Laporan Praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan: Aklimatisasi Anggrek Dendrobium s...UNESA
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Aklimatisasi anggrek dari in vitro ke in vivo dilakukan secara bertahap menggunakan community pot dengan media arang dan sabut kelapa, kemudian ditutup dengan plastik. Sebelum diaklimatisasi, planlet anggrek dikeluarkan dari botol dan dicuci hingga bersih sampai tidak ada media agar yang masih menempel pada akar.
2. Pada penyilangan (Anggrek Dendrobium melintir >< Anggrek Dendrobium sp.) anggrek disilangkan dengan sesamanya dengan menempelkan serbuk sari pada putik bunga anggrek dengan menggunakan tusuk gigi, kemudian diberi label yang berisi nama spesies jantan dan betina anggrek yang disilangkan dengan tanggal saat melakukan penyilangan.
Puring (Codiaeum variegatum (Lam.) Blume.) atau disebut juga croton termasuk keluarga Euphorbiaceae. Selain dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias, tanaman puring juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Salah satu cara memperbanyak tanaman ini adalah dengan cara perbanyakan vegetatif, menggunakan teknik penyambungan atau enten (grafting).
Penyakit Blas dapat menyebabkan kerugian yang begitu besar pada pertanaman padi di Indonesia. Pada awalnya blas hanya menyerang padi gogo. Namun kini penyakit blas menjadi penyakit utama pada tanaman padi sawah.
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...UNESA
1. Ada 145 botol media steril yang dihasilkan dari praktikum pembutan media MS (Murashige & Skoog), yaitu media A sejumlah 47 botol, media B sejumlah 50 botol, dan media C sejumlah 48 botol, dan tidak ada yang mengalami kontaminasi.
2. Pada eksplan embrio Kacang Tanah (Arachis hypogaea) yang ditanam pada botol media MS (Murashige & Skoog) ada 3 eksplan dan semuanya mengalami kontaminasi bakteri yang dapat dilihat dari warna akar dan tunas kacang tanah yang berwarna jingga.
3. Faktor-faktor penyebab kontaminasi dalam kultur jaringan pada praktikum ini adalah:
- Organisme kecil yang masuk ke dalam media berupa bakteri
- Botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril
- Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor
- Kecerobohan dalam pelaksanaan
Pengujian daya kecambah adalah mengecambahkan benih pada kondisi yang sesuai untuk kebutuhan perkecambahan benih tersebut, lalu menghitung presentase daya berkecambahnya
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan: Aklimatisasi Anggrek Dendrobium s...UNESA
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Aklimatisasi anggrek dari in vitro ke in vivo dilakukan secara bertahap menggunakan community pot dengan media arang dan sabut kelapa, kemudian ditutup dengan plastik. Sebelum diaklimatisasi, planlet anggrek dikeluarkan dari botol dan dicuci hingga bersih sampai tidak ada media agar yang masih menempel pada akar.
2. Pada penyilangan (Anggrek Dendrobium melintir >< Anggrek Dendrobium sp.) anggrek disilangkan dengan sesamanya dengan menempelkan serbuk sari pada putik bunga anggrek dengan menggunakan tusuk gigi, kemudian diberi label yang berisi nama spesies jantan dan betina anggrek yang disilangkan dengan tanggal saat melakukan penyilangan.
Puring (Codiaeum variegatum (Lam.) Blume.) atau disebut juga croton termasuk keluarga Euphorbiaceae. Selain dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias, tanaman puring juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Salah satu cara memperbanyak tanaman ini adalah dengan cara perbanyakan vegetatif, menggunakan teknik penyambungan atau enten (grafting).
Penyakit Blas dapat menyebabkan kerugian yang begitu besar pada pertanaman padi di Indonesia. Pada awalnya blas hanya menyerang padi gogo. Namun kini penyakit blas menjadi penyakit utama pada tanaman padi sawah.
Laporan Praktkum Kultur Jaringan Tumbuhan: Pembuatan Media MS (Murashige & Sk...UNESA
1. Ada 145 botol media steril yang dihasilkan dari praktikum pembutan media MS (Murashige & Skoog), yaitu media A sejumlah 47 botol, media B sejumlah 50 botol, dan media C sejumlah 48 botol, dan tidak ada yang mengalami kontaminasi.
2. Pada eksplan embrio Kacang Tanah (Arachis hypogaea) yang ditanam pada botol media MS (Murashige & Skoog) ada 3 eksplan dan semuanya mengalami kontaminasi bakteri yang dapat dilihat dari warna akar dan tunas kacang tanah yang berwarna jingga.
3. Faktor-faktor penyebab kontaminasi dalam kultur jaringan pada praktikum ini adalah:
- Organisme kecil yang masuk ke dalam media berupa bakteri
- Botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril
- Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor
- Kecerobohan dalam pelaksanaan
Pengujian daya kecambah adalah mengecambahkan benih pada kondisi yang sesuai untuk kebutuhan perkecambahan benih tersebut, lalu menghitung presentase daya berkecambahnya
Produksi benih merupakan suatu proses kegiatan memperbanyak benih
dengan jumlah dan mutu tertentu. Produksi benih secara komersial memiliki 3
komponen yaitu: benih, lingkungan tumbuh atau lapangan produksi, dan
pengelolaan atau tektik budidaya. Komponen lapangan produksi mencakup
substrat, iklim, dan biologis. Komponen teknik budidaya mencakup prinsip
genetis dan agronomis. Prinsip genetis, teknik budidaya diarahkan untuk
menghasilkan benih bermutu genetik tinggi, yakni benih yang sesuai dengan
2
deskripsi varietasnya. Prinsip agronomis, teknik budidaya tanaman diarahkan
untuk menghasilkan benih yang bermutu fisiologis dan mutu fisik yang tinggi,
selain hasilnya juga tinggi (Mugnisjah dan Setiawan, 2004).
Berdasarkan argumentasi diatas maka perlu dilakukan praktikum simulasi
budidaya untuk tujuan produksi benih, agar produksi kacang panjang ke depan
dapat ditingkatkan.
“Pengaruh pemberian pupuk hayati dengan berbagai perlakuan terhadap budidaya ...Ekal Kurniawan
Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Tanam Cabai Merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk hayati dengan berbagai perlakuan terhadap budidaya cabai merah (Capsicum Annum L).
Produksi dan penyimpanan benih cabai rawit (capsicum frutescens)
1. Produksi dan Penyimpanan Benih Cabai Rawit (Capsicum frutescens)
Makalah Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teknologi
Benih
Disusun Oleh:
Eka Purnamasari
Masyar Qoti
Abdul Rohim
Yudi Rizmansyah
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BANDUNG RAYA
2014
2. BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai rawit (Capsicum frutescens) saat ini ditanam di berbagai wilayah di Indonesia,
di wilayah perkotaanpun cabai rawit sudah beralih fungsi selain sebagai tanaman pangan,
juga berfungsi sebagai estetika di halaman-halaman rumah dan menjadi hobi baru bagi
sebagian ibu rumah tangga untuk berkebun di halaman. Selain rasa pedas yang jadi favorit
sebagian besar masyarakat, cabai rawit yang mudah dibudidayakan juga memiliki nilai jual
yang cukup tinggi. Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menyatakan spesies yang banyak
dibudidayakan adalah Capsicum annuum, C. frutescens, C. chinense, C. baccatum, dan C.
pubescens. Dari kelima spesies tersebut, C. frutescens adalah spesies yang paling banyak
dibudidayakan dan mempunyai nilai ekonomi penting di Indonesia.
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi, meskipun harganya terkadang fluktuatif akan
tetapi komoditi ini merupakan salah satu jenis sayuran favorit masyarakat Indonesia. Seperti
yang dikatakan Harpenas dan Dermawan (2009) bahwa permintaan cabai yang tinggi untuk
kebutuhan bumbu masak, industri makanan, dan obat-obatan merupakan potensi untuk
meraup keuntungan, tak heran jika cabai rawit merupakan komoditas hotikultura yang
mengalami harga fluktuasi paling tinggi di Indonesia.
Dewasa ini cabai tidak hanya dimakan segar, tetapi sudah banyak diolah menjadi
berbagai produk olahan, seperti saos cabai, sambal cabai, pasta cabai, dan bubuk cabai.
Aneka industri yang meproduksi makanan itupun bermunculan, sehingga kebutuhan akan
cabai meningkat, peningkatan kebutuhan cabai menyebabkan harga yang tidak terjangkau,
3. pasokan cabai yang tidak pernah stabil dan kontinyu juga menjadi penyebab fluktuasi harga
(Wiryanta, 2005) (Arifin, 2010).
Untuk memperoleh produksi yang tinggi dengan kualitas yang baik dibutuhkan juga
benih dengan kualitas tinggi pula. Keberhasilan usaha tani cabai salah satunya ditentukan
oleh kualitas benih (Kusandriani dan Muharam, 2005). Oleh karena itu berbagai faktor
budidaya harus diperhatikan, salah satunya adalah teknik penyimpanan benih yang baik bagi
tanaman cabai rawit itu sendiri.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani cabai merah adalah
ketersediaan benih bermutu tinggi. Untuk mendapatkan benih tersebut, selain diperlukan
benih sumber dengan mutu genetik tinggi, perlu diperhatikan juga cara budidaya tanaman
yang optimal, pemeliharaan, panen, pasca panen, dan penyimpanan benih yang baik
(Kusandriani dan Muharam, 2005). Benih yang bermutu tinggi yaitu benih yang memiliki
viabilitas dan vigor yang tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari benih
adalah viabilitas awal benih, tingkat kemasakan benih saat panen, lingkungan sebelum panen,
dan lingkungan selama periode penyimpanan benih (Tim Pengampu, 2011).
Bagi petani tradisional benih didapatkan dengan cara mengambil benih dari biji secara
langsung dari buah cabai lalu dikeringkan dan disimpan untuk ditanam di musim yang tepat,
sedangkan beberapa petani modern lebih memilih membeli benih yang sudah bersertifikasi
dimana kualitas dan mutu benih sudah terjamin.
Pengelolaan yang efektif selama periode pascapanen adalah kunci keberhasilan untuk
mencapai tujuan di atas. Produk yang diperlakukan dengan baik dan dalam kondisi yang baik
dapat relatif bertahan dari stres waktu, suhu, penanganan, transportasi dan mikroorganisme
pembusuk selama proses pendistribusiannya. Dengan demikian fase pascapanen adalah
4. sangat penting bagi petani, pedagang besar, pengecer dan konsumen (Utama, 2005) (Arifin,
2010).
Periode pascapanen adalah mulai dari produk tersebut dipanen sampai produk tersebut
dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Cara penanganan dan perlakuan pascapanen sangat
menentukan mutu yang diterima konsumen dan juga masa simpan atau masa pasar. Namun
demikian, periode pascapanen tidak bisa terlepas dari sistem produksi, bahkan sangat
tergantung dari sistem produksi dari produk tersebut. Cara berproduksi yang tidak baik
mengakibatkan mutu panen tidak baik pula. Sistem pascapanen hanyalah bertujuan untuk
mempertahankan mutu produk yang dipanen (kenampakan, tekstur, cita rasa, nilai nutrisi dan
keamanannya) dan memperpanjang masa simpan dan masa pasar (Utama, 2005) (Arifin
2010).
Cabai rawit termasuk salah satu komoditas yang mudah rusak dan susut atau busuk.
Jenis kerusakan dapat disebabkan oleh hama dan penyakit, perlakuan mekanis selama
pengangkutan, dan akibat pengaruh pendinginan (chilling injury) saat penyimpanan. Oleh
karena itu penanganan pascapanen cabai rawit harus dilakukan seara baik dan hati-hati
(Rukmana, 2002).
1.2 Tujuan
Agar memperoleh benih dengan vigor dan viabilitas yang tinggi sehingga mendukung
produksi tanaman cabai rawit yang tinggi pula.
5. BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Asal dan Penyebaran
Menurut Rukmana (2002), plasma nutfah cabai rawit berasal dari Amerika Selatan,
penyebarannya ke berbagai negara dimulai pada anbad ke-14 berkat jasa burung yang
bermigrasi, pada tahun 1942 Christophorus Colombus membawa biji-bijian cabai rawit dari
Amerika ke Spanyol, lalu pengembara Portugis dan Sanyol menyebarkannya ke kawasan
Asia.
2.2 Kandungan Gizi dan Kegunaan
Cabai (Capsicum annuum L.) adalah rempah yang populer dan digunakan secara luas
di seluruh dunia. Buahnya dikonsumsi dalam bentuk segar, kering atau olahan sebagai
sayuran dan bumbu. Selain sebagai penyedap makanan, cabai juga banyak digunakan dalam
industri farmasi. Cabai mengandung zat-zat gizi antara lain protein 1,0 g, lemak 0,3 g,
karbohidrat 7,3 g, kalsium 29 mg, fosfor, besi, vitamin C 18 mg, vitamin B1 0,05 mg, dan
senyawa alkaloid antara lain capsaicin (Rubatzky & Yamaguchi, 1999).
Cabai rawit banyak sekali manfatnya bagi kehidupan sehari-hari, antara lain sebagai
bahan dasar makanan, bahan industri dan kosmetik, juga sebagai obat. Bagi masyarakat di
pedesaan cabai rawit buah, batang, akar dan daun sering dimanfaatkan sebagai obat
tradisional. Hal ini dikarenakan kandungan zat yang terdapat dalam cabai rawit. Menurut
Rukmana (2002) cabai rawit mengandung zat capsaicin yang menyebabkan rasa pedas, minak
atsiri capsitol yangs ering dimanfaatkan sebagai pengganti minyak kayu putih untuk
mengurangi pegal-pegal, sesak napas, gatal-gatal, dan juga rematik, kandungan bioflavin
berguna untuk menyembuhkan radang akibat udara dingin dan meringankan penyakit polio.
6. 2.3 Taksonomi dan Morfologi
Klasifikasi tanaman cabai menurut Wiryanta (2006), (Rukmana, 2002) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Solanales
Familia : Solanaceae
Sub Familia : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutencens L
Genus Capsicum mempunyai sekitar 20-30 spesies cabai, termasuk lima spesies yang
telah dibudidayakan, yaitu C. anuum, C frutescens, C baccatum, C. pubescens dan C
chinense. Diantara kelima spesies tersebut yang memiliki potensi ekonomi adalah C anuum
dan C frutencens (Rukmana, 2002).
Buah cabai rawit yang masih muda berwarna putih, kuning, atau hijau. Bunganya
berwarna putih kehijauan. Pada umumnya, dalam satu ruas terdapat satu kuntum bunga,
tetapi kadang – kadang lebih dari satu. Tangkai bunga tegak saat anthesis, tetapi bunganya
merunduk, sedangkan tangkai daun pendek. Daging buah umumnya lunak, dengan kapsaisin
yang kadarnya tinggi, sehingga rasa buah pedas (Kusandriani & Muharam, 2005).
7. Gambar 1. Cabai Rawit.
2.4 Jenis Cabai Rawit (Capsicum frutescens)
Menurut Cahyono (2003), Warisno dan Dahana (2010), Rukmana (2002) dan Tjahjadi
(1991) cabai rawit (Capsicum frutescens) dibagi menjadi 3 jenis antara lain :
1. Cabai rawit kecil/jemprit.
Buah cabai rawit jemprit berukuran kecil dan pendek, panjang buah 1 cm -2 cm. Buah
masih muda berwarna hijau dan bila sudah tua berwarna merah tua. Rasa buah sangat pedas.
2. Cabai rawit putih/cengek
Buah cabai rawit cengek panjang dan langsing, ukurannya lebih besar dari cabai rawit
jemprit dengan panjang buah 4 cm – 6 cm. Buah mudah berwarna putih dan setelah matang
berwarna merah kekuningan. Rasa buah tidak sepedas cabai jemprit.
3. Cabai rawit hijau/cemplik
Buah cabai rawit cemplik berukuran agak besar dan gemuk, dengan panjang buah 3
cm -4 cm, buah lebih besar daripada cabai jemprit. Buah muda berwarna hijau, dan setelah
tua warnanya menjadi merah tua. Rasa buah cukup pedas, namun tidak sepedas cabai jemprit.
2.5 Syarat Tumbuh
8. A. Ketinggian tempat.
Tanaman cabai rawit merupakan tanaman sayuran yang mampu beradaptasi dengan
baik terhadap kondisi lingkungan di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, tanaman cabai
rawit dapat dibudidayakan di dataran rendah sampai dataran tinggi (Rukmana, 2002).
Cabai merah banyak ditanam oleh petani di Indonesia dari dataran rendah sampai
dataran tinggi (0 – 1.200 m d.p.l) (Kusandriani & Muharam, 2005)
B. Keadaan Iklim
Tanaman cabai rawit dapat tumbuh optimal pada daerah yang mempunyai kisaran
suhu udara antara 18ºC - 27ºC, dan suhu untuk pembuahan yaitu antara 15,5ºC - 21ºC.
daerah dengan suhu 16ºC pada malam hari dan minimal 25ºC pada siang hari sangat cocok
bagi pertumbuhan tanaman cabai rawit. Kelembaban udara yang baik bagi pertumbuhan cabai
rawit adalah kisaran 50%-80% dengan curah hujan 600mm-1.250mm per tahun (Rukmana,
2002).
C. Keadaan Tanah
Menurut Rukmana (2002) tanaman cabai rawit dapat tumbuh pada berbagai jenis
tanah. Cabai rawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, subur, porous, bebas
dari nematoda dan bakteri layu, mempunyai pH 5,5 – 6,5 serta cukup air. Pada tanah dengan
pH diatas 7 akan menyebabkan tanaman cabai rawit mengalami klorosis, yaitu tanaman
menjadi kerdil dan daunnya menguning karena kekurangan unsur hara besi (Fe), sebaliknya
pada pH kurang dari 5 akan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil karena kekurangan unsur
hara Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) atau keracunan Alumunium (Al) serta Mangan
(Mn).
9. 2.5 Penanganan Panen
Panen dilakukan berdasarkan permintaan pasar dan tujuan pemasaran, panen dapat
dilakukan saat buah masih muda maupun sudah tua (matang). Usia tanaman cabai rawit saat
dilakukan pemanena yaitu antara 80HST 120HST tergantung dari varietas. Panen dilakukan
dengan interval waktu 3-7 hari sekali tergantung kebutuhan dan permintaan pasar dengan
memperhatikan karakteristik stadium buah cabai yang diinginkan atau dipesan (Rukmana,
2002).
Menurut Rukmana (2002), pemanenan buah yang akan dijadikan bibit harus dipilih
dari tanaman induk yang tumbuh sehat, berbuah lebat, seragam, dan bebas dari serangan
hama penyakit. Begitu juga dengan pemanenan dilakukan pada buah yang sudah matang
dipohon.
Tanaman cabai yang ditanam di dataran rendah dapat dipanen 60 – 80 hari setelah
tanam dengan interval 3 – 7 hari. Di dataran tinggi biasanya waktu panen lebih lambat yaitu
sekitar 4 bulan setelah tanam. Untuk memperoleh mutu benih yang baik, sebaiknya
pemanenan dilakukan ketika buah sudah berwarna merah penuh (Kusandriani & Muharam,
2005).
10. BAB III.
Produksi Benih
Benih yang dihasilkan termasuk benih cabai rawit tidak semua langsung
dipakai/ditanam, sering sebagian atau seluruh benih mengalami proses penyimpanan baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Proses peyimpanan benih dimaksudkan untuk
mempertahankan mutu benih agar tetap sama dengan yang dicapai saat sebelum disimpan.
Namun, Delouche (1971) menyatakan bahwa tingkat vigor awal benih tidak dapat
dipertahankan, karena mengalami proses kemunduran secara kronologis selama
penyimpanan. Sifat kemunduran ini tidak dapat dicegah dan tidak dapat balik atau diperbaiki
secara sempurna. Laju kemunduran mutu benih hanya dapat diperkecil dengan melakukan
penanganan dan pengolahan dan penyimpanan secara baik. Berapa lama benih dapat
disimpan sangat bergantung pada kondisi benih terutama kadar air benih dan lingkungan
tempatnya menyimpan (Raka dkk, 2012).
3.1 Prosesing Benih
Menurut Rukmana (2002) buah cabai rawit yang akan dijadikan bibit setelah dipanen
dibelah lalu dikeluarkan bijinya. Biji-biji tersebut dipilih hanya biji-biji yang baik, bernas
(tidak keriput) dan berwarna kuning seperti warna padi. Lalu biji dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung selama 2-3 hari, lalu
benih dibungkus menggunakan alumunium foil.
Dalam prosesing benih cabai, perontokan benih dapat dilakukan secara manual untuk
buah yang jumlahnya sedikit. Untuk buah yang jumlahnya banyak dapat digunakan alat bantu
seperti penggiling daging yang telah dimodifikasi, yaitu ujung pisau ditumpulkan untuk
11. mengekstrak benih cabai. Untuk itu benih perlu dibersihkan dengan menggunakan air yang
mengalir. Dapat pula dilakukan perendaman buah, yaitu buah cabai yang sudah dibelah
direndam dalam tong/ember yang berisi air bersih, selama 1 malam. Setelah itu buah dicuci
dengan air yang bersih. Tiap cara mempunyai kelebihan dan kelemahan. Dari prosesing benih
cabai dengan cara manual akan diperoleh benih dengan kualitas yang lebih baik, warna benih
kuning jerami, kerusakan benih hampir tidak ada dan persentase daya kecambah lebih tinggi.
Kelemahannya adalah waktu prosesing lebih lama dibandingkan dengan prosesing benih
dengan menggunakan bantuan alat. (Kusandriani & Muharam, 2005).
Setelah pengeringan dilakukan sortasi benih, yaitu pemilihan benih yang berukuran
normal dan bernas. Benih yang hampa, rusak, dan yang berwarna hitam atau coklat dibuang.
Untuk menghindari adanya penyakit atau hama yang terbawa dari lapangan atau selama
dalam penyimpanan, benih dapat diberi perlakukan pestisida yang berbahan aktif Metalaxyl
dengan konsentrasi 0,2% (Kusandriani & Muharam, 2005).
3.2 Penyimpanan Benih
Benih cabai rawit disimpan di ruangan penyimpanan yang bersuhu rendah (18ºC-
20ºC) dengan kelembaban 30%-32% (Rukmana, 2-002). Untuk penyimpanan jangka panjang,
sebaiknya benih dikeringkan sampai kadar airnya mencapai 7 – 8 % (Tao 1985). Benih
disimpan dalam kantung almunium foil atau dalam wadah yang terbuat dari kaca atau metal.
Tempat penyimpanan benih harus tertutup sangat rapat agar udara tidak dapat masuk ke
dalam wadah tersebut (Kusandriani & Muharam, 2005).
Jika kadar air benih awal sudah baik dan konstan, yaitu lebih kurang 7%, maka untuk
penyimpanan jangka menengah (medium) benih ditempatkan di “Cold Storage” dengan
kelembaban 15 – 50%. Dua faktor yang menentukan kualitas dan daya tahan benih di tempat
penyimpanan benih (gudang benih) adalah kadar air benih dan suhu gudang penyimpanan
12. “suhu rendah”. Untuk penyimpanan benih jangka menengah (18 – 24 bulan), suhu yang
diperlukan adalah 16 – 20 0C, dan kelembaban 50% (Badan Litbang Pengairan, 2011).
Kadar air benih saat penyimpanan sangat mepengaruhi vigor dan viabilitas benih
cabai rawit. Seperti yang dikatakan Hendrawati (1993) dalam penelitiannya bahwa kadar air
yang tinggi pada waktu penyimpanan akan menyebabkan cepat kehilangan viabilitas dan
vigor. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan benih berkecambah sebelum ditanam.
Dalam penyimpanan, kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan naiknya aktifitas pernafasan
yang dapat berakibat terkuras habisnya bahan cadangan makanan dalam benih. Selain itu
akan merangsang perkembangan cendawan patogen di dalam tempat penyimpanan.
Hal ini sesuai dengan pendapat (Clerkx et al. 2004) bahwa daya simpan benih
dipengaruhi oleh faktor genetik dan kemungkinan dikendalikan oleh beberapa gen dan
(Contreras et al., 2009) bahwa daya simpan benih merupakan sifat kuantitatif yang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan selama pembentukan benih, panen dan penyimpanan
(Ekowahyuni dkk. 2013)
3.3 Persyaratan Umum dalam Produksi Benih Cabai (Panduan Teknis produksi Benih Cabai,
Balitsa).
Selain memenuhi syarat – syarat budidaya yang optimum, persyaratan umum lain
dalam memproduksi benih adalah sebagai berikut :
Sumber benih harus benar. Benih merupakan salah satu factor penentu kesuksesan
dalam budi daya tanaman. Dengan demikian untuk memperoleh hasil yang maksimal
serta sesuai dengan yang diinginkan dalam budi daya harus menggunakan sumber
benih yang benar dan berkualitas.
13. Benih ditanam pada lahan yang bersih, bebas dari gulma atau tanaman lain. Areal
pertanaman yang akan dipergunakan untuk lahan penanaman cabai harus bersih,
bebas dari gulma atau sisa tanaman. Hal ini untuk menghindari adanya kompetisi
terutama untuk unsur air dan unsur hara serta untuk mencegah kemungkinan
timbulnya penyakit.
Benih ditanam pada lahan yang sebelumnya tidak ditanami tanaman keluarga / famili
terung - terungan. Areal pertanaman yang akan digunakan bukan bekas tanaman cabai
atau tanaman yang termasuk famili Solanaceae. Jika tanaman sebelumnya adalah
yang termasuk famili Solanaceae seperti kelompok cabai, tomat, terung atau kentang,
maka sebaiknya tanah harus diberakan sekurang – kurangnya selama 3 bulan.
Isolasi pertanaman yang cukup baik untuk mencegah terjadinya penyerbukan silang
dengan varietas lain (lihat butir 2.6.1.1.).
Pencegahan kemungkinan tercampurnya benih dengan benih varietas lain pada saat
panen dan prosesing benih. Apabila waktu tanam beberapa varietas terjadi pada waktu
yang bersamaan, maka harus diperhatikan jangan sampai buah cabai dari varietas
yang berbeda tercampur. Demikian pula dalam prosesing benih, perlu memperhatikan
kebersihan alat yang dipergunakan.
Benih diberi label yang benar dan jelas menurut nama varietas, atau dengan
keterangan lain, seperti daya kecambah dan kadar air benih. Pelabelan dilakukan sejak
di persemaian, tanam, prosesing, sampai penyimpanan benih.
3.4 Prinsip-Prinsip Produksi Benih Cabai (Panduan Teknis produksi Benih Cabai, Balitsa).
Salah satu penentu keberhasilan dalam budidaya tanaman adalah faktor benih.
Penggunaan benih bermutu dapat mengu-rangi resiko kegagalan budidaya tanaman. Secara
14. umum kompo-nen mutu benih dibedakan menjadi empat komponen yaitu mutu genetik, mutu
fisiologis, mutu fisik, dan mutu kesehatan.
3.4.1. Mutu Genetik
Tanaman cabai diklasifikasikan sebagai tanaman menyerbuk sendiri, tetapi morfologi
bunganya tidak mendukung untuk terjadinya penyerbukan sendiri 100%. Hal ini disebabkan
tepung sarinya ringan dan stigmanya terbuka, sehingga serangga atau angin dapat
menyebabkan terjadinya persilangan antar tanaman. Derajat persilangan pada cabai cukup
tinggi, yaitu mencapai 70% (Odland dan Portir 1941 cit. Greenleaf 1986). Untuk menghindari
terjadinya persilangan antar varietas di lapangan perlu perlakuan khusus (isolasi). Selain itu
juga perlu dilakukan penyeleksian.
3.4.1.1. Isolasi
Beberapa bentuk isolasi untuk pertanaman benih cabai adalah isolasi jarak, waktu
tanam, tempat, dan perantara.
a) Isolasi jarak. Lahan pertanaman cabai untuk benih penjenis harus mempunyai jarak
antar varietas + 500 m (Howthorn dan Pollard 1954). Untuk kelas benih di bawah
benih penjenis, jarak penanaman antar varietas dapat lebih pendek yaitu + 200 meter.
b) Isolasi waktu tanam. Jika dua atau lebih varietas yang berbeda ditanam dalam petak
yang berdampingan, maka waktu tanam diatur sedemikian rupa sehingga saat
berbunga tidak bersamaan, minimal dengan selisih 75 hari. Dengan demikian
diharapkan tidak terjadi persilangan bebas di lapangan.
c) Isolasi tempat. Setiap varietas ditanam tersendiri di dalam ruangan – ruangan khusus.
d) Perantara. Tanaman seperti jagung, sorgum, rumput tinggi atau tebu juga efektif untuk
mengisolasi pertanaman cabai yang ditujukan untuk produksi benih (Poulos 1993).
15. 3.4.1.2. Seleksi
Untuk memperoleh kemurnian benih dilakukan penyeleksian terhadap tanaman
sumber benih, baik pada fase vegetatif maupun pada fase generatif. Pertanaman cabai di
lapangan sebaiknya diseleksi dan dibersihkan dari tanaman yang pertumbuhannya
menyimpang. Kegiatan seleksi minimal dilakukan 2 atau 3 kali selama pertanaman (Poulos
1993). Seleksi tanaman dilakukan ketika tanaman masih berada di persemaian maupun ketika
sudah berada di lapangan.
a. Persemaian harus dibersihkan dari rerumputan dan diadakan seleksi dengan
membuang semaian yang sakit, tipe simpang dan varietas lain. Seleksi dilakukan
dengan mengamati warna hipokotil.
b. Pembersihan dan seleksi untuk membuang tipe simpang harus pula dilakukan setelah
pertanaman dipindahkan ke lapangan.
Pada fase pertumbuhan vegetatif (30 – 40 hari setelah tanam) dilakukan
pengamatan terhadap sifat tipe percabangan, tingggi tanaman, dan bentuk
daun.
Pada fase berbunga, (45 – 60 hari setelah tanam), dilakukan pengamatan
terhadap warna bunga, kedudukan bunga, jumlah bunga per ruas, dan umur
berbunga.
Pada fase berbuah (70 – 90 hari setelah tanam), dilakukan pengamatan
terhadap warna buah muda dan warna buah matang, kedudukan buah, sifat
pembuahan (tunggal atau majemuk), dan bentuk buah.
Untuk mendapatkan benih dengan tingkat kemurnian dan mutu yang tinggi, maka
seleksi juga dilakukan terhadap tanaman dengan kriteria tanaman sumber benih harus benar
sehat, berbuah lebat, serta bebas hama, dan penyakit. Untuk menjaga mutu benih, maka
16. setelah panen dilakukan juga seleksi dengan membuang buah yang bentuknya tidak normal,
berukuran kecil, dan buah yang sakit atau busuk karena serangan hama atau penyakit.
3.4.2. Mutu Fisiologis
Mutu fisiologi berkaitan dengan waktu panen benih. Panen yang dilakukan sebelum
buah mengalami masak fisiologis akan menghasilkan benih yang kurang bermutu. Dengan
demikian waktu panen buah yang tepat sangat berpengaruh untuk memperoleh mutu benih
awal yang tinggi dan umur simpan benih yang lebih panjang.
3.4.3. Mutu Fisik
Secara fisik, benih bermutu adalah benih yang tampak bersih dan bebas dari kotoran
(kulit buah yang menempel di kulit, biji – bijian lain, kerikil, dll), tidak tercampur dengan
benih varietas lain, tidak rusak, sehat, bernas, tidak keriput, dan berukuran normal.
2.6.4. Mutu Kesehatan
Mutu kesehatan benih sangat berhubungan dengan ada tidaknya serangan penyakit
pada benih dan apakah ada penyakit yang terbawa oleh benih (penyakit tular benih).
Dalam memproduksi benih ada standar mutu yang diacu pada setiap kelas benih. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian laboratorium untuk menunjang hasil pemeriksaan di
lapangan, agar mutu benih benar – benar dapat dicapai dan dipertahankan. Beberapa kriteria
yang diperhatikan dalam pengujian benih cabai di laboratorium disajikan pada Tabel 1.
Kelas benih Kadar air
(Max)%
Benih murni
(Min)%
Kotoran benih
(Maks)%
Daya tumbuh
(Min)
Antrak-nose
Maks) %
Virus TMV &
AMV (Maks) %
Benih penjenis
Benih dasar *
7
10.0*
99
98.0
1.0
2.0
90
85
0.05
0.1
0.05
0.1
17. Benih pokok*
Benih sebar *
10.0*
10.0*
98.0
97.0
2.0
2.0
85
80
0.1
0.1
0.1
0.1
Tabel 1. Standar pengujian laboratorium benih cabai
Sumber : BPSBTPH, Jabar (2003)
Dari standar pengujian laboratorium tersebut dapat dikatakan bahwa benih bermutu
tinggi adalah benih yang mempunyai daya kecambah lebih dari 80% dan kadar air 7 – 10 %.
Mutu benih perlu dijaga untuk memaksimumkan daya tumbuh (vigor) awal dan daya tumbuh
maksimum benih tersebut selama penyimpanan sampai benih siap untuk ditanam. Selain
kualitas benih, faktor lain yang harus diperhatikan dalam usaha produksi benih adalah cara
pembudidayaan tanaman induk, seperti pemupukan, pemeliharaan, pencegahan serangan
hama dan penyakit yang tepat, serta pembersihan gulma secara intensif untuk mencegah
kompetisi dan tercampurnya benih yang diusahakan dengan benih tanaman lain.
18. BAB IV.
Kesimpulan
Produksi cabai rawit yang baik ditentukan oleh salah satunya kualitas benih yang
baik. Benih cabai rawit dapat dibuat sendiri maupun membeli benih yang sudah bersertifikat.
Untuk menghasilkan benih yang baik harus diperhatikan sejak dari pemilihan induk tanaman
yang akan dibenihkan, kualitas genetika tanaman induk, kultur teknis tanaman dengan
memperhatikan faktor lingkungan, proses pemanena, prosesing pembenihan hingga
penyimpanan benih.
19. BAB V
Penutup
Demikan makalah ini kami buat, mohon maaf apabila banyak terdapat kesalahan.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami, umumnya bagi kita semua. Amin
YRA.
Bandung, Juni 2014.
Tim penyusun
20. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Ihsanul. 2010, Pengaruh Cara dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Cabai
Rawit (Capsicum frutencens L var. Cengek).
Badan Litbang Pertanian. 2011, Panen dan Penanganan Benih, AgroinovasI Edisi 2-8
Pebruari 2011 No.3391.
Cahoyo, Bambang. 2003. Cabai Rawit, Teknik Budi Daya & Analisis UsahaTani.
Kanisius, Yogyakarta.
Ekowahyuni dkk. 2013, Evaluasi Vigor Daya Simpan benih pada Berbagai Genotipe
Cabai (Capsicum anuum L.) dengan Metode Pengusangan Cepat, E-Journal
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan 30 Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013,
Universitas Nasional, Jakarta.
Harpenas. A, Dermawan. R, 2009, Budi Daya Cabai Unggul, Penebar Swadaya, Jakarta.
Kusandriani. Y, Muharam. Agus, 2005. Produksi Benih Cabai, Balai Penelitian Tanaman
Sayuran, Bandung.
Rachmawati. R, Defiani. M. R, Suriani. N. L, 2009, Pengaruh Suhu dan Lama
Penyimpanan Terhadap Kandungan Vitamin C pada Cabai Rawit Putih
(Capsicum frustescens), Jurnal Biologi XIII (2) : 36 – 40, Universitas Udayana.
Raka. I. G. N, Astiningsih. N. A. M, Nyana. I. D. N dan Siadi I. K, 2012, Pengaruh Dry
Heat Treatment Terhadap Daya Simpan Benih Cabai Rawit (Capsicum
frutescens L.), J. Agric. Sci. and Biotechnol, Vol. 1, No. 1, Juli 2012, Denpasar.
Rubatzky, E. dan Yamaguchi, M. 1999. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi, dan Gizi,
(diterjemahkan dari: World Vegetables: Principles, Production, and Nutritive Values,
penerjemah: C. Herison). Institut Teknologi Bandung. Bandung
Tcahjadi, Nur. 1991, Cabai, Kanisius, Yogyakarta.
Tim Pengampu. 2011, Bahan Ajar Ilmu Dan Teknologi Benih, Program Hibah Penulisan
Buku Ajar , Universitas Hasanudin, Makasar.
Utama, I. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Produk Holtikultura Dalam
Mendukung GAP, Universitas Udayana, Denpasar.
Warisno, Dahana. Kres. 2010, Peluang Usaha & Budidaya Cabai. Gramedia, Jakarta.
Wiryanta. 2006. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Agromedia, Tanggerang.