BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
2. Mengetahui Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia
3. Mengetahui Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep Anak Berkebutuhan Khusus ?
2. Bagaimanakah prevalensi Anak Berkebutuan Khusus di Indonesia ?
3. Apakah faktor penyebab Anak Berkebutuhan Khusus ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan menyimpang dari kriteria normal baik secara fisik, psikis, emosi, dan perilaku, sehingga dalam mengembangkan potensinya memerlukan perlakuan dan pendidikan khusus.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanen (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementara (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya trauma akibat bencana alam atau kerusuhan, anak yang mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, atau anak yang tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar. Pengalaman traumatis dapat menjadi hambatan dalam belajar karena mengganggu emosional siswa. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementara tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat bisa jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi a
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah anak berkebutuhan khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
2. Mengetahui Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia
3. Mengetahui Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep Anak Berkebutuhan Khusus ?
2. Bagaimanakah prevalensi Anak Berkebutuan Khusus di Indonesia ?
3. Apakah faktor penyebab Anak Berkebutuhan Khusus ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan menyimpang dari kriteria normal baik secara fisik, psikis, emosi, dan perilaku, sehingga dalam mengembangkan potensinya memerlukan perlakuan dan pendidikan khusus.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanen (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementara (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya trauma akibat bencana alam atau kerusuhan, anak yang mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, atau anak yang tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar. Pengalaman traumatis dapat menjadi hambatan dalam belajar karena mengganggu emosional siswa. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementara tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat bisa jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi a
Meningkatkan kemampuan berbicara anak melalui slcBu Pur
Kecerdasan adalah anugerah istimewa yang dimiliki oleh manusia. Dengan kecerdasan manusia mampu memahami setiap rangkaian kejadian dalam kehidupanya, kemudian mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan adalah perihal cerdas, perbuatan mencerdaskan, kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran).
Perkembangan bahasa pada anak-anak sangat penting karena anak dapat mengembangkan kemampuan sosialnya (social skill) melalui berbahasa. Melalui bahasa, anak dapat mengekspresikan pikirannya menggunakan bahasa sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak dan menciptakan suatu hubungan sosial. Proses perkembangan tersebut melalui berbagai tahapan-tahapan perkembangan bahasa anak, mulai kanak-kanak sampai dengan penguasaan usia sekolah. Dalam tahapan penguasaan bahasa inilah peran orang tua sebagai orang terdekat sangat dibutuhkan.
MAKALAH BINDOS KEL. 6 BERBICARA LANJUTAN STRATEGI DAN EVALUASI.pptxPolisiBahasa
LATAR BELAKANG
Salah satu aspek berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa adalah berbicara, sebab keterampilan berbicara menunjang keterampilan lainnya (Tarigan, 1986:86). Keterampilan ini bukanlah suatu jenis keterampilan yang dapat diwariskan secara turun temurun walaupun pada dasarnya secara alamiah setiap manusia dapat berbicara. Namun, keterampilan berbicara secara formal memerlukan latihan dan pengarahan yang intensif.
Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Beliau merupakan tokoh pendidikan indonesia dan juga seorang pahlawan Indonesia. Mengenai profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SDK NOETOKO DENGAN METODE DISKUSI P...etto kono
LAPORAN PENELITIAN
DIAJUKAN SEBAGAI LAPORAN KEGIATAN PENGEMBANGAN Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia, pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan penelitian serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian guru dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dalam bidang pengajaran yang diajarkan dengan kemampuan metodologis secara professional. Dengan kemampuan dan ketrampilan dalam memilih, menentukan dan memutuskan bagi proses pengajaran yang dihadapi dalam melakukan tugas secara profesional.
Untuk itu perlu mendapat penanganan dan perhatian peneliti. Selain rendahnya prestasi belajar siswa, sikap masa bodoh siswa terhadap materi dalam pembelajaran diabaikan.
LAPORAN PRAKTEK PEMBELAJARAN BERWAWASAN KEMASYARAKATAN TINGKAT KEAKSARAAN DAS...etto kono
LAPORAN PRAKTEK PEMBELAJARAN BERWAWASAN KEMASYARAKATAN TINGKAT KEAKSARAAN DASAR BELAJAR DI DESA OESENA A, KECAMATAN MIOMAFFO TIMUR KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
Skripsi PENGARUH EVALUASI PILIHAN GANDA TERHADAP MENTAL BELAJAR SISWA etto kono
PENGARUH EVALUASI PILIHAN GANDA TERHADAP MENTAL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR KATOLIK NIAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Petrus Keuskupan Atambua Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama
Program Studi:
Pendidikan Dan Pengajaran Agama Katolik
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
1. PROPOSAL PENELITIAN
UPAYA MENINGKATKAN KETRAMPILAN BERBICARA MELALUI
BERMAIN PERAN GURU DAN MURID DI KELOMPOK A
R.A. NURUL FALAH KEFAMENANU
OLEH
YULIANA GIRI
NIM. 1500181795
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
BERBASIS SKGJ PPKHB KABUPATEN TTU
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2017
2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan yang menitik beratkan pada peletakan dasar kearah
pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan motorik
kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan
komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkernbangan yang
dilalui oleh anak usia dini.
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang di tujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahunyang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasrnani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelurn
pendidikan jenjang dasar, dapat diselengganikan rnelalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan atau informal.
Anak memiliki karakteristik belajar yang berbeda dari belajar orang
dewasa. Karakteristik anak usia taman kanak-kanak yang rnenonjol dalam
kaitannya dengan aktivitas belajar. Karakteristik yang dimaksud adalah unik,
egosentris, aktif, dan energik, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,
eksploratif,dan berjiwa petualang, mengekspresikan perilaku secara relative
3. spontan, kaya dengan fantasi, mudah frustasi, kurang pertirnbangan dalam
rnelakukan sesuatu, merniliki daya perhatian yang masi pendek, bergairah
untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman, serta semakin menunjukan
rninat terhadap ternan.
Anak bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman. Anak
senang melakukan berbagai aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan
tingkah laku pada dirinya. Ia senang mencari tahu tentang berbagai hal,
mempraktekan berbagai kemampuan dan ketrampilan, serta mengembangkan
konsep dan ketrampilan baru.
Pada umumnya anak usia taman kanak-kanak di indonesia adalah anak
yang berusia 4-6-tahun. Anak usia ini memiliki karakteristik yang berbeda
dengan anak usia sebelumnya atau usia sesudahnya. Atas dasar itu praktek
pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan untuk anak usia taman
kanak-kanak harus mengacu pada karakteristik perkembangan dan belajar
anak yang berusia antara 4-6 tahun.
Rasa percaya diri anak R. A. Nurul Falah Kefamenanu masih sangat
terbatas. Dari 15 orang anak kelompok B2, hanya ada 20rang anak yang
tergolong berkembang sesuai harapan (BSH). Sedangkan 7 orang memiliki
rasa percaya diri yang barn mulai berkembang (MB). Dan 6 orang sisanya
mempunyai rasa percaya diri yang termasuk kategori belum berkembang
(BB).
Kenyataan tersebut disebabkan oleh guru R. A. Nurul Falah Kefamenanu
yang tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain peran, sering
4. menyepelehkan manfaat bermain peran dalam meningkatkan rasa percaya diri
anak. Guru menggunakan alat permainan yang monoton, tidak menyediakan
variasi permainan. Salah satunya adalah minimnya alat permainan edukatif
yang tersedia di R. A. Nurul Falah Kefamenanu.
Untuk meningkatkan rasa percaya diri anak dan memperbaiki strategi
pembelajaran maka perlu diberikan bermain peran pada saat pembelajaran
berlangsung. Oleh kama itu peneliti merasa perlu untuk melakukan suatu
penelitian tindakan kelas dengan judul : Upaya Meningkatkan Kemampuan
Ketrampilan Berbicara Anak melalui Metode Bermain Peran di Kelompok A
R. A. Nurul Falah Kefamenanu.
1.2 Rumusan Masalah dan Pemecahannya
1.2.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah "bagaimana meningkatkan kemampuan ketrampilan berbicara anak
melalui metode bermain peran di kelompok A R. A. Nurul Falah
Kefamenanu?"
1.2.2 Pemecahan Masalah
Kurangnya kosa kata dan kemampuan anak untuk berani berbicara
disebabkan oleh pelaksanaan pembelajaran guru yang selalu monoton dan
jarang menggunakan metode bermain. Untuk menambah perbendaharaan
kosa kata dan meningkatkan kemampuan ketrampilan kemampuan anak
berbicara di R. A. Nurul Falah, melalui empat tahapan kegiatan sebagai
5. berikut: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan refleksi.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam melaksanakan
penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan ketrampilan bicara anak-
anak melalui metode bermain peran.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada
pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini dalam meningkatkan
kemampuan keterampilan berbicara.
1.4.2 Praktis
a) Bagi guru, hasil penelitian uu diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan keterampilan mengajar guru di kelas.
b) Bagi anak PAUD, diharapkan dapat mengasah kemampuan
mengingat, kemampuan berimajinasi, keterampilan kognitif serta
pola berfikir yang kreatif.
c) Bagi sekolah, diharapkan dapat mendukung program pembelajaran
yaitu untuk meningkatkan kemampuan anak khususnya dalam
keterampilan bebicara anak melalui metode bermain peran.
d) Bagi peneliti, dapat dijadikan salah satu pedoman dalam
pengembangan penelitian selanjutnya.
6. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kemampuan dan Keterampilan Berbicara Anak
2.1.1 Kemampuan berbicaraAnak
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan untuk mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata untuk mengekspresikan, menyatakan
serta menyampaikan pikiran atau gagasan dan perasaan, (Tarigan, 2008).
Pengertian tersebut menunjukan dengan jelas bahwa berbicara
berkaitan dengan pengucapan kata-kata yang bertujuan untuk
menyampaikan apa yang akan disampaikan baik perasaan ide/gagasan.
2.1.2 Ketrampilan Berbicara
Perkembangan bahasa merupakan aspek perkembangan yang sangat
penting untuk dikuasai oleh semua orang. Bahasa terdiri dari bahasa lisan
dan bahasa tertulis. Bahasa lisan merupakan unsur yang sangat penting
dalam interaksi atau sosialisasi (Nureini Ida, 2012). Menurut Djiwandono
(2008), berbicara adalah mengungkapkan pikiran secara lisan. Sejalan
dengan pendapat Djiwandono, Tarigan dalam Suhartono (2005)
mengatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi untuk mengekspresikan serta menyampaikan
pikiran dan perasaan.
Macwhinnei (1999) dalam Allen (2010) mengatakan perkembangan
berbahasa yang normal bersifat teratur, bertahap, dan bergantung pada
7. kematangan dan kesempatan belajar. Bahasa seringkali didefinisikan
sebagai sebuah sistim simbol, secara lisan tertulis dan dengan
menggunakan gerak tubuh (seperti melambaikan tangan untuk memanggil
dan gemetaran karena ketakutan), yang memungkinkan kita untuk
berkomunikasi satu sarna lain. Tahap perkembangan bahasa di tabun
pertama kehidupan disebut rase pralinguistik atau bahasa pada tahun
kedua, dimana berbicara menjadi cara untuk berkomunikasi. Diatas usia
tiga atau empat tabun, anak belajar untuk menyusun kata-kata, membentuk
kalimat sederhana, kemudian diikuti kalimat gabungan yang masuk akal
karena anak telah belajar kontruksi tata bahasa yang tepat. Antara empat
sampai enam tabun sebagian besar anak telah terampil menyampaikan
pemikiran dan gagasan mereka secara lisan. Snow, 2001 (Allen, 2010)
mengatakan sebagian besar anak dapat memahami berbagai konsep dan
hubungan, jauh sebelurn mereka bisa menemukan kata-kata untuk
mendeskripsikan dan itu yang disebut sebagai bahasa reseptif.
Perkembangan berbicara dan berbahasa berkaitan erat dengan
perkembangan umum kognitif, sosial, perseptual, dan otot sel otak anak.
2.1.3 Aspek-Aspek Ketrampilan Berbicara
Kemampuan dan ketrampilan berbicara merupakan pengungkapan
diri secara lisan. Unsur kebiasaan yang dapat menunjang keterampilan
berbicara diungkapkan oleh Djiwandono (1996) dalam Halida (2011) yaitu
unsur kebahasaan dan unsur non-kebahasaan. Unsur-unsur kebahasaan
meliputi:
8. 1) Pengucapan lafal yang jelas
2) Penerapan intonasi yang wajar
3) Pilihan kata
4) Penerapan strukturlsusunan kalimat yangjelas
Sedangkan unsur non kebahasaan meliputi:
1) Kemampuan dalam mengemukakan pendapat seperti anak mampu
menceritakan pengalaman yang dialaminya.
2) Kelancaran dalam berbicara sangat ditunjang oleh penguasaan materi
atau bahan yang baik. Penguasaan kosa kata akan membantu dalam
penguasaan materi pembicaraan.
3) Ekspresi/gerak-gerik tubuh. Ekspresi tubuh sangat diperlukan dalam
menunjang keefektifan berbicara. Arti pembicaraan dapat dipahami
mela1ui ekspresi tubuh yang ditunjukan pembicara. Unsur isi dalam
pembicaran merupakan bagian yang lebih penting. Berdasarkan
berbagai pendapat mengenai aspek-aspek ketrampilan berbicara, dapat
disimpulkan bahwa ketrampilan berbicara terdiri dari aspek
kebahasaan, aspek non-kebahasaan, serta aspek isi yang dapat dilihat
ketika anak berbicara.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anak Berbicara
Ketrampilan berbicara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik
faktor dari dalam diri maupun dari luar. Menurut Hurlock (1978)
ketrampilan berbicara dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
9. 5) Persiapan Fisik untuk Berbicara
Kemampun dan ketrampilan dalam berbicara tergantung pada
kematangan mekanisme bicara. Sebelum semua organ bicara mencapai
bentuk yang lebih matang, saraf dan otot mekanisme suaranya tidak
dapat menghasilkan bunyi yang diperlukan bagi kata-kata.
6) Kesiapan Mental untuk Berbicara
Kesiapan mental berbicara tergantung pada kemampuan otak kususnya
bagian-bagian asosiasi otak. Biasanya kesiapan tersebut berkembang
diantara umur 12 dan 18 bulan dan dalam perkembangan bicara
dipandang sebagai "saat dapat diajar".
7) Model yang Baik untuk Ditiru
Model yang baik untuk ditiru diperlukan agar anak tahu mengucapkan
kata dengan benar. Model tersebut mungkin orang di lingkungan
sekitar mereka, jika mereka kekurangan model yang baik, maka
mereka akan sulit belajar berbicara dan hasil yang dicapai berada
dibawah keberania mereka.
8) Kesempatan untuk Berpraktek
Jika anak tidak diberikan kesempatan untuk berpraktek maka mereka
akan putus asa dan motifasi anak menjadi rendah. Fledman dalam
Halida (2011) mengungkapkan bahwa di dalarn area drama, anak
memiliki kesempatan untuk bermain peran dalarn situasi kehidupan
yang sebenarnya serta mempraktekan kemarnpuan berbahasa sehingga
dapat membantu meningkatkan keterarnpilan berbicara pada anak.
10. 2.2 Metode Bermain Peran
Pengertian metode bermain peran diungkapkan oleh beberapa tokoh,
diantaranya: Vygotsky (1966) melalui bermain peran anak dapat melebihi
tahap perkembangannya saat ini, imajinasi merupakan sesuatu yang hams
dibangun, sebab belum ada dalarn kesadaran anak yang masih kecil dan sarna
sekali tidak ada pada binatang, misalnya pada kehidupan nyata anak yang
berusia tiga sarnpai empat tahun tentu tidak pandai menyetrika pakaian,
narnun, ketika bermain peran, anak tersebut bisa melakukan kegiatan
menyetrika pakaian, sarna seperti yang dilakukan oleh orang dewasa.
Vygotsky juga mengatakan bahwa main peran yang bermutu membutuhkan
pengetahuan dan dukungan orang dewasa yang marnpu memberi pijakan
dalarn main anak, memfasilitasi main melalui pertanyaan-pertanyaan yang
mendukung dan memperluas pengalarnan main anak.
Menurut Erik Erikson, main peran adalah suatu jalan untuk
mengembangkan pengendalian diri terhadap keinginannya. Kemudian
bagaimana anak menghadapi serangan dari luar terhadap egonya. Erik juga
melihat bahwa main peran adalah suatu cara bagi anak untuk memaharni
tuntutan-tuntutan dari luar yang datang setiap hari, misalnya: Anak usia dini
melihat pesawat terbang pada waktu itu juga berkeinginan menaiki pesawat
terse but. Jika anak usia enam tahun yang melihatnya, tetap ada hasrat untuk
menaikinya, namun ia mengerti bahwa pesawat tersebut tidak bisa berhenti
tiba-tiba.
11. Sara Smilansky (1968), dalam teorinya menyatakan bahwa anak yang
tidak terlibat main peran dan tidak bertahan main peran dengan anak lain akan
memiliki kesulitan di sekolah nanti. Dalam penelitiannya ia menemukan anak
memiliki sedikit pengalaman main peran terlihat mendapat kesulitan dalam
merangkai kegiatan dan percakapan mereka. Anak terlihat kaku dan tidak
luwes, menonton dan mengulang- ulang perilaku, kesulitan dalam
mengembangkan sebuah tema, pikiran dan permainan, kesulitan untuk
rnengkaitkan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki.Anak didik
bermain sambi I belajar, ketika bermain mereka mengekspresikan diri secara
bebas tanpa merasakan adanya paksaan.Mayke (1995) mengatakan bahwa
belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk
memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri tentang berbagai macam
hal, berekspresi, mempraktekkan dan mendapatkan bermacam-macam konsep
dan pengertian tentang berbagai macam hal.
Disinilah proses pembelajaran terjadi, mereka mengambil keputusan,
memilih, menentukan, menciptakan, memasang, membongkar,
mengembalikan, mencoba mengeluarkan pendapat, dan memecahkan masalah.
Menurut Seafeki dan Barbour, aktifitas bermain merupakan suatu
kegiatan yang spontan pada anak yang menghubungkannya dengan kegiatan
orang dewasa dan lingkungan termasuk di dalamnya imajinasi, penampilan
anak dengan menggunakan seluruh perasaan atau seluruh badan.(Carol
Seefeldt dan Nita Barbour, 2005) kegiatan bermain yang biasa dilakukan anak
biasanya bersifat spontan penuh imaginative dan biasa dilakukan dengan
12. segenap perasaannya. Dalam bermain anak membuat pilihan memecahkan
masalah, berkomunikasi dan bernegosiasi. Mereka menciptakan peristiwa
khayalan, melatih keterampilan fisik, sosial dan kognitif. Saat bermain anak
dapat mengekspresikan dan melatih emosi dari pengalaman dan kejadian yang
mereka temui setiap hari. Melalui main bersama dan mengambil peran yang
berbeda anak mengembangkan kemampuan melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain dan terlibat dalam pemimpin atau pengikut perilaku yang
akan diperlukannya saat bergaul ketika dewasa. (Carol Cople and Sue
Bredekamp, 2006) ini juga alasan mengapa anak usia dini memerlukan waktu
main lebih besar dalam sepanjang harinya. Para ahli seperti Johnson, Cristie,
dan Yewkei (1987), Piaget (1962), Van Hoom, et al (1993); sebagaimana
dikutip Owockip, mengamati bahwa perilaku main menjadi kompleks dan
lebih abstrak saat anak-anak maju sepanjang masa kanak-kanaknya. Kemajuan
ini dapat diamati ketika mereka terlibat dalam tiga jenis main yaitu: Main
sensorik motor, Main peran, dan Main pembangunan.
Lev Vigotasky, Piaget, Smilansky Piaget (1951) dalam Worfgang
(1992) berpendapat bahwa anak usia dini akan melewati tiga tahapan
perkembangan bermain yaitu: 1) Sensori Motor, 2) Symbolic/Make Believe
Play, dan 3) Social Play Games With Rules.
a. Pada sensori motor play, kegiatan anak sebelum usia tiga empat bulan
belum dapat dikategorikan sebagai bermain, gerakan anak telah lebih
terkoordinasi dari pengalamannya, anak belajar bahwa menarik mainan
yang tergantung di atas tempat tidurnya mainan tersebut akan bergerak
13. dan berbunyi. Kegiatan bermain sensori ini menekankan pada
permainan yang berpusat pada gerak sensori motor anak.
b. Pada tahap symbolis (bermain pura-pura I bermain peran pada
umumnya kegiatan anak diwarnai dengan kegiatan bermain khayal dan
pura-pura. Anak sudah mulai dan dapat menggunakan berbagai benda
sebagai simbol atau resents dari benda lain.
c. Pada tahap sosial play games with rules, kegiatan bermain sudah
menggunakan symbol yang lebih banyak dan dilatarbelakangi oleh
penalaran, logika dan obyekvitas.
2.3 Tujuan Metode Bermain Peran
Metode bermain peran memiliki tujuan bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Tujuan bermain peran di Taman Kanak-Kanak menurut
Djahri (1980:2) yang utama adalah:
a. Motivasi dan minat anak terhadap sesuatu
Motivasi dan minat anak untuk belajar dapat meningkat melalui peran
yang dimainkannya. Hal ini dikarenakan melalui bermain peran anak
belajar dengan cara yang menyenangkan.
b. Melatih Sejumlah Ketrampilan
Bermain peran dapat melatih ketrampilan terutama ketrampilan berbicara.
Ketika anak bermain peran, anak membutuhkan kosa kata untuk
berkomunikasi dengan ternan mainnya.
c. Memberikan Kesempatan Untuk Menerapkan Pengetahuan Anak
14. Pengetahuan yang didapat anak melalui berbagai informasi dapat
diaplikasikan ketika anak bermain peran melalui peran yang
dimainkannya.
d. Melatih Mempertajam Seluruh Komponen Afektif
Komponen afektif meliputi perasaan emosi cinta sikap dan keinginan.
Komponen tersebut dapat dilatih melalui bermain peran.
e. Menciptakan suasana belajar secara aktif
Anak terlibat secara langsung ketika bermain peran sehingga pembelajaran
yang berlangsung adalah pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif akan
menyenangkan bagi anak karena pembelajaran yang berlangsung tidak
membosankan.
Sejalan dengan pendapat Djahri, dalam buku diktat metodik di Taman
Kanak- Kanak (Depdiknas, 2003) disebutkan bahwa tujuan bermain peran
yaitu:
1) Melatih daya tangkap anak
2) Melatih anak berbicara lancar
3) Melatih daya konsentrasi anak
4) Membantu perkembangan intelegensi anak
5) Membantu perkembangan antasi
6) Menciptakan suasana yang menyenangkan.
15. 2.4 Jenis Metode Bermain Peran
Metode bermain peran dilihat dari jenisnya terdiri dari dua jenis. Hal ini
sejalan dengan pendapat Erikson (1963) dalam Magfiro (2011) bahwa metode
bermain peran terdiri dari :
a. Metode Bermain Peran Mikro.
Anak memainkan peran melalui tokoh yang diwakili oleh benda-benda
berukuran kecil.
b. Metode Bermain Peran Makro.
Anak bermain menjadi tokoh dengan menggunakan alat berukuran besar
untuk menciptakan dan memainkan peran-perannya. Hal serupa
Juga dikemukakan oleh Khoiruddin (2010) bahwa terdapat dua jenis
metode bermain peran yaitu: Metode Bermain Peran mikro. Metode bermain
peran mikro yaitu kegiatan bermain peran dengan menggunakan bahan -
bahan main berukuran kecil, seperti rumah boneka dengan perabot-perabotnya
dan orang-orangnya sehingga anak dapat memainkannya. Metode Bermain
Peran Makro. Metode bermain peran makro yaitu: bermain peran yang
sesungguhnya dengan alat-alat main berukuran sesungguhnya. Anak dapat
menggunakannya untuk menciptakan dan memainkan peran-perannya seperti
bermain peran profesi dokter maka alat yang digunakan stetoskop, jarum
suntik dan lain-lain.
16. 2.5 Fungsi Metode Bermain Peran dalam Pengembangan Ketrampilan
Berbicara
Anak berlatih menggunakan bahasa ekspresif (berbicara) dan reseftif
(mendengarkan) melalui bermain peran. Menurut Gunarti, dkk (2008:)
bermain bertujuan untuk memecahkan masalah melalui serangkaian tindakan
pemeranan. Sebagaimana yang telah disebutkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi ketrampilan berbicara bahwa di dalam area drama, anak-anak
memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi yang sebenamya
serta mempraktikkan kemampuan berbahasa. Pelaksanaan metode bermain
peran dalam pengembangan bahasa pada anak usia dini menurut Dhieni
(2007) dalam Halida (2011) bertujuan untuk:
a. Melatih Daya Tangkap Anak
Metode bermain peran dapat melatih anak untuk dapat menangkap banyak
hal melalui interaksi yang tejadi dengan lawan mainnya ketika permainan
sedang berlangsung.
b. Melatih Anak Berbicara Lancar
Ketrampilan berbicara anak dapat meningkat dengan metode bermain
peran. Hal ini disebabkan ketika anak bermain peran terjadi interaksi baik
interaksi dangan permainannya maupun interaksi yang terjadi dengan
lawan mainnya.
c. Melatih Daya Konsentrasi Anak
Jenis permainan drama merupakan jerus permainan yang membutuhkan
konsentrasi sehingga bermain drama dapat melatih daya konsentrasi anak.
17. d. Melatih Membuat Cerita
e. Cerita dari peran yang dimainkan anak dapat melatih anak menyimpulkan
banyak hal mengenai tokoh yang dimainkannya.
Menurut Hartley Frank dan Goldenson (Gordon dan Browne, 1989), ada
8 fungsi bermain peran bagi anak yaitu:
a. Menirukan apa yang dilakukan oIeh orang dewasa. Contoh: menirukan
ibu yang masak di dapur, dokter mengobati orang sakit, dlI.
b. Untuk melakukan berbagai peran yang ada di dalam kehidupan nyata.
Contoh: guru mengajar di kelas, sopir mengendarai mobil, petani
menggarap sawah, dll.
c. Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dalam pengalaman hidup
yang nyata. Contoh: ibu memandikan adik, ayah membaca koran, dll.
d. Untuk menyalurkn perasaan yang kuat. Contoh: seperti memukul-mukul
kaleng.
e. Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima. Contoh:
bermain sebagai pencuri.
f. Untuk kilas balik peran yang biasa di lakukan. Contoh: gosok gigi, sarapan
pagi, dan sebagainya.
g. Mencerrninkan perturnbuhan dan perkembangan anak. Contoh: semakin
bertambah tubuhnya semakin gemuk badannya dan semakin dapat berlari
cepat.
h. Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian masalah.
Contoh: menghias ruangan, menyiapkan jamuan makan pesta ulang tahun
18. 2.6 Kerangka Berpikir
2.7 Hipotesis Tindakan
Jika di terapkan metode bermainan peran dalam pembelajaran ini maka dapat
meningkatkan kemampuan anak untuk berbicara di kelompok A R. A.
Nurul Falah Kefamenanu.
‘
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
Guru: belum
menggunakan
media
pembelajran yang
variatif
Siswa:
kemampuan
berbicara anak
dalam bermain
peran masih
rendah
Mengajarkan
cara bermain
peran yang baik
Siklus I :Anak
mampu berbicara
dalam bermain
peran sebanyak 6
orang anak
Meningkatnya
kemampuan anak
berbicara dalam
bermain peran
Siklus II
Anak belum
mampu berbicara
dalam bermain
peran sebanyak 9
orang anak
19. BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelompok A R. A. Nurul
Falah Kefamenanu.
3.2 Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah anak-anak kelompok A R. A. Nurul Falah
Kefamenanu sebanyak 15 orang yang terdiri atas 5 orang anak Iaki-Iaki dan
10 orang anak perempuan.
3.3 Waktu Penelitian
Penelitianan ini direncanakan akan dilaksanakan dalam kurung waktu
dua bulan.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Perencanaan
1) Perencanaan Menentukan kelas atau subyek penelitian
2) Menyusun rencana pembelajan, alat peraga, alokasi waktu, metode,
dan alat evaluasi)
3) Menetapkan fokus observasi dan aspek yang akan diamati
4) Menyiapkan alat peraga yang akan digunakan
20. 5) Menetapkan jenis data dan cara pengumpulannya
6) Menentukan pelaku observasialat bantu observasi dan cara
pelaksanaan observasi
7) Menyusun alat evaluasi dan lembaran penilaian
3.4.2 Pelaksanaan Tindakan
1) Kegiatan awal
a) Kegiatan diawali dengan berdoa, salam, menyanyi
b) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
2) Kegiatan inti
a) Guru menyiapkan alat peraga atau bahan yang akan digunakan
untuk bermain peran
b) Guru memilih anak untuk memerankan tokoh-tokoh dalam
bermain peran
c) Guru meminta anak untuk bermain peran
d) Guru mengadakan pernbelajaran dengan memberikan kesempatan
kepada anak untuk bertanya
3) Kegiatan akhir
a) Guru mengadakan Tanya jawab tentang kegiatan di atas
b) Berdoa, salam, pulang
3.4.3 Observasi
Seluruh proses pembelajaran diamati oleh pengamat. Pengamat
mencatat hasil pengamatannya di dalam lembaran pengamatan yang
disediakan. Pengamatan terutama melihat apakah dengan metode bermain
21. peran dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan pengembangan.
3.4.4 Refleksi
Hasil pengamatan direfleksikan bersama dengan ternan sejawat dan
Kepala Sekolah mengkaji hasil pelaksanaan pembelajaran. Data yang
terkumpul diolah, untuk disederhanakan. Hasil anal isis data akan
digunakan sebagai bahan refleksi. Analisis dan refleksi dilakukan setelah
pembelajaran. Setelah mengadakan penelitian penulis melakukan refisi
untuk melakukan rencana siklus berikutnya agar pelaksanaan
pembelajaran semakin baik dan diharapkan hasil pembelajaran semakin
meningkat.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Test Hasil Belajar
Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan anak
mengenal huruf setelah dilaksanakan proses pembelajaran menggunakan
media kartu gambar. Evaluasi yang digunakan dalarn penelitian tindakan
kelas ini adalah evaluasi unjuk kerja dan penugasan. Unjuk kerja adalah
penilaian yang dilakukan dengan cara melibatkan anak dalarn pelaksanaan
suatu aktivitas yang dapat diarnati, misalnya mencari kartu gambar sesuai
permintaan guru, meniru mengucapkan huruf awal dari kata yang ada pada
gambar, dan sebagainya. Sedangkan penugasan adalah penilaian yang
dilakukan dengan pemberian tugas yang harus diselesaikan dalarn kurun
waktu tertentu, misalnya mengelompokkan kartu gambar yang mempunyai
22. huruf awal yang sarna, dan tugas-tugas sejenisnya.
3.5.2 Observasi
Dalarn penelitian ini, peneliti menggunakan observasi terstruktur, di
mana sudah disediakan format yang berisikan aspek-aspek yang akan
diamati. Pengisian format observasi dilakukan dengan cara memberikan
tanda check (V) pada aspek- aspek yang muncul pada saat pengarnatan
berlangsung.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dimulai semua menelaah semua data yang terkumpul. Data
tersebut direduksi berdasarkan masalah yang diteliti dan selanjutnya disusun
dalam satuan- satuan dan kategori. Proses analisis data dilakukan sejak awal
penelitian dilaksanakan sampai pengumpulan data selesai. Untuk mengetahui
prosentase keberhasilan tindakan, data diolah dengan menggunakan
perhitungan prosentase (%) sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh
Annas Sudijono sebagai berikut:
P =
𝑓
𝑥
𝑥 100 (Tenik DeskritifKualitatif)
Keterangan: P = Angka Persentase
F = Frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N = Banyaknya Individu
Kemampuan anak untuk berbicara setelah kegiatan pembelajaran, di
nilai berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Anak dapat membangun kosa kata dalam berkomunikasi,
23. a. Anak dapat Belum berkembang ( BB=*)
b.
c.
MulaiBerkembang
Berkembang Saesuai Harapan
(MB=** )
(BSH =***)
d. Berkembang Sangat Baik (BSB **** )
2. Anak dapat menguasai kata-kata berbahasa Indonesia,
3. Anak mampu dan terampil dalam berbicara. Indikator tersebut di
klarifikasikan sebagai berikut:
3.7 Kritetia Keberhasilan
Pelaksanaan pembelajaran (PTK) dengan penerapan metode bermain
peran dikatakan berhasil meningkatkan kemampuan berbicara anak mencapai
75% dari jumlah anak. Anak kelompok B2 berani berbicara mencapai kategori
berkembang sesuai harapan (BSH) dan Berkembang Sangat Baik (BSB).
24. DAFTAR PUSTAKA
Arriyani, Neni. Sentra Main Peran. Jakarta : Jakarta: Pustaka AI-falah.
Badru Zaman, 2008. Media Dan Sumber Be/ajar TK. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Moeslichatoen. 2004. Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta:
Rineka Cipta. Musbikin, Imam. 2010. Buku Pintar PAUD.
Jogjakarta: Laksana.
Suyanto, slamet, 2005. Dasar-dasar pendidikan Anak USia Dini.Yogyakarta:
Hikayat Publising.
Gunarti, Windi, ddk. 2010. Metode Pengembangan Perilaku Dan
Kemampuan Dasar Anak UsiaDini. Jakarta: Universitas Terbuka
Khoiruddin, akhmand. 2010. Belajar sambi! bermain dan bermain sambil
belajar. Tersedia: Cairudin, Blogspot. Com! balajar - sambil -
bekerja- atau- bermain- html- (19Desember 2012).
Halida. 2011 Metode Bermain Peran Dalam Megoptimakan Kemampuan
Berbicara Anak Usia Dini (4-5 Tahun). Jurnal (Online).
Pontianak: PAUD FKIP Universitas Tanjungpura.
Iskandar. (2008). Metodelogi Penelitian Pendidikan Dan Sosial (Kuantitafif
Dan Kualitatif).Jakarta: gaung Persada Perss.SDJakarta.
Freyani Lydia Hawanndi, 2003. Pembelajaran Anak Usia Dini Yang
Menyenangkan Melalui Bermain. Jakarta PAUDNI
Gunarti, Winda, dkk. 2010. Metode Pengembangan Perilaku dan
Kemampuan Dasar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas
Terbuka.
KBBI.2008. Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Depdikbud Dirjen Dikte.
Moeslichatoen.1996. Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta:
Depdikbud Dirjen Dikti.
Musbekin Imam, 2010, Buku Pintar Paud. Transmedia, Jakarta.