Perlawanan Aceh terhadap Portugis dan VOC, beberapa tokoh Perang Aceh dan strategi penaklukan perang. Dampak Perang Aceh bagi Belanda dan kerajaan Aceh itu sendiri.
Banyak para pahlawan kita yang berjuang mati-matian untuk membuT Negara kita merdeka dan bebas dari para penjajah yang semenang-menang menjajah negara kita tanpa manusiawi. Contoh para pahlawan dari Aceh ada Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Ratu Syariffudin Syah dan masih banyak lagi.
Perlawanan Aceh terhadap Portugis dan VOC, beberapa tokoh Perang Aceh dan strategi penaklukan perang. Dampak Perang Aceh bagi Belanda dan kerajaan Aceh itu sendiri.
Banyak para pahlawan kita yang berjuang mati-matian untuk membuT Negara kita merdeka dan bebas dari para penjajah yang semenang-menang menjajah negara kita tanpa manusiawi. Contoh para pahlawan dari Aceh ada Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Ratu Syariffudin Syah dan masih banyak lagi.
Belanda datang ke Indonesia dengan membawa Politik devide et impera dengan tujuan untuk menggagalkan berdirinya Indonesia pasca kemerdekaan 1945.
Politik Devide et impera adalah strategi memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah untuk dikuasai.
[Tugas] Manajemen Perusahaan PT. Optimus Meugah Tambang | Manajemen Sumber Da...Ard's Munawir
Tugas Kuliah Semester 6 | Manajemen Sumber Daya Informasi (MSDI)
Manajemen Perusahaan PT. Optimus Meugah Tambang
(Perusahaan merupakan Rancangan Kelompok 4)
Dosen : Rita Warni, M.Kom
[Tugas] Manajemen Sumber Daya Informasi - IT Development PT. Otimus Meugah Ta...Ard's Munawir
Tugas Kuliah Semester 6 | Manajemen Sumber Daya Informasi (MSDI)
Pengembangan IT di PT. Optimus Meugah Tambang
(Perusahaan merupakan Rancangan Kelompok 4)
Dosen : Rita Warni, M.Kom
Tentang Eksistensi Partai Politik Lokal di Aceh.
Slide ini mengulas tentang Sejarah Parpol Aceh, Eksistensinya, serta untuk apa Parpol?
Hasil Polling yang ada di Slide berasal dari Atjehlink.com sebelum dilaksanakannya PEMILU 9 April 2014.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
1. Tugas PKN
Peranan Radio Rimba Raya
Pada Masa Kemerdekaan
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : ARDI MUNAWIR
KELAS : XII IPA 1
SMA HARAPAN PERSADA
TAHUN 2011
2. Monumen Radio Rimba Raya
Di Desa Rime Raya
Kec. Pintu Rime Gayo
Kab. Bener Meriah
Radio Rimba Raya merupakan radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada
frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai
dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari
Indonesia. Penyiar-penyiarnya adalah W.
Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M.
Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu,
Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus
Sam.
Gambar :
Abdullah Arif (kiri)
T A. Talsya (kanan)
Pesan Kemerdekaan
Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio
Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”,
“Radio Republik Indonesia”.
Membantah provokasi Belanda
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan
RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di
tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Aceh
Tengah. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan
mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia
tidak ada lagi Bahkan, siaran Radio Rimba Raya saat menyampaikan berita tentang
Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung
3. Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa
sehingga negara-negara luar mengetahui bahwa Republik Indonesia masih ada.
Sejarah Perjalanan Radio Rimba Raya
Kontroversi pengadaan peralatan siar
Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja
penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari
Manado) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer
Belanda I bulan Juli 1947. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa ke kota
juang Bireuen.
Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah
speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat
pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan
makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli
Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan
speedboat yang berisi alat pemancar melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai Yu,
Aceh Timur.
Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah
menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di
Pangkalan Brandan.
Tiba di Aceh
Tiba di Aceh, perngkat Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan
pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke
Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948,
namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah
selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila
Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda
Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan,
karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi
yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh
memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah
sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan
berhutan-hutan.
Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan
ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo
dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk
bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko
perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat
lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen
arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul
kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha
mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh
Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel
dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan. Sender radio dibangun di pucuk
gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk
tempat peralatan kelengkapan radio.
4. Mulai mengudara
Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya Desember
1948, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih
berdiri kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan
pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan
negara dari penjajahan Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang
diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.
”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih
ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.
Selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor,
mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Selain
bahasa Aceh dan bahasa Indonesia, siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh
Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, dan Arab.
Kontak dengan India
Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan Republik Indonesia di
New Delhi, India. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di
New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam
kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil
Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Akhir penyiaran
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh
Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag.
Dimuseumkan
Perangkat tua radio Rimba Raya itu teronggok di salah satu
sudut ruang Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera
sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari
Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh
1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio
Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal,
Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan
satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia,
setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19
Desember 1948.
Perangkat Radio Rimba Raya di Museum TNI AD Yogyakarta
5. Monumen peringatan
Monumen Radio Rimba Raya dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang
berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini
diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil Arifin pada 27
Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di Kmpung Rime Raya, Kecamatan
Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain menjadi tempat bersejarah juga
menjadi salah satu obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Pengoperasionalan kembali
Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah berupaya mengoperasionalkan kembali
stasiun radio ini dengan membeli seperangkat alat penyiaran radio yang dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Bener Meriah sebesar Rp. 287.000.000.-
Materi penyiaran yang direncanakan adalah informasi dan hiburan bagi masyarakat Bener
Meriah dan sekitarnya. Bagaimanapun pelaksanaan penyiaran kembali radio ini mengalami
beberapa hambatan, misalnya krisis listrik yang belum juga usai.