Charoen pokphand open recruitment @ salatiga 12 feb 2014
Pp sdg 2
1. PERATURAN PEMERINTAH RI
No. 48/2011
SDG-HEWAN & PERBIBITAN TERNAK
Disampaikan pada acara Sosialisasi Peraturan Per-UU
D.I. Yogyakarta, 20 September 2013
2. Ps. 8 (4): SDG dikelola pemanfaatan &
pelestarian;
Ps. 13 (2): Pemerintah wajib mengembangkan
usaha pembibitan melibatkan masyarkat
benih, bibit, & bakalan.
3. menjamin adanya
pelestarian &
pemanfaatan SDG-H;
mewujudkan keadilan
dalam pembagian
keuntungan
pemanfaatan SDG-H;
menjamin ketersediaan
benih/bibit secara
berkesinambungan; dan
menghimpun, mengolah,
menyajikan data dan
informasi.
4. HEWAN DARAT
UDARA
(termasuk
lebah)
SATWA
LIAR
DILINDUNGI
TIDAK
DILINGDUNGI
HEWAN
BUDIDAYA
(TERNAK)
Penghasil Pangan
dan Bahan Baku
Industri
Jasa (drought, pet & lab
animals.
Hasil Ikutannya
JANGKAUAN PENGATURAN HEWAN DALAM UU
NO 18 TAHUN 2009
KETERANGAN
1. Ruang lingkup
Hewan & SDGnya
(UU No.18/2009)
2. Ternak
(UU No.18/2009)
3. Grey Area dengan
UU No. 31/2004 Jo.
UU No.45/2009
tentang Perikanan
(Bidang Kesehatan
Hewan/Ikan)
4. Grey Area dengan
Kehutanan/UU No.
5/1990 tentang
Konservasi SDA
Hayati &
Ekosistemnya.
3
1
2
4
Air Penghasil Pangan
dan Bahan Baku Industri
Jasa (drought, pet
& lab animals.
Hasil
Ikutannya
5. Pengaturan
1. Pengelolaan
Penguasaan
oleh Negara
(Pusat & Daerah)
Inventarisasi &
dokumentasi
2. Perlindungan
kearifan lokal,
pengetahuan
tradisional, dan HKI
3. Tata cara
kerjasama
pengelolaan SDG
4. Pemantauan dan
pengawasan
5. Pendanaan bagi
upaya pengelolaan
SDG
Pemanfaatan
Pelestarian
1. Pembudidayaan
2. Pemuliaan (seleksi,
persilangan, dan
rekayasa genetik)
1. Eksplorasi
2. Konservasi
3. Penetapan
kawasan
pelestarian
SDG
Hewan
(peliharaan
dan satwa
liar)
6. DITJEN PKH
penguasaan SDG Hewan;
pengelolaan SDG Hewan;
perbibitan ternak;
pemasukan dan pengeluaran;
dan
sistem dokumentasi dan jaringan
informasi.
Ruang Lingkup
7. SDG Hewan dikuasai oleh negara dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Penguasaan SDG Hewan dilaksanakan oleh
Pemerintah & pemda berdasarkan sebaran
asli geografis SDG Hewan.
DITJEN PKH
Pasal 4
8. Pasal 5
Penguasaan oleh Pemerintah dilakukan
melalui pengaturan, inventarisasi, dan
dokumentasi.
Penguasaan dilakukan untuk SDG Hewan yang:
– sebaran asli geografisnya lebih dari 1 (satu) provinsi;
– status populasinya tidak aman;
– rasio populasi jantan dan betina tidak seimbang;
dan/atau
– habitatnya spesifik.
DITJEN PKH
9. Pasal 5 ... lanjutan
Pengaturan SDG Hewan meliputi:
– pengelolaan SDG Hewan;
– perlindungan kearifan lokal dan
pengetahuan tradisional;
– tata cara kerjasama;
– pemantauan dan pengawasan;
– pendanaan untuk pengelolaan SDG Hewan;
dan
– perjanjian pemanfaatan SDG Hewan yang
bersifat internasional.
DITJEN PKH
10. DITJEN PKH
Pasal 6: Pemda provinsi melakukan
pengaturan, inventarisasi, dan dokumentasi SDG
Hewan yang sebaran asli geografisnya dalam 1
provinsi.
Pasal 7: Pemda kab/kota melakukan
pengaturan, inventarisasi, dan dokumentasi SDG
Hewan yang sebaran asli geografisnya dalam 1
kab/kota.
11. Pasal 8
Pengaturan SDG Hewan oleh pemda
meliputi:
pelaksanaan pengelolaan;
pemantauan dan pengawasan; dan
pendanaan untuk pengelolaan.
12. DITJEN PKH
Pasal 9
Inventarisasi dan dokumentasi SDG
Hewan dilakukan atas kekayaan
keanekaragaman SDG Hewan dan
pengetahuan tradisional serta kearifan
lokal.
13. 1) Pengelolaan SDG Hewan dilakukan melalui kegiatan
pemanfaatan dan pelestarian.
2) SDG Hewan dapat berasal dari hewan peliharaan dan
satwa liar.
3) Satwa liar terdiri atas satwa liar yang dilindungi dan
satwa liar yang tidak dilindungi.
4) Menteri menetapkan jenis satwa liar tidak dilindungi
yang dilarang untuk dimanfaatkan.
Pasal 10
14. Pemanfaatan dan pelestarian SDG
Hewan yang berasal dari satwa liar
yang dilindungi dan tidak dilindungi dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
Pasal 11
15. a. Pengelolaan SDG Hewan dilakukan oleh
pemerintah sesuai dengan kewenangannya.
b. Pengelolaan SDG Hewan juga dapat
dilakukan oleh masyarakat, badan usaha, atau
lembaga internasional melalui kerjasama dengan
Pemerintah atau badan usaha Indonesia setelah
memperoleh izin dari Pemerintah.
Pasal 12
16. Pengelolaan SDG Hewan berdasarkan kerja
sama dilakukan di DN.
Dapat dilakukan di luar negeri apabila:
• belum dapat dilakukan di DN;
• untuk mempercepat proses; dan/atau
• sesuai dengan perjanjian internasional.
Pengelolaan SDG Hewan di luar negeri
dilakukan melalui perjanjian kerja sama
pengelolaan SDG Hewan.
Pasal 13
17. Pemanfaatan SDG Hewan
dilakukan melalui kegiatan:
a. pembudidayaan; dan
b. pemuliaan.
Pembudidayaan dan pemuliaan
harus mengacu pada kesejahteraan hewan.
Pasal 14
18. Pembudidayaan dan pemuliaan
harus mengoptimalkan kehati dan SDG asli
Indonesia.
Pemerintah, melindungi usaha
pembudidayaan dan pemuliaan.
Pemerintah, melakukan pembinaan dan
pengawasan.
Ketentuan lebih lanjut diatur
Peraturan Menteri.
Pasal 15
19. Pembudidayaan menggunakan hewan
peliharaan dan/atau satwa liar yang tidak dilindungi
asli, hewan lokal, dan hewan introduksi.
Pembudidayaaan meliputi pemeliharaan dan
pengembangbiakkan.
Dalam hal satwa liar yang tidak dilindungi akan
dibudidayakan, wajib melalui tahapan eksplorasi,
domestikasi, dan penangkaran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 16
20. Menteri menetapkan sistem budi daya.
Pemda provinsi menetapkan wilayah budidaya
dan pengembangan.
Pemerintah daerah kabupaten/kota:
a.menetapkan wilayah budidaya dan
pengembangan;
b.mempertahankan keberadaan dan
kemanfaatan lahan; dan
c. mengembangkan SDG Hewan.
Pasal 17
21. Usaha pembudidayaan SDG dilakukan
oleh masyarakat dan badan usaha.
Dalam hal usaha yang dilakukan oleh
masyarakat belum berkembang
Pemerintah melakukan usaha
pembudidayaan SDG Hewan asli dan
Hewan lokal.
Pasal 18
22. Pemerintah melakukan penjaringan
terhadap hewan ruminansia betina produktif
yang berpotensi menjadi bibit ditampung
pada UPTD atau langsung didistribusikan
kepada masyarakat.
Kegiatan penjaringan, penampungan, dan
pendistribusian dibiayai dari APBN/APBD
Pasal 19
23. Setiap orang dilarang
melakukan kegiatan budidaya yang
berpotensi menguras atau mengancam
kepunahan SDG Hewan asli dan lokal.
Pasal 20
24. a. Pemuliaan memproduksi benih atau bibit
dilakukan terhadap SDG Hewan asli, lokal, dan
introduksi.
b. Pemuliaan SDG Hewan asli dan lokal harus
menjaga kelestariannya.
c. Pemuliaan terhadap SDG Hewan introduksi
harus mencegah kemungkinan berkembangnya
penyakit eksotik atau berkembangnya IAS.
Pasal 21
26. Pemuliaan dapat dilakukan dengan cara
seleksi, persilangan, dan rekayasa genetik harus
memenuhi persyaratan kesehatan hewan secara
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dalam hal cara rekayasa genetik juga
harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang keamanan hayati.
Pasal 23
27. Pemuliaan SDG Hewan asli/lokal dengan
cara persilangan yang menggunakan ternak
introduksi harus mempertahankan gen tetuanya.
Dalam hal SDG tsb status populasinya
tidak aman, penyelenggaraan pemuliaannya
harus memperoleh izin dari Menteri.
Pasal 24
28. Pemuliaan dapat dilakukan oleh
Pemerintah, PT, lembaga penelitian,
dlsb.
Pemuliaan untuk daya tahan thd
penyakit zoonosis perlu lab
khusus.
Pasal 26
29. Pemerintah harus melakukan pemuliaan SDG
Hewan asli atau lokal yang:
a. status populasinya tidak aman;
b. nilai ekonominya rendah;
c. nilai sosial budayanya tinggi; dan/atau
d. keragaman genetiknya tinggi.
Status populasi tidak aman ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 27
30. PELESTARIAN SDG HEWAN
Pasal 28
SDG Hewan asli & lokal harus dilestarikan
Apabila terjadi bencana Pemerintah & Pemda
melakukan upaya penyelamatan
Apabila terjadi wabah penyakit Pemerintah &
Pemda mencegah agar tdk punah
Pasal 29
Pelestarian melalui: eksplorasi – konservasi
– penetapan kawasan pelestarian
31. EKSPLORASIPasal 30
Eksplorasi dilakukan oleh: Pemerintah, Pemda, Lemlit/dik, WNI,
LSM, BU-I, Lemlit/dik Asing, BU-Asing, & WNA
Harus mendapat izin Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota
Untuk “ASING” juga harus mendapat izin menteri “Ristek” harus
bekerjasam dengan Lemlit DN.
Pasal 31
Permohonan izin dilengkapi dengan dokumen yang diperlukan
memperoleh PADIA berlaku 1 tahun & diperpajang 6 bulan.
Pasal 32 dan 33
Diatur dengan PERMEN
Wajib menjaga kelestarian, menyimpan SDG dengan baik &
memperhatikan keberadaan kearifan lokal
32. KONSERVASIPasal 34
Konservasi dilakukan oleh Pmerintah & Pemda juga dapat
dilakukan masyarakat & badan usaha melalui kegiatan
konservasi in-situ, lekat lahan & ex-situ
Pasal 35
Perlu diketahui status populasinya apabila “ ke arah kritis”
Pemerintah & Pemda melakukan peringatan dini & tanggap darurat
“kritis” dilakuka konservasi in-situ & ex-situ PERMEN
33. PENETAPAN KAWASAN
PELESTARIAN
Pasal 36
Untuk pelestarian in-situ Pemerintah
atau Pemda menetapkan kawasan
pelestarian sesuai rencana tata ruang
wilayah
Selanjutnya akan diatur dengan
PERMEN
35. Kebijakan perbibitan nasional
ditetapkan PEMERINTAH meliputi:
penyediaan benih/bibit; peredaran;
pengawasan & kelembagaan perbibitan untuk
ternak asli, lokal & introduksi.
Penyediaan benih/bibit tanggung
jawab PEMERINTAH dari DN/LN.
Dari DN produksi; penetapan wilayah
sumber bibit; penetapan & pelepasan
rumpun/galur.
Pemasukan benih/bibit meningkatkan
mutu; mengembangkan iptek, bila kurang; &
litbang.
Pasal 37-40
36. BB-Biogen, Badan Litbang Pertanian
DEPARTEMEN PERTANIAN
2 0 0 8
Produksi benih/bibit dapat dilakukan “siapa saja”
berasal dari rumpun/galur asli, lokal & introduksi.
PEMERINTAH harus memproduksi benih/bibit
“rumpun/galur asli/lokal” bila belum ada yg menyediakan
dpt mengikut sertakan masyarakat.
PEMERINTAH melakukan pembinaan Pedoman
Menteri ttg pembenihan/pembibitan; promosi &
kemudahan.
Perlu izin & diatur dengan PERMEN.
Pasal 41-44
37. Wilayah sumber bibit ditetapkan
Menteri pada kawasan yang layak &
tepat dalam satu kabupaten,
beberapa kabupaten, atau seluruh
propinsi.
Penetapan tsb didasarkan pada
usulan bupati atau gubernur Menteri
melakukan penilaian
WILAYAH SUMBER BIBIT
Pasal 45-46
38. Penetapan dan Pelepasan Rumpun & Galur
Gubernur/Bupati mengusulkan kepada Menteri untuk
memperoleh penetapan rumpun atau galur ternak, sesuai
kewenangannya; dilengkapi dokumen mengenai asal-usulnya,
sebaran asli geografis, karakteristik, & informasi genetiknya.
Menteri melakukan penilaian terhadap dokumen yang
dilakukan oleh tim penilai.
Ketentuan lebih lanjut Peraturan Menteri.
Rumpun atau galur ternak yang dihasilkan melalui
kegiatan pemuliaan dapat dilakukan pelepasan hanya dapat
dilakukan terhadap rumpun atau galur ternak yang memenuhi
syarat BUSS serta diberi nama.
Pasal 47-50
39. Pelepasan rumpun/galur dilakukan
setelah adanya Keputusan Menteri
dilakukan berdasarkan permohonan dari
pemohon yang menghasilkan rumpun/
galur baru disertai dengan dokumen
lengkap.
Menteri melakukan penilaian
dilakukan oleh tim penilai yang dibentuk
oleh Menteri.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 51-53
40. Peredaran Benih dan Bibit Ternak
Setiap benih/bibit yang diedarkan wajib memiliki sertifikat
layak yg dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi benih/bibit.
Bila lembaga sertifikasi yang terakreditasi belum ada,
Menteri menunjuk lembaga yang kompeten harus
didasarkan pada kompetensi SDM, peralatan, dan
penguasaan IPTEK.
Pasal 54-56
Sertifikat layak benih/bibit diberikan untuk
benih/bibit yang memenuhi standar (SNI)
Apabila standar belum ditetapkan, Menteri
menetapkan persyaratan teknis minimal.
41. Pengedaran benih atau bibit yang tidak
menyertakan sertifikat layak benih atau bibit, serta
keterangan pemenuhan persyaratan teknis minimal
benih atau bibit dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; penghentian sementara dari
kegiatan produksi dan/atau peredaran; atau pencabutan
izin usaha.
Pasal 57-58
Ketentuan lebih lanjut diatur
dengan Peraturan Menteri.
42. Pengawasan Benih dan Bibit Ternak
Menteri, gubernur, bupati/walikota melakukan
pengawasan terhadap produksi dan peredaran benih/bibit.
pelaksanaannya dilakukan oleh Pengawas Bibit Ternak.
Pengawasan meliputi jenis dan rumpun, jumlah, mutu, serta
cara memproduksi benih dan bibit.
Pengawasan terhadap peredaran benih/bibit meliputi
pemeriksaan dokumen, alat angkut, tempat penyimpanan,
dan/atau pengemasan.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 59
43. Kelembagaan Perbibitan
PEMERINTAH memfasilitasi peternak,
perusahaan peternakan, dan masyarakat untuk
membentuk lembaga pembenihan dan/atau
pembibitan bila belum ada PEMERINTAH
membentuk lembaga tsb.
Kegiatan lembaga pembenihan dan/atau
pembibitan saling bersinergi dalam rangka
menghasilkan benih atau bibit.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 60-62
45. Pemasukan SDG Hewan
Pemasukan SDG Hewan introduksi harus
memperoleh izin dari Menteri.
Dalam hal SDG Hewan berupa satwa liar, izin
pemasukan diberikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 63
46. Pengeluaran SDG Hewan
Pengeluaran SDG Hewan harus mendapat izin
dari Menteri.
Dalam hal SDG Hewan berupa satwa liar, izin
pengeluaran diberikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 64
47. Perjanjian Pemasukan dan Pengeluaran
SDG Hewan
Pemasukan dan pengeluaran SDG Hewan dilakukan melalui
perjanjian alih SDG Hewan dilakukan antara Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara asing atau lembaga
internasional yg memenuhi persyaratan.
Rancangan perjanjian alih SDG Hewan disiapkan oleh
pemerintah negara asing atau lembaga internasional diajukan
kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan; setelah dilakukan
evaluasi oleh Komisi SDG.
Menteri menolak atau menyetujui rancangan perjanjian alih SDG
disampaikan secara tertulis oleh Menteri kepada pemerintah
negara asing atau lembaga internasional.
Pasal 65-68
48. Pemasukan dan Pengeluaran Benih dan
Bibit Ternak
Pasal 69-71
Pemasukan benih/bibit dari LN wajib memenuhi: persyaratan
mutu; keswan; pewilayahan bibit; dan karantina & wajib memperoleh
izin dari menteri perdagangan setelah memperoleh rekomendasi
dari Menteri.
Pemasukan rumpun/galur baru, rekomendasi diberikan setelah
mendapatkan saran dan pertimbangan komisi bibit ternak; dan
sebelum diedarkan harus terlebih dahulu dilakukan pelepasan.
Pengeluaran benih/bibit dapat dilakukan apabila kebutuhan
dalam negeri telah terpenuhi dan mempertimbangkan kepentingan
nasional.
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri.
49. SISTEM DOKUMENTASI DAN JARINGAN
INFORMASI SDG DAN PERBIBITAN
Menteri menyelenggarakan sistem dokumentasi dan
jaringan informasi untuk kepentingan pemanfaatan dan
pelestarian SDG Hewan dan perbibitan ternak.
Dapat diselenggarakan bersama menteri/pimpinan
lembaga pemerintahan non kementerian terkait, serta
gubernur, dan bupati/walikota.
Sistem dokumentasi dan jaringan informasi harus
dapat diakses oleh masyarakat.
Pasal 72