SlideShare a Scribd company logo
103
1
StafPenelitiBalaiPenelitianKehutananMataram
ALIH FUNGSI (KONVERSI) KAWASAN HUTAN INDONESIA:
TINJAUAN ASPEK HIDROLOGI DAN KONSERVASI TANAH
Oleh :
1
Budi Hadi Narendra
ABSTRAK
Laju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan
secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak
aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk
meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat
dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan
pemanenanairpadaberbagaitipepenggunaanlahan.
Katakunci: alihfungsi,debitsungai,erosi,sedimentasidanteknikkonservasi
I. PENDAHULUAN
Hutan tropis termasuk sumberdaya alam terpenting di dunia.
Luasnya hanya 30% permukaan bumi namun merupakan wadah utama
bagi keanekaragaman hayati (WWF, 2003). Keberadaan hutan tropis
Indonesia telah dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia yang
manfaatnya tidak hanya dirasakan di dalam negeri namun telah diakui di
skala global. Selain itu daratan Indonesia yang luasnya hanya 1,3%
daratan bumi namun hutannya dikenal memiliki keragaman jenis flora
dan fauna terbanyak. Dari total spesies mahluk hidup di dunia, hutan
Indonesia memiliki 11 persen spesies tumbuhan, 10 persen spesies
mamalia, dan 16 persen spesies burung di dunia. Namun seiring
perkembangan waktu, luas tutupan hutan di Indonesia kian hari kian
mencemaskandiantaranyadisebabkanolehalihfungsikawasanhutan.
Alih fungsi atau konversi kawasan hutan telah sering terjadi di
Indonesia. Berbagai faktor yang mendasari terjadinya alih fungsi hutan ini
seperti kegiatan ekonomi, pengembangan wilayah, dan dampak kegiatan
illegal loging dan kebakaran hutan. Berbagai dampak dari alih fungsi
hutan ini dapat dikategorikan pada dampak hidrologi, erosi dan
104
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
sedimentasi, kebakaran, kepunahan flora dan fauna, dan dampak
terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Makalah ini mengulas
keadaantutupanhutanIndonesiahubungannyadenganadanyaalihfungsi
hutan, dan akibat yang dapat ditimbulkan jika alih fungsi hutan dilakukan
tidak secara seksama ditinjau dari aspek hidrologi dan konservasi tanah.
Contoh-contohkasusyangditampilkanadalahberdasarhasilpenelitiandi
dalam dan luar negeri yang memiliki tipe tutupan hutan seperti di
Indonesia. Pada bagian akhir akan disajikan tindakan yang perlu
dilakukan dalam meminimalkan dampak, jika keputusan alih fungsi hutan
sudahtidakbisadihindarkanlagi.
II. TUTUPAN HUTAN INDONESIA
Pemerintah melalui lembaga kehutanan pada tahun 1950 pernah
merilis peta vegetasi yang berisi informasi bahwa sekitar 84 persen luas
daratan Indonesia (162.290.000 hektar) tertutup hutan primer dan
sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Peta tersebut juga
menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan
memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya 40.700.000
hektar, Sumatera 37.370.000 hektar, Sulawesi 17.050.000 hektar, Maluku
7.300.000 hektar, Jawa 5.070.000 hektar serta terakhir Bali dan Nusa
Tenggaraseluas3.400.000hektar(WRI,2002).
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan. World Resource Institute menyatakan hingga
saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Pada
periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan
meningkat menjadi 2,8 juta hektar per tahun, dua kali lebih cepat
dibandingkan tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah
satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Data dari
Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 menunjukkan berdasarkan hasil
penafsiran citra satelit Landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar
hutandanlahanrusak,diantaranyaseluas59,62jutahektarberadadalam
kawasanhutan.
Pada tahun 2003, data dari Departemen Kehutanan menunjukkan
tutupan hutan hanyasekitar94juta hektaratau sekitarsetengahdaritotal
luas lahan di Indonesia. Sedangkan analisis FAO (Food and Agricultural
Organisation) mengatakan bahwa tutupan hutan Indonesia pada tahun
2005 hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8% dari total luas
lahan dan 46,5% dari total luas wilayah. Sementara itu, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2007 melakukan interpretasi citra
satelitLandsat7ETM+,denganmenggunakandataperekamancitrasatelit
105
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
tahun 2004 – 2006 yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005. Hasilnya
menunjukan bahwa tutupan hutan seluruh wilayah Indonesia berkurang
menjadisekitar83jutahektar.
III. ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN INDONESIA
KondisihutanIndonesiayangdiindikasikandariluaspenutupannya
menunjukkan gambaran yang makin memprihatinkan, sejalan dengan
konversidaneksploitasiyangtelahdilakukan. Daridataluasantersebutdi
atas, tercatat data laju kerusakan hutan Indonesia dalam kurun waktu
1997-2000 yang dikeluarkan Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha
per tahun. Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's
ForestsFAO,Indonesiatelahberadadalamurutanke-8negaradenganluas
hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan 1,87 juta ha
per tahun dalam kurun waktu 2000 – 2005, menempatkan Indonesia
sebagai negara urutan ke-2 dengan laju kerusakan hutan tertinggi dunia.
Analisis yang dilakukan FWI dalam kurun waktu 1989 – 2003
menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia telah mengalami
perubahan akibat dari penurunan kualitas hutan (degradasi) 4,6 juta
ha/tahun dan kehilangan tutupan hutan (deforestasi) sekitar 1,99 juta
ha/tahun(ISAI,2007).
Deforestasi merupakan salah satu faktor utama yang banyak
dijumpai sebagai penyebab terjadinya perubahan fungsi ekologis pada
hutan tropis (Lambin, 1994). Secara umum deforestasi didefinisikan
sebagai penurununan kualitas (degradasi) kawasan hutan, sedangkan
secara sempit diartikan sebagai berubahnya fungsi (alih fungsi) kawasan
hutan (Wunder, 2000). Banyak hal yang mempengaruhi berkurangnya
atau menurunnya kualitas tutupan hutan Indonesia. Lambin dan Helmut
(2001) membagi penyebab deforestasi menjadi 3 kelompok yaitu
penyebab langsung, penyebab dasar, dan penyebab biofisik. Penyebab
langsung merupakan aktifitas manusia yang secara langsung
mempengaruhi kondisi tutupan hutan dan fungsinya seperti exploitasi
kayu, perluasan areal pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, dan
sebagainya. Penyebab dasar biasanya berupa faktor yang komplek seperti
faktor social, politik, ekonomi, budaya, dan kependudukan. Penyebab
biofisikyangkebanyakanberasaldarifaktoralami.
Di Indonesia, alih fungsi kawasan hutan merupakan dampak
langsung maupun tidak langsung dari perkembangan industri perkayuan,
pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan
alam (HA) maupun hutan tanaman (HT), ijin pemanfaatan kayu (IPK),
pelepasan kawasan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemekaran
106
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
wilayah, serta maraknya pembalakan liar (illegal logging) dan kebakaran
hutan.
Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp
dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap
bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal.
Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak
industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada
kayu illegal, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000
(ISAI, 2007). Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem
konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi
bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin
pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk
mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada
areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan
penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi
terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI
sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang
merupakansumberutamabencanakebakaranhutandiIndonesia.
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada tahun 1939
perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta
hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Hingga tahun 1950-an
luasan ini tidak banyak berubah. Sampai dengan tahun 1969 luasan hutan
yang dialihfungsikan telah mencapai 4,6 juta hektar. Sebagian besar lahan
hutan itu berubah menjadi perkebunan dan sebagian besar adalah untuk
kepentinganpertanian,terutamauntukbudidayapadi(WRI,2002).
Hingga kini desakan untuk perluasan kebun sawit makin kuat.
Minyak sawit mentah (CPO) menjadi salah satu komoditas unggulan
Indonesia. Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah utama
pengembangan kelapa sawit. Pada tahun 2003, dari kurang lebih 5,25 juta
ha lahan yang dialokasikan untuk kelapa sawit, sekitar 19 % ada di
Kalimantan dan 72% di Sumatera. Perluasan areal tanaman ini dimulai
sejak investasi asing dibuka kembali pada tahun 1967 dan mulai
meningkat kejayaannya pada tahun 1990-an. Dari luas 105.808 ha pada
tahun1967,arealperkebunankelapasawitberkembangmenjadi5,59juta
ha pada tahun 2005. Diprediksiperluasanperkebunan kelapa sawit masih
akan terus dilakukan sampai 13,8 juta ha pada tahun 2020 (FWI, 2008).
Menurutbeberapakajian,hampirsemuaperkebunankelapasawitberasal
dari kegiatan konversi hutan produksi. Dengan prosedur untuk
memperoleh lahan hutan yang relatif mudah, maka perusahaan dapat
menebang habis serta menjual kayunya sebagai bisnis sampingan yang
cukup menguntungkan, di luar keuntungan hasil panen kelapa sawit di
masa yang akandatang. Sayangnya, masih ada jugaperusahaan nakalyang
107
hanya tertarik untuk mengambil kayu daripada menanam kelapa sawit
pada wilayah konsesinya, bahkan ada diantaranya yang tidak pernah
mempunyai keinginan untuk membangun perkebunan kelapa sawit,
tetapi hanya mengejar ijin konversi untuk memperoleh keuntungan dari
kayuyangdidapatkandarikegiatanpembukaanlahan(landclearing).
Sektor pertambangan juga turut andil dalam alih fungsi kawasan
hutan. Hingga 2006, ijin yang dikeluarkan Departemen ESDM terdapat
sekitar 1.830-an ijin dengan total luas konsesi sekitar 28,27 juta ha. Dari
totaljumlahijinyangdikeluarkan,ada150diantaranyaberadadikawasan
hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas lebih dari 11 juta ha
(FWI, 2008). Dampak dari kegiatan pertambangan diyakini memiliki daya
rusak yang sangat sulit dipulihkan. Kerusakan lingkungan, konflik
horisontal dan pemiskinan menjadi fakta yang sering kita jumpai di
lapangan.Ancaman alih fungsi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan
konservasi datang juga dari pertambangan minyak dan gas bumi. Hingga
tahun 2006, pemerintah melalui Departemen ESDM sudah mengeluarkan
ijin202blokmigas.Darijumlahtersebutsebanyak68blok(sekitar1,8juta
ha) menempati kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam,
SuakaMargasatwa,TamanWisataAlam,danTamanHutanRaya.
Korupsi, tindakan anarki, dan lemahnya penegakan hukum
berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal, dan
penggundulan dan kebakaran hutan. Pencurian kayu bahkan marak
terjadidikawasankonservasi,misalnyadiTamanNasionalTanjungPuting
di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera
Utara dan Aceh. Hal serupa terjadi di hutan Sekotong dan Sesaot di
Lombok Barat yang merupakan penyangga kebutuhan air masyarakat
Lombok. Kini kondisinya makin memprihatinkan, bahkan terancam
menujuprosespenggurunan(Suhaili,2007).
IV. DAMPAK ALIH FUNGSI KAWASAN TERHADAP FUNGSI
HIDROLOGIS
Alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya diharapkan
dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun bila tidak dicermati dan
dipertimbangkan secara matang dari aspek lingkungan, ekologi, hukum,
sosial, ekonomi dan budaya, maka alih fungsi tersebut akan menimbulkan
dampak negatif baik secara lokal maupun dalam skala luas. Dalam alih
fungsi ini hendaknya tetap dijaga adanya keseimbangan antara fungsi
sumber daya hutan sebagai komponen ekologi dan fungsi hutan lainnya
sebagai komponen ekonomi. Berbagai bencana yang sering kita dengar
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
108
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
seperti banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan, pencemaran,
serangan binatang buas, kepunahan flora dan fauna, konflik antar warga
diantaranyadisebabkankurangcermatnyapenetapanalihfungsikawasan
hutan dan pelaksanaan yang kurang memperhatikan aspek konservasi,
terutama pada kawasan hutan yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai
hutanlindungatauhutankonservasi.
Berdasarkan data WWF Indonesia, telah terjadi konversi lahan
secara drastis di hutan Balai Raja yang pada tahun 1986 dengan tutupan
hutan sekitar 16.000 hektar ditetapkan sebagai suaka margasatwa bagi
habitat gajah dan harimau sumatera, namun pada tahun 2005 luasannya
hanya tinggal 260 hektar. Penurunan jumlah luasan ini turut andil dalam
penurunan jumlah secara drastis jenis satwa yang dilindungi tersebut.
Dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah sumatera berkurang dari
sekitar 700 ekor menjadi 350 ekor. Selain itu dilaporkan gajah merusak
kebun dan rumah warga maupun harimau yang menyerang ternak dan
manusia(Foead,2006).
Dari sisi hidrologi telah banyak kajian dan penelitian yang
menerangkan bahwa secara umum perubahan fungsi hutan terutama
hutan tropis akan berpengaruh terhadap komponen hidrologi seperti
curah hujan, total debit tahunan, distribusi musiman aliran sungai, erosi
dan sedimentasi. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi penggunaan
lainnya, baik sebagian atau secara total akan merubah respon yang
diberikan lahan terhadap masukan (input) curah hujan. Dampak nyata
yangdapatdirasakandiantaranyaberupa:
- berkurangnya curah hujan suatu wilayah yang luasan tutupan hutannya
berkurangsecarasignifikan
- meningkatnya debit puncak aliran sungai dibandingkan kondisi
sebelum hutan dialihfungsikan, meskipun dengan kondisi curah hujan
yangrelatiftetap.Halinimerupakansalahsatupemicuterjadinyabanjir
- Terjadinya kekeringan atau menurunnya debit sungai saat musim
kemaraudibandingkankondisiawalsebelumhutandikonversi
- Meningkatnyaerosidansedimentasi
- Meningkatnya frekuensi kejadian longsor terutama longsor dangkal
(shallowslide)
Para ahli menyatakan bahwa hutan tropis, jika dibandingkan
dengan penggunaan lahan lain seperti areal pertanian maupun
peternakan, menghasilkan evapotranspirasi yang lebih tinggi. Hal ini
menyebabkan tingginya kelembaban atmosfir sehingga peluang
terbentuknya awan dan hujan makin besar. Untuk kawasan Asia Tenggara,
konversi hutan secara total menjadi semak atau padang rumput akan
menurunkan curah hujan rata-rata sebanyak 8%. Namun beberapa ahli
109
menyatakan untuk daerah yang lebih banyak dipengaruhi oleh iklim laut,
perubahan tutupan hutan efeknya tidak sebesar efek perubahan suhu
permukaanairlaut(Bruijnzeel,2004).
Di masa lalu, fungsi hidrologis hutan sempat menjadi topik diskusi
yang hangat. Kelompok pertama yang berpegang pada teori spon (sponge
theory) menyatakan bahwa hutan melalui akar pohon, seresah, dan tanah
mampu menyimpan air hujan dan melepaskannya secara perlahan.
Kelompok lain pemegang teori infiltrasi menyatakan bahwa tata air di
hutan lebih banyak dipengaruhi oleh komponen geologis berupa tipe
batuan atau tanah hutan, dibandingkan dengan ada atau tidak adanya
tutupanhutan.Sedangkankelompokyangnetrallebihmenekankanfungsi
hutan dalam mencegah erosi dan banjir. Kini para ahli lebih memandang
akar pepohonan lebih sesuai sebagai ”pompa air” dibandingkan sebagai
spon, dan di musim kemarau akar tidak melepaskan air ke tanah tetapi
melepas air ke udara dalam proses transpirasi. Mereka juga menyatakan
bahwa banjir terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, atau hujan
berlangsung dalam waktu lama serta tutupan lahan tidak mampu lagi
menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan kapasitaspenyimpanan tanah
telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke aliran sungai
(Hamilton dan King, 1983). Dengankata lain kejadian banjir tidak semata-
mata hanya dipengaruhi kondisi penutupan lahan, tetapi juga tergantung
faktoriklimdangeologi.
Pada proses pengkonversian tutupan hutan, fungsi ”spon” pada
hutan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Efek yang dihasilkan
perlu dipisahkan antara total hasil air tahunan dengan distribusi debit air
musiman atau bulanan. Dengan berkurangnya tutupan hutan, hasil air
tahunan cenderung meningkat karena tidak ada atau berkurangnya
jumlah air yang dilepaskan melalui transpirasi. Jika tutupan hutan yang
dikonversi tidak terlalu besar, jumlah air yang disimpan masih dapat
dilepaskan sepanjang tahun secara kontinyu sebagai aliran dasar.
Sebaliknya, jika hutan dikonversi secara besar-besaran atau secara total,
jumlah air yang tersimpan sebagai air tanah sangat minim jumlahnya
sehingga pada saat musim kemarau suplai air ke alur sungai atau mata air
sangatterbatas.
Beberapa penelitian telah menghasilkan kesimpulan yang men-
dukungpernyataandiatas.Penelitiandengankeakuratantinggidilakukan
melalui pengamatan terhadap sub DAS yang berpasangan. Dengan cara ini
kesalahan akibat perbedaan kondisi iklim dan lahan dapat diminimalisir
hingga<20%.PenelitiansemacaminipernahdilakukanBruijnzeel(1990)
yang menunjukkan adanya pengurangan tutupan hutan lebih dari 33%,
secara signifikan akan meningkatkan aliran tahunan selama 3 tahun
pertama. Peningkatan ini berkisar dari 145 hingga 820 mm/tahun,
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
110
tergantung curah hujan tahunannya. Peningkatan hasil air ini secara
proporsional sesuai dengan biomassa hutan yang dikeluarkan, sehingga
perubahan hasil air lebih banyak mencerminkan perubahan transpirasi
dan sedikit perubahan aliran permukaan (runoff). Secara umum, hutan
hujan tropis yang kondisi penutupannya masih baik akan menginfil-
trasikan 80 – 95% curah hujan ke dalam tanah, dan jika kelembaban tanah
tidak terbatas, 1000 mm diataranya akan dikeluarkan lagi melalui proses
transpirasi, sedangkan sisanya akan dikeluarkan secara perlahan pada
alursungaisebagaialirandasar.
Weert (1994) membandingkan total aliran tahunan DAS Citarum
2
yang luasnya 4133 km selama dua periode yaitu tahun 1922-1929 dan
1979-1986. Pada dua periode tersebut, rata-rata curah hujan tahunannya
tidak berbeda jauh yaitu 2454 dan 2470 mm namun terdapat perbedaan
rata-rata total aliran tahunannya yaitu 1137 dan 1261mm. Perbedaan ini
lebih disebabkanadanya penurunan evapotranspirasi sekitar 110 mm per
tahun pada periode dimana telah terjadi konversi hutan. Meskipun tidak
ada informasi detil mengenai perubahan tipe penggunaan lahan namun
dilaporkan telah terjadi penurunan luas tutupan hutan. Di tahun 1985,
sekitar 50% lahan tertutup hutan, perkebunan, dan hutan campuran.
Sawahirigasisebanyak7%,pemukiman34%,dan9%berupasawahtadah
hujan. Penurunan evapotranspirasi pada periode kedua terjadi kerena
adanya perluasan pemukiman, jaringan jalan, dan areal pertanian.
Pengamatan serupa juga dilakukan Harto dan Kondoh (1989) di DAS
Ciliwung-Cisadane, hasilnya menunjukkan adanya penurunan
evapotranspirasi sebesar 110mm diakibatkan alih fungsi hutan menjadi
pemukiman sebanyak 5% dan sawah tadah hujan sebanyak 10%.
Widianto,dkk.(2004)yangmelakukanpengamatanterhadapdampakalih
fungsi hutan menjadi perkebunan kopi yang ditanam secara monokultur.
Hasil perbandingan menunjukkan limpasan permukaan di hutan alam
adalah 27mm, di hutan yang baru dibuka 75mm, dan di bawah tegakan
kopi sampai umur 3 tahun adalah 124mm. Pengukuran laju infiltrasi
menunjukkan lahan dengan tanaman kopi berumur 3 tahun memiliki
kemampuaninfiltrasiterendahdibandingkanpadategakankopiumur1,7,
dan 10 tahun, sedangkan tegakan hutan alam memiliki kemampuan
tertinggi.
Untuk daerah-daerah dengan curah hujan musiman seperti
kebanyakan daerah di Indonesia, distribusi aliran air sungai menurut
waktu menjadi lebih penting dibandingkan total debit yang dihasilkan
dalam satu tahun. Hal ini disebabkan pada musim kemarau masyarakat
akan mengandalkan suplai air dari mata air atau aliran dasar yang
dilepaskan secara perlahan oleh daerah tangkapan air. Adanya alih fungsi
hutan seringkali dirasakan dampaknya di musim kemarau dengan
111
minimnya atau hilangnya debit mata air atau debit air sungai. Pembukaan
tutupan hutan yang biasanya diikuti denganpemadatan permukaan tanah
oleh alat-alat berat, pembangunan sarana jalan, gedung, atau
infrastruktur lain, atau pengalihan fungsi menjadi areal budi daya
pertanian, perkebunan atau hutan tanaman tanpa tindakan konservasi
yang memadai akan menurunkan kemampuan tanah menginfiltrasi air
hujan. Akibatnya di saat musim hujan daerah tangkapan air akan
menghasilkan limpasan permukaan yang lebih besar, sedangkan
simpanan air tanah sebagai pemasok mata air dan aliran dasar akan
menurun. Dengan kata lain efek spon dari keberadaan hutan telah hilang
dan ketika luasan hutan yang dialihfungsikan mencapai titik kritis, jumlah
cadangan air dalam tanah diperkirakan tidak akan mencukupi suplai
sepanjang musim kemarau, seperti yang terjadi di Selorejo, Jawa Timur.
Gambar 1 menunjukkan perubahan distribusi debit air bulanan pada
periode sebelum dan setelah 33% luasan hutan dialihfungsikan menjadi
pemukimandanlahanpertaniankering(Bruijnzeel,2004).
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bulan
Debitaliran(mm/bulan)
1919-1943
1961-1972
Gambar1. Distribusi debit aliran bulanan di Selorejo, Jawa Timur
sebelumdansetelahalihfungsikawasanhutan
Alih fungsi hutan alam secara besar-besaran menjadi hutan
tanaman seringkali mengancam ketersediaan pasokan air di musim
kemarau. Hal ini tergantung kondisi iklim setempat dikaitkan dengan
pemilihan jenis tanaman yang sesuai secara ekologis dan ekonomis. Jenis-
jenis cepat tumbuh yang banyak diusahakan seperti Acacia mangium,
Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria, Eucalyptus spp, dan Pinus
merkusii diduga mengkonsumsi relatif banyak air. Pengamatan oleh
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
112
Cienciala, dkk. (2000) menunjukkan bahwa tegakan A. mangium umur 10
tahun di Malaysia Timur meskipun di masa kekeringan namun tetap
mengkonsumsi banyak air dibandingkan pada tegakan hutan alam. Jenis-
jenis ekaliptus selama ini dicap sebagai tanaman rakus air, seperti yang
ditunjukkan pada hutan tanaman Eucalyptus camaldulensis dan E.
tereticomis di selatan India. Pada kondisi air yang berkecukupan, rata-rata
transpirasinya mencapai 6 mm/hari sedangkan pada musim kemarau
mencapai 1 mm/hari. Kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan jika
kedalaman akar tanaman masih sekitar 3 meter karena jumlah air yang
ditranspirasikan masih setara dengan nilai transpirasi tegakan hutan
alami. Namun jika kedalaman akar telah mencapai lebih dari 8 meter,
transpirasi yang terjadi akan melebihi besaranya curah hujan sehingga
tegakan akan mengambil cadangan air dari kelebihan curah hujan tahun
sebelumnya. Pertambahan panjang akar jenis ini dapat mencapai
sedikitnya 2,5 meter per tahun atau kira-kira setara dengan pertambahan
tinggi batang tanaman (Roberts dan Rosier, 1993). Sedangkan di dataran
tinggi Kenya, hutan alam yang dialihfungsikan menjadi hutan tanaman
pinus, hasil airnya baru dapat kembali pada keadaan normal setelah
tegakan mencapai umur 8 tahun (Blackie, 1979). Hal serupa diperkirakan
terjadijugasetelahtanamandewasapadaalihfungsihutanmenjadikebun
kelapasawit(Foongdkk.,1983).
V. DAMPAK ALIH FUNGSI HUTAN TERHADAP EROSI
DAN SEDIMENTASI
Efek negatif lain yang dapat terjadi dari proses alih fungsi kawasan
hutan adalah meningkatnya erosi dan sedimentasi. Penilaian besarnya
erosiyangdilakukandenganmengamatisedimenpadaaliransungaiharus
dilakukan secara seksama. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan penentuan sumber sedimen, apakah berasal dari erosi
permukaan, erosi parit (gully erosion), atau dari longsoran. Sebanyak 80
penelitian yang dirangkum Wiersum (1984) mengenai erosi permukaan
pada hutan tropis dan sistem agroforestry menunjukkan bahwa erosi
permukaan dapat diminimalkan jika permukaan tanah mendapat cukup
perlindungan,baikolehtajukvegetasimaupunolehserasahdipermukaan
tanah. Kondisi tajuk hutan yang baik, bila tanpa disertai adanya seresah
dan bahan organik pada tanah permukaan akan meningkatkan erosi
secara drastis. Hasil penelitian Widianto, dkk. (2004) menunjukkan hutan
yang dialihfungsikan menjadi tanaman kopi monokultur akan
meningkatkan nilai erosi, terutama pada tanaman kopi umur 1 tahun.
Demikian pula dengan gangguan pada permukaan tanah seperti
113
kebakaran yang berulang-ulang, penggembalaan yang berlebihan,
pembangunan jalan hutan dan infrastruktur lainnya akan mengakibatkan
pemadatan tanah dan mengganggu proses infiltrasi sehingga memper-
parah erosi hingga 500 ton/ha/th dan pada akhirnya sedimentasi pada
alursungaijugameningkat.
Erosi parit yang terjadi di hutan hujan tropis lebih banyak disebab-
kan adanya curah hujan tinggi menerpa permukaan tanah yang terbuka
akibat penebangan pohon atau terjadinya pergeseran permukaan tanah.
Erosi parit yang tidak ditangani sejak dini, akan mencapai kondisi dimana
penanganannya akan sangat sulit dan memerlukan biaya tinggi.
Pemulihan kembali melalui kegiatan revegetasi saja dinilai tidak cukup
efektif, sehingga harus disertai dengan pembuatan bangunan konservasi
seperticekdam,dindingpenahan,atausaluranpengelak.
Pembukaan atau alih fungsi kawasan hutan juga memicu terjadinya
longsor terutama longsoran dangkal dengan ketebalan kurang dari 3
meter. Pada posisi ini, jaringan akar pepohonan berperan dalam
menguatkan ikatan tanah dan menahan pergeseran tanah. Lebih dari 650
kejadian longsor di Nepal dalam kurun 1972 – 1986 terjadi pada hutan
gundul dengan kemiringan > 33°, sedangkan pada hutan dengan
penutupan vegetasi yang masih baik, peristiwa ini jarang terjadi. Untuk
longsoran yang lebih dalam (> 3m), kejadiannya lebih banyak dikontrol
olehfaktorgeologi,topografi,daniklim(Bruijnzeel,2004).
VI. TINDAKAN MEMINIMALKAN DAMPAK ALIH FUNGSI HUTAN
Alih fungsi kawasan hutan pada masa sekarang sudah sulit untuk
dihindarkan. Jika alih fungsi kawasan hutan sudah tidak dapat dihindari,
tindakan yang perlu diambil adalah menjaga agar alih fungsi tersebut
tidak sampai menimbulkan kerusakan drastis pada tatanan proses
hidrologis atau menekan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkan
khususnya pada aspek hidrologi dan konservasi tanah. Caranya adalah
dengan menjaga agar proses infiltrasi air hujan tetap terwadahi sehingga
limpasan permukaan dapat ditekan melalui tindakan konservasi tanah
dan aplikasi teknik-teknik pemanenan air. Tindakan ini dapat diaplikasi-
kan pada setiap jenis penggunaan lahan yang mengantikan penutupan
hutan. Namun perlu diperhatikan bahwa perananan hutan alam secara
keseluruhantidakdapatdigantikansecarautuholehtipepenutupanlahan
lahanlainnya.
Pada kegiatan pertanian, telah banyak contoh teknik konservasi
tanah yang dapat diaplikasikan dengan tujuan meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah dan mengurangi erosi, seperti pembuatan teras, rorak,
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
114
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
aplikasi mulsa, tanaman penutup tanah (cover crop), penerarapan sistem
agroforestry, pertanaman lorong (alley cropping), multi strata tajuk.
Dengan cara-cara ini diharapkan limpasan permukaan dapat ditekan,
kesempatan infiltrasi tanah tetap terjaga, dan distribusi debit aliran dapat
berkesinambungan meski memasuki musim kemarau. Bahkan hasil
eksperimen yang dilakukan Edwards (1979) di Tanzania seperti tampak
pada Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan debit bulanan yang
dihasilkan daerah tangkapan air setelah tutupan hutan dialihfungsikan
menjadi lahan pertanian tanaman semusim disertai dengan penerapan
teknik konservasi tanah. Dengan cara ini air hujan secara optimal
tersimpan sebagai air tanah dan total volume air dalam setahun juga
meningkat karena berkurangnya evapotranspirasi sehubungan dengan
konversihutan.
0
25
50
75
100
125
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bulan
Debitaliran(mm/bulan)
Hutan
Pertanian+konservasi
Gambar2. Distribusi debit aliran bulanan sebelum dan setelah alih
fungsi kawasan hutan menjadi areal pertanian disertai
tindakankonservasidiTanzania
Demikian pula pada alih fungsi hutan menjadi pemukiman, dan
infrastruktur penunjangnya seperti jaringan jalan, upaya pemanenan air
melalui pembuatan sumur resapan dan parit jebakan dapat membantu
mengurangi aliran permukaan dan erosi. Pada alih fungsi hutan untuk
kegiatan penambangan, perlu diawasi agar tiap aspek kegiatan
penambangan dilakukan secara ramah lingkungan. Pencemaran tanah
dan tubuh perairan oleh zat berbahaya harus dicegah. Selain itu perlu
terus dikembangkan upaya-upaya untuk mempercepat proses revegetasi
115
pasca penambangan terutama pada tanah-tanah miskin hara, tercemar
bahan kimia, atau mengandung logam berat yang menjadi faktor
pembataskemampuanhiduptanaman.
Pada pengalihan fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman atau
perkebunan, pemilihan jenis tanaman merupakan salah satu faktor vital
yang menentukan besarnya perubahan tata air. Namun belum banyak
hasil penelitian tentang hal tersebut pada lokasi dan jenis yang spesifik.
Untukpenanamandilokasibercurahhujantinggi,pemilihanjenis-jenisini
tidak akan terasa dampaknya terhadap pengurangan debit air di musim
kemarau. Namun di daerah yang jumlah curah hujannya sedang atau
minim, jenis-jenis ini akan menjadi kompetitor bagi pengguna air lainnya
khususnyadimusimkemarau.Untukerosidansedimentasiyangterutama
terjadi pada tahap awal pembangunan hutan tanaman dapat
diminimalisir dengan penerapan sistem agroforestry, penggunaan mulsa
atau tanaman penutup tanah rendah dari jenis legum. Jenis legum telah
terbukti memiliki kemampuan lebih dalam menjaga dan memperbaiki
kondisi fisika dan kimia tanah, serta memiliki berbagai manfaat lain
sepertipenyuplaipakanternakmaupunkayubakar.
VII. KESIMPULAN
Laju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat
mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi
hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif
berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi
debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini,
pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu
dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air
padaberbagaitipepenggunaanlahan.
DAFTAR PUSTAKA
Blackie, J.R., 1979. The water balance of the Kimakia catchments. E. Afr.
Agric. For. J. 43, pp. 155–174. dalam Bruijnzeel. L.A. 2004.
Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the
trees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228.
Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effects of
Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO, Paris, and Vrije
Universiteit,Amsterdam,TheNetherlands,226pp.
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
116
Prosiding Fungsi Kawasan Hutan
Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: not seeing
thesoilforthetrees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228.
Cienciala, E., Kucera, J. and Malmer, A., 2000. Tree sap flow and stand
transpirationoftwoAcaciamangiumplantationsinSabah,Borneo.J.
Hydrol.236,pp.109–120.
Edwards, K.A., 1979. The water balance of the Mbeya experimental
catchments.E.Afr.Agric.For.J.43,pp.231–247.
Foead, N. 2006. Konversi Hutan Alam Ancam Habitat. Harian Kompas 11
Maret 2006. http://www2.kompas.com/kcm/. Diakses tanggal 27
Juli2008.
Foong, S.F., S.O. Syed Sofi, P.Y. Tan. 1983. A lysimetric simulation of leaching
losses from an oil palm field. Proceedings of the Seminar on
Fertilizers in Malaysian Agriculture. Malaysian Society of Soil
Science, Kuala Lumpur, pp. 45–68 dalam Bruijnzeel. L.A. 2004.
Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the
trees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228.
FWI (Forest Watch Indonesia). 2008. Perkembangan Tutupan Hutan
Indonesia.http://www.fwi.or.id.Diaksestanggal27Juli2008.
Hamilton, L.S. dan P.N.King. 1983. Tropical Forested Watersheds.
Hydrologic and Soils Response to Major Uses or Conversions.
Westview Press, Boulder, CO, p. 168. dalam Bruijnzeel, 2004 L.A.
Bruijnzeel, Hydrological functions of tropical forests: not seeing the
soilforthetrees?,Agric.Ecos.Env.104(2004).
Harto,A.BdanA.Kondoh.1998.Theeffectoflandusechangesonthewater
balance in the Ciliwung-Cisadane catchment, West Java, Indonesia.
Prosiding the International Symposium on Hydrology, Water
Resources and Environment, Development and Management in
Southeast Asia and the Pacific, Taegu, Republic of Korea, November
10–13,1998.ROSTSEA/UNESCO,Jakarta,pp.121–132.
ISAI. 2007. Potret Buram Hutan Indonesia. http://www.isai.or.id. Diakses
tanggal27Juli2008.
Lambin, E.F. 1994. Modeling deforestation processes: a review (Research
report. No. 1): TREES Series B. 115 p. dalam Loza, A. 2004. A spatial
logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-
information Science and Earth Observation, Environmental System
AnalysisandManagement.ITC-Netherlands.
Lambin, E.F. dan J. Helmut. 2001. What Drives Tropical deforestation?
LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A
spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in
Geo-information Science and Earth Observation, Environmental
SystemAnalysisandManagement.ITC-Netherlands.
Rijsdijk, A. dan L.A. Bruijnzeel. 1991. Erosion, sediment yield and land use
patterns in the upper Konto watershed, East Java, Indonesia. Konto
River Project Communication, vol. 3. Konto River Project, Malang,
Indonesia,150pp.
Roberts, J. and P.T.W. Rosier. 1993. Physiological studies in young
Eucalyptus stands in southern India and derived estimates of forest
transpiration.Agric.WaterManage.24,pp.103–118.
Suhaili, L. 2007. Hutan Sekotong Terancam Menjadi Gurun. Harian Suara
NTBtanggal13Januari2007.
Weert, R.V. 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics,
Jakarta,Indonesia,p.72.
Widianto, D.Suprayogo, H.Noveras, R.H.Widodo, P.Purnomosidhi, dan
M.V.Noordwijk. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan
pertanian: apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan system
k o p i m o n o k u l t u r ? A G R I V I T A 2 6 ( 1 ) : 4 7 - 5 2 .
http://www.worldagroforestrycenter.org/sea/publications/file/jo
urnal/JA0020-04.pdf.Diaksestanggal15Juli2008.
Wiersum, K.F. 1984. Surface erosion under various tropical agroforestry
systems. IUFRO, Vienna, pp. 231–239. dalam Bruijnzeel. L.A. 2004.
Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the
trees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228.
WRI (World Resource Institute). 2002. State of the Forest: Indonesia.
http://www.wri.org/biodiv/pubs.pdf.cfm. Diakses tanggal 28 Juli
2008.
Wunder, S. 2000. The economics of deforestation. St. Antony's Series ed.
Great Britain. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for
tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science
and Earth Observation, Environmental System Analysis and
Management.ITC-Netherlands.
WWF. 2003. WWF's Approach to Forest Conservation.
http://www.panda.org/downloads/forests/poforestconservation.
pdf.Diaksestanggal15Juli2003.
117
Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)

More Related Content

What's hot

Kimia akibat konversi hutan
Kimia   akibat konversi hutanKimia   akibat konversi hutan
Kimia akibat konversi hutan
Aziz_Kurniawan
 
Keppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindung
Keppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindungKeppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindung
Keppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindungwalhiaceh
 
Makalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal loggingMakalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal logging
Aba Abdillah
 
Sumber daya hutan
Sumber daya hutanSumber daya hutan
Sumber daya hutan
Opissen Yudisyus
 
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATAN
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATANANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATAN
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATAN
Devi Ningsih
 
Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1Yadhi Muqsith
 
MANAJEMEN HUTAN
MANAJEMEN HUTANMANAJEMEN HUTAN
MANAJEMEN HUTAN
EDIS BLOG
 
Paper penelitian biji bintaro
Paper penelitian biji bintaroPaper penelitian biji bintaro
Paper penelitian biji bintaro
Aryo Derdayansyah
 
Aktivitas kehutanan
Aktivitas kehutananAktivitas kehutanan
Aktivitas kehutanan
Nomieta Nomieta
 
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiRuang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Aksi SETAPAK
 
Laporan praktikum
Laporan praktikumLaporan praktikum
Laporan praktikum
Cut Ajja Hani
 
Ph berbasis ekosistem
Ph berbasis ekosistemPh berbasis ekosistem
Ph berbasis ekosistem
Erwin Radom
 
607 1922-1-pb
607 1922-1-pb607 1922-1-pb
607 1922-1-pbhelmirmd
 
Krusakan ekositem jati di muna
Krusakan ekositem jati di munaKrusakan ekositem jati di muna
Krusakan ekositem jati di muna
Operator Warnet Vast Raha
 

What's hot (18)

Kimia akibat konversi hutan
Kimia   akibat konversi hutanKimia   akibat konversi hutan
Kimia akibat konversi hutan
 
Keppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindung
Keppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindungKeppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindung
Keppres no-32-th-1990-ttg-pengelolaan-kawasan-lindung
 
Makalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal loggingMakalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal logging
 
Sumber daya hutan
Sumber daya hutanSumber daya hutan
Sumber daya hutan
 
Restorasi 021109
Restorasi 021109Restorasi 021109
Restorasi 021109
 
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATAN
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATANANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATAN
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATAN
 
Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1
 
MANAJEMEN HUTAN
MANAJEMEN HUTANMANAJEMEN HUTAN
MANAJEMEN HUTAN
 
Paper penelitian biji bintaro
Paper penelitian biji bintaroPaper penelitian biji bintaro
Paper penelitian biji bintaro
 
Aktivitas kehutanan
Aktivitas kehutananAktivitas kehutanan
Aktivitas kehutanan
 
Kerusakan hutan
Kerusakan hutanKerusakan hutan
Kerusakan hutan
 
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiRuang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasi
 
Laporan praktikum
Laporan praktikumLaporan praktikum
Laporan praktikum
 
Cagar alam
Cagar alamCagar alam
Cagar alam
 
Ph berbasis ekosistem
Ph berbasis ekosistemPh berbasis ekosistem
Ph berbasis ekosistem
 
607 1922-1-pb
607 1922-1-pb607 1922-1-pb
607 1922-1-pb
 
Illegal loging
Illegal logingIllegal loging
Illegal loging
 
Krusakan ekositem jati di muna
Krusakan ekositem jati di munaKrusakan ekositem jati di muna
Krusakan ekositem jati di muna
 

Similar to Alih Fungsi Kawasan

KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...
d1051231039
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...
d1051231034
 
NAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdf
NAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdfNAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdf
NAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdf
d1051231034
 
Aktifitas illegal di dalam kawasan hutan
Aktifitas illegal di dalam kawasan hutanAktifitas illegal di dalam kawasan hutan
Aktifitas illegal di dalam kawasan hutan
Ahmad Baihaki
 
Penebangan hutan
Penebangan hutanPenebangan hutan
Penebangan hutan
shasa_natha
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
NurdinUng
 
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).pptMENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MeylidaNurrachmania1
 
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandiMakalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
JackAbidin
 
G12mqo bab i pendahuluan
G12mqo bab i pendahuluanG12mqo bab i pendahuluan
G12mqo bab i pendahuluan
082196248257
 
Hutan 4
Hutan 4Hutan 4
Hutan 4
Warnet Raha
 
Makalah upaya pelestarian hutan
Makalah upaya pelestarian hutanMakalah upaya pelestarian hutan
Makalah upaya pelestarian hutan
henengsuseno
 
Keberpihakan wonosobo arupa
Keberpihakan wonosobo   arupaKeberpihakan wonosobo   arupa
Keberpihakan wonosobo arupaYayasan CAPPA
 
Ekosistem terancam
Ekosistem terancam Ekosistem terancam
Ekosistem terancam
GuruMASTURABINTIMUHA
 
Dampak konversi htn
Dampak konversi htnDampak konversi htn
Dampak konversi htn
Mulyanto Tejokusumo
 
Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)
Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)
Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)Yoel Hendrawan
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
d1051231072
 
Lembar informasi-fwi
Lembar informasi-fwiLembar informasi-fwi
Lembar informasi-fwi
Aksi SETAPAK
 
Mamfaat hutan
Mamfaat hutan Mamfaat hutan
Mamfaat hutan
Nova DiLa
 
7. kelestarian lingkungan
7. kelestarian lingkungan7. kelestarian lingkungan
7. kelestarian lingkungan
Jenita 'Nytha' Pangku
 
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauKebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
People Power
 

Similar to Alih Fungsi Kawasan (20)

KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI...
 
NAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdf
NAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdfNAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdf
NAURA_D1051231034 & RANGGA _D1051231039.pdf
 
Aktifitas illegal di dalam kawasan hutan
Aktifitas illegal di dalam kawasan hutanAktifitas illegal di dalam kawasan hutan
Aktifitas illegal di dalam kawasan hutan
 
Penebangan hutan
Penebangan hutanPenebangan hutan
Penebangan hutan
 
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
Penggunaan lahan kering di das limboto sept 2011
 
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).pptMENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
MENLHK KULIAH UMUM FORETIKA 4 OKTOBER 2023 6.40 (1).ppt
 
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandiMakalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
 
G12mqo bab i pendahuluan
G12mqo bab i pendahuluanG12mqo bab i pendahuluan
G12mqo bab i pendahuluan
 
Hutan 4
Hutan 4Hutan 4
Hutan 4
 
Makalah upaya pelestarian hutan
Makalah upaya pelestarian hutanMakalah upaya pelestarian hutan
Makalah upaya pelestarian hutan
 
Keberpihakan wonosobo arupa
Keberpihakan wonosobo   arupaKeberpihakan wonosobo   arupa
Keberpihakan wonosobo arupa
 
Ekosistem terancam
Ekosistem terancam Ekosistem terancam
Ekosistem terancam
 
Dampak konversi htn
Dampak konversi htnDampak konversi htn
Dampak konversi htn
 
Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)
Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)
Vol 11 No 3 (Jul-Sep 2003)
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
 
Lembar informasi-fwi
Lembar informasi-fwiLembar informasi-fwi
Lembar informasi-fwi
 
Mamfaat hutan
Mamfaat hutan Mamfaat hutan
Mamfaat hutan
 
7. kelestarian lingkungan
7. kelestarian lingkungan7. kelestarian lingkungan
7. kelestarian lingkungan
 
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauKebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
 

Alih Fungsi Kawasan

  • 1. 103 1 StafPenelitiBalaiPenelitianKehutananMataram ALIH FUNGSI (KONVERSI) KAWASAN HUTAN INDONESIA: TINJAUAN ASPEK HIDROLOGI DAN KONSERVASI TANAH Oleh : 1 Budi Hadi Narendra ABSTRAK Laju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenanairpadaberbagaitipepenggunaanlahan. Katakunci: alihfungsi,debitsungai,erosi,sedimentasidanteknikkonservasi I. PENDAHULUAN Hutan tropis termasuk sumberdaya alam terpenting di dunia. Luasnya hanya 30% permukaan bumi namun merupakan wadah utama bagi keanekaragaman hayati (WWF, 2003). Keberadaan hutan tropis Indonesia telah dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia yang manfaatnya tidak hanya dirasakan di dalam negeri namun telah diakui di skala global. Selain itu daratan Indonesia yang luasnya hanya 1,3% daratan bumi namun hutannya dikenal memiliki keragaman jenis flora dan fauna terbanyak. Dari total spesies mahluk hidup di dunia, hutan Indonesia memiliki 11 persen spesies tumbuhan, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung di dunia. Namun seiring perkembangan waktu, luas tutupan hutan di Indonesia kian hari kian mencemaskandiantaranyadisebabkanolehalihfungsikawasanhutan. Alih fungsi atau konversi kawasan hutan telah sering terjadi di Indonesia. Berbagai faktor yang mendasari terjadinya alih fungsi hutan ini seperti kegiatan ekonomi, pengembangan wilayah, dan dampak kegiatan illegal loging dan kebakaran hutan. Berbagai dampak dari alih fungsi hutan ini dapat dikategorikan pada dampak hidrologi, erosi dan
  • 2. 104 Prosiding Fungsi Kawasan Hutan sedimentasi, kebakaran, kepunahan flora dan fauna, dan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Makalah ini mengulas keadaantutupanhutanIndonesiahubungannyadenganadanyaalihfungsi hutan, dan akibat yang dapat ditimbulkan jika alih fungsi hutan dilakukan tidak secara seksama ditinjau dari aspek hidrologi dan konservasi tanah. Contoh-contohkasusyangditampilkanadalahberdasarhasilpenelitiandi dalam dan luar negeri yang memiliki tipe tutupan hutan seperti di Indonesia. Pada bagian akhir akan disajikan tindakan yang perlu dilakukan dalam meminimalkan dampak, jika keputusan alih fungsi hutan sudahtidakbisadihindarkanlagi. II. TUTUPAN HUTAN INDONESIA Pemerintah melalui lembaga kehutanan pada tahun 1950 pernah merilis peta vegetasi yang berisi informasi bahwa sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Peta tersebut juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya 40.700.000 hektar, Sumatera 37.370.000 hektar, Sulawesi 17.050.000 hektar, Maluku 7.300.000 hektar, Jawa 5.070.000 hektar serta terakhir Bali dan Nusa Tenggaraseluas3.400.000hektar(WRI,2002). Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. World Resource Institute menyatakan hingga saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 2,8 juta hektar per tahun, dua kali lebih cepat dibandingkan tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 menunjukkan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutandanlahanrusak,diantaranyaseluas59,62jutahektarberadadalam kawasanhutan. Pada tahun 2003, data dari Departemen Kehutanan menunjukkan tutupan hutan hanyasekitar94juta hektaratau sekitarsetengahdaritotal luas lahan di Indonesia. Sedangkan analisis FAO (Food and Agricultural Organisation) mengatakan bahwa tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8% dari total luas lahan dan 46,5% dari total luas wilayah. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2007 melakukan interpretasi citra satelitLandsat7ETM+,denganmenggunakandataperekamancitrasatelit
  • 3. 105 Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra) tahun 2004 – 2006 yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005. Hasilnya menunjukan bahwa tutupan hutan seluruh wilayah Indonesia berkurang menjadisekitar83jutahektar. III. ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN INDONESIA KondisihutanIndonesiayangdiindikasikandariluaspenutupannya menunjukkan gambaran yang makin memprihatinkan, sejalan dengan konversidaneksploitasiyangtelahdilakukan. Daridataluasantersebutdi atas, tercatat data laju kerusakan hutan Indonesia dalam kurun waktu 1997-2000 yang dikeluarkan Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha per tahun. Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's ForestsFAO,Indonesiatelahberadadalamurutanke-8negaradenganluas hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan 1,87 juta ha per tahun dalam kurun waktu 2000 – 2005, menempatkan Indonesia sebagai negara urutan ke-2 dengan laju kerusakan hutan tertinggi dunia. Analisis yang dilakukan FWI dalam kurun waktu 1989 – 2003 menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia telah mengalami perubahan akibat dari penurunan kualitas hutan (degradasi) 4,6 juta ha/tahun dan kehilangan tutupan hutan (deforestasi) sekitar 1,99 juta ha/tahun(ISAI,2007). Deforestasi merupakan salah satu faktor utama yang banyak dijumpai sebagai penyebab terjadinya perubahan fungsi ekologis pada hutan tropis (Lambin, 1994). Secara umum deforestasi didefinisikan sebagai penurununan kualitas (degradasi) kawasan hutan, sedangkan secara sempit diartikan sebagai berubahnya fungsi (alih fungsi) kawasan hutan (Wunder, 2000). Banyak hal yang mempengaruhi berkurangnya atau menurunnya kualitas tutupan hutan Indonesia. Lambin dan Helmut (2001) membagi penyebab deforestasi menjadi 3 kelompok yaitu penyebab langsung, penyebab dasar, dan penyebab biofisik. Penyebab langsung merupakan aktifitas manusia yang secara langsung mempengaruhi kondisi tutupan hutan dan fungsinya seperti exploitasi kayu, perluasan areal pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, dan sebagainya. Penyebab dasar biasanya berupa faktor yang komplek seperti faktor social, politik, ekonomi, budaya, dan kependudukan. Penyebab biofisikyangkebanyakanberasaldarifaktoralami. Di Indonesia, alih fungsi kawasan hutan merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari perkembangan industri perkayuan, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam (HA) maupun hutan tanaman (HT), ijin pemanfaatan kayu (IPK), pelepasan kawasan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemekaran
  • 4. 106 Prosiding Fungsi Kawasan Hutan wilayah, serta maraknya pembalakan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan. Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu illegal, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000 (ISAI, 2007). Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakansumberutamabencanakebakaranhutandiIndonesia. Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada tahun 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Hingga tahun 1950-an luasan ini tidak banyak berubah. Sampai dengan tahun 1969 luasan hutan yang dialihfungsikan telah mencapai 4,6 juta hektar. Sebagian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan dan sebagian besar adalah untuk kepentinganpertanian,terutamauntukbudidayapadi(WRI,2002). Hingga kini desakan untuk perluasan kebun sawit makin kuat. Minyak sawit mentah (CPO) menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah utama pengembangan kelapa sawit. Pada tahun 2003, dari kurang lebih 5,25 juta ha lahan yang dialokasikan untuk kelapa sawit, sekitar 19 % ada di Kalimantan dan 72% di Sumatera. Perluasan areal tanaman ini dimulai sejak investasi asing dibuka kembali pada tahun 1967 dan mulai meningkat kejayaannya pada tahun 1990-an. Dari luas 105.808 ha pada tahun1967,arealperkebunankelapasawitberkembangmenjadi5,59juta ha pada tahun 2005. Diprediksiperluasanperkebunan kelapa sawit masih akan terus dilakukan sampai 13,8 juta ha pada tahun 2020 (FWI, 2008). Menurutbeberapakajian,hampirsemuaperkebunankelapasawitberasal dari kegiatan konversi hutan produksi. Dengan prosedur untuk memperoleh lahan hutan yang relatif mudah, maka perusahaan dapat menebang habis serta menjual kayunya sebagai bisnis sampingan yang cukup menguntungkan, di luar keuntungan hasil panen kelapa sawit di masa yang akandatang. Sayangnya, masih ada jugaperusahaan nakalyang
  • 5. 107 hanya tertarik untuk mengambil kayu daripada menanam kelapa sawit pada wilayah konsesinya, bahkan ada diantaranya yang tidak pernah mempunyai keinginan untuk membangun perkebunan kelapa sawit, tetapi hanya mengejar ijin konversi untuk memperoleh keuntungan dari kayuyangdidapatkandarikegiatanpembukaanlahan(landclearing). Sektor pertambangan juga turut andil dalam alih fungsi kawasan hutan. Hingga 2006, ijin yang dikeluarkan Departemen ESDM terdapat sekitar 1.830-an ijin dengan total luas konsesi sekitar 28,27 juta ha. Dari totaljumlahijinyangdikeluarkan,ada150diantaranyaberadadikawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas lebih dari 11 juta ha (FWI, 2008). Dampak dari kegiatan pertambangan diyakini memiliki daya rusak yang sangat sulit dipulihkan. Kerusakan lingkungan, konflik horisontal dan pemiskinan menjadi fakta yang sering kita jumpai di lapangan.Ancaman alih fungsi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi datang juga dari pertambangan minyak dan gas bumi. Hingga tahun 2006, pemerintah melalui Departemen ESDM sudah mengeluarkan ijin202blokmigas.Darijumlahtersebutsebanyak68blok(sekitar1,8juta ha) menempati kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, SuakaMargasatwa,TamanWisataAlam,danTamanHutanRaya. Korupsi, tindakan anarki, dan lemahnya penegakan hukum berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal, dan penggundulan dan kebakaran hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadidikawasankonservasi,misalnyadiTamanNasionalTanjungPuting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh. Hal serupa terjadi di hutan Sekotong dan Sesaot di Lombok Barat yang merupakan penyangga kebutuhan air masyarakat Lombok. Kini kondisinya makin memprihatinkan, bahkan terancam menujuprosespenggurunan(Suhaili,2007). IV. DAMPAK ALIH FUNGSI KAWASAN TERHADAP FUNGSI HIDROLOGIS Alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun bila tidak dicermati dan dipertimbangkan secara matang dari aspek lingkungan, ekologi, hukum, sosial, ekonomi dan budaya, maka alih fungsi tersebut akan menimbulkan dampak negatif baik secara lokal maupun dalam skala luas. Dalam alih fungsi ini hendaknya tetap dijaga adanya keseimbangan antara fungsi sumber daya hutan sebagai komponen ekologi dan fungsi hutan lainnya sebagai komponen ekonomi. Berbagai bencana yang sering kita dengar Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
  • 6. 108 Prosiding Fungsi Kawasan Hutan seperti banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan, pencemaran, serangan binatang buas, kepunahan flora dan fauna, konflik antar warga diantaranyadisebabkankurangcermatnyapenetapanalihfungsikawasan hutan dan pelaksanaan yang kurang memperhatikan aspek konservasi, terutama pada kawasan hutan yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai hutanlindungatauhutankonservasi. Berdasarkan data WWF Indonesia, telah terjadi konversi lahan secara drastis di hutan Balai Raja yang pada tahun 1986 dengan tutupan hutan sekitar 16.000 hektar ditetapkan sebagai suaka margasatwa bagi habitat gajah dan harimau sumatera, namun pada tahun 2005 luasannya hanya tinggal 260 hektar. Penurunan jumlah luasan ini turut andil dalam penurunan jumlah secara drastis jenis satwa yang dilindungi tersebut. Dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah sumatera berkurang dari sekitar 700 ekor menjadi 350 ekor. Selain itu dilaporkan gajah merusak kebun dan rumah warga maupun harimau yang menyerang ternak dan manusia(Foead,2006). Dari sisi hidrologi telah banyak kajian dan penelitian yang menerangkan bahwa secara umum perubahan fungsi hutan terutama hutan tropis akan berpengaruh terhadap komponen hidrologi seperti curah hujan, total debit tahunan, distribusi musiman aliran sungai, erosi dan sedimentasi. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi penggunaan lainnya, baik sebagian atau secara total akan merubah respon yang diberikan lahan terhadap masukan (input) curah hujan. Dampak nyata yangdapatdirasakandiantaranyaberupa: - berkurangnya curah hujan suatu wilayah yang luasan tutupan hutannya berkurangsecarasignifikan - meningkatnya debit puncak aliran sungai dibandingkan kondisi sebelum hutan dialihfungsikan, meskipun dengan kondisi curah hujan yangrelatiftetap.Halinimerupakansalahsatupemicuterjadinyabanjir - Terjadinya kekeringan atau menurunnya debit sungai saat musim kemaraudibandingkankondisiawalsebelumhutandikonversi - Meningkatnyaerosidansedimentasi - Meningkatnya frekuensi kejadian longsor terutama longsor dangkal (shallowslide) Para ahli menyatakan bahwa hutan tropis, jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lain seperti areal pertanian maupun peternakan, menghasilkan evapotranspirasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya kelembaban atmosfir sehingga peluang terbentuknya awan dan hujan makin besar. Untuk kawasan Asia Tenggara, konversi hutan secara total menjadi semak atau padang rumput akan menurunkan curah hujan rata-rata sebanyak 8%. Namun beberapa ahli
  • 7. 109 menyatakan untuk daerah yang lebih banyak dipengaruhi oleh iklim laut, perubahan tutupan hutan efeknya tidak sebesar efek perubahan suhu permukaanairlaut(Bruijnzeel,2004). Di masa lalu, fungsi hidrologis hutan sempat menjadi topik diskusi yang hangat. Kelompok pertama yang berpegang pada teori spon (sponge theory) menyatakan bahwa hutan melalui akar pohon, seresah, dan tanah mampu menyimpan air hujan dan melepaskannya secara perlahan. Kelompok lain pemegang teori infiltrasi menyatakan bahwa tata air di hutan lebih banyak dipengaruhi oleh komponen geologis berupa tipe batuan atau tanah hutan, dibandingkan dengan ada atau tidak adanya tutupanhutan.Sedangkankelompokyangnetrallebihmenekankanfungsi hutan dalam mencegah erosi dan banjir. Kini para ahli lebih memandang akar pepohonan lebih sesuai sebagai ”pompa air” dibandingkan sebagai spon, dan di musim kemarau akar tidak melepaskan air ke tanah tetapi melepas air ke udara dalam proses transpirasi. Mereka juga menyatakan bahwa banjir terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan kapasitaspenyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke aliran sungai (Hamilton dan King, 1983). Dengankata lain kejadian banjir tidak semata- mata hanya dipengaruhi kondisi penutupan lahan, tetapi juga tergantung faktoriklimdangeologi. Pada proses pengkonversian tutupan hutan, fungsi ”spon” pada hutan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Efek yang dihasilkan perlu dipisahkan antara total hasil air tahunan dengan distribusi debit air musiman atau bulanan. Dengan berkurangnya tutupan hutan, hasil air tahunan cenderung meningkat karena tidak ada atau berkurangnya jumlah air yang dilepaskan melalui transpirasi. Jika tutupan hutan yang dikonversi tidak terlalu besar, jumlah air yang disimpan masih dapat dilepaskan sepanjang tahun secara kontinyu sebagai aliran dasar. Sebaliknya, jika hutan dikonversi secara besar-besaran atau secara total, jumlah air yang tersimpan sebagai air tanah sangat minim jumlahnya sehingga pada saat musim kemarau suplai air ke alur sungai atau mata air sangatterbatas. Beberapa penelitian telah menghasilkan kesimpulan yang men- dukungpernyataandiatas.Penelitiandengankeakuratantinggidilakukan melalui pengamatan terhadap sub DAS yang berpasangan. Dengan cara ini kesalahan akibat perbedaan kondisi iklim dan lahan dapat diminimalisir hingga<20%.PenelitiansemacaminipernahdilakukanBruijnzeel(1990) yang menunjukkan adanya pengurangan tutupan hutan lebih dari 33%, secara signifikan akan meningkatkan aliran tahunan selama 3 tahun pertama. Peningkatan ini berkisar dari 145 hingga 820 mm/tahun, Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
  • 8. Prosiding Fungsi Kawasan Hutan 110 tergantung curah hujan tahunannya. Peningkatan hasil air ini secara proporsional sesuai dengan biomassa hutan yang dikeluarkan, sehingga perubahan hasil air lebih banyak mencerminkan perubahan transpirasi dan sedikit perubahan aliran permukaan (runoff). Secara umum, hutan hujan tropis yang kondisi penutupannya masih baik akan menginfil- trasikan 80 – 95% curah hujan ke dalam tanah, dan jika kelembaban tanah tidak terbatas, 1000 mm diataranya akan dikeluarkan lagi melalui proses transpirasi, sedangkan sisanya akan dikeluarkan secara perlahan pada alursungaisebagaialirandasar. Weert (1994) membandingkan total aliran tahunan DAS Citarum 2 yang luasnya 4133 km selama dua periode yaitu tahun 1922-1929 dan 1979-1986. Pada dua periode tersebut, rata-rata curah hujan tahunannya tidak berbeda jauh yaitu 2454 dan 2470 mm namun terdapat perbedaan rata-rata total aliran tahunannya yaitu 1137 dan 1261mm. Perbedaan ini lebih disebabkanadanya penurunan evapotranspirasi sekitar 110 mm per tahun pada periode dimana telah terjadi konversi hutan. Meskipun tidak ada informasi detil mengenai perubahan tipe penggunaan lahan namun dilaporkan telah terjadi penurunan luas tutupan hutan. Di tahun 1985, sekitar 50% lahan tertutup hutan, perkebunan, dan hutan campuran. Sawahirigasisebanyak7%,pemukiman34%,dan9%berupasawahtadah hujan. Penurunan evapotranspirasi pada periode kedua terjadi kerena adanya perluasan pemukiman, jaringan jalan, dan areal pertanian. Pengamatan serupa juga dilakukan Harto dan Kondoh (1989) di DAS Ciliwung-Cisadane, hasilnya menunjukkan adanya penurunan evapotranspirasi sebesar 110mm diakibatkan alih fungsi hutan menjadi pemukiman sebanyak 5% dan sawah tadah hujan sebanyak 10%. Widianto,dkk.(2004)yangmelakukanpengamatanterhadapdampakalih fungsi hutan menjadi perkebunan kopi yang ditanam secara monokultur. Hasil perbandingan menunjukkan limpasan permukaan di hutan alam adalah 27mm, di hutan yang baru dibuka 75mm, dan di bawah tegakan kopi sampai umur 3 tahun adalah 124mm. Pengukuran laju infiltrasi menunjukkan lahan dengan tanaman kopi berumur 3 tahun memiliki kemampuaninfiltrasiterendahdibandingkanpadategakankopiumur1,7, dan 10 tahun, sedangkan tegakan hutan alam memiliki kemampuan tertinggi. Untuk daerah-daerah dengan curah hujan musiman seperti kebanyakan daerah di Indonesia, distribusi aliran air sungai menurut waktu menjadi lebih penting dibandingkan total debit yang dihasilkan dalam satu tahun. Hal ini disebabkan pada musim kemarau masyarakat akan mengandalkan suplai air dari mata air atau aliran dasar yang dilepaskan secara perlahan oleh daerah tangkapan air. Adanya alih fungsi hutan seringkali dirasakan dampaknya di musim kemarau dengan
  • 9. 111 minimnya atau hilangnya debit mata air atau debit air sungai. Pembukaan tutupan hutan yang biasanya diikuti denganpemadatan permukaan tanah oleh alat-alat berat, pembangunan sarana jalan, gedung, atau infrastruktur lain, atau pengalihan fungsi menjadi areal budi daya pertanian, perkebunan atau hutan tanaman tanpa tindakan konservasi yang memadai akan menurunkan kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan. Akibatnya di saat musim hujan daerah tangkapan air akan menghasilkan limpasan permukaan yang lebih besar, sedangkan simpanan air tanah sebagai pemasok mata air dan aliran dasar akan menurun. Dengan kata lain efek spon dari keberadaan hutan telah hilang dan ketika luasan hutan yang dialihfungsikan mencapai titik kritis, jumlah cadangan air dalam tanah diperkirakan tidak akan mencukupi suplai sepanjang musim kemarau, seperti yang terjadi di Selorejo, Jawa Timur. Gambar 1 menunjukkan perubahan distribusi debit air bulanan pada periode sebelum dan setelah 33% luasan hutan dialihfungsikan menjadi pemukimandanlahanpertaniankering(Bruijnzeel,2004). 0 50 100 150 200 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Bulan Debitaliran(mm/bulan) 1919-1943 1961-1972 Gambar1. Distribusi debit aliran bulanan di Selorejo, Jawa Timur sebelumdansetelahalihfungsikawasanhutan Alih fungsi hutan alam secara besar-besaran menjadi hutan tanaman seringkali mengancam ketersediaan pasokan air di musim kemarau. Hal ini tergantung kondisi iklim setempat dikaitkan dengan pemilihan jenis tanaman yang sesuai secara ekologis dan ekonomis. Jenis- jenis cepat tumbuh yang banyak diusahakan seperti Acacia mangium, Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria, Eucalyptus spp, dan Pinus merkusii diduga mengkonsumsi relatif banyak air. Pengamatan oleh Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
  • 10. Prosiding Fungsi Kawasan Hutan 112 Cienciala, dkk. (2000) menunjukkan bahwa tegakan A. mangium umur 10 tahun di Malaysia Timur meskipun di masa kekeringan namun tetap mengkonsumsi banyak air dibandingkan pada tegakan hutan alam. Jenis- jenis ekaliptus selama ini dicap sebagai tanaman rakus air, seperti yang ditunjukkan pada hutan tanaman Eucalyptus camaldulensis dan E. tereticomis di selatan India. Pada kondisi air yang berkecukupan, rata-rata transpirasinya mencapai 6 mm/hari sedangkan pada musim kemarau mencapai 1 mm/hari. Kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan jika kedalaman akar tanaman masih sekitar 3 meter karena jumlah air yang ditranspirasikan masih setara dengan nilai transpirasi tegakan hutan alami. Namun jika kedalaman akar telah mencapai lebih dari 8 meter, transpirasi yang terjadi akan melebihi besaranya curah hujan sehingga tegakan akan mengambil cadangan air dari kelebihan curah hujan tahun sebelumnya. Pertambahan panjang akar jenis ini dapat mencapai sedikitnya 2,5 meter per tahun atau kira-kira setara dengan pertambahan tinggi batang tanaman (Roberts dan Rosier, 1993). Sedangkan di dataran tinggi Kenya, hutan alam yang dialihfungsikan menjadi hutan tanaman pinus, hasil airnya baru dapat kembali pada keadaan normal setelah tegakan mencapai umur 8 tahun (Blackie, 1979). Hal serupa diperkirakan terjadijugasetelahtanamandewasapadaalihfungsihutanmenjadikebun kelapasawit(Foongdkk.,1983). V. DAMPAK ALIH FUNGSI HUTAN TERHADAP EROSI DAN SEDIMENTASI Efek negatif lain yang dapat terjadi dari proses alih fungsi kawasan hutan adalah meningkatnya erosi dan sedimentasi. Penilaian besarnya erosiyangdilakukandenganmengamatisedimenpadaaliransungaiharus dilakukan secara seksama. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan penentuan sumber sedimen, apakah berasal dari erosi permukaan, erosi parit (gully erosion), atau dari longsoran. Sebanyak 80 penelitian yang dirangkum Wiersum (1984) mengenai erosi permukaan pada hutan tropis dan sistem agroforestry menunjukkan bahwa erosi permukaan dapat diminimalkan jika permukaan tanah mendapat cukup perlindungan,baikolehtajukvegetasimaupunolehserasahdipermukaan tanah. Kondisi tajuk hutan yang baik, bila tanpa disertai adanya seresah dan bahan organik pada tanah permukaan akan meningkatkan erosi secara drastis. Hasil penelitian Widianto, dkk. (2004) menunjukkan hutan yang dialihfungsikan menjadi tanaman kopi monokultur akan meningkatkan nilai erosi, terutama pada tanaman kopi umur 1 tahun. Demikian pula dengan gangguan pada permukaan tanah seperti
  • 11. 113 kebakaran yang berulang-ulang, penggembalaan yang berlebihan, pembangunan jalan hutan dan infrastruktur lainnya akan mengakibatkan pemadatan tanah dan mengganggu proses infiltrasi sehingga memper- parah erosi hingga 500 ton/ha/th dan pada akhirnya sedimentasi pada alursungaijugameningkat. Erosi parit yang terjadi di hutan hujan tropis lebih banyak disebab- kan adanya curah hujan tinggi menerpa permukaan tanah yang terbuka akibat penebangan pohon atau terjadinya pergeseran permukaan tanah. Erosi parit yang tidak ditangani sejak dini, akan mencapai kondisi dimana penanganannya akan sangat sulit dan memerlukan biaya tinggi. Pemulihan kembali melalui kegiatan revegetasi saja dinilai tidak cukup efektif, sehingga harus disertai dengan pembuatan bangunan konservasi seperticekdam,dindingpenahan,atausaluranpengelak. Pembukaan atau alih fungsi kawasan hutan juga memicu terjadinya longsor terutama longsoran dangkal dengan ketebalan kurang dari 3 meter. Pada posisi ini, jaringan akar pepohonan berperan dalam menguatkan ikatan tanah dan menahan pergeseran tanah. Lebih dari 650 kejadian longsor di Nepal dalam kurun 1972 – 1986 terjadi pada hutan gundul dengan kemiringan > 33°, sedangkan pada hutan dengan penutupan vegetasi yang masih baik, peristiwa ini jarang terjadi. Untuk longsoran yang lebih dalam (> 3m), kejadiannya lebih banyak dikontrol olehfaktorgeologi,topografi,daniklim(Bruijnzeel,2004). VI. TINDAKAN MEMINIMALKAN DAMPAK ALIH FUNGSI HUTAN Alih fungsi kawasan hutan pada masa sekarang sudah sulit untuk dihindarkan. Jika alih fungsi kawasan hutan sudah tidak dapat dihindari, tindakan yang perlu diambil adalah menjaga agar alih fungsi tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan drastis pada tatanan proses hidrologis atau menekan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkan khususnya pada aspek hidrologi dan konservasi tanah. Caranya adalah dengan menjaga agar proses infiltrasi air hujan tetap terwadahi sehingga limpasan permukaan dapat ditekan melalui tindakan konservasi tanah dan aplikasi teknik-teknik pemanenan air. Tindakan ini dapat diaplikasi- kan pada setiap jenis penggunaan lahan yang mengantikan penutupan hutan. Namun perlu diperhatikan bahwa perananan hutan alam secara keseluruhantidakdapatdigantikansecarautuholehtipepenutupanlahan lahanlainnya. Pada kegiatan pertanian, telah banyak contoh teknik konservasi tanah yang dapat diaplikasikan dengan tujuan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah dan mengurangi erosi, seperti pembuatan teras, rorak, Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
  • 12. 114 Prosiding Fungsi Kawasan Hutan aplikasi mulsa, tanaman penutup tanah (cover crop), penerarapan sistem agroforestry, pertanaman lorong (alley cropping), multi strata tajuk. Dengan cara-cara ini diharapkan limpasan permukaan dapat ditekan, kesempatan infiltrasi tanah tetap terjaga, dan distribusi debit aliran dapat berkesinambungan meski memasuki musim kemarau. Bahkan hasil eksperimen yang dilakukan Edwards (1979) di Tanzania seperti tampak pada Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan debit bulanan yang dihasilkan daerah tangkapan air setelah tutupan hutan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian tanaman semusim disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah. Dengan cara ini air hujan secara optimal tersimpan sebagai air tanah dan total volume air dalam setahun juga meningkat karena berkurangnya evapotranspirasi sehubungan dengan konversihutan. 0 25 50 75 100 125 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Bulan Debitaliran(mm/bulan) Hutan Pertanian+konservasi Gambar2. Distribusi debit aliran bulanan sebelum dan setelah alih fungsi kawasan hutan menjadi areal pertanian disertai tindakankonservasidiTanzania Demikian pula pada alih fungsi hutan menjadi pemukiman, dan infrastruktur penunjangnya seperti jaringan jalan, upaya pemanenan air melalui pembuatan sumur resapan dan parit jebakan dapat membantu mengurangi aliran permukaan dan erosi. Pada alih fungsi hutan untuk kegiatan penambangan, perlu diawasi agar tiap aspek kegiatan penambangan dilakukan secara ramah lingkungan. Pencemaran tanah dan tubuh perairan oleh zat berbahaya harus dicegah. Selain itu perlu terus dikembangkan upaya-upaya untuk mempercepat proses revegetasi
  • 13. 115 pasca penambangan terutama pada tanah-tanah miskin hara, tercemar bahan kimia, atau mengandung logam berat yang menjadi faktor pembataskemampuanhiduptanaman. Pada pengalihan fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman atau perkebunan, pemilihan jenis tanaman merupakan salah satu faktor vital yang menentukan besarnya perubahan tata air. Namun belum banyak hasil penelitian tentang hal tersebut pada lokasi dan jenis yang spesifik. Untukpenanamandilokasibercurahhujantinggi,pemilihanjenis-jenisini tidak akan terasa dampaknya terhadap pengurangan debit air di musim kemarau. Namun di daerah yang jumlah curah hujannya sedang atau minim, jenis-jenis ini akan menjadi kompetitor bagi pengguna air lainnya khususnyadimusimkemarau.Untukerosidansedimentasiyangterutama terjadi pada tahap awal pembangunan hutan tanaman dapat diminimalisir dengan penerapan sistem agroforestry, penggunaan mulsa atau tanaman penutup tanah rendah dari jenis legum. Jenis legum telah terbukti memiliki kemampuan lebih dalam menjaga dan memperbaiki kondisi fisika dan kimia tanah, serta memiliki berbagai manfaat lain sepertipenyuplaipakanternakmaupunkayubakar. VII. KESIMPULAN Laju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air padaberbagaitipepenggunaanlahan. DAFTAR PUSTAKA Blackie, J.R., 1979. The water balance of the Kimakia catchments. E. Afr. Agric. For. J. 43, pp. 155–174. dalam Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the trees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228. Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effects of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO, Paris, and Vrije Universiteit,Amsterdam,TheNetherlands,226pp. Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)
  • 14. 116 Prosiding Fungsi Kawasan Hutan Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: not seeing thesoilforthetrees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228. Cienciala, E., Kucera, J. and Malmer, A., 2000. Tree sap flow and stand transpirationoftwoAcaciamangiumplantationsinSabah,Borneo.J. Hydrol.236,pp.109–120. Edwards, K.A., 1979. The water balance of the Mbeya experimental catchments.E.Afr.Agric.For.J.43,pp.231–247. Foead, N. 2006. Konversi Hutan Alam Ancam Habitat. Harian Kompas 11 Maret 2006. http://www2.kompas.com/kcm/. Diakses tanggal 27 Juli2008. Foong, S.F., S.O. Syed Sofi, P.Y. Tan. 1983. A lysimetric simulation of leaching losses from an oil palm field. Proceedings of the Seminar on Fertilizers in Malaysian Agriculture. Malaysian Society of Soil Science, Kuala Lumpur, pp. 45–68 dalam Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the trees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228. FWI (Forest Watch Indonesia). 2008. Perkembangan Tutupan Hutan Indonesia.http://www.fwi.or.id.Diaksestanggal27Juli2008. Hamilton, L.S. dan P.N.King. 1983. Tropical Forested Watersheds. Hydrologic and Soils Response to Major Uses or Conversions. Westview Press, Boulder, CO, p. 168. dalam Bruijnzeel, 2004 L.A. Bruijnzeel, Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soilforthetrees?,Agric.Ecos.Env.104(2004). Harto,A.BdanA.Kondoh.1998.Theeffectoflandusechangesonthewater balance in the Ciliwung-Cisadane catchment, West Java, Indonesia. Prosiding the International Symposium on Hydrology, Water Resources and Environment, Development and Management in Southeast Asia and the Pacific, Taegu, Republic of Korea, November 10–13,1998.ROSTSEA/UNESCO,Jakarta,pp.121–132. ISAI. 2007. Potret Buram Hutan Indonesia. http://www.isai.or.id. Diakses tanggal27Juli2008. Lambin, E.F. 1994. Modeling deforestation processes: a review (Research report. No. 1): TREES Series B. 115 p. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo- information Science and Earth Observation, Environmental System AnalysisandManagement.ITC-Netherlands.
  • 15. Lambin, E.F. dan J. Helmut. 2001. What Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental SystemAnalysisandManagement.ITC-Netherlands. Rijsdijk, A. dan L.A. Bruijnzeel. 1991. Erosion, sediment yield and land use patterns in the upper Konto watershed, East Java, Indonesia. Konto River Project Communication, vol. 3. Konto River Project, Malang, Indonesia,150pp. Roberts, J. and P.T.W. Rosier. 1993. Physiological studies in young Eucalyptus stands in southern India and derived estimates of forest transpiration.Agric.WaterManage.24,pp.103–118. Suhaili, L. 2007. Hutan Sekotong Terancam Menjadi Gurun. Harian Suara NTBtanggal13Januari2007. Weert, R.V. 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics, Jakarta,Indonesia,p.72. Widianto, D.Suprayogo, H.Noveras, R.H.Widodo, P.Purnomosidhi, dan M.V.Noordwijk. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian: apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan system k o p i m o n o k u l t u r ? A G R I V I T A 2 6 ( 1 ) : 4 7 - 5 2 . http://www.worldagroforestrycenter.org/sea/publications/file/jo urnal/JA0020-04.pdf.Diaksestanggal15Juli2008. Wiersum, K.F. 1984. Surface erosion under various tropical agroforestry systems. IUFRO, Vienna, pp. 231–239. dalam Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the trees?Agric.Ecos.Env.104(2004),pp.185–228. WRI (World Resource Institute). 2002. State of the Forest: Indonesia. http://www.wri.org/biodiv/pubs.pdf.cfm. Diakses tanggal 28 Juli 2008. Wunder, S. 2000. The economics of deforestation. St. Antony's Series ed. Great Britain. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management.ITC-Netherlands. WWF. 2003. WWF's Approach to Forest Conservation. http://www.panda.org/downloads/forests/poforestconservation. pdf.Diaksestanggal15Juli2003. 117 Alih Fungsi (Konservasi) .......... (Budi Hadi Narendra)