1. PENGEMBANGAN MATERI PPKn
Mata Kuliah PPKn
Dosen Pembina: R. Widodo
Oleh:
Novi Fachrunnisa (201210410311051)
Farmasi B
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
1
2. DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................................ 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ...................................................................................................................................... 5
BAB I PARADIGMA BARU PPKn.......................................................................................................... 5
A. Pendidikan Kewarganegaraan Bukan Sebagai Indoktrinasi Politik .......................................... 5
B. Proses yang Mencerdaskan ................................................................................................... 9
C. Mengembangkan State of Mind ............................................................................................ 9
D. Harus Menjadi Laboratorium Demokrasi ............................................................................... 9
BAB II PARADIGMA PENDIDIKAN..................................................................................................... 10
A. Pengertian Pendidikan ........................................................................................................ 10
B. Fungsi Pendidikan ............................................................................................................... 10
BAB III TUJUAN MATA KULIAH PPKn ............................................................................................... 11
BAB IV LATAR BELAKANG PENTINGNYA MATA KULIAH PPKn ........................................................... 13
BAB V PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ................................................................ 14
A. Disintegrasi Bangsa ............................................................................................................. 14
B. Pancasila ............................................................................................................................. 18
4. Krisis Sosial Budaya ............................................................................................................. 19
C. Tiga Pilar Demokrasi ............................................................................................................ 20
BAB VI EMPAT PILAR BANGSA INDONESIA ...................................................................................... 21
BAB VII ETIKA BANGSA INDONESIA ................................................................................................. 22
A. Pengertian Etika .................................................................................................................. 22
B. Tujuan Tuntutan Etika Bangsa ............................................................................................. 22
BAB VIII TRANSISI MASYARAKAT INDONESIA................................................................................... 23
BAB IX CITA-CITA BANGSA INDONESIA ............................................................................................ 24
BAB X HAK ASASI MANUSIA ............................................................................................................ 25
BAB XI DOSA SOSIAL MASYARAKAT ................................................................................................. 28
2
4. PENDAHULUAN
` Pancasila sebagai ideologi Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan
ide, nilai, moral, dan norma yang mendasari pola pikir, sikap, dan perilaku sehingga mewujud
dalam karakter bangsa Indonesia.
Karakter bangsa ditopang oleh seperangkat nilai yang bersumber dari olah hati, olah
pikir, olah raga/kinestetik, olah rasa dan karsa dalam bentuk nilai-nilai utama karakter : jujur,
cerdas, tangguh, dan peduli.
Budaya akademik perguruan tinggi sebagai totalitas nilai dan perilaku dalam kehidupan
akademik harus dimaknai, dihayati, dan diamalkan oleh sivitas akademika, yang bertumpu
pada nilai-nilai utama karakter : jujur, cerdas, tangguh, dan peduli.
4
5. PEMBAHASAN
BAB I PARADIGMA BARU PPKn
A. Pendid ikan Kewarganegaraan Bukan Sebagai Indoktrinasi Po lit ik
Doktrin bahagian daripada ideologi, tetapi lebih tinggi daripada norma. Indoktrinasi adalah
proses penerapanan sebuah nilai, keyakinan dan ide tertentu untuk dijadikan norma dalam
kehidupan keseharian yang lebih nyata daripada nilai, keyakinan atau ide yang bersifat lebih
abstrak, indoktrinasi jika dijalankan terus-menerus akan menjadi dogma.
Dogma adalah sebuah doktrin atau sekumpulan doktrin berkaitan dengan keimanan /
keyakinan dan nilai-nilai moral yang secara formal telah ditetapkan dan ditegaskan oleh
Gereja.
Pendidikan kewarganegaraan bukan indoktrinasi politik, artinya
pendidikan kewarganegaraan sebaiknya tidak menjadi alat indoktrinasi politik dari
pemerintahan yang berkuasa. Pendidikan kewarganegaraan seharusnya menjadi
bidang kajian kewarganegaraan serta disiplin lainnya yang berkaitan secara
langsung dengan proses pengembangan warga negara yang demokratis sebagai
pelaku-pelaku pembangunan bangsa yang bertanggung jawab.
UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu : Learning to know, Learning to do,
Learning to live together, dan Learning to be.
Learning to Know
Philip Phenix menyatakan bahwa proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways
of knowing atau mode of inquiry telah memungkinkan peserta didik (siswa) terus belajar dan
mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan hasil
penelitian orang lain. Karena itu, hakikat Learning to Know adalah proses pembelajaran yang
memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan
semata-mata memperoleh pengetahuan.
Menurut Scheffler, pilar ini pada hakikatnya terkait dengan relevansi epistemologi, yang
mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik (pelajar/mahasiswa)
terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Dalam kalimat lengkapnya tertulis sebagai berikut
“Epistemological relevance in short requires us to reject both myth and mystic union. It
requires not contact but criticism, not immersion in the phenomenal and conceptual given, but
the flexibility of mind capable of transcending, reordering, and expanding the given. ‘An
5
6. education that fosters criticism and conceptual flexibility transcends its environment and by
erecting a mythical substitue for this world but rather striving for a systematic and penetrating
comprehension of it.”
Lebih lanjut dipaparkan
“Theoretical inquiry, independently pursued has the most powerful potential for the analysis
and transformation of practice. The bearing of inquiry upon practice is moreover of the
greatest educational interest. Such interest is not, contrary to recent emphases, exhausted in a
concern for inquiry within the structure of several disciplines. Students should be encouraged
to employ the information and technique of disciplines in analysis, criticism, and alteration of
their practical outlook. Habits of practical diagnosis, critique and execution upon responsible
inquiry need the supplement theoretical attitude and disciplinary proficiencies in the traing of
the young.”
Pandangan Scheffler tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan “learning to know”
pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix, Scheffler memandang pentingnya pilar
“learning to know” untuk berangkat dari disiplin ilmu pengetahuan karena bagi mereka “mode
of inquiry” dari disiplin ilmu adalah bentuk yang paling tertinggi dari berpikir. Dalam kaitan
ini dia menyatakan: “In the revolutionary perspective, thought is an adaptive instrument for
overcoming enviromental difficulties. Scientific inquiry, the most highly form of thought is the
most explicity problem directed.”
Selanjutnya dia menyatakan
“Interpreting science as the most refined and effective development to such adaptive thinking,
is urges the outensible problem-solving pattern of scientific research as the chief paradigm of
intellectual activity, to be favored in all phases of education and culture.”
Dari uraian dan kutipan di atas dapat ditarik pemahaman bahwa penerapan pilar “learning to
know” pada tingkat pendidikan tinggi adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam
pelaksanaan perkuliahan. Dengan model pendekatan ini dapatlah dihasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan
mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Learnig to do
Jika pilar pertama, ”learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalama penguasaan IPTEk antara negara di
dunia dan tidak lagi dibagi antara negara uatara-selatan, pilar kedua, “learning to do”
sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi
industri.
Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan
ketrampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan
pekerjaan – pekerjaan seperti “controlling, monitoring, maintaning, designing, organizing,
yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin.
Dengan kata lain, menyiapkan anggota masyarakat memasuki dunia kerja yang dalam
“technology knowledge based economy”, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang
konkrit yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan ketrampilan yang mekanistis melainkan
6
7. meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi
konflik, menjadi penting.
Dalam kaitan dengan “learning to do” perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang
relevansi psikologis, maupun doktrin Whitehead tentang hakikat pendidikan sebagai upaya
penguasaan seni menggunakan pengetahuan. Ini berarti bahwa untuk melahirkan generasi baru
yang “intelligent” dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan
berinovasi sangatlah diperlukan. Pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis dapat dilihat
dalam kalimat berikut:
“Thought according to widely prevalent doctrine is problem oriented. It originates in doubt,
conflict, and difficulty. The functions is to overcome obstacles to the smooth flow of human
activities. When action is coherent and well adapted to its circumstances, human energy is
released into overt channel set by habit and custom. The blocking of conduct either through
internal conflict on environment hidrance, turns its energy inward, transforming its into
thought.”
Dalam kaitan ini, pada tingkat pendidikan tinggi, mengandung makna atau berimplikasi
tentang perlunya pendidikan profesional pada pendidikan tinggi secara konsekuentif, bermuara
pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan seorang mahasiswa berkesempatan
mengintegrasikan pemahanan konsep, penguasaan ketrampilan teknis dan intelektual, untuk
memecahkan masalah dan dapat berlanjut kepada inovasi dan improvisasi.
Learning to live together
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global
ternyata tidak menghapus konflik antara manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia.
Yang terjadi akhir-akhir ini bahkan sebaliknya yaitu terjadinya konflik antar manusia yang
didasarkan atas prasangka, baik antar ras, antar suku, antar agama dan antar si kaya dan si
miskin, dan antar negara. Padahal sejak berakhirnya Perang Dunia ke II berbagai deklarasi
untuk menjadi dasar penyelesaian konflik seperti Deklarasi HAM, piagam PBB. Bangsa kita
sendiri memiliki landasan pandangan hidup Pancasila yang hakekatnya adalah untuk
membangun negara kebangsaan yang demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan yang
Maha Esa, dan menggalang persatuan dan persaudaraan bukan hanya antar warga bangsa
melainkan dengan seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam kalimat “ketertiban dunia
yang didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi”. Komisi Internasional
untuk pendidikan abad ke-21 mengakui sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi dan saling
pengertian dan bebas dari prasangka. :
“It is difficult task, since people very naturally tend overvalue their own qualities and those of
their group and to harbour prejudies against others. Furthermore, the general climate of
competition that is at present characteristic of economic activity, within and above all between
nations, tends to give priority to the competitive spirit and individual success. Such competition
now amounts to ruthless economic warfare and to a tension between rich and poor that is
dividing nations and the world, and exacerbating historic rivalries”.
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh komisi di atas menuntut
pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan
bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang
lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini
7
8. adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh
pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam
keragaman tersebut terdapat persamaan.
Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan
terdapat saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan dengan
pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang
relatif lama. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral yang disarankan Israel
Scheffler sangat memadai. Suatu prinsip yang memerlukan suasana belajar yang secara
“inherently” mengandung nilai-nilai toleransi saling ketergantungan, kerjasama, dan tenggang
rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan
bersama. Kegiatan “camping” yang berlangsung mingguan dengan sasaran bersama yang harus
dicapai oleh seluruh peserta merupakan salah satu model yang perlu ditempuh. Model sekolah
berasrama dan kampus yang merupakan kawasan tersendiri merupakan pendekatan yang
ditempuh Inggris dan Amerika Serikat dalam membangun bangsa yang bersatu. Kiranya
bangsa Indonesia perlu belajar dari negara lain.
Learning to be (Belajar membentuk jati diri)
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi
dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan
masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada
masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya,
dalam bahasa UU No. 2 Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan
mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang
mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa
empati (tepo sliro), atau dalam kamus psikologi disebut memiliki “Emotional Intelligance”.
Inilah kurang lebih makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar.
Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik
(pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau manusia
yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah sampai kepada
tingkatan “joy of discovery” pada pilar “learning to know”, tingkatan joy of being succesful in
achieving objective, pada “learning to do”, dan tingkatan joy of getting together to achieve
common goal.
Dan adalah keyakinan keilmuan dan professional penulis bahwa hanya dengan penerapan
keempat pilar tersebut upaya menghadapi tantangan jaman melalui pengembangan kemampuan
dan pembentuk watak akan dapat secara efektif berhasil. Dan ini akan benar-benar terwujud
bila ditunjang dengan sistem evaluasi yang relevan, komprehensif, terus menerus dan obyektif
dapat dilaksanakan serta didukung dengan dipenuhi standard minimal untuk semua elemen
esensial dari pendidikan seperti yang digariskan dalam PP No. 19 Tahun 2005.
8
9. B. Proses yang Mencerdaskan
Pendidikan kewarganegaraan adalah proses pencerdasan,
pendekatan mengajar seperti menuangkan air ke dalam gelas (watering down)
seharusnya ditinggalkan dan diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif
dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Pendidikan
kewarganegaraan membelajarkan siswa agar mereka memiliki kepekaan sosial
dan memahami permasalahan yang terjadi di lingkungan secara cerdas. Dari
proses itu siswa diharapkan memiliki kecakapan atau kecerdasan rasional,
emosional, sosial dan spiritual yang tinggi sehingga memiliki kepekaan dan
kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial dalam masyarakat.
C. Mengembangkan State of Mind
pendidikan kewarganegaraan mengembangkan state of mind,
artinya pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan warga
negara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. Pendidikan kewarganegaraan
memusatkan perhatian pada pengembangan kecerdasan (civic intelligence),
tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) dalam
kedudukan sebagai warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai
dan perilaku demokrasi. Demokrasi dikembangkan melalui perluasan wawasan
dan penalaran, pengembangan kemampuan analisis serta kepekaan sosial bagi
warga negara agar mereka ikut serta dalam memikirkan untuk pemecahan
permasalahan lingkungan. Kecakapan analitis diperlukan dalam suatu sistem
politik, kenegaraan, dan peraturan perundangan agar pemecahan masalah yang
mereka lakukan lebih realistis dan berada dalam koridor sistem politik dan hukum
yang berlaku.
D. Harus Menjadi Laboratorium Demokrasi
pendidikan kewarganegaraan sebagai laboratorium demokrasi,
sikap dan prilaku demokratis tidak mungkin dikembangkan hanya melalui
mengajar demokrasi (teaching democracy) akan tetapi lebih menekankan pada
penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai modus terpenting
dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Melalui penerapan demokrasi,
siswa diharapkan akan secepatnya memahami bahwa hanya dengan cara hidup
yang demokratis sebagaian besar permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dapat dipecahkan.
9
10. BAB II PARADIGMA PENDIDIKAN
A. Pengert ian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Kelebihan manusia:
1. Memiliki akal dan penalaran
2. Memiliki bahasa untuk komunikasi
3. Memiliki budaya dan peradaban sehingga bisa memaknai hidupnya
4. Mampu mengembangkan pengetahuannya
5. Mampu menggunakan pengalaman-pengalamannya itu untuk keperluan hidupnya
B. Fungsi Pendidikan
1. Pendidikan harus mampu menjadikan peserta didik sebagai manusia (memanusiakan
manusia), yang mana merupakan fungsi pokok dari pendidikan.
2. Pendidikan harus mampu memberikan kemuliaan kepada peserta didik, sehingga
peserta didik menjadi bermakna dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.
3. Pendidikan harus mampu memberikan kearifan kepada peserta didik yang dapat dilihat
dari kepribadiannya peserta didik dalam menentukan pilihan-pilihan hidup, karena
memang hidup itu adalah pilihan.
4. Pendidikan harus mampu memberikan pembinaan terhadap hati nurani, jati diri, sikap
egaliter (persamaan) dan kepekaan normatik. Norma yang dimaksud disini adalah
meliputi norma hukum, norma agama, norma kesopanan, dan norma sosial.
10
11. BAB III TUJUAN MATA KULIAH PPKn
A. Belanegara
Belanegara adalah setiap tindakan perilaku dan sikap warga negara Indonesia secara
menyeluruh, terpadu, berkelanjutan dan berkesinambungan yang didasarkan atas:
1. Kerelaan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara
2. Kesadaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbanga dan bernegara
3. Keyakinan akan kebenaran pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia
Untuk mengatasi segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan, tantangan baik yang secara
langsung maupun tidak langsung membahayakan.
1. Identitas nasionalbangsa Indonesia, meliputi:
a. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia
b. Lambang negara burung garuda pancasila
c. Lagu kebangsaan Indonesia Raya
d. Bendera sang saka merah putih
e. Semboyan Bhineka Tunggal Ika
2. Keutuhan wilayah dan yurisdiksi nasional. Yuridiksi adalah hukum positif, hukum yang
berlaku dalam wilayah suatu negara.
3. Nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
B. Bersikap kesatria
Bersikap ksatria, kita harus tampil sebagai sosok pembela kebenaran dan keadilan dalam
masyarakat.
C. Berpikir secara ko mprehensif integral
Berpikir secara komprehensif integral dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan
masyarakat
D. Berpikir secara krit is, rasio nal, dan kreat if dalam menanggapi isu -isu
kewarganegaraan (suku, agama, ras, dan antar golongan)
E. Bert indak secara sadar, dalam rasialisme kehidupan bermasyarakat, bangsa
dan negara
F. Berpat isipasi secara cerdas dan bertanggung jawab
11
12. G. Pembentukan jat i diri yang didasarkan atas karakter posit if masyarakat
Indonesia dan masyarakat dunia yang demo kratis
12
13. BAB IV LATAR BELAKANG PENTINGNYA MATA KULIAH PPKn
Pendidikan kewarganegaraan sangat penting. Dalam konteks Indonesia, pendidikan
kewarganegaraan itu berisi antara lain mengenai pruralisme yakni sikap menghargai
keragaman, pembelajaran kolaboratif, dan kreatifitas. Pendidikan itu mengajarkan nilai-nilai
kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional.
Seperti yang pernah diungkapkan salah satu rektor sebuah universitas, “tanpa pendidikan
kewarganegaraan yang tepat akan lahir masyarakat egois. Tanpa penanaman nilai-nilai
kewarganegaraan, keragaman yang ada akan menjadi penjara dan neraka dalam artian menjadi
sumber konflik. Pendidikan, lewat kurikulumnya, berperan penting dan itu terkait dengan
strategi kebudayaan.”
1. Sarana membantu dalam meningkatkan integritas dan loyalitas yang tinggi kepada
bangsa dan negara.
2. Sarana untuk membantu pembinaan sikap mental yang positif bagi mahasiswa di
samping kemampuannya berpikir secara komprehensif integral dalam memecahkan
berbagai persoalan dalam masyarakat. Komprehensif integral adalah kemampuan
berpikir secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan
dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga melahirkan solusi secara arif dan
bijaksana.
3. Sarana untuk membantu meningkatkan loyalitas kepada Pancasila, UUD ’45, bangsa
dan negara.
13
14. BAB V PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A. Disintegrasi Bangsa
1. Pengertian disintegrasi bangsa
Disintegrasi bangsa secara harfiah dipahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-
bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1996).
2. Faktor disinterasi bangsa
DARI kajian saya terhadap berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya
sebuah negara, dapat disimpulkan adanya lima faktor utama yang secara
gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu.
a. Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama
Krisis di sektor ini
selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang
lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis
ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan
terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya
modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya
saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan
membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui
proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur
transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan
memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan
nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya
cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen
internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan
berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tak teratasi
akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar-elite.
Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam.
Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk
menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan dan pemeliharaan berbagai
fasilitas umum. Akibatnya, akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang
menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/
polisi) maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme
14
15. sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit dihindari.
b. Terjadinya konflik diantara para elit politik (konflik vertikal)
Krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga
menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi.
Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang
mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis
ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan
kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam
memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal
anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan
pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap
satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara
mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di
antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang
komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling
curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang
memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.
Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan
semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan
potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah
yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga
dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh
kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait a
compli. Yang terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional
dari para pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan
berdasarkan asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di
pusat, lebih baik kami memisahkan diri.
c. Terjadinya konflik dalam masyarakat yang disebabkan oleh SARA
Krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada
meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku,
agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang
akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah
penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan
meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini,
hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana
kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya,
15
16. eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling
curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini
tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan. Disharmoni sosial pun
dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang
merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan
hancur.
d. Tidak bermoralnya tentara dan polisi (demoralisasi tentara dan polisi)
Demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan
mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
bhayangkari negara. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi
oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu
hal itu diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka
atau membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah.
Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka
terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang
berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut. Dalam situasi
seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosial
malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan
berbagai alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga
yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi
bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka
adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya.
Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan
dan intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas
dari tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu
sendiri menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari
proses disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.
e. Intervensi internasional (campur tangan pihak asing)
Intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya
mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya
terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi.
Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang
membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan
arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap
kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa suplai
kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu.
Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional
sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi,
mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini
16
17. terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu
sebelum menjadi kenyataan.
17
18. 3. Upaya untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa
a. Secara terus-menerus memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme dikalangan
generasi muda sebagai generasi penerus perjuangan bangsa dan atau sebagai pemegang
tongkat estafet bangsa, baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal.
Nasionalisme adalah suatu paham yang menekankan bahwa kesetiaan tertinggi
individu harus diserahkan kepada bangsa dan negara.
Patriotisme adalah suau paham yang menekankan untuk mecintai tanah air
b. Meningkatkan mekanisme kontrol terhadap berbagai organisasi dengan pendekatan
secara persuasif edukatif bukan melalui pendidikan
c. Meningkatkan rasa cinta pada kultur budaya nasional
d. Meningkatkan rasa toleransi diantara SARA untuk menciptakan kehidupan yang
harmonis
e. Menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa penuh integritas, loyalitas dan
pengabdian terhadap seluruh lapisan masyarakat.
B. Pancasila
Hakikat yang sesungguhnya dari pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai
dasar negara. Kedua pengertian tersebut sudah selayaknya kita fahami akan hakikatnya.
1. Karakterisktik ideologi pancasila
- Ideologi pancasila bukan gabungan dari ideologi-ideologi yang ada di
dunia, seperti ideologi komunis dan ideologi liberal, sebab ideologi
pancasila merupakan hasil pemikiran bangsa Indonesia sendiri.
- Ideologi pancasila bersifat bhineka tunggal ika yang kreatifitas
- Pancasila bukan agama dan agama tidak dipancasilakan. Trikerukunan
beragama antara lain kerukunan agama, kerukunan antar umat beragama,
dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah
- Pancasila bukan dogma yang beku dan kaku melainkan pancasila sangat
dihargai adanya perbedaan pendapat
18
19. 2. Ciri-ciri demokrasi pancasila
- Mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat
- Mengedepankan rasa kekeluargaan dan kegotong-royongan
- Kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan
dengan tanggung jawab sosial
- Menghormati adanya perbedaan pendapat
- Tidak mengenal adanya oposisi. Oposisi yang dalam arti oposisi yang
berusaha menggulingkan pemerintah
4. Krisis Sosial Budaya
1. Sikap hipokrit. Orang yang suka mencari muka, penjilat, penghianat, dan munafik.
2. Suka meremehkan mutu/kualitas
3. Suka menempuh jalan pintas untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara
4. Tidak percaya diri
5. Percaya pada yang berbau takhayul/mitos
6. Tidak berdisiplin murni (tidak didasari olh satu kesadaran akan pentingnya disiplin itu
sendiri)
7. Krisis keteladanan/kredibilitas (dapat dipercaya)
8. Hedonisme, adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi
bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin
menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
9. Pragmatisme, adalah suatu paham yang melihat ukuran kebenaran adalah segala sesuatu
yang mendatangkan kesenangan
10. Permisivisme, adalah suatu paham yang serba membolehkan segalanya
11. Feodalisme, adalah suatu paham yang merupakan peninggalan zaman perubahan
12. Plagiator, adalah sikap suka meniru
19
20. C. Tiga Pilar Demokrasi
1. Adanya transparansi (keterbukaan)
2. Adanya akuntabilitas publik (adanya pertanggung jawaban terhadap masyarakat)
3. Adanya supremasi
Keterbukaan itu harus ada pertanggungjawaban bahwa semua aktivitasnya bukan untuk
kepentingan kelompoknya tetapi untuk kepentingan kolektif dan itu harus transparan dan
ada akuntabilitas publik. Jadi generasi muda harus dibiasakan untuk diajak berfikir secara
rasional. Sebab kalau generasi muda ini selalu dicekoki dengan doktrin-doktrin
primordialisme sangat berbahaya bagi pertumbuhan bangsa.
20
21. BAB VI EMPAT PILAR BANGSA INDONESIA
Salah satu faktor pendukung kuatnya benteng pertahanan negara adalah adanya empat pilar
kebangsaan yaitu Pancasila, NKRI , UUD tahun 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
1. Pancasila
Di antara keempat pilar, Pancasila adalah pilar pertama yang terbentuk. Pancasila
menjadi dasar atau landasan terbentuknya Indonesia. Pancasila juga sebagai pedoman
dan pandangan hidup bagi seluaruh warga Indonesia dalam menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara. Satu lagi, Pancasila adalah penyaring (filter) untuk apapun
yang datang dari luar Indonesia, seperti misalnya menyaring budaya Barat yang
memiliki banyak pertentangan dengan budaya Timur.
2. UUD tahun 1945
3. NKRI
NKRI melambangkan persatuan. Tanpa adanya persatuan para pahlawan dan seluruh
rakyat, Indonesia tak akan pernah terbebas dari jajahan negara lain seperti Belanda dan
Jepang dan merdeka.
4. Bhineka tunggal ika
Berbeda-beda namun tetap satu. Pilar ini mutlak dibutuhkan karena Indonesia memiliki
entah berapa banyak budaya di setiap daerahnya.
21
22. BAB VII ETIKA BANGSA INDONESIA
A. Pengert ian Etika
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlaq); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq; nilai
mengenai nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau masyarakat. (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1989)
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. (Suseno, 1987)
Etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran
dalam hubungan tingkah laku manusia. (Kattsoff, 1986)
Berdasarkan beberapa pemikiran diatas etika menurut Bartens sebagaiman dikutip oleh
abdul kadir,memberikan tiga arti etika yaitu
1) Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.arti ini dapat juga disebut
sistem nilai dalam hidup manusia perseorngan atau hidup bermasyrakat
2) Etika dipakai dalam arti kumpulan asas dan nilai moral,yang dimaksud disi adalah kode
etik
3) Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk .arti sini sama dengan
filsafat moral
B. Tujuan Tuntutan Etika Bangsa
1. Menerima pluraritas bangsa secara utuh, yaitu kemajemukan suku, agama, ras, dan
golongan/kelompok
2. Menghormati keberlainan dalam kebersamaan
3. Meniadakan segala bentuk kekerasan, dan kembali pada perlakuan yang beradab,
perlakuan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan/nilai humanis
4. Kelompok mayoritas harus bertanggung jawab terhadap keselamatan kaum minoritas
dan sebaliknya, kaum minoritas harus tau diri dan peka terhadap kepentingan kelompok
mayoritas
5. Kembalikan kedaulatan hukum
6. Solidaritas harus real terhadap yang lemah secara fisik dan ekonomi
22
23. 7. Adanya keteladanan dari atas, entah dari tokoh politik maupun agama.
BAB VIII TRANSISI MASYARAKAT INDONESIA
Persoalan Sosial Baru dalam Transisi Masyarakat Indonesia
1. Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat, contohnya
Hilangnya sikap toleransi, keterbukaan dalam berkomunikasi, memahami
keanekaragaman dalam masyarakat, hilangnya rasa tanggung jawab, hancurnya nilai-
nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan, hilangnya rasa penghormatan terhadap
adanya perbedaan pendapat, hancurnya nilai-nilai musyawarah mufakat
2. Memudarnya nilai-nilai komunitas dan kehidupan bersama, atara lain tolong-menolong,
mengasihi dan menyayangi, yang semuanya diukur serba materi
3. Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan, dan tolong-menolong
4. Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat, yaitu saling hormat-menghormati,
dan harga-menghargai
5. Kerusakan sistem dan kehidupan ekonomi, yakni krisis moneter yang berimbas pada
terjadinya krisis moral. Sistem ekonomi kapitalis, yang kaya makin kaya, yang miskin
makin miskin
6. Praktek KKN dalam pemerintahan
7. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan: nasionalisme dan patriotisme
8. Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga
23
24. BAB IX CITA-CITA BANGSA INDONESIA
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan khusus Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan
UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan Kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Adapun tujuan umum bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai
, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman,
bertakwa dan berahklak mulia, cita tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Syaratnya:
1. Adanya suatu tujuan dan landasan perjuangan bangsa Indonesia. Landasan yang
dimaksud haruslah kokoh dan kuat, antara lain; (1) landasan idil/pancasila, (2)
konstitusional/UUD 45, (3) operasional/program pembangunan nasional, yaitu di
bidang politik, ekonomi, dll., (4) visional/orang yang mempunyai pikiran jauh ke
depan.
2. Adanya kemampuan 3M (melihat, mengenal, dan menyadari) dan tekad yang bulat
untuk mengatasi segala bentuk AGHT
3. Adanya strategi nasional yang menunjukkan kerangka dan arah gerak perjuangan
bangsa
4. Adanya mekanisme yang tepat untuk melaksanakan strategi nasional yang telah
ditentukan
5. Adanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dapat mengabdikan diri pada
kepentingan rakyat banyak
24
25. BAB X HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka
1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
25
26. 1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan
rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan
menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh
seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau
untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau
sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM)
Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat
2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Secara umum fungsi dan kegunaan HAM meliputi antara lain:
1. Menjamin harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Melindungi manusia dari tindakan sewenang-wenang baik yang dilakukan oleh
perorangan, kelompok, maupun negara/penguasa terhadap warga negara.
3. Untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat
26
27. 4. Untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Paling baik
melaksanakan kewajiban kemudian hak. Namun kenyataan yang terjadi malah
sebaliknya.
5. Menghargai nilai-nilai kemanusiaan dari upaya penindasan, pelecehan,
perkosaan, penyiksaan, pembunuhan, penganiayaan, perbudakan, dan
diskriminasi.
6. Menghormati kebebasan yang dimiliki setiap orang dalam menyatakan
keinginan dan aspirasinya yang diseleraskan dengan tanggung jawab sosialnya
di masyarakat.
7. Untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama
27
28. BAB XI DOSA SOSIAL MASYARAKAT
Tujuh Dosa Sosial yang dikenalkan Mohandas Karamchand Gandhi
Tujuh Dosa Sosial yang dikenalkan Mohandas Karamchand Gandhi, dalam perspektif
kekinian:
1.Kekayaan tanpa kerja.
Korupsi seperti menyelundupkan gula, rekening gendut Polisi, menerima dana talangan Bank
Century, naikkin uang tiket final bola setelah antusias masyarakat tinggi untuk menonton,
menggelapkan pajak dan segala bentuk tindak kejahatan yang tidak memerlukan kejujuran dan
mempermiskin rakyat banyak.
2.Kenikmatan tanpa nurani.
Membakar rumah ibadah orang lain sehingga merasa dirinya benar dan menikmatinya,
melarang orang beribadah, dan segala bentuk kesenangan yang mengorbankan perasaan orang
lain.
3.Ilmu tanpa kemanusiaan.
Mempelajari disiplin akademis lalu setelah menjadi dosen ia jadi banci tampil di TV, syukur-
syukur bisa menjadi pejabat negara dan salah satu pengurus partai politik.
4.Pengetahuan tanpa karakter.
Mengetahui sesuatu tetapi buta pada integritas pribadi dan merusak tatanan moral seperti
membobol Bank, membuat trik-trik kartu ATM Palsu, hacking barang-barang yang dijual di
Internet, menjadi Pemimpin agama karena pengetahuannya tapi menjual pengetahuan
agamanya untuk uang dan kekuasaan. Mempelajari hukum dan detil-detilnya untuk menipu
rasa keadilan.
5.Politik tanpa prinsip.
Masuk ke dalam partai politik hanya demi jabatan, ketika partai politik tidak membutuhkan dia
kemudian dia pindah ke partai lain, masuk ke dalam perjuangan ideologi tapi berujung hanya
jadi makelar kekuasaan, membuat jaringan kekuatan di masyarakat tapi digunakan untuk
memperkaya diri bukan memperjuangkan ide-idenya dimana masyarakat tumbuh sesuai
idealisme yang ia impikan.
28
29. 6.Bisnis tanpa moralitas.
Menggelapkan pajak, iklan-iklan di TV yang melecehkan, menghancurkan saingan,
menggunakan pejabat negara sebagai tangan untuk menggodam pesaing dan menyogok pejabat
negara demi keuntungan bisnis.
7.Ibadah tanpa pengorbanan.
Beribadah hanya menghitung untung rugi, padahal jalan menuju Tuhan adalah keikhlasan dan
kunci dari keikhlasan adalah tidak memikirkan apapun kecuali Tuhan, dan jalan menuju Tuhan
adalah jalan pengorbanan bagi hati nurani untuk menjadi bersih.
29
30. DAFTAR PUSTAKA
Hitam and Biru, Paradigma Baru PKN (New Civic Education).
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/paradigma-baru-pkn-new-civic-
education.html. Diakses tanggal 31 Desember 2012.
Ichnurezha's Blog, Pentingnya Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Mahasiswa.
http://ichnurezha.wordpress.com/2012/03/05/pentingnya-matakuliah-pendidikan-
kewarganegaraan-bagi-mahasiswa/. Diakses tanggal 31 Desember 2012.
Hukmy Auliyach, Karakteristik Ideologi Pancasila.
http://hukmyauliyahc.blogspot.com/2011/06/karakteristik-ideologi-pancasila.html.
Diakses tanggal 31 Desember 2012.
Nurwidi Sayekti, Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
http://nurwidisayekti.blogspot.com/. Diakses tanggal 6 Januari 2013.
Putri, Wulan Andhika. Cita-Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
http://wulanradityaputri.blogspot.com/2012/06/cita-cita-tujuan-dan-visi-negara.html.
Diakses tanggal 6 Januari 2013.
Kiranawati. Pengertian-Pengertian Hak Asasi Manusia.
http://gurupkn.wordpress.com/2008/02/22/pengertian-pengertian-hak-asasi-manusia/.
Diakses tanggal 6 Januari 2013.
Catatan Idealis dan Kritis. Tujuh Dosa Sosial yang dikenalkan Mohandas Karamchand
Gandhi. http://catatanidealisdankritis.tumblr.com/post/12066063124/tujuh-dosa-sosial-
yang-dikenalkan-mohandas-karamchand. Diakses tanggal 6 Januari 2013.
30