indonesia sampai saat ini. Disparitas ini masih terjadi, bahkan setelah kebijakan
otonomi daerah telah berjalan lebih dari 10 tahun, sebagaimana nampak dari hasil
kajian Kuncoro (2013). Efek dari disparitas ini secara kasat mata dapat dilihat, yaitu
Kawasan Barat Indonesia lebih maju dan makmur dari kawasan timur.
Hasil kajian empiris mengenai hubungan antara pembangunan infrastruktur
dengan pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia antara lain dilakukan oleh
Prasetyo, et al. (2013) yang merangkum hasil kajian dari peneliti-peneliti
sebelumnya yang mengkaji hubungan antara pembangunan infrastruktur dan
pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia (lihat Tabel 1). Sementara kajian
Prasetyo, et al. (2013) lebih berfokus pada melihat hubungan infrastruktur dengan
pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam kawasan
perbatasan, dengan hasil berupa hubungan yang kuat antara penyediaan infrastruktur
sosial (kesehatan dan pendidikan). Sedangkan infrastruktur ekonomi yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah infrastruktur telekomunikasi.
Tabel 1. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
(Sumber: Prasetyo et al. 2013)
Peneliti Temuan
Amrullah (2006) Ada hubungan positif antara pembangunan infrastruktur jalan, listrik,
telepon dan air dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, yang tercermin
dari pendapatan per kapita.
Prasetyo (2010) Infrastruktur listrik dan jalan berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi, sedangkan infrastruktur air bersih tidak.
Sari (2011) Infrastruktur mampu memperbaiki perekonomian dalam jangka panjang
dan mengurangi kemiskinan di kabupaten-kabupaten tertinggal.
Wahyuni (2011) Ketersediaan infrastruktur mempengaruhi disparitas antar wilayah di
Pulau Jawa, utamanya adalah infrastruktur kesehatan, listrik dan air
bersih.
Radiansyah (2012) Pembangunan infrastruktur dan otonomi daerah berdampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dari pendapatan per
kapita
10. 9
IV. Sintesa Akhir dan Kesimpulan
Pengaruh investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah,
dalam kenyataannya tidak sesederhana asumsi-asumsi yang digunakan di dalam
Teori Neo Klasik dan Teori Sebab Akibat Kumulatif. Asumsi-asumsi dalam kedua
teori tersebut hanya berlaku ketika wilayah yang akan direncanakan belum
mengalami perkembangan ekonomi lanjut (wilayah menengah) namun memiliki
banyak potensi. Infrastruktur publik tertentu (pendidikan, komunikasi dan
kesehatan) juga penting untuk merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah
tertinggal (lagging) guna menyiapkan sumber daya manusia dan faktor endogen lain
di dalam wilayah agar ketika investasi ekonomi mulai masuk, kapasitas sumberdaya
manusia dan kelembagaan wilayah sudah siap.
Berdasarkan hasil kajian empiris di berbagai negara maju dan berkembang,
pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat tidak permanen.
Amerika Serikat yang sudah mempunyai infrastruktur yang baik mengalami
kemunduran ekonomi walaupun kualitas dan kuantitas infrastruktur terus
ditingkatkan. Sementara negara-negara Eropa masih menunjukkan gairah kemajuan
ekonomi seiiring dengan pembangunan infrastruktur yang terus digalakkan. Dalam
hal ini preposisi Hensen (1965) dalam Guild (2000) lebih terbukti. Karakter endogen
dan tingkat kemajuan wilayah ikut berperan dalam merespon investasi infrastruktur
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Untuk kasus Indonesia, dari hasil kajian yang telah dilakukan, investasi
infrastruktur skala besar masih dibutuhkan dalam rangka menumbuhkan dan
memeratakan ekonomi. Hal ini sesuai asumsi teoritis, baik Teori Neoklasik maupun
Teori Sebab Akibat Kumulatif. Secara umum bisa dikarenakan kualitas dan
kuantitas infrastruktur di Indonesia masih belum baik, ditambah adanya disparitas
antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia sebagai ekses dari pembangunan
selama ini yang cenderung berpusat di barat. Namun demikian, pemahaman
karakteristik kewilayahan (terutama faktor endogen) tetap memegang peran penting
dalam perencanaan pembangunan wilayah di Indonesia, agar investasi infrastruktur
dapat memberikan kemanfaatan maksimal, sebagaimana diuraikan dalam Preposisi
Hensen. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur di
kawasan timur akan dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
daripada kawasan barat. Sementara di kawasan barat, investasi ekonomi baik yang
berasal dari modal asing maupun modal dalam negeri mungkin lebih mementingkan
kesiapan sumberdaya manusia dan kelembagaan (faktor endogen wilayah) daripada
ketersediaan infrastruktur semata.
11. 10
Daftar Pustaka
Deni, R., & Djumantri, M. (2002). Pergeseran Pendekatan Dalam Perencanaan
Pengembangan Wilayah di Indonesia. dalam Winarso, H. et.al (eds.) (2002).
Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia
(pp. 9-26). Bandung: Departemen Teknik Planologi ITB.
Elburz, Z., Nijkamp, P., & Pels, E. (2015). Public Infrastructure and Regional
Growth: Lessons from meta-analysis. Journal of Transport Geography, 58
(2017), 1-8.
Fitriandi, P., Kakinaka, M., & Kotani, K. (2014). Foreign Direct Investment and
Infrastructure Development in Indonesia: Evidence from Province Level
Data. Asian Journal of Empirical Research, 4 (1), 79-94.
Guild, R. L. (2000). Infrastructure Investment and Interregional Development
Theory, Evidence, and Implications for Planning. Public Works Management
& Policy, 4 (4), 274-285.
Kuncoro, M. (2013). Economic Geography of Indonesia: Can MP3EI Reduce Inter-
Regional Inequality?. South East Asia Journal of Contemporary Business,
Economics and Law, 2 (2), 17-33.
Latief, Y., Berawi, M. A., Rarasati, A. D., Supriadi, L. S., Berawi, A. R. B., &
Hayuningtyas, I. S. (2016). Mapping Priorities for the Development of the
Transportation Infrastructure in the Provincial Capitals of Indonesia.
International Journal of Technology, 4 (2016), 544-552.
Prasetyo, B. A., Priyarsono, D. S., & Mulatsih, S. (2013). Infrastructure, Economic
Growth, and Inequality in Indonesia Land Borders. Economic Journal of
Emerging Markets, 5 (2), 99-108.
Winarso, H., & Mattingly, M. (2003). Spatial Planning in the Programming of Urban
Investment: The Experience of Indonesia’s Integrated Urban Infrastructure
Development Programme, International Development Planning Review, 24
(2), 109 – 125.