Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI DENGAN UJIAN NASIONAL DALAM STANDARISASI PENDIDIKAN
1. MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI
DENGAN UJIAN NASIONAL DALAM STANDARISASI PENDIDIKAN
Ujian nasional (UN) sejak awal kemunculannya telah menjadi kontroversi
yang belum berakhir hingga saat ini. Ketika memasuki bulan Mei menjelang
pelaksanaan UN kontroveri akan semakin menguat. Mulai dari orang tua, guru,
anggota DPR, pakar pendidikan masing-masing menyuarakan pendapatnya mengenai
UN. Ada yang mendukung dan tidak sedikit yang menolak pelaksanaan UN.
Penolakan terhadap UN didasari pada tujuan dan manfaat UN yang
dianggap kurang sebanding dengan efek buruk yang ditimbulkannya. Kasus-kasus
kecurangan demi kelulusan, bunuh diri karena tidak lulus, kebocoran soal dan lain-
lain semakin menguatkan penolakan terhadap UN. Lantas apakah benar UN harus
dihentikan?
UN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam kurikulum pendidikan
akan diejawantahkan dalam aktivitas kegiatan belajar. Kegiatan pembelajaran
merupakan interaksi peserta didik dengan lingkungannyam baik lingkungan sosial
maupun lingkungan fisik. Melalui proses belajar inilah diharapkan ada perubahan
perilaku dari peserta didik menuju ke arah yang lebih baik. Artinya proses kegiatan
belajar yang dialami oleh siswa merupakan aspek penting dalam pendidikan. Peranan
sekolah dan guru adalah memberikan dan menyediakan fasilitas belajar untuk
memudahkan dan melancarkan kegiatan belajar siswa. Guru memliki peran yang
strategis dalam mendorong siswa belajar secara aktif, produktif dan efisien. Selain
dipengaruhi oleh guru kualitas dan proses pendidikan juga dipengaruhi oleh tujuan
pembelajaran, bahan/materi ajar, metode/ media, evaluasi dan siswa itu sendiri.
Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang kualitas sistem
pendidikan yang dinilai ada sekurang-kurangnya tiga komponen/dimensi yang perlu
dijadikan sasaran penilaian, yaitu progran pendidikan, proses pelaksanaan dan hasil-
hasil yang dicapai. Dengan demikian, proses evaluasi dalam pedidikan bertujuan
untuk mengetahui kemampuan siswa, sekaligus mengetahui apakah implementasi
2. kurikulum sudah sesuai. Evaluasi yang dilaksanakan setelah kegiatan belajar
merupakan bentuk feed back terhadap ketercapaian tujuan pendidikan nasional.
Evaluasi dalam arti luas merupakan sebuah proses merencanakan,
memperoleh dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat
alternatif-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmen). Artinya setiap kegiatan evaluasi
atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direncanakan untuk memperoleh
informasi atau data, berdasarkan data tersebut kemudian dicoba membuat suatu
keputusan. Informasi atau data yang dikumpulkan haruslah sesuai dan mendukung
tujuan evaluasi yang telah direncanakan (Ngalim, 2010:3)
Menurut Norman E Gronlund, evaluasi dalam kegiatan pembelajaran
merupakan suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan
sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa. Sedangkan
tujuan evaluasi itu sendiri menurut Ngalim adalah untuk mengetahui kemajuan dan
perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami kebiatan belajar selama
jangka waktu tertentu dan untuk mengetahui keberhasilan program pengajaran.
Evaluasi yang dilakukan secara benar akan membantu guru memperbaiki
cara mengajar dan membantu siswa untuk meningkatkan cara belajar. Karena evaluasi
dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing komponen dalam proses
pembelajaran. Model-model evaluasi terus dikembangkan oleh para ahli untuk
menemukan bentuk evaluasi ideal yang dapat merekam kemampuan siswa dengan
baik. Berbagai bentuk evaluasi tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan.
Terbitnya UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Undang-
undang tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Selain itu merupakan
sebagai dasar hukum bagi pemerintah untuk melaksanakan evaluasi dengan UN.
Selain itu dasar hukum pelaksanaan UN adalah Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dan yang terbaru adalah Permendikbud
Nomor 59 tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan
Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional.
Tujuan Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan,
dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap
3. jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan. Untuk teknik pelaksanaannya, Badan Standarisasi Nasional
Pendidikan (BSNP) sebagai pelaksanan UN. BSNP bertugas untuk menjaga kualitas
soal-soal ujian dan juga membuat SOP pelaksanaan UN.
Jika dilihat dari sejarah kebijakan pendidikan di Indonesia, pelaksanaan
ujian nasional sudah diterapkan sejak tahun 1960-a. Perkembangan UN dari zaman ke
zaman di Indonesia mengalami banyak metamorfosa dan telah beberapa kali diganti
formatnya.
Tahun
Pelaksanaan
Ujian Nasional
Keterangan
1965-1971
Sistem ujian dinamakan sebagai Ujian Negara. Hampir berlaku
untuk semua mata pelajaran, semua jenjang yang ada di
Indonesia, yang berada pada satu kebijakan pemerintah pusat.
1972-1979
Dirubah menjadi Ujian sekolah. Sehingga, sekolahlah yang
menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan kepada
sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-
kebijakan umum terkait dengan ujian yang akan dilaksanakan
oleh pihak sekolah
1980-2000
Untuk mengendalikan, mengevaluasi, dan mengembangkan mutu
pendidikan, Ujian sekolah diganti lagi menjadi Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS ini,
dikembangkan perangkat ujian pararel untuk setiap mata
pelajaran yang diujikan. Sedangkan yang menyelenggarakan dan
monitoring soal dilaksanakan oleh daerah masing-masing
2001-2004
EBTANAS diganti lagi menjadi Ujian Akhir Nasional (UNAS).
Hal yang menonjol dalam peralihan dari EBTANAS menjadi
UNAS adalah dalam penentuan kelulusan siswa, yaitu ketika
masih menganut sistem Ebtanas kelulusan berdasarkan nilai 2
semester raport terakhir dan nilai EBTANAS murni, sedangkan
dalam kelulusan UNAS ditentukan oleh mata pelajaran secara
individual
2005-2009 Terjadi perubahan sistem yaitu pada target wajib belajar
4. pendidikan (SD/MI/SD-LB/MTs/SMP/SMP-
LB/SMA/MA/SMK/SMA-LB) sehingga nilai kelulusan ada
target minimal
2010
Diganti menjadi Ujian Nasional (UN). Untuk UN tahun 2010,
ada ujian remidial bagi siswa yang tidak lulus UN tahap pertama.
Dengan target, siswa yang melaksanakan UN dapat mencapai
nilai standar minimal UN sehingga mendapatkan lulusan UN
dengan baik
2011-2012
UN tidak lagi mengenal ujian ulangan remidial. Tetapi kelulusan
siswa selain ditentukan oleh UN juga ditentukan oleh Ujian Akhir
Sekolah (UAS). Nilai akhir kelulusan merupakan penjumlahan
dari nilai UN (0.4) dan nilai UAS (0.6).
Diolah dari berbagai sumber
Format UN yang berubah menunjukkan pemerintah terus mencari evaluasi
ideal yang komprehensif untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional.
Evaluasi pendidikan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah sesuai UU No 20 Tahun
2003, Pasal 68, hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk:
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
4. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
UN SARANA KONTROL STANDARISASI NASIONAL PENDIDIKAN
Standarisasi pendidikan nasional diperlukan dengan beberapa alasan
menurut Tilaar:
1. Indonesia sebagai negara berkembang
2. Sebagai negara kesatuan kita memerlukan suatu penilaian dari kinerja sistem
pendidikan nasional
3. Anggota masyarakat global
5. Standar adalah patokan. Untuk mengetahui efektivitasnya diperlukan
sarana-sarana seperti ujian dan evaluasi nasional. Tentunya tidak dapat mencakup
semua standar isi karena akan memerlukan biaya dan tenaga yang sangat besar. Dari
pembahasans ebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan UN adalah untuk melakukan
pemetaan permasalahan pendidikan. Sehingga dengan demikian pemilihan beberapa
mata pelajaran yang esensial merupakan hal yang dapat dipahami. Mata pelajaran
seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan Bahasa Inggris. Hasil UN
dievaluasi untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan selanjutnya.
Evaluasi standar nasional pendidikan dilaksanakan oleh guru secara
berkesinambungan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah mencapai standar yang
ditentukan. Hasil evaluasi guru tersebut kemudian dikombinasikan dengan evaluasi
secara nasional.
TANTANGAN GLOBALISASI
Standarisasi pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan
sebuah cara yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi tantangan persaingan
global. Standarisasi pendidikan bertujuan menciptakan tenaga kerja yang akan mampu
bersaing dalam kancah internasional. Standarisasi pendidikan ini dituangkan dalam PP
N0.19 Tahun 2005 mengenai Standar Pendidikan Nasional. Dengan standar
pendidikan nasional, setiap institusi sekolah, baik di kota maupun di daerah
mempunyai acuan dan target keberhasilan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Sekolah-sekolah yang mempunyai kualitas di bawah standar nasional yang
telah ditetapkan akan didorong untuk dapat mencapai standar pendidikan nasional.
Sedangkan sekolah yang telah mencapai standar pendidikan nasional akan terus
diupayakan mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya.
Mengapa pemerintah menetapkan standarisasi pendidikan di Indonesia?
Dalam hasil survei yang dilakukan oleh UNDP mengenai pertumbuhan Human
Development Index (HDI), diketahui posisi Indonesia ternyata berada di bagian
bawah, bahkan hanya jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Jika
dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina ternyata kita tertinggal.
Dari peringkat negara di Asia Tenggara berdasarkan HDI tahun 2010 kita harus puas
6. berada di urutan ke enam dari 10 negara. Meskipun dari tahun ke tahun index HDI
Indonesia selalu naik, namun ternyata tidak mampu mengimbangi kenaikan index
HDI dari negara tetangga.
Tabel: Peringkat Negara ASEAN Berdasarkan HDI 2010
Negara
Peringkat Negara Asean Berdasarkan
Seluruh Komponen HDI
HDI Value
Singapura
Brunei Darusalam
Malaysia
Thailand
Philipina
Indonesia
Vietnam
Laos
Cambodia
Myanmar
27
37
57
92
97
108
113
122
124
132
0.846
0.805
0.744
0.654
0.638
0.600
0.572
0.497
0.494
0.451
Sumber: Data UNDP 2011 (www.hdr.undp.org/statistic)
Rendahnya HDI Indonesia dibanding negara lain merupakan hal yang
mengkhawatirkan. Pada tahun-tahun ke depan Indonesia akan dihadapkan pada
persaingan global. Persaingan global menuntut kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk
bersaing dengan tenaga kerja asing. Bagaimana kita dapat bersaing jika tenaga kerja
kita kalah kualitas dibanding tenaga kerja asing?
Kembali ke standarisasi pendidikan sebelumnya, tujuan pemerintah
melakukan standarisasi pendidikan adalah agar dapat mengontrol kualitas pendidikan
7. di Indonesia. Salah satu kontrol kualitas tadi dengan melakukan evaluasi secara
nasional dengan menggunakan standar nasional. Sesuai dengan tujuan UN, melalui
UN diharapkan dapat melihat peta kualitas lulusan di Indonesia. Dengan mengetahui
kualitas lulusan, pemerintah dapat melihat kekurangan atau kelebihan dari suatu
daerah sehingga dapat merancang kebijakan dibidang pendidikan kedepannya.
Jika kita hubungkan dengan tantangan globalisasi, standarisasi pendidikan,
atau mungkin lebih mengerucut kita sebut sebagai UN merupakan salah satu alat yang
digunakan agar dapat mencetak penduduk yang berkualitas. Mungkin dianggap terlalu
naif. Tapi saya kira itulah tujuan sebenarnya. Prosesnya memang panjang, tidak
instan. Dengan menetapkan standar pendidikan dan lulusan, diharapkan semua pihak
bekerja keras untuk mencapainya. Standarisasi lulusan tentu akan sangat berguna bagi
lulusan ketika nantinya dia harus bersaing dengan tenaga kerja asing dalam
memperebutkan kesempatan kerja.
MEMPERTAHANKAN UJIAN NASIONAL
Gugatan terhadap pelaksanaan UN merupakan hal yang harus dihormati
sebagai bentuk kotrol sosial masyarakat terhadap kebijakan di bidang pendidikan yang
telah diambil oleh pemerintah. Gugatan ini sebenarnya kalau dicermati dikarenakan
adanya efek samping negatif dari pelaksanaan UN.
Setiap implementasi sebuah kebijakan pastilah akan membawa dampak,
baik postif maupun negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan UN
seyogyanya menjadi koreksi kebijakan bukan dengan menghapuskan UN. Jika
ditanya, pasti semua pihak setuju bahwa ujian harus diselenggarakan. Tidak dapat
dipungkiri pentingnya proses evaluasi dalam manajemen pendidikan.
Salah satu alasan bahwa pelaksanaan ujian nasional dianggap tidak adil
karena melakukan standarisasi lulusan, tetapi kurang memperhatikan standarisasi
fasilitas pendidikan. Perbedaan fasilitas yang didapatkan oleh peserta didik tentu
dianggap akan sangat mempengaruhi hasil yang dicapai oleh peserta didik itu sendiri.
Jika memang di beberapa wilayah fasilitas pendidikan kurang memadai, bukan
berarti lantas UN harus dihilangkan. Menunggu fasilitas memadai yang sama di
seluruh wilayah Indonesia mungkin memerlukan waktu yang sangat lama. Artinya
8. perbaikan fasilitas sekolah dapat dilakukan beriringan dengan pelaksanaan UN.
Standarisasi fasilitas memang tidak bisa ditawar demi keadilan pendidikan bagi warga
negara, namun semua juga tahu hal ini memerlukan proses. Jika pelaksanaan UN
harus menunggu semua fasilitas sekolah di seluruh Indonesia harus sama, sampai
kapan UN baru dapat dilakukan? Lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap
kualitas lulusan selama waktu menunggu tersebut? Menurut hemat saya, standarisasi
fasilitas pendidikan dan standarisasi kualitas lulusan dapat dilakukan secara
beriringan, tanpa harus menunggu kesiapan satu sama lain. Pendidikan dan evaluasi
adalah proses, proses yang harus diperbaiki secara terus menerus.
Disorientasi tujuan pendidikan dianggap sebagai efek negatif lain dari
implementasi UN. Karena UN hanya mengujikan beberapa mata pelajaran saja,
akibatnya konsentrasi peserta didik maupun guru hanya terpusat pada mata pelajaran
yang di-UN-kan saja. Proses pembelajaran dianggap kurang bermakna karena peserta
didik hanya dituntut untuk dapat menyelesaikan soal UN dengan benar. Selain itu ada
anggapan bahwa dengan pelaksanaan UN yang hanya seminggu, tetapi menentukan
kelulusan pendidikan peserta didik yang telah ditempuh selama 3 tahun tidak adil.
Sebenarnya kalau dilihat dari kebijakan yang dilakukan pemerintah,
evaluasi UN terus menerus dilakukan. Saat ini kelulusan murid tidak hanya
ditentukan oleh Ujian Akhir Nasioan tapi juga ditentukan oleh nilai rapot. Artinya,
sebenarnya UN sangat menghargai proses belajar siswa selama di sekolah, Bahkan
persentase nilai rapot dalam menentukan kelulusan lebih besar dari nilai ujian akhir itu
sendiri, yaitu 60:40. Dengan demikian adanya anggapan bahwa pendidikan selama
bertahun-tahun hanya ditentukan melalui ujian selama satu minggu tidak beralasan.
Selain itu anggapan bahwa guru tidak diberi hak untuk menentukan kelulusan siswa
juga tidak beralasan, karena kelulusan tetap ditentukan oleh sekolah.
Berita mengenai kecurangan dalam pelaksanaan UN selalu mendominasi
setiap pelaksanaan UN. Bocornya soal, beredarnya kunci jawaban, lolosnya alat
elektronik ke dalam ruang ujian, tertangkapnya guru yang mengedarkan kunci
jawaban, contek massal di kelas, merupakan berita-berita yang banyak kita dengar
9. pasca pelaksanaan UN. Apa yang terjadi tersebut merupakan bentuk dari ketakutan
dari peserta didik, guru maupun orang tua jika peserta didik tidak lulus. Sehingga
berbagai cara dilakukan untuk dapat meluluskan peserta didik. Yang paling
menyedihkan adanya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh siswa karena tidak lulus
UN (Kompas.com, Rabu, 28 April 2010)
Ketakutan tidak lulus mungkin wajar ketika awal-awal pelaksanaan UN,
karena saat itu memang saat itu UN merupakan satu-satunya alat untuk menentukan
kelulusan siswa. Namun, koreksi terhadap sistem UN nasional berdasarkan kritikan
dan saran dari berbagai pihak telah dilakukan oleh para pengambil kebijakan.
Kelulusan tidak hanya ditentunkan oleh ujian akhir nasional. Saat ini nilai UN
merupakan akumulasi dari nilai ujian akhir nasional ditambah nilai ujian sekolah.
Nilai ujian sekolah sendiri merupakan rata-rata dari nilai rapot peserta didik selama
pendidikan ditambah dengan ujian akhir sekolah. Dengan demikian nampak bahwa
UN sebagai penentu kelulusan sebenarnya sangat menghargai proses belajar siswa
selama bertahun-tahun.
Peran sekolah sebenarnya lebih besar dalam menentukan kelulusan siswa.
Pemerintah sebenarnya menyerahkan kelulusan siswa pada masing-masing sekolah.
Sekolah dapat saja tidak meluluskan siswanya jika memang siswa tersebut dianggap
tidak layak lulus meskipun siswa tersebut sebenarnya lulus UN. Aspek afektif dan
psikomotor merupakan salah satu penentu kelulusan selain UN dan ujian sekolah.
Perubahan peraturan tersebut seharusnya menghilangkan kekhawatiran bahwa siswa
tidak akan lulus. Namun juga harus diiringi dengan persiapan yang matang oleh siswa
dan guru dalam menghadapi UN.
Kebocoran soal ujian maupun contek masal memang penyakit yang susah
untuk dihilangkan. Aturan-aturan baru terus dibuat untuk meminimalkan kecurangan
tersebut. Namun demikian yang harus ditekankan disini adalah kesadaran dan
kedisiplinan tinggi dari berbagai pihak. Perilaku jujur harus diterapkan sebagai hidden
curriculum di sekolah. Bahkan seharusnya perilaku jujur dan disiplin dijadikan
sebagai budaya sekolah. Jika perilaku jujur dan disiplin sudah menjadi model mental
dari semua warga sekolah, tentunya kecurangan-kecurangan semacam ini tidak akan
10. terjadi. Dan yang jelas hal tersebut tidak dapat terjadi dengan tiba-tiba atau dalam
waktu singkat.
Kesadaran dari setiap Pemda di Indonesia untuk melepaskan pendidikan
dari politik praktis juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Selama ini, tingkat kelulusan sering dijadikan tolok ukur sebagai
keberhasilan pemerintah daerah. Hal ini berakibat tekanan besar terhadap sekolah
untuk meluluskan siswa-siswanya bahkan sampai 100%, jika tidak seringkali ada
ancaman mutasi bagi guru. Kondisi ini tentu sangat tidak sehat bagi perbaikan
pendidikan di Indonesia.
UN DAN CHARACTER BUILDING
Prof. Dr. H. Suparno menyampaikan bahwa pada dasarnya pendidikan
dilaksanakan untuk membentuk insan yang berkarakter. Karenanya, pendidikan harus
didasarkan pada norma yang berlaku, yaitu mencakup baik aspek religius maupun
aspek kebangsaan yang berhubungan dengan landasan bangsa dalam kehidupan yang
multietnis. Character building dalam dunia pendidikan cenderung merujuk pada
bagaimana membangun watak seorang anak. Watak adalah perilaku.
Karakter bangsa merupakan modal dasar dalam pembangunan nasional.
Hampir semua pihak saat ini sepakat bahwa bangsa Indonesia mengalami krisis
karakter. Kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN merupakan contoh nyata
krisis karakter yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pemerintah melalui
Kemendikbud kemudian memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum nasional.
Apakah hal tersebut cukup untuk mengatasi krisi karakter?
Pendidikan Character Building yang ada di sekolah diformulasikan
menjadi pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti,
yang program utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-
paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif. Padahal,
pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Dari
sinilah dibutuhkan keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Dan
langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif. Jadi
11. dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi ialah langkah
pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara
afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ini trilogi klasik pendidikan
yang oleh Ki Hajar Dewantara diterjemahkan dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
Pertanyaan selanjutnya apakah hanya sekolah yang dibebani dengan
pendidikan karakter? Tidak hanya oleh sekolah, tapi juga instansi pemerintah dan
swasta, lembaga dan LSM, perusahaan, organisasi, perkumpulan atau komunitas,
hingga pranata terkecil yaitu keluarga. Bahkan, pendidikan character building di
lingkungan keluarga adalah sangat vital dan menentukan serta menjadi tolok-ukur
keberhasilan sebuah pendidikan. Keluarga adalah tempat yang utama dan pertama
dalam membangun karakter positif dan menanamkan nilai-nilai. Kita tidak dapat
menumpahkan kegagalan pendidikan karakter semata-mata pada sekolah dan
pemerintah. Pendidikan karekter akan lebih mudah diberikan melalui role model. Role
model tidak hanya diperoleh siswa melalui bangku sekolah yang hanya menyita 8 jam
waktunya dalam sehari. Dalam kehidupan di masyarakat role model akan lebih banyak
ditemui oleh siswa, entah itu akan memberikan pengaruh positif atau negatif.
Jika kecurangan UN merupakan bentuk kegagalan pendidikan karakter,
maka semua pihak harus merasa bertanggung jawab dengan kegagalan tersebut.
Bukan hanya kurikulum pendidikan yang diperbaiki. Sebaik apapun kurikulum
disusun, jika kecurangan-kecurangan tetap terjadi dalam implementasinya maka
tidak akan pernah memberikan hasil yang optimal untuk perbaikan pendidikan di
Indonesia. Untuk itu kesadaran semua pihak dalam melaksanakan UN secara jujur
merupakan tanggung jawab bersama, bukan sekedar tanggung jawab sekolah dan
siswa semata.
Anak-anak kita dengan mudah mendapatkan berita-berita negatif dari
media massa mengenai perilaku bangsanya sendiri. Korupsi yang merebak di semua
bidang, pemalsuan ijasah bahkan dilakukan oleh anggota DPR, tawuran antar
penduduk dan sebagainya akan terekam jelas dalam benak mereka. Sekuat apapun
sekolah memberikan pendidikan karakter, jika generasi tua tidak memberikan contoh
bijak, ketika memasuki kehidupan bermasyarakat nantinya, karakter yang telah
mereka bentuk akan terancam eksistensinya.
12. PENUTUP
UN mutlak diperlukan. Selain alasan-alasan di atas, ada yang lebih
penting lagi, yaitu bagaimana mendidik anak-anak kita agar memiliki etos belajar
dan kerja keras. Dengan UN anak-anak mau tidak mau terus meningkatakan
kemampuannya agar dapat menyesuaikannya dengan standar minimal yang telah
ditentukan. Dengan UN, guru akan dipacu untuk berkreasi dalam menyampaikan
pembelajaran kepada anak didiknya sehingga lebih kreatif dan optimal.
Selain itu juga sangat wajar jika masyarakat ingin melihat apakah siswa
yang lulus dari sekolah di daerah terpencil juga memiliki kompetensi standar yang
sama dengan rekan mereka yang lulus dari sekolah di kota besar. Menyerahkan
sepenuhnya kelulusan sepenuhnya kepada guru dan sekolah bukannya tanpa masalah
karena akan memberikan hasil yang sangat beragam. Kualitas guru yang belum
memadai dikhawatirkan akan memberikan penafsiran yang berbeda terhadap standar
kelulusan siswa. Selain akan mempersulit sekolah yang sudah terlanjur dicap tidak
bermutu sehingga lulusan sekolah tersebut juga akan mendapat stigma tidak bermutu
(Driana, dalam Tilaar, 2010:232). Hal-hal tersebut dapat dikurangi dengan melakukan
ujian yang terstandar nasional.
Hasil lulusan yang telah terstandar nasional bahkan internasional, tentu
lebih mempersiapkan anak didik kita dalam memasuki dunia kerja dan bersaing
dengan pasar tenaga kerja internasional. Namun hal ini tentunga harus diiringi dengan
perbaikan kualitas pendidikan dan fasilitas pendidikan.
Namun demikian, dengan berbagai permasalahan UN yang dihadapi saat
ini, seyogyanya pemerintah kedepannya membuat kebijakan yang terintegrasi dan
terencana dalam membuat standar pendidikan nasional dengan kajian yang mendalam
mengenai dampak kebijakan tersebut dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat
sehingga ketika pada tataran implementasi, kebijakan tersebut tidak mendapat
penolakan.
DAFTAR BACAAN
13. Tilaar, HAR. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis.
Jakarta:Rineka Cipta
Baedowi, Ahmad. 2012. Calak Edu Esai-Esai Pendidikan 2008-2012. Jakarta:
Alvabet
Purwanto, Ngalim. 2010. Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung:
Remaja Rosdakarya
http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/13/character-building-modal-dasar-nation-
building/
http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/11/memudarnya-karakter-bangsa/
http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/04/suksesnya-un-bisakah-membangun-
karakter-siswa/
http://komunikasi.um.ac.id/?p=1684
http://kazwini13.wordpress.com/2012/04/16/sejarah-ujian-nasional-di-indonesia/
http://www.tempo.co/read/news/2007/05/21/055100344/null
http://data.menkokesra.go.id/content/hdi-indonesia-2010-metode-dan-indikator-baru
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/05/02/m3eleh-
pemetaan-keberhasilan-pendidikan-melalui-un-belum-berjalan
http://regional.kompas.com/read/2010/04/28/08461180/Duh.Tak.Lulus.UN.
Bunuh.Diri