1. 1
Proposal
Mitigasi Regional Bencana Geologi Secara Ilmiah-Fisik di Daerah
Kabupaten Lampung Selatan
I. Pendahuluan
Mengacu kepada Undang-Undang nomer 24 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana dan Peraturan Pemerintah nomer 21 tahun 2008 perihal penyelenggaraan
penanggulangan bencana, maka pada tahap Pra Bencana tindakan nyata penanggulangan
bencana perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Tahap Pra Bencana itu mencakup situasi tidak ada bencana dan situasi
terdapat potensi bencana. Pada situasi tidak ada bencana tindakan yang harus dilakukan
mencakup perencanaan, pencegahan, pengurangan risiko, pendidikan, pelatihan,
penelitian dan penataan tata ruang. Pada situasi terdapat potensi bencana kegiatan yang
juga harus dilaksanakan meliputi mitigasi, peringatan dini dan kesiap-siagaan. Seluruh
kegiatan tersebut mencerminkan bahwa pada saat ini paradigma penanggulangan bencana
berdasarkan pada UU no. 24 tahun 2007 itu telah bergeser dari tindakan responsif ke
pengurangan risiko bencana.
Berdasarkan tataan tektonika geologi, yang akan diuraikan di dalam Bab II,
daerah Kabupaten Lampung Selatan mempunyai potensi bencana geologi. Dengan
dilandasi oleh rasa ikut memiliki, bertanggung jawab dan mencintai daerah Kabupaten
Lampung Selatan, maka proposal ini disusun untuk membantu Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Selatan dalam rangka usaha mengurangi risiko bencana, atau secara
umum dikenal dengan istilah Mitigasi Bencana Geologi. Mitigasi adalah tindakan utk
mengurangi dampak bencana pada masyarakat. Pengertian bencana menurut Carter
(1991) adalah suatu peristiwa, alamiah/ulah manusia, secara mendadak/ berlangsung
cepat yang mengakibatkan penderitaan berat sehingga masyarakat yang tertimpa harus
menanggulangi dengan berbagai usaha secara luar biasa. Sementara itu di dalam UU no.
24 tahun 2007, pasal 1, bencana dinyatakan sebagai peristiwa/rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
1
2. 2
benda, dampak psikologis. Berhubung proposal ini dibatasi pada bencana geologi, maka
peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat disebabkan oleh faktor alam geologis, seperti halnya letusan
gunung api dan gempa bumi. Meskipun demikian peristiwa geologis tersebut dapat
berkembang menjadi penyebab terjadinya tsunami, tanah longsor dan kekurangan air
bersih, serta akibat lebih lanjut berupa kekeringan, kelaparan, penyakit dan lain-lain.
Sesuai dengan judul, yakni Mitigasi Regional Bencana Geologi Secara IlmiahFisik di daerah Kabupaten Lampung Selatan, maka ruang lingkup proposal ini mencakup:
1. Wilayah yang sangat luas (regional) di daerah Kabupaten Lampung Selatan,
terutama pada jalur Gunung api Krakatau sampai dengan Rajabasa, yang
berarah utara timurlaut – selatan baratdaya.
2. Penanggulangan bencana dibatasi terhadap bahaya yang disebabkan oleh
peristiwa/proses secara geologis.
3. Dari rangkaian tahapan pengurangan bencana tersebut di atas, hanya akan
diambil usaha yang bersifat ilmiah, mencakup penelitian dan pemantauan
serta kegiatan fisik pendukungnya, yang utamanya meliputi penelitian,
pendidikan dan mitigasi. Kegiatan yang lain pada tahap pra-bencana akan
dituangkan ke dalam proposal Mitigasi Regional Bencana Geologi Secara
Non Fisik – Kemasyarakatan.
4. Usulan kerja ini disusuntuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, yang akan
dijabarkan dalam bentuk kegiatan tahunan. Kerjasama mitigasi bencana
geologi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan pada tahap
pertama berjangka waktu 5 (lima) tahun (2014-2019), diharapkan dapat
berlanjut lima tahun kedua (2020-2025)
5. Daerah kerja mencakup jalur gunung api Krakatau sampai dengan Rajabasa.
Daerah Bakauheni dan sekitarnya sedang dalam proses studi kelayakan,
termasuk studi potensi bencana geologi, oleh Pemerintah Pusat dalam rangka
pembangunan jembatan Selat Sunda. Sementara itu daerah Gunung api
Tanggamus dan sekitarnya akan diusulkan pada tahap sepuluh tahun kedua
(2025 – 2035) dan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Lampung.
2
3. 3
Secara umum dan prinsip, apalagi dilandasi oleh UU no. 24 tahun 2007 serta PP
no. 21 tahun 2008, maka usaha penanggulangan bencana geologi di tingkat daerah
Kabupaten Lampung Selatan perlu didukung penuh oleh berbagai pihak. Apalagi
proposal ini, selain dimotori oleh anggota masyarakat (pihak swasta) dan Pemerintah
daerah Kabupaten lampung Selatan, juga akan melibatkan Perguruan Tinggi Setempat,
dalam hal ini Universitas Lampung, dan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat. Peranan
perguruan tinggi tersebut akan menjadi pusat pendidikan, pusat penelitian dan think tank
bagi Pemerintah Daerah setempat, termasuk dalam penyelenggaraan kegiatan
penanggulangan bencana.
Diharapkan program mitigasi dan penanggulangan bencana yang telah didukung
oleh banyak pihak didaerah Kabupaten Lampung Selatan ini dapat berjalan dengan baik,
karena selain untuk mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat, juga sekaligus
dalam rangka menjalankan amanat kebijakan otonomi daerah dan semangat
desentralisasi. Selain itu kegiatan penanggulangan bencana oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Selatan akan menjadi contoh untuk pemerintah daerah lain di
Indonesia, sekaligus juga memperingan beban tanggung jawab Pemerintah Pusat
Republik Indonesia dalam usaha penanggulangan bencana secara umum. Selanjutnya,
apabila penyelenggaraan penanggulangan bencana sudah berjalan baik dan benar, maka
Pemerintah Pusat akan lebih bertindak sebagai Pembina/supervisi dan pengawas terhadap
keberlangsungan usaha penanggulangan bencana oleh Pemerintah Daerah.
II. Tataan Tektonika dan Ancaman Bahaya Geologi
Secara tektonika, wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan kawasan Selat Sunda
termasuk daerah sangat aktif, karena merupakan bagian dari pertemuan dua lempeng
kulit/kerak bumi, yakni lempeng kerak Samudera Hindia dan lempeng kerak Benua
Eurasia (Eropa dan Asia). Lempeng Samudera Hindia bergerak dari barat daya ke arah
timur laut dengan kecepatan 5-6 cm/tahun (Latief, 2013) membentur kerak Benua Eurasia
yang berada didekatnya. Lempeng Samudera Hindia itu tersusun oleh bahan batuan
berkomposisi basaltik (SiO2 < 52%, banyak mengandung unsur logam berat, seperti besi,
magnesium dan nikel) dan mempunyai berat jenis lebih tinggi dibanding kerak Benua
Eurasia, yang berkomposisi granitik (SiO2 > 64%). Akibatnya, pada benturan/tumbukan
3
4. 4
kedua lempeng kerak bumi tersebut, maka lempeng kerak Samudera Hindia menunjam di
bawah lempeng kerak Benua Eurasia.
Proses tektonika berupa tumbukan kedua lempeng kerak bumi tersebut
menyebabkan terjadinya pergeseran/deformasi batuan, yang dikenal sebagai patahan atau
sesar, yang dirasakan oleh masyarakat umum berupa gempa bumi tektonik. Gempa bumi
tektonik juga membangunkan (mereaktivasi) magma di dalam dapur magma gunung api.
Selanjutnya gempa bumi dan patahan aktif terutama yang bergaya tarikan atau bukaan
menjadi jalan bagi magma untuk keluar ke permukaan bumi atau dasar laut sebagai
proses volkanisme atau pembentukan gunung api. Reaktivasi volkanisme dapat terjadi di
lokasi gunung api aktif masa kini, seperti halnya G. Anak Krakatau, tetapi juga dapat
muncul di tempat lain, yang masih pada zona rekahan/lemah karena adanya patahan
bukaan tersebut.
Proses penunjaman kerak Samudera Hindia di bawah kerak Benua Eurasia yang
masuk ke selubung bumi menyebabkan terbentuknya magma di dalam bumi. Magma itu
melalui zona lemah/rekahan berupa sesar bergerak ke permukaan sehingga menimbulkan
volkanisme atau erupsi gunung api. Erupsi gunung api adalah proses keluarnya
(muntahan) magma dari dalam bumi ke permukaan. Proses ini dapat secara meletus
(explosive eruptions) dalam berbagai tingkatan atau meleleh (effusive eruptions). Dengan
demikian ancaman bahaya utama geologi berupa sesar, gempa bumi tektonik dan
erupsi/letusan gunung api. Dinyatakan sebagai ‘ancaman bahaya’ karena proses geologi
itu menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia, berupa terjadinya jatuh
korban jiwa serta kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan hidup. Ancaman
bahaya dapat terjadi di udara, di air, di darat, baik di permukaan maupun di bawah
permukaan tanah.
Selanjutnya, sesar/gempa bumi tektonik dan erupsi/letusan gunung api dapat
menimbulkan ancaman bahaya geologi yang lain berupa tsunami, banjir pantai, tanah
longsor, banjir lahar dan gunung api lumpur (mud volcanoes). Secara lebih rinci bahaya
erupsi gunung api 14 macam (Bronto, 2001; IAEA, 2008), yaitu:
1. Lontaran batu (ballistic projectiles)
2. Hujan abu/pasir (pyroclastic ashfalls)
3. Awan panas (pyroclastic flows & surges)
4
5. 5
4. Hentakan udara dan petir/halilintar (air shock & lightning)
5. Aliran lava (lava flows)
6. Longsoran tubuh kerucut gunung api (Debris avalanches, landslides, slope
failures)
7. Lahar, banjir (debris flows, lahars & floods)
8. Gas beracun (volcanic gases)
9. Deformasi muka tanah (ground deformation)
10. Gempabumi (earthquakes)
11. Tsunami dan banjir pantai
12. Anomali geothermal (geothermal anomalies)
13. Anomali air tanah (groundwater anomalies)
14. Lubang letusan baru (new opening vents)
Untuk menanggulangi berbagai macam ancaman bahaya geologi tersebut di atas,
maka perlu dilakukan usaha pengurangan risiko bencana. Risiko bencana adalah suatu
perkiraan jumlah kerugian karena kerusakan/ kehilangan harta benda serta jumlah korban
jiwa yang akan terjadi apabila bahaya geologi melanda suatu daerah. Usaha pada situasi
tidak ada bencana sampai dengan situasi terdapat potensi bencana adalah dimulai dari
perencanaan sampai dengan tahap kesiap-siagaan. Tiga hal yang sangat penting di dalam
tindakan ini, terutama yang terkait dengan aspek ilmiah-fisik adalah dengan melakukan
penelitian, mitigasi dan pendidikan. Hasil penelitian dapat menjadi landasan untuk
melakukan mitigasi, tetapi sering kali keduanya dilaksanakan secara beriringan. Kegiatan
pendidikan bermaksud untuk menyiapkan generasi penerus dalam usaha penanggulangan
bencana secara berkelanjutan.
III.Kegiatan Mitigasi
Mitigasi adalah tindakan untuk mengurangi dampak bencana pada masyarakat.
Secara prinsip, kegiatan mitigasi dilakukan dengan berlandaskan tiga azas, yaitu aman,
bermanfaat dan lestari. Pengertian aman berarti terhindar dari malapetaka bencana.
Bermanfaat dimaksudkan secara moril dan materiil bermanfaat atau menguntungkan bagi
masyarakat umum dan pemerintah daerah setempat. Sedangkan lestari artinya kegiatan
5
6. 6
mitigasi itu tidak merusak lingkungan atau tetap menjaga keseimbangan alam, secara
berkesinambungan, turun temurun sampai anak cucu.
Dalam rangka mitigasi regional bencana geologi di dalam proposal ini diusulkan
untuk melakukan mitigasi pada jalur Gunung api Krakatau, Pulau Sebesi, Pulau Sebuku,
Pulau Tiga dan Gunung api Rajabasa. Gunung api Krakatau merupakan gunung api aktif
masa kini (Tipe A), yang letusannya sudah sering diamati oleh masyarakat umum.
Bahkan pada tahun 1883 gunung api tersebut meletus besar sehingga menimbulkan
sangat banyak korban jiwa (36.000 orang meninggal dunia), kerugian/kehilangan harta
benda serta kerusakan lingkungan hidup di kawasan Selat Sunda, termasuk wilayah
Kabupaten Lampung Selatan. Gunung api Rajabasa dipandang sebagai gunung api aktif
Tipe B (Neumann van Padang, 1951), yang sedang beristirahat dan hanya
memperlihatkan kegiatan panas bumi, berupa mata air panas, ubahan hidrotermal aktif
dan lapangan solfatara/fumarola. Pulau Sebesi dipandang sebagai gunung api tua,
berdasarkan bentuk bentang alamnya (sebagai kerucut gunung api) dan batuan hasil
erupsinya (lava dan pirokalstika), meskipun letusannya tidak tercatat dalam sejarah (sejak
1600 Masehi). Ini berarti erupsi Gunung api Sebesi terjadi sebelum tahun 1600 Masehi.
Pulau Sebuku dan Pulau Tiga diyakini sebagai gunung api purba (Bronto, 2010), yang
umurnya jauh lebih tua dibanding Gunung api Sebesi. Kedua gunung api purba itu sudah
mengalami pengikisan/erosi sangat lanjut.
Seluruh gunung api pada jalur Krakatau – Rajabasa tersebut diyakini muncul
melalui zona lemah/rekahan/sesar bukaan berarah utara timurlaut – selatan baratdaya.
Zona lemah itu dihasilkan oleh kegiatan tektonika sebagai akibat tumbukan antara
lempeng kerak Samudera Hindia dengan lempeng kerak Benua Eurasia, seperti dijelaskan
pada Bab II. Perpanjangan zona lemah ke arah utara timurlaut sampai dengan dasar Laut
Jawa di sebelah timur Lampung Selatan, sedangkan ke arah selatan baratdaya mencapai
Pulau Panaitan di Ujung Kulon Pulau Jawa dan dasar Samudera Hindia. Kegiatan
tektonika di kawasan Selat Sunda, yang masih sangat aktif sampai sekarang dan waktu
mendatang tersebut dapat mereaktivasi sesar dan erupsi gunung api pada jalur KrakatauRajabasa, beserta rangkaian bahaya geologi lainnya, termasuk tsunami, banjir pantai,
tanah longsor dan lain-lain. Reaktivasi erupsi gunung api tidak terbatas di gunung api
aktif, seperti halnya Gunung api Anak Krakatau, tetapi bisa pula terjadi pada Gunung api
6
7. 7
Rajabasa, Sebesi, Sebuku atau Pulau Tiga, atau bahkan di antaranya dengan membentuk
lubang letusan baru (new opening vents). Oleh sebab itu di sini ditegaskan perlunya
melakukan mitigasi regional bencana geologi, melalui penelitian, pemantauan dan
pendidikan.
Secara umum, program mitigasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian,
berdasarkan pada berbagai hal. Pertama, berdasarkan pada waktu capaian, maka mitigasi
dapat dibagi menjadi program jangka pendek dan program jangka panjang. Berdasarkan
pada luasan area capaian, mitigasi dapat dibagi menjadi program mitigasi lokal dan
mitigasi regional. Sedangkan berdasarkan metoda pendekatan dapat dilakukan mitigasi
secara ilmiah-fisik dan mitigasi secara non fisis yang berhubungan dengan aspek sosialkemasyarakatan. Program mitigasi regional dan berjangka panjang (10 tahun atau lebih)
dijabarkan ke dalam recana aksi mitigasi secara lokal dan berjangka waktu pendek
(tahunan).
Di dalam mitigasi ilmiah-fisik, kegiatan mitigasi fisik harus sejalan dan
menopang kegiatan mitigasi ilmiah. Keduanya harus berlandaskan pada hasil-hasil
penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi pemantauan terhadap berbagai jenis
bencana. Secara garis besar, mitigasi secara ilmiah antara lain melalui pendekatan secara
geologi, geofisika, geokimia, geospasial, dan biologi. Pekerjaan ilmiah ini meliputi
pengumpulan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari sumbersumber ilmiah penyelidik terdahulu, melalui publikasi dan laporan tidak terbit di berbagai
instansi dan perpustakaan, serta internet. Data primer harus diperoleh langsung di
lapangan untuk kemudian diolah di laboratorium yang terpercaya. Untuk menyingkap
data ilmiah tersebut sering diperlukan kegiatan mitigasi secara fisik. Hal itu dikarenakan
data ilmiah tersebut tidak selalu didapat di permukaan karena sudah tertutup oleh
rimbunnya tumbuh-tumbuhan dan atau tebalnya tanah pelapukan. Sedangkan data ilmiah
di bawah dasar laut, selain tertutup oleh tubuh air laut, juga terkadang tertutup sedimen
permukaan (surficial deposits) di dasar laut. Lebih lanjut, lokasi galian/singkapan
mitigasi secara fisik itu dapat dimanfaatkan untuk memasang peralatan penelitian dan
pemantauan, sekaligus pengamatan terhadap gejala perubahan atau fenomena dari dalam
bumi, secara berkelanjutan.
7
8. 8
Mitigasi ilmiah secara geologi adalah dengan melakukan penelitian dan
pemantauan, melalui:
1. Analisis penginderaan jauh terhadap kompleks Gunung api Krakatau, Pulau
Sebesi, Pulau Sebuku, Pulau Tiga, dan Gunung api Rajabasa dan sekitarnya.
2. Pemotretan dasar laut di antara Gunung Rajabasa sampai dengan Krakatau.
3. Pemetaan geomorfologi kompleks Gunung api Krakatau, Pulau Sebesi, Pulau
Sebuku, Pulau Tiga, dan Gunung api Rajabasa dan sekitarnya.
4. Pemetaan geomorfologi dasar laut di sekitar Gunung api Rajabasa sampai
dengan Krakatau
5. Pemetaan Geomorfologi Gunung api Anak Krakatau
6. Pemetaan Geomorfologi Gunung api Sebesi
7. Pemetaan Geomorfologi Gunung api Sebuku – Tiga
8. Pemetaan Geomorfologi Gunung api Rajabasa dan sekitarnya
9. Pemetaan geologi kompleks Gunung api Krakatau, Pulau Sebesi, Pulau
Sebuku, Pulau Tiga, dan Gunung api Rajabasa dan sekitarnya.
10. Pemetaan sebaran sedimen dasar laut di antara Gunung api Rajabasa sampai
dengan Krakatau
11. Penelitian stratigrafi dan geokronologi secara rinci terhadap batuan gunung
api hasil erupsi Gunung api Rajabasa, Tiga, Sebuku, Sebesi dan Krakatau.
12. Penelitian petrologi batuan gunung api dari Gunung api Rajabasa sampai
Krakatau, termasuk contoh yang didapat dari dasar laut dan kualitas
mineraloginya.
13. Penelitian struktur geologi dan analisis tektonikanya, mulai dari Gunung api
Rajabasa sampai dengan Krakatau.
14. Penelitian geohidrologi di kawasan Gunung api Rajabasa, Pulau Sebuku,
Pulau Sebesi dan Kompleks Krakatau, baik terhadap air tawar maupun
kemungkinan terjadi penerobosan (intrusi) air laut ke dalam zona rekahan atau
bawah gunung api tersebut.
15. Pemetaan kawasan rawan bencana untuk masing-masing bahaya geologi dan
penjabarannya.
8
9. 9
16. Pemetaan
zona
risiko
untuk
masing-masing
bahaya
geologi
dan
penjabarannya, dengan menggabungkan data perolehan dari penelitian ilmiah,
tata ruang dan aspek sosial-ekonomi masyarakat.
Mitigasi ilmiah secara geofisika untuk mendapatkan data geologi bawah
permukaan, baik di daratan, pulau, maupun dasar laut dengan metode pendekatan secara:
1. Kegempaan (seismisitas), mencakup seismik dangkal dan seismik dalam.
Seismik dangkal untuk mengetahui kondisi geologi dekat permukaan, yang
mempunyai kedalaman kurang dari 100 m dari permukaan/dasar laut. Seismik
dalam (100 m – 30 km), terutama seismik tomografi untuk mengetahui ada
tidaknya sumber panas (magma) pada jalur Gunung api Rajabasa – Krakatau.
2. Kemagnetan (geomagnet), untuk mengetahui apakah tubuh magma di bawah
permukaan sudah membeku atau masih panas.
3. Gravity (gaya berat), untuk mendukung data kegempaan dan kemagnetan
dalam menganalisis geologi bawah permukaan
4. Geolistrik, untuk menganalisis berbagai macam lapisan batuan, struktur
geologi dan kandungan air bawah permukaan berdasarkan daya hantar listrik.
5. Penelitian tsunami dengan metode pendekatan geologi, geofisika dan
geospasial.
Mitigasi ilmiah secara geokimia adalah dengan melakukan penelitian dan
pemantauan terhadap air, gas, dan tanah secara kimiawi terhadap kemungkinan
terpengaruh oleh pancaran gas atau bahan volatil dari magma di bawah permukaan yang
sedang bergerak menuju ke permukaan, sebagai tahap awal gejala volkanisme. Penelitian
ini mencakup berbagai macam bahan oksida/unsur mayor, unsur jejak, unsur jarang dan
unsur radioaktif. Bersama dengan penelitian petrologi di bidang geologi juga dilakukan
penelitian terhadap inklusi fluida di dalam kristal mineral dan batuan.
Mitigasi ilmiah secara Geospasial untuk meneliti dan memantau deformasi atau
pergeseran (dislokasi) permukaan tanah/batuan dengan menggunakan GPS (Global
Positioning System) pada titik-titik ikat tertentu dan tetap. Kegiatan ini dilakukan
sekaligus secara regional di seluruh kawasan Gunung api Rajabasa – Krakatau dan secara
lokal dan bertahap di dalam kawasan tersebut.
9
10. 10
Mitigasi ilmiah secara biologi, meliputi kondisi flora dan fauna di kawasan
Gunung api Rajabasa – Krakatau dalam merekam tanda-tanda akan datangnya bahaya
geologi, yang mengancam kelestarian hidup mereka. Metode ini belum pernah dilakukan
di tempat lain untuk membantu mitigasi bencana geologi. Tujuan utamanya adalah untuk
mengetahui perilaku kehidupan flora dan fauna, baik di darat, pantai maupun di laut, pada
saat gunung apinya dalam keadaan tenang (beristirahat) dan apabila proses geologi atau
gunung apinya sedang meningkat kegiatannya, sampai terjadinya bencana. Keberhasilan
penelitian biologis ini akan menjadi sumbangan yang sangat penting dalam mendukung
mitigasi ilmiah bencana geologi.
Untuk mendukung keberhasilan mitigasi ilmiah kebumian tersebut, khususnya
aspek geologi, geofisika dan geokimia, perlu dilakukan kegiatan fisik untuk memperjelas
bukti indikasi potensi bencana, misalnya dengan membuat paritan (trenching), galian
pasir sedimen sungai/laut, atau memperdalam jalur pelayaran. Pembuatan paritan di
daratan dan pulau, serta penggalian sedimen sungai dan dasar laut menjadi salah satu
program mitigasi ilmiah-fisik, karena selain untuk memperjelas bukti geologi akan
potensi bencana sekaligus juga dapat berfungsi sebagai usaha penanggulangan bencana
secara langsung. Selanjutnya di tempat paritan atau galian itu dapat ditempatkan
peralatan ilmiah untuk penelitian dan pemantauan potensi bencana. Usaha untuk
memperdalam jalur pelayaran, selain berguna untuk penelitian dan pemantauan potensi
bencana, juga untuk memperlancar arus pelayaran dan evakuasi apabila sewaktu-waktu
diperlukan. Karena proses sedimentasi secara terus menerus maka hal itu menyebabkan
jalur pelayaran menjadi semakin dangkal dan mengganggu arus pelayaran serta
menghambat proses evakuasi penduduk yang bermukim di kepulauan.
Peralatan untuk mitigasi ilmiah fisik tersebut menggunakan beberapa alat yang
disesuaikan dengan lokasi. Pertama untuk lokasi dipantai dan darat, kita menggunakan
alat Excavator, Boldozer dan Submersible. Dimana Submersible ini berfungsi untuk
menghisap material, yang out put nya langsung ke tongkang. Karena alat ini bisa bekerja
ditempat yang sedikit jumlah airnya, sehingga sangat cocok untuk melakukan pekerjaan
dipinggir pantai dan celah-celah yang sempit. Selain itu juga alatnya simple dan ramah
lingkungan. Untuk kapasitas produksinya bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
10
11. 11
Sedangkan untuk lokasi dilepas pantai, kita akan menggunakan alat Dredger atau
kapal keruk. Alat ini bisa menghisap material hingga kedalaman 50 meter dibawah
permukaan air. Sehingga untuk di titik-titik tertentu yang akan dipasang alat deteksi
untuk memantau gerakan patahan/sesar, dan terdapat material endapan atau sedimen,
harus dikurangi terlebih dahulu dengan alat Dredger tersebut.
Dengan demikian mitigasi regional secara ilmiah-fisik diupayakan selengkap
mungkin, dengan berbagai disiplin ilmu kebumian terkait. Bahkan dalam proses
pengolahan data masih diperlukan bantuan dari ilmu eksata dasar, seperti halnya
matematika, fisika, kimia dan statistik. Selain itu ilmu penunjang seperti Sistem
Informasi Geografi dan berbagai program komputer lainnya juga sangat diperlukan.
Untuk menjamin keberlanjutan kegiatan penelitian dan pemantauan ilmiah
kebumian dalam mendukung mitigasi regional bencana geologi, terutama bagi generasi
penerus, diharapkan Universitas Lampung berkenan membuka program pendidikan
geologi atau kebumian. Program pendidikan geologi ini akan menambah wawasan
generasi penerus, khususnya putra daerah Lampung, untuk memahami pentingnya ilmu
pengetahuan kebumian, baik dalam tingkat dasar maupun terapan, yang pada akhirnya
mampu mendukung kesejahteraan hidup dan kehidupan masyarakat di daerah Lampung.
Pada tahap awal pembukaan program pendidikan geologi cukup pada strata 1, yang akan
berkembang sesuai perjalanan waktu untuk meningkat ke jenjang strata 2 dan strata 3.
IV. Jadwal Kegiatan
Berdasarkan uraian berbagai macam bahaya geologi dan metode mitigasinya,
kemudian disusun jadwal kegiatan untuk lima tahun pertama dan kemudian dilanjutkan
ke lima tahun kedua. Dengan demikian seluruh kegiatan memerlukan jangka waktu
selama sepuluh tahun. Dalam rencana aksi, secara konkrit, masing-masing kegiatan
dijabarkan kedalam program kegiatan tahunan (Tabel 1).
Kalianda, November 2013
Penyusun,
Suharsono
11
12. 12
Direktur PT. Energi Vulkano Lestari
Daftar Pustaka
Anonim, 2008. Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Penanggulangan Bencana,
Badan nasional Penanggulngan Bencana (BNPB), Jakarta.
Bronto, S., 2001, Volkanologi, buku teks bahan ajar, Laporan Proyek Pembinaan
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direkt. P3M, Ditjend. Dikti,
Depdiknas, tahun anggaran 2001.
Bronto, S., 2010. Geologi Gunung Api Purba, Publikasi Khusus, Badan Geologi
Kementerian ESDM, Bandung, 154.
Carter, N.W., 1992, Disaster Management : A Disaster manager’s Hand Book, Asian
Development Bank, Manila, 417.
International Atomic Energy Agency (IAEA), 2008. Volcanic Hazards in Site Evaluation
for Nuclear Installations, IAEA Safety Standards for protecting people and the
environment, DS 405, 58.
Latief, H., 2013. Tsunami Modelling Selat Sunda: Tsunami dari Letusan Anak Krakatau
dan Gempa Tektonik Selat Sunda, Loka Karya dalam rangka memperingati 130
tahun letusan Gunung Api Krakatau 1883, PVMBG, Badan Geologi, K-ESDM,
Serang 28 Agustus 2013.
Neumann van Padang, M., 1951. Catalogue of the Active Volcanoes of the World
Including Solfatara Fields. Part I Indonesia, International Volcanology
Association, Via Tasso I99, Napoli, Italia, 271.
Peraturan Pemerintah nomer 21 tahun 2008 perihal penyelenggaraan penanggulangan
bencana
Undang-Undang nomer 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
12