2. Penjelasan umum
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun
932 dan 1579 Masehi di bagian barat pulau Jawa, sekarang bagian dari
provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, sebagian wilayah barat
Provinsi Jawa Tengah, serta meliputi sebagian wilayah selatan Pulau
Sumatra. Kerajaan ini merupakan penerus dari Kerajaan
Tarumanagara yang bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar
abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota di Kawali serta
memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan
oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua
pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh
Kesultanan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah
dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
3. Awal Berdirinya
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan
kerajaan Tarumanagara yang mengalami keruntuhan.WIlayah
kekuasaannya meliputi bagian barat dari pulau Jawa dan membentang
dari Ujung Kulon hingga ke Ci Sarayu dan Ci Pamali.[12] Keterangan
tentang berdirinya Kerajaan Sunda sebagai penerus Kerajaan
Tarumanagara diperoleh dari naskah Wangsakerta, naskah yang oleh
sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber
sejarah karena sangat sistematis
4. Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah primer berbahasa Sunda kuno Perjalanan
Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik,
seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci
agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat
ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris
sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci
Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci
Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Wilayah vasal Kerajaan Sunda membentang dari ujung barat di Pasar
Talo, Bengkulu hingga ke Jatimalang, Purworejo di ujung Timur.
Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran juga mencakup wilayah
bagian selatan pulau Sumatra (prasasti Ulubelu). Setelah Kerajaan
Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas
wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
5. Raja-raja Sunda dari tahun (1482 – 1579)
Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertakhta di Pakuan (Bogor
sekarang)
Surawisesa (1521 – 1535), bertakhta di Pakuan
Ratu Dewata (1535 – 1543), bertakhta di Pakuan
Ratu Sakti (1543 – 1551), bertakhta di Pakuan
Ratu Nilakendra (1551 – 1567), meninggalkan Pakuan karena serangan
Sultan Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf
Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana,
memerintah dari Pandeglang
6. LOKASI
Prof. Nina menjelaskan, Pajajaran
adalah ibu kota atau pusat kekuasaan
kerajaan Sunda selama masa Sri
Baduga Maharaja, atau Prabu Siliwangi,
yaitu Pakwan Pajajaran. Pakwan
Pajajaran terletak di wilayah Kota
Bogor, saat ini.
7. Prasasti Kebon Kopi II (932 M)
Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prasasti ini diteliti oleh arkeolog F.D.K. Bosch,
yang mengemukakan bahwa prasasti ini bertarikh 932 Masehi ditulis
menggunakan bahasa Melayu Kuno, dan berisi pernyataan seorang "Raja
Sunda yang menduduki kembali takhtanya".[3]
Alih aksara:
“ Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi
marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda ”
Terjemahan:
“ Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada
tahun 854 Saka (932 Masehi), bahwa tatanan pemerintah dikembalikan
kepada kekuasaan raja Sunda. ”
8. Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M)
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 M (952 Saka), diketahui
bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam aksara dan
bahasa Jawa Kuno[4][5] pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di
Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia
dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
berisi tulisan sebagai berikut:[6]
“ Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari
Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja
Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang)
menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang
Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak
pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan
dengan Sumpah. ”
9. Prasasti Batutulis (1533 M)
Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga
Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan
Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan,
Kota Bogor.[10]
Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam
bahasa Sunda Kuno dan aksara Kawi. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang
melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri
Baduga Maharaja) sebagai berikut:
“Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama
Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu
Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa
gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena
Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi“.