Penelitian “Mengurangi Perdagangan Anak di Wilayah Kerja ChildFund” merupakan suatu studi yang ingin mengungkapkan fakta terbaru tentang potret perdagangan anak yang terjadi di tiga wilayah kerja ChildFund yaitu Semarang, Kupang, dan Jakarta Barat/Tangerang. Penelitian ini juga ingin mengetahui respon yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah dalam membuat masalah perdagangan anak dapat lebih teratasi, selain itu juga ingin mendapatkan informasi tentang aksi-aksi kongkrit yang telah dilakukan berbagai organisasi dalam upaya mengatasi masalah perdagangan anak. Penelitian ini juga ingin menawarkan satu model penanggulangan perdagangan anak.
Untuk dapat menjawab semua permasalahan penelitian di atas, maka metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu studi dokument, survey, wawancara mendalam dan focus grouup discussion. Sebanyak 93 anak-anak korban traffiking berhasil diwawancarai dengan menggunakan kuesioner, lalu 24 orang informan kunci diwawancarai dengan serta 23 orang hadir dalam focus grouup discussion yang diadakan di tiga kota yaitu Kupang, Semarang dan Tangerang.
Hakikatnya tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata, material, dan spiritual Berdasarkan Pancasila. Namun demikian, salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah aspek pemerataan. Hal ini dikarenakan dalam proses dan hasil pembangunan acap kali disinyalir masih menimbulkan kesenjangan (disparitas) pembangunan satu sama lain.
Hakikatnya tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata, material, dan spiritual Berdasarkan Pancasila. Namun demikian, salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah aspek pemerataan. Hal ini dikarenakan dalam proses dan hasil pembangunan acap kali disinyalir masih menimbulkan kesenjangan (disparitas) pembangunan satu sama lain.
Bahasa indonesia kelas X : Interpretasi Isi Teks Anekdot - Makna Kata, Istila...RiriCesar RiriCesar
Bahasa Indonesia kelas 10 membahas tentang anekdot. Maaf sebelumnya, video motivasinya ga bisa diputar :v Materi sesuai title, comment jika ada kesalahan kata. ^^ hatur nuhun
ig: ritmosphere
Bahasa indonesia kelas X : Interpretasi Isi Teks Anekdot - Makna Kata, Istila...RiriCesar RiriCesar
Bahasa Indonesia kelas 10 membahas tentang anekdot. Maaf sebelumnya, video motivasinya ga bisa diputar :v Materi sesuai title, comment jika ada kesalahan kata. ^^ hatur nuhun
ig: ritmosphere
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017ECPAT Indonesia
Dalam mewujudkan visi misinya, ECPAT Indonesia memilih beberapa strategi, diantaranya penelitian, sosialisasi, pelatihan, kerjasama, Focus Group Discussion (FGD) dll. Kiprah ECPAT Indonesia
selama 13 tahun, telah menemukan banyak permasalahan anak di Indonesia, diantaranya anak putus sekolah, anak terpapar pornografi melalui smartphone, perkawinan anak, hubungan seks anak dengan anak, anak mengalami kekerasan seksual, anak menjadi pekerja atau sebagai pencari nafkah, keseluruhan kasus yang ECPAT Indonesia temukan rentan menjadi pintu masuk terjadinya eksploitasi seksual komersial.
Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah kejahatan terhadap anak-anak yang sangat serius. Pada lima tahun belakangan ini kasus-kasus Eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia meningkat secara tajam, banyak diantaranya terjadi dalam ranah domestik/keluarga. Anak-anak harus dilindungi dari segala macam kejahatan yang akan terjadi termasuk kejahatan Eksploitasi seksual komersial anak, karena dampak yang ditimbulkan ketika anak-anak menjadi korban Eksploitasi seksual komersial anak sangat berpengaruh terhadap kondis psikologi anak tersebut.
Pemerintah pun diharap pro aktif dalam menyelesaikan masalah ini, dengan banyaknya Kementerian dan Lembaga yang mempunyai program-program perlindungan terhadap anak. Para penegak hukum diharapkan bisa menemukan solusi dalam mengurangi angka kejahatan ini terhadap anak di Indonesia. Eksploitasi seksual komersial anak sudah seharusnya menjadi salah satu program prioritas penegakan hukum di Indonesia.
Undang-Undang Perlindungan anak bahkan telah menjamin anak-anak Indonesia untuk memperoleh hak-haknya, oleh karena itu sudah seharusnya seluruh elemen bangsa ini bergerak dalam melindungi anak-anak agar mereka tidak menjadi korban Eksploitasi seksual komersial anak dan terdiskriminasi oleh lingkungannya.
Namun gambaran yang ditemukan dalam beberapa kasus justru masih menunjukkan ada masalah serius dalam penagakan hukum kasus-kasus ESKA. Seperti pada umumnya, proses hukum itu sangat lama dan terkadang tidak memberikan ketidakadilan bagi korban. Namun adanya dukungan keluarga dan keinginan korban untuk menempuh proses peradilan merupakan suatu sikap yang patut di dukung walaupun kadangkala tidak sesuai dengan hasil yang mereka harapkan. Beberapa kasus yang telah ditangani oleh ECPAT menempuh proses peradilan, yang sangat lama.Pengalaman mencatat bahwa putusan pengadilan pada kasus-kasus kejahatan seksual masih banyak yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban keluarga korban dan masyarakat umum seperti masih adanya putusan yang rendah, memojokan dan menyalahkan korban terkait peristiwa yang mereka alami, korban bahkan di viktimisasi ulang karena dianggap memberikan kontribusi pada terjadinya kasus tersebut, belum lagi prosedur konfrontir antara korban dan pelaku yang sangat membebani psikis korban,dan akhirnya banyak Putusan pengadilan yang tidak mengedepankan kepentingan bagi korban khususnya berkaitan dengan hak-hak korban mulai dari hak untuk mendapatkan pemulihan, rehabilitasi dan restitusi.
Dengan adanya buku ini kami berharap berharap masyarakat lebih memahami tentang Eksploitasi seksual komersial anak, dan bisa memberi manfaat kepada pembacanya.
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdfECPAT Indonesia
Sejak tahun 2021 ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Bandungwangi untuk melakukan asesmen terkait dengan kasus eksploitasi seksual anak dalam prostitusi yang terjadi di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi). Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran pola, modus, besaran jumlah kasus dan profile korban eksploitasi seksual anak dalam prostitusi termasuk kerentanannya mengalami kekerasan. Di Tahun 2022 kami kembali melakukan asesmen, sehingga laporan ini merupakan temuan yang kami persembahkan kepada anak-anak Indonesia, masyarakat, pemerintah, Lembaga perlindungan anak, dan pihak-pihak yang peduli dengan upaya perlindungan anak dari eksploitasi seksual. Semoga hasil temuan ini bermanfaat menjadi refleksi, acuan data untuk upaya penghapusan segala bentuk eksploitasi seksual anak di Indonesia.
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual AnakECPAT Indonesia
Internet Watch Foundation (IWF) telah menyelidiki laporan pertamanya tentang materi pelecehan seksual terhadap anak (CSAM) yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI).
Investigasi awal mengungkap dunia teknologi teks-ke-gambar. Singkatnya, Anda mengetikkan apa yang ingin Anda lihat di generator online dan perangkat lunak akan menghasilkan gambar.
Teknologinya cepat dan akurat – gambar biasanya sangat cocok dengan deskripsi teks. Banyak gambar dapat dihasilkan sekaligus – Anda hanya dibatasi oleh kecepatan komputer Anda. Anda kemudian dapat memilih favorit Anda; mengeditnya; arahkan teknologi untuk menghasilkan apa yang Anda inginkan.
ECPAT Indonesia adalah jaringan nasional dari 22 organisasi dan 2 individu
dari 11 provinsi di Indonesia untuk menentang Eksploitasi Seksual Anak (ESA),
meliputi eksploitasi seksual anak dalam prostitusi, perdagangan anak untuk
tujuan seksual, eksploitasi seksual anak di sektor pariwisata dan perjalanan,
eksploitasi seksual anak online, dan perkawinan anak.
ECPAT Indonesia membuat Catatan Akhir Tahun (CATAHU) tahun 2022 yang merupakan bentuk tanggung jawab ECPAT Indonesia kepada publik di wilayah Indonesia dan secara khusus ditujukan kepada donor, lembaga jaringan, stakeholder yang selama ini bekerja bersama-sama untuk memperjuangkan hak-hak anak.
Pada akhir tahun 2022 kemarin, Cianjur telah dilanda gempa bumi sekuat 5,6 SR yang telah menewaskan ratusan orang dan ribuan orang lainnya luka-luka. Gempa ini pun terus berlanjut dengan beberapa gempa susulan yang membuat semakin banyaknya korban berjatuhan, tak terkecuali anak-anak. Kehilangan tempat tinggal, hilangnya harta dan benda, hingga kejiwaan terguncang yang menyebabkan trauma pun turut dirasakan. Melihat hal ini, ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Kinder Nothilfe Germany memutuskan untuk membuat gerakan bersama yang bertujuan untuk menolong korban -terkhusus anak dan perempuan- di Cianjur.
Bagian ini akan menjelaskan tentang internet dan cara kerjanya serta media sosial. Termasuk di dalamnya resiko keamanan bagi anak di dunia online (daring) dan bagaimana menghindari resiko tersebut. Pada bagian akhir akan dijelaskan tentang bagaimana melakukan pelaporan jika ditemukan situs / media sosial yang mengandung konten negatif yang berbahaya bagi anak, serta beberapa fitur/tools yang dapat mengurangi resiko anak terpapar konten negatif. Praktek untuk penggunaannya dilakukan agar dapat dipahami langkah-langkah penggunaannya secara sistematis
modul ini dibuat agar para orang tua, komunitas dan masyarakat luas dapat mengetahui secara mendalam tentang bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak melalui media daring, peraturan yang berlaku di Indonesia serta hal-hal yang dapat dilakukan mencegah bahaya eskploitasi seksual melalui media daring terjadi pada anak-anak. Sehingga diharapkan, orang tua, komunitas dan masyarakat dapat lebih berperan aktif dalam melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi seksual anak melalui media daring.
Riset disrupting harm sendiri merupakan riset yang dilakukan oleh ECPAT Internasional, UNICEF, dan Interpol dengan bekerjasama dengan ECPAT Indonesia dengan subjek penelitian yaitu keselamatan anak di ranah daring.
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial ECPAT Indonesia
Sosial media menjadi tempat bermain yang asik dan seru untuk anak-anak, Namun terkadang anak belum tahu bagaimana mereka melindungi privasi mereka di media sosial.
Hal ini tentunya berisiko bagi keamanan anak. Untuk itu, kita juga perlu meningkatkan kewaspadaan dan sikap yang bijak dalam menggunakan media digital. Berikut adalah tips JAGO agar privasi anak tetap aman di Media Sosial.
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual AnakECPAT Indonesia
Sosial media menjadi salah satu paltfom yang sangat digemari anak untuk menghabiskan waktu luangnya. Mereka bisa berinteraksi dengan teman, mengetahui informasi terkini, dan mendapatkan hiburan.
Intensitas penggunaan sosial media yang tinggi, membuat anak rentan terhadap eksploitasi seksual di dunia online. Yuk kenali eksploitasi seksual anak online melalui infografis ini supaya kita lebih waspada dan tidak mudah menjadi korbannya.
Apakah kamu pernah mengalami eksploitasi seksual anak online? Langkah apa sih yang kamu lakukan supaya terhindar dari kejahatan ini? Yuk share komentar kamu dipostingan ini.
Dunia digital saat ini semakin berkembang dengan pesat, semua kegiatan yang dilakukan pasti selalu melibatkan internet didalamnya. Hal ini membuat dunia juga semakin cepat mengalami perubahan.
Melihat kondisi tersebut, generasi muda juga bisa mengambil peran loh! Ayo kita kejar sebelum ketinggalan! Daripada hanya menjadi penikmat saja, kita juga bisa berpartisipasi dalam membuat konten positif. Nah, ada beberapa tips nih untuk para kreator muda agar tetap aman saat membuat konten! Kalau kamu paling suka buat konten tentang apa? Kasih komentar dibawah yuk!
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
Disampaikan dalam Drum-up Laboratorium Inovasi Kabupaten Sorong, 27 Mei 2024
Dr. Tri Widodo W. Utomo, S.H., MA.
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN-RI
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
4. DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................................
Ringkasan .................................................................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................................................
Daftar Tabel .............................................................................................................................
Abstract .....................................................................................................................................
Bagian Satu .............................................................................................................................. 5
Pendahuluan .......................................................................................................................... 5
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 5
1.2. Masalah Penelitian ......................................................................................................... 10
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 11
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................................................... 11
1.5. Metode Penelitian .......................................................................................................... 12
1.6. Keterbatasan Penelitian ................................................................................................ 18
Bagian Dua .............................................................................................................................. 20
Potret Perdagangan Anak di Tiga Wilayah ..................................................................... 20
2.1. Perdagangan Anak: Masalah yang Mengkhawatirkan .......................................... 20
2.2. Bentuk dan Jenis Perdagangan Anak ......................................................................... 29
2.3. Pengalaman Kekerasan ................................................................................................. 32
2.4. Penyebaran Perdagangan Anak .................................................................................. 33
2.5. Karateristik Anak-Anak yang Diperdagangkan ........................................................ 39
2.6. Mimpi Buruk Korban Perdagangan Anak ................................................................. 45
2.7. Penyebab Perdagangan Anak ..................................................................................... 47
2.8. Harapan Korban Perdagangan Anak ......................................................................... 51
Bagian Tiga .............................................................................................................................. 53
Kebijakan dan Aksi dalam Menanggulangi Perdagangan Anak ............................... 53
3.1. Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mengatasi Perdagangan Anak ..... 53
3
5. 3.2..Aksi Konkrit yang Telah Dilakukan ............................................................................ 61
3.3..Proses Penegakan Hukum Kasus-Kasus Perdagangan Anak ................................ 65
3.4..Kendala-Kendala yang Dihadapi .............................................................................. 67
Bagian Empat .......................................................................................................................... 70
Model Penanggulangan Perdagangan Anak .................................................................. 70
4.1..Landasan Penghapusan Perdagangan Anak ............................................................ 70
4.2..Model Penanganan Perdagangan Anak ................................................................... 73
Bagian Lima ........................................................................................................................... 83
Rekomendasi Aksi Penanggulangan Perdagangan Anak ........................................... 83
5.1..Rekomendasi untuk Wilayah Kupang ....................................................................... 83
5.2..Rekomendasi untuk Wilayah Semarang ................................................................... 84
5.3..Rekomendasi untuk Wilayah Tangerang-Jakarta Barat .......................................... 85
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 87
Lampiran-Lampiran ............................................................................................................... 90
Tabel 1.1. Jumlah Responden dan Informan ................................................................. 13
Tabel 1.2. Karakteristik Informan Penelitian ................................................................. 15
Tabel 2.1. Perdagangan Anak untuk Berbagai Tujuan ................................................ 31
Tabel 2.2. Pengalaman Kekerasan Korban Perdagangan Anak ................................ 33
Tabel 2.3. Usia Anak yang Menjadi Korban Trafiking ................................................. 40
Tabel 2.4. Jenis Kelamin Korban Trafiking ..................................................................... 41
Tabel 2.5. Tingkat Pendidikan Korban Trafiking ........................................................... 42
Tabel 2.6. Jenis Pekerjaan Korban Trafiking .................................................................. 45
Tabel 3.1. Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam
Penanggulangan Perdagangan Orang ............................................................................. 57
4
6. Tabel 3.2. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam Penanggulangan
Perdagangan Orang .............................................................................................................. 59
5
7. ABSTRAK
Penelitian “Mengurangi Perdagangan Anak di Wilayah Kerja ChildFund” merupakan suatu
studi yang ingin mengungkapkan fakta terbaru tentang potret perdagangan anak yang terjadi
di tiga wilayah kerja ChildFund yaitu Semarang, Kupang, dan Jakarta Barat/Tangerang.
Penelitian ini juga ingin mengetahui respon yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah dalam
membuat masalah perdagangan anak dapat lebih teratasi, selain itu juga ingin mendapatkan
informasi tentang aksi-aksi kongkrit yang telah dilakukan berbagai organisasi dalam upaya
mengatasi masalah perdagangan anak. Penelitian ini juga ingin menawarkan satu model
penanggulangan perdagangan anak.
Untuk dapat menjawab semua permasalahan penelitian di atas, maka metode pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu studi dokument, survey,
wawancara mendalam dan focus grouup discussion. Sebanyak 93 anak-anak korban traffiking
berhasil diwawancarai dengan menggunakan kuesioner, lalu 24 orang informan kunci
diwawancarai dengan serta 23 orang hadir dalam focus grouup discussion yang diadakan di
tiga kota yaitu Kupang, Semarang dan Tangerang.
Penelitian ini berhasil memotret tentang situasi perdagangan anak yang berlangsung di tiga
lokasi penelitian dan menemukan fakta tentang buruknya situasi anak-anak yang
diperdagangkan. Umumnya mereka dikesploitasi di tempat-tempat praktek prostitusi serta
tempat-tempat karoke yang mempekerjakan mereka hingga dini hari. Dari tiga kota yang
diteliti ditemukan fakta bahwa sekitar 80% anak-anak yang diperdagangkan adalah untuk
tujuan eksplotasi seksual, mereka di rekrut dari berbagai daerah di Indonesia lalu dijual di
Semarang, Kupang dan Tangerang/Jakarta Barat. Dalam merespon masalah perdagangan anak
ini, ternyata upaya yang dilakukan oleh pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat
sipil maupun organisasi internasional masih belum mampu mengatasi masalah perdagangan
anak ini, praktek-praktek eksploitasi masih terus berlangsung. Karena itu diperlukan model
yang lebih membumi untuk mengatasi masalah ini, keterlibatan para aktor dalam mengatasi
masalah ini pun perlu dievaluasi dan mitra potensial pun perlu diberdayakan agar masalah ini
dapat ditanggulangi.
6
8. Karena itu rekomendasi yang ditawarkan dalam penelitian ini bukanlah sesuatu yang baru,
namun merupakan satu model aksi yang dapat membuat masalah ini lebih teratasi,
rekomendasi disusun berdasarkan karakteristik daerah penelitian. Rekomendasi lebih
diorientasikan pada penarikan anak-anak yang berada di lokalisasi karoke dan memperkuat
fungsi lembaga yang selama ini ada di akar rumput, sembari peningkatan pemahaman tentang
child trafficking mainstreaming perlu dipertajam. Organ-organ penegak hukum perlu
diberikan kesamaan pandangan dengan pemerintah daerah, sehingga tidak terkesan saling
menyalahkan dalam rangka menyelamatkan anak-anak yang tereksploitasi. Advokasi masih
diperlukan, dengan demikian peran organisasi masyarakat sipil perlu diperkuat agar mampu
terus menerus melakukan fungsi advokasi ini. Kelemahan advokasi mengakibatkan lemahnya
kontrol terhadap organ pemerintah dan penegak hukum dalam mengatasi masalah ini.
Pengembangan program pencegahan yang lebih kontekstual dan berkelanjutan sangat
diperlukan agar anak-anak sejak dini tidak terjebak pada praktek eksploitasi, dan lembaga
yang melakukan pencegahan pun perlu diperkuat lebih dahulu agar tidak salah dalam
merumuskan strategi dan implementasi.
7
9. BAGIAN SATU
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Setiap tahun diperkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di
Indonesia1. Diperkirakan sekitar 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di
Indonesia masih berumur dibawah 18 tahun. UNICEF memperkirakan ada sekitar 40.000-
70.000 anak Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual2. Institut Perempuan di Jawa
Barat melaporkan bahwa sekitar 43,5 persen korban trafiking masih berusia 14 tahun3.
Permintaan terhadap seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global
sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta keinginan untuk
memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anak-anak menjadi rentan. Anak-anak
sangat rentan untuk diperdagangkan karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih
mudah untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang
telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk membantu menafkahi keluarga
mereka atau lari dari situasi keluarga yang sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk
mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak,
kurangnya pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan
kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang memfasilitasi
terjadinya perdagangan manusia4.
Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke Malaysia, Hong Kong dan
Singapura untuk tujuan seksual5; banyak dari mereka yang diperdagangkan dari Indonesia
melalui Kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan
1 UNICEF. Diakses dari http://www.unicef.org/infobycountry/indonesia_23650.html
2 Human Trafiking Project. Diakses dari http://www.humantrafiking.org/countries/indonesia
3‘Women and Children Trafiking in West Java Causing More Concern’. 10 April 2008.
http://indonesiahaveanews.blogspot.com/2008/04/women-and-children-trafiking-in-west.html
4 Agustinanto, Fatimana et al., Trafiking of women and children in Indonesia, International Catholic
Migration Commission - American Center for International Labor Solidarity, Indonesia, 2003. Diakses
dari: http://www.icmc.net/pubs/trafiking-women-and-children-indonesia
5 Nugraha, Panca. “Child trafiking on the rist in West Nusa Tenggara”. 14 August 2008. The Jakarta Post.
http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/14/child-trafiking-rise-west-nusa-tenggara.html
8
10. Singapura6. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data yang
dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus perdagangan anak di
Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui Batam (400 kasus) dan Jakarta dari
daerah-daerah pengirim di Jawa, Indramayu dan Sukoharjo7.
Usia anak sering dipalsukan dengan menggunakan KTP palsu yang disebabkan oleh
rendahnya tingkat pencatatan kelahiran di negara tersebut sehingga mereka bisa bekerja
sebagai buruh migran di luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Bukti menunjukkan
bahwa sebagian besar remaja putri dalam masyarakat China di Propinsi Kalimantan Barat
(beberapa kasus juga dilaporkan di Jawa Timur) diperdagangkan untuk pengantin wanita
pesanan ke Taiwan8, Hong Kong dan Singapura9. Pada tahun 2007, dilaporkan bahwa para
pelaku trafiking telah menggunakan dokumen-dokumen palsu untuk mendapatkan visa
wisatawan untuk perempuan dan anak-anak perempuan yang diperdagangkan dan dipaksa
masuk ke dalam dunia pelacuran di Jepang10. Perdagangan perempuan dan anak perempuan
domestik juga mewakili sebuah masalah eksploitasi yang besar di seluruh Indonesia.
Perempuan dan anak-anak perempuan direkrut dengan janji akan dipekerjakan di sebuah
restoran atau pabrik atau sebagai pembantu rumah tangga tetapi malah dipaksa masuk ke
dalam perdagangan seks11.
6 US State Department. Trafiking in Persons Report 2008 – Indonesia. 4 June 2008. Diakses dari:
http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
7 Nugraha, Panca. “Child trafiking on the rist in West Nusa Tenggara”. 14 August 2008. The Jakarta Post.
http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/14/child-trafiking-rise-west-nusa-tenggara.html
8 International Catholic Migration Commission (ICMC) and American Center for International Labor
Solidarity (Solidarity Center). Trafiking of Women and Children in Indonesia. 2003. Diakses dari:
http://www.icmc.net/pdf/traffreport_en.pdf-ECPAT International. Global Monitoring Report on the
Status of Action against Commercial Sexual Exploitation of Children: Indonesia. Bangkok. 2006.
http://www.ecpat.net-US State Department. Trafiking in Persons Report 2008 – Indonesia. 4 June 2008.
Diakses dari: http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
9Human Trafiking Project. Diakses pada bulan Maret 2009 dari:
http://www.humantrafiking.org/countries/indonesia
10US State Department. Trafiking in Persons Report 2008 – Indonesia. 4 June 2008. Diakses dari:
http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
11 Ibid
9
11. Laporan berita pada bulan Mei 2008 mendiskusikan sebuah trend baru perdagangan anak
perempuan umur 13 tahun ke daerah-daerah pembalakan liar12. Kalimantan Barat dikenal
sebagai sebuah daerah dimana anak-anak perempuan yang sebagian besar masih berusia
antara 13 sampai 17 tahun diperdagangkan dari pulau tersebut dengan janji akan
dipekerjakan sebagai pekerja restoran atau pembantu tetapi kenyataannya malah dipaksa
masuk kedalam lokalisasi hutan di sejumlah tambang emas ilegal dan bisnis perkayuan13. Ada
daerah-daerah tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai daerah tujuan atau daerah
pengirim. Misalnya, Bali dikenal sebagai daerah tujuan untuk perdagangan perempuan dan
anak untuk tujuan seksual sedangkan Surabaya dianggap sebagai daerah tujuan untuk
trafiking domestik dan sebagai daerah transit untuk beberapa rute internasional14. Jawa Barat
dikenal sebagai daerah pemasok untuk pelacuran anak dan perempuan sedangkan Jakarta,
Batam dan Surabaya dikenal sebagai daerah tujuan15.
Disamping itu, menurut Yayasan KAKAK Surakarta, Jawa Tengah (anggota ECPAT Indonesia),
melaporkan titik-titik perdagangan anak di Jawa Tengah16. Menurut Yayasan KAKAK,
eksploitasi seksual terhadap anak biasanya terjadi di cafe, mall, hotel, terminal bus dan stasiun
kereta api serta di pasar. Akan tetapi, Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Surakarta
menyangkal adanya anak-anak dalam pelacuran di daerah-daerah tersebut walaupun Dinas
Kesejahteraan Rakyat Surakarta menyatakan bahwa layanan terpadu telah diberikan bagi
perempuan dan anak-anak atas kerjasama dengan 18 LSM di Surakarta17. Pada bulan Agustus
2008, Pemerintah mengumumkan Surakarta sebagai sebuah Kota Yang Aman Untuk Anak18.
Perempuan dan anak-anak perempuan dari China, Thailand dan Eropa Timur diperdagangkan
12 Kearney, Marianne. “Illegal logging trade forces jungle brothel in Indonesia”. The National. 24 May
2008. Diakses dari:
http://www.thenational.ae/article/20080524/FOREIGN/817965842/1015/SPORT&Profile=1015
13 Ibid
14 International Catholic Migration Commission (ICMC) and American Center for International Labor
Solidarity (Solidarity Center). Trafiking of Women and Children in Indonesia. 2003. Diakses dari:
http://www.icmc.net/pdf/traffreport_en.pdf
15 Ibid
16 Primartantyo, Ukky. “More Cases of Children Being Sexually Exploited”. Tempo Magazine. 29
September 2008.
Diakses dari: http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2008/09/29/brk,20080929-
138032,uk.html
17 Ibid
18 Ibid
10
12. ke Indonesia untuk tujuan seksual walaupun dibandingkan dengan perempuan dan anak-anak
dari Indonesia yang diperdagangkan untuk tujuan yang sama jumlahnya dianggap masih
kecil19. Tergantung pada alasan trafiking tersebut, beberapa negara bisa saja hanya menjadi
negara pemasok sedangkan negara-negara yang lain bisa saja menjadi negara tujuan dan
negara transit. Sementara itu, beberapa negara bisa menjadi ketiga-tiganya, yaitu negara
pemasok, transit dan tujuan. Indonesia dianggap sebagai negara pemasok dan tujuan untuk
perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Para pelaku trafiking bisa saja orang asing (yang tidak dikenal) atau seseorang yang telah
dikenal oleh anak tersebut (seperti sanak keluarga atau kenalan) atau bagian dari jaringan
kriminal yang terorganisir yang merekrut anak-anak dan memberi mereka identitas palsu. Para
pelaku trafiking mengorbankan anak-anak dan remaja untuk memenuhi permintaan seks dari
orang-orang yang membayar seks dan siapapun yang menjadi pelanggan pasar seks komersial
bisa berakhir dengan mengeksploitasi seorang anak secara seksual. Tidak ada profil umum
pelaku yang mengeksploitasi anak-anak secara seksual – mereka bisa saja orang yang masih
muda, orang yang sudah tua, orang yang sudah menikah atau orang yang masih lajang;
mereka berasal dari semua jenis latar belakang sosial-ekonomi dan bekerja dalam semua jenis
profesi. Mereka juga bisa berpura-pura menjadi seorang pacar untuk meyakinkan anak-anak
untuk pergi dan mendapatkan sebuah kehidupan baru. Di Indonesia, beberapa agen
perekrutan benar-benar merupakan sindikat trafiking yang merayu para pekerja migran laki-laki
dan perempuan dari Indonesia untuk masuk kedalam jeratan hutang melalui pembayaran
uang komisi yang tinggi20, termasuk membujuk anak-anak untuk masuk kedalam jeratan
hutang dengan memberikan janji-janji palsu untuk memberikan sebuah pekerjaan yang enak
tetapi akhirnya mendapati diri mereka masuk kedalam pelacuran. Calo perkawinan juga
terlibat dalam trafiking apabila rencana perkawinan tersebut mengarahkan anak-anak
perempuan pada situasi-situasi eksploitatif secara seksual.
Sebagian wisatawan, orang asing dan penduduk setempat juga menjadi wisatawan seks anak
dan sering mengunjungi daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Sebagian pelaku kekerasan
dari luar negeri membayar calo perkawinan untuk mencarikan istri melalui sistem pengantin
19 Nugraha, Panca. “Child trafiking on the rist in West Nusa Tenggara”. 14 August 2008. The Jakarta Post.
http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/14/child-trafiking-rise-west-nusa-tenggara.html
20ECPAT International. Global Monitoring Report on the Status of Action against Commercial Sexual
Exploitation of Children: Indonesia. Bangkok. 2006. http://www.ecpat.net
11
13. perempuan pesanan yang dalam banyak kasus sering melibatkan anak-anak perempuan
dengan pencatatan kelahiran dan dokumen perjalanan palsu. Direktorat Jenderal
Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik
Indonesia menyatakan bahwa dari tahun 1972-2008, mereka telah mencatat lebih dari 13.703
anak korban eksploitasi seksual di daerah-daerah tujuan wisata di 40 desa di 6 propinsi, yaitu
Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur21.
Kompilasi data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perdagangan anak untuk tujuan
seksual, baik untuk pelacuran anak maupun pornografi, ditemukan di Semarang (Jawa
Tengah) dan Indramayu (Jawa Barat). Sementara itu, anak-anak yang menjadi korban
kekerasan seksual dan pelacuran ditemukan secara merata di propinsi-propinsi tersebut22. Bali
dan Nusa Tenggara Barat juga dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata dimana banyak anak
menjadi sasaran eksploitasi seksual23.
Meskipun Indonesia telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak yang dibuat melalui Keputusn Menko Kesra
No. 25/2009 untuk periode 5 tahun (2009-2014) namun kemajuan yang diperoleh sangat
minim. Pemerintah pusat kurang memiliki kekuatan dalam mendorong pemerintah daerah
untuk segera mengambil langkah-langkah yang konkrit dalam mencegah, dan menghapuskan
perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Kasus-kasus eksploitasi perdagangan orang
khususnya perdagangan anak masih terus berlangsung hingga sekarang. Kemampuan
pemerintah daerah dalam mengatasi masalah ini masih sangat terbatas, mereka bukan saja
minim dari segi anggaran tetapi juga minim dari segi keahlian.
Gambaran yang disajikan di atas menunjukkan masih buruknya potret perdagangan anak-anak
di Indonesia khususnya untuk tujuan seksual. Dan sayangnya belum banyak inisiatif lokal yang
dijalankan untuk mengatasi masalah ini. ECPAT Indonesia sejak dua tahun terakhir telah
mengembangkan program untuk memberikan layanan langsung kepada korban trafiking anak,
namun program ini pun dinilai masih kurang berhasil, karena tidak adanya mekanisme
keberlanjutan program ini. Demikian juga LSM-LSM lain yang coba mengembangkan program
21 Kompilasi data dari Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan
dan Periwisata Republik Indonesia, Oktober 2008.
22 Ibid
23 US State Department. Trafiking in Persons Report 2008 – Indonesia. 4 June 2008. Diakses dari:
http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
12
14. penanggulangan perdagangan anak, masih sangat terbatas pada penanganan dan
pemulangan, yang tentu saja sifatnya sangat insidentil.
Karena itu melalui proposal ini akan diteliti lebih mendalam dan komprehensif tentang
bagaimana mengembangkan strategi penanggulangan perdagangan anak yang didasarkan
pada konteks masyarakat dan kapasitas yang dimiliki di tingkat lokal dengan
mempertimbangkan kearifan lokal dan keberlanjutan program ini. Pengembangan strategi
program penanggulangan perdagangan anak yang berbasis “action research” ini akan
dipergunakan oleh ChildFund dalam memperkuat mitra-mitranya di daerah yang menjadi
lokasi penelitian ini.
1.2. MASALAH PENELITIAN
Penelitian ini ingin menjawab tentang upaya yang seharusnya dilakukan dalam
menanggulangi perdagangan anak di 3 (tiga) wilayah kerja ChildFund. Berdasar identifikasi
permasalahan yang ada, maka diajukan 3 (tiga) pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah situasi perdagangan anak di wilayah kerja ChildFund ?
b. Bagaimana respon dan upaya-upaya yang sudah dilakukan berbagai pihak dalam
membuat masalah ini lebih teratasi ?
c. Bagaimana bentuk intervensi yang seharusnya dilakukan oleh ChildFund dalam
mengembangkan program anti perdagangan anak di wilayah kerjanya ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Dari tiga pertanyaan penelitian yang ingin dijawab, maka tujuan penelitian ini pun dibuat
dalam 3 (tiga) rangkaian yaitu:
a. Untuk memetakan situasi perdagangan anak di wilayah kerja ChildFund. Dalam
pemetaan ini informasi dan data yang ingin dikumpulkan adalah penyebaran
perdagangan anak, daerah tujuan, insiden atau kasus-kasus perdagangan anak yang
terjadi di wilayah penelitian serta faktor-faktor yang menyebabkannya,
b. Untuk mengetahui respon dari masyarakat, tokoh masyarakat, LSM, pemerintah,
organisasi keagamaan terhadap masalah perdagangan anak, penanganan yang pernah
dilakukan oleh berbagai pihak dalam membuat masalah perdagangan anak lebih
teratasi, lembaga-lembaga atau pihak-pihak apa saja yang menangani masalah ini.
13
15. c. Untuk merancang program intervensi yang akan dikembangkan oleh ChildFund di
wilayah kerjanya. Desain program didasarkan pada situasi lokal yang ada atau yang
ditemukan di daerah penelitian yang meliputi layanan langsung kepada korban,
model-model pencegahan konkrit yang didasarkan pada kapasitas institusi dan
kearifan lokal, kemitraan dengan berbagai stakeholder, advokasi pada lembaga-lembaga
pemerintah dan privat sektor.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki dua manfaat yaitu :
a. Manfaat teoritis dari penelitian ini dapat digunakan untuk memotret situasi
perdagangan anak di 2 (dua) propinsi dan 3 (tiga) kabupaten sehingga dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kajian yang lebih mendalam terhadap permasalahan ini
dari sudut pandang yang berbeda.
b. Manfaat praktis dari penelitian ini dapat digunakan oleh ChildFund dalam
mengembangkan program intervensi untuk penanggulangan perdagangan anak di
wilayah kerjanya. Laporan ini akan menyajikan model pendekatan dan model program
yang dapat dilaksanakan oleh para mitra ChildFund di daerah kerja ChildFund, bahkan
lebih jauh lagi model ini pun dapat dipergunakan atau direflikasi untuk
pengembangan program yang sama di daerah lain.
1.5. METODOLOGI PENELITIAN
1.5.1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui situasi perdagangan anak di
lokasi penelitian sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mendesain program
intervensi yang akan dikembangkan. Kedua pendekatan ini akan digunakan secara simultan
untuk saling melengkapi data dan informasi yang diperlukan.
1.5.2. Metode Pengumpulan Data
a. Studi dokumen
14
16. Studi dokumen ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang situasi
perdagangan anak yang ada di 3 (tiga) wilayah penelitian berdasarkan data-data
sekunder yang didapat dari berbagai dokumen seperti buku, majalah, koran, website,
kasus-kasus yang dilaporkan oleh ke polisian daerah, LSM maupun pemerintah daerah.
Studi dokumen juga dilakukan terhadap sejumlah kebijakan dan program pemerintah
daerah di lokasi penelitian. Kebijakan dan program yang dianalisis meliputi kebijakan
dan program di tingkat propinsi, di tingkat kota/kabupaten, di tingkat kecamatan
hingga desa.
b. Survey
Survey dimaksudkan untuk mendapatkan besaran masalah dan penyebaran terhadap
perdagangan anak yang ditujukan langsung pada anak-anak yang pernah menjadi
korban perdagangan. Dalam kurun waktu penelitian di lakukan survey kepada
sebanyak mungkin anak-anak yang pernah menjadi korban. Survey dilakukan di 3
(tiga) wilayah yang menjadi lokasi kerja ChildFund. Dalam rangka melakukan survey
ini maka tim peneliti dibantu oleh staf dari LSM yang menjadi mitra ChildFund yang
ada di wilayah-wilayah tersebut.
c. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang ada di lokasi penelitian
yang meliputi pimpinan LSM, Lembaga/Badan pemerintah daerah yang memiliki
program penanggulangan perdagangan anak dan kepolisian yang pernah menangani
masalah perdagangan anak.
d. Focus Group Discussion (FGD)
FGD dilakukan untuk melakukan cross check terhadap informasi yang didapat dari
wawancara mendalam. FGD ini dilakukan sebanyak satu kali di setiap lokasi penelitian
dengan peserta FGD yang mewakili tiap-tiap institusi target. FGD dipandu langsung
oleh peneliti utama.
Dengan menggunakan 2 (dua) metode penelitian di atas, maka telah berhasil diwawancarai
sebanyak 93 anak korban trafiking, kemudian sebanyak 24 orang informan telah berhasil
diwawancarai secara mendalam dan 23 orang hadir dalam Focus Group Discussion (FGD).
Ketiga kelompok sumber data tersebut berasal dari 3 lokasi penelitian yang berbeda yaitu
15
17. Kupang, Semarang dan Tangerang/Jakarta Barat. Berikut ini ditampilkan daftar sumber data
yang berhasil diwawancarai dalam penelitian ini:
TABEL 1.1
JUMLAH RESPONDEN DAN INFORMAN
LOKASI SURVEY WAWANCARA
MENDALAM
FGD
Kota Kupang 34 orang 9 orang 1 kali (dihadiri oleh 9 orang)
Kota Semarang 31 orang 9 orang 1 kali (dihadiri oleh 6 orang)
Kota Tangerang
28 orang 6 orang 1 kali (dihadiri oleh 8 orang)
Kabupaten Tangerang
Total 93 24 23
Sumber: Data Primer Penelitian, 2012
Dari sumber data di atas, terlihat ada sebanyak 93 anak yang korban trafiking yang
diwawancarai. Anak-anak korban trafiking yang berhasil diwawancarai ini sebagian besar
“masih aktif” sebagai korban trafiking dan sebagian lagi sudah diintegrasikan kepada keluarga
mereka. Ketika melakukan wawancara dengan sebagian korban yang “masih aktif” tersebut
situasi wawancara memang kurang kondusif karena sebagaian anak-anak yang diwawancarai
diawasi oleh “petugas keamananan” karoke dimana anak tersebut dijual. Pendekatan dan
hubungan baik berhasil dilakukan dengan pemilik karoke tersebut, sehingga anak-anak dan
peneliti masih bisa melakukan wawancara meskipun waktu yang disediakan sangat terbatas.
Di Kupang dan di Tangerang/Jakarta Barat Wawancara terhadap anak dilakukan di saat anak-anak
sedang bekerja, karena lebih mudah melihat dan menemukan mereka, hanya saja ketika
diwawancarai anak sedang tidak ada tamu atau anak sedang dalam posisi menunggu tamu.
Sedangkan di Semarang wawancara dilakukan di siang hari ketika anak-anak sedang istirahat
di tempat kos-kosannya. Perbedaan waktu wawancara ini karena karakteristik yang berbeda
antara peneliti dan “izin” wawancara yang diberikan oleh para pemilik karoke tempat anak-anak
dipekerjakan.
Informan yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok besar yaitu kelompok
informan yang berasal dari institusi pemerintah dan institusi penegak hukum dan kelompok
informan yang berasal dari non-pemerintah dan bukan penegak hukum. Kedua kelompok
informan ini diwawancarai secara mendalam dan juga mengikuti Focus Group Discusssion
16
18. (FGD). Masing-masing informan tersebut berada di Kupang, Semarang dan Tangerang/Jakarta
Barat. Penjelasan lebih lanjut tentang informan ini ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
TABEL 1.2
KARAKTERISIK INFORMAN PENELITIAN
KATEGORI KELOMPOK
INSTITUSI
NAMA INSTITUSI
SEMARANG
NAMA INSTITUSI
KUPANG
NAMA INSTITUSI
TANGERANG-JAKARTA
BARAT
Pemerintah Unsur
Pemerintah
Daerah
a. Badan
Pemberdayaan
Perempuan
Perlindungan Anak
dan Keluarga
Berencana (BP3AKB
Provinsi)
b.Disnakertrans Kota
Semarang
c.Dinsospora Kota
Semarang
d.PPT Kecamatan
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Perempuan dan
Keluarga Berencana
(BAPERMASPKB)
a. Biro
Pemberdayaan
Perempuan
propinsi NTT
b.Dinas Sosial
Propinsi NTT
c. KP3 Laut
d.APJATI
a. BPM-Kota
Tangerang
b. Disnaker Kota
Tangerang
c. Kelurahan
Mekarsari,
Tangerang
d. Dinsos
Kabupaten
Tangerang
e. Dinsos Kota
Tangerang
f. Satpol PP Kota
Tangerang
Unsur
Penegak
Hukum
Unit Trafiking Polda
Jateng
Unit Perlindungan
Anak & Perempuan
Polres Kupang
Polres Kota
Tangerang
Non
Pemerintah
Unsur LSM a. SETARA
b.Legal Resources
Center untuk
Keadilan Jender dan
HAM (LRC KJHAM)
c. KALANDARA
d.KOMPASS
a. Yayasan Tanpa
Batas
b.Rumah
Perempuan
c. LP2M
d.Lembaga
Perlindungan anak
NTT
a. YPSI (Yayasan
Pemerhati
Sosial
Indonesia
b. YDK (Yayasan
Darma Kasih)
c. Anak Langit
Unsur
Ormas
Gereja Masehi Injil
di Timor (Jemaat
Ebenhezer Oeba)
Perguruan
Tinggi
Fakultas Hukum
UNIS Tangerang
Organisasi
Internasional
1. ChildFund NTT
2. UNICEF NTT
Sumber : Data Primer Penelitian, 2012
17
19. Para informan ini diwawacarai di kantor mereka dengan alokasi waktu wawacarai disesuaikan
dengan ketersediaan waktu yang dimiliki mereka. Tidak seluruh informan memiliki
pengetahuan yang baik tentang masalah perdagangan anak, terutama informan yang berasal
dari instansi pemerintah.
1.5.3. Alat Pengumpul Data
a. Pedoman Studi Dokumen
Pedoman studi dokumen berupa tabel check-list yang disiapkan oleh peneliti utama
sebagai acuan dalam mencari dan menemukan dokumen yang diperlukan. Dalam
tabel ini juga berisi kolom tentang data yang berhasil dikumpulkan yang berguna
dalam melakukan analisis data.
b. Kuesioner
Kuesioner ini digunakan dalam melakukan survey. Kuesioner ini berisi sejumlah
pertanyaan yang akan diajukan oleh asisten peneliti kepada korban perdagangan anak
yang menghasilkan database dan peta situasi perdagangang anak di 3 (tiga) wilayah
yang menjadi lokasi penelitian.
c. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara dirancang untuk melakukan wawancara terhadap sejumlah
informan kunci yang berisi panduan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat garis besar
yang akan dikembangkan ketika wawancara berlangsung. Pedoman wawancara ini
juga digunakan oleh asisten peneliti yang melakukan wawancara mendalam terhadap
sejumlah informan kunci di lokasi penelitian.
d. Pedoman FGD
Pedoman FGD dimaksudkan untuk memberikan arahan dalam proses FGD sehingga
FGD bisa fokus pada data dan informasi yang ingin dikumpulkan dan yang ingin di
cross check kebenarannya. Pedoman FGD juga berisi panduan bagaimana proses
FGD berlangsung sehingga para peserta memahami tujuan dilakukannya FGD
tersebut.
18
20. 1.5.4. Teknik Analisis
Analisis data adalah suatu proses mengumpulkan, memilah, dan mengolongkan data kedalam
kelompok atau kategori tertentu sehingga dapat ditemukan tema serta dapat dirumuskan.24
Dalam penelitian ini data di sajikan kemudian dijabarkan secara kualitatif dan kuantitatif
dengan analisis deskriptif dan triangulasi. Analisis deskriptif yaitu menjabarkan data yang
telah terorganisir ke dalam bentuk penjelasan, sedangkan analisis triangulasi adalah analisis
dengan teknik check and re-check dari berbagai sumber data. Permasalahan yang ada
dijabarkan kemudian di analisa untuk mendapat solusi berdasarkan teori dan peraturan
yang ada dan pembelajaran yang peroleh.
1.5.5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung di 4 propinsi yaitu Jawa Tengah, NTT, DKI Jakarta dan Propinsi
Banten. Dari empat propinsi itu dipilih 5 (lima) kota yaitu Kota Kupang, Kota Semarang,
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Jakarta Barat. Sebagai catatan bahwa Kota
Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Jakarta Barat merupakan satu lokasi khusus dalam
penelitian ini karena ketiga lokasi ini dalam analisisnya dijadikan sebagai satu lokasi penelitian.
1.5.6. Sistematika Penulisan
Laporan penelitian terdiri dari 5 (lima) bagian yaitu:
Bagian 1, : berisi pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, proses penelitian, kelebihan dan
keterbatasan penelitian.
Bagian 2, : berisi tentang potret perdagangan anak di lokasi penelitian, termasuk insiden
dan kasus-kasus yang berhasil diungkap. Petikan dari kisah anak yang berhasil
selamat atau menyelamatkan diri.
Bagian 3, : berisi tentang kebijakan pemerintah dan aksi yang sudah dilakukan oleh
berbagai pihak dalam membuat masalah ini lebih teratasi. Respon dan upaya-upaya
ini tidak hanya sebatas pada apa yang sudah dilakukan pemerintah
tetapi juga oleh organisasi masyarakat sipil dan penegak hukum.
24 Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2005
19
21. Bagian 4, : berisi tentang model program aksi yang dapat ditawarkan dan dilakukan untuk
mengatasi masalah perdagangan anak. Model program aksi ini memberikan
berupa arahan dan panduan bagaimana seharusnya aksi yang dilakukan
berdasarkan kondisi lokal yang ada di lokasi penelitian.
Bagian 5, : berisi rekomendasi-rekomendasi strategis yang dapat menjadi acuan dalam
peningkatan upaya-upaya penanggulangan perdagangan anak di tiap-tiap
wilayah penelitian berdasarkan karakteristik daerah dan temuan-temuan
masalah dan hasil analisis data penelitian.
1.6. KETERBATASAN PENELITIAN
Waktu pelaksanaan penelitian lapangan yang singkat menjadi tantangan yang cukup berat
bagi peneliti untuk melakukan pengumpulan data dan memenuhi target penelitian. Terlebih
lagi dengan isu yang relatif sensitif bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, menjadikan
proses pengumpulan data tidak mudah. Dinamika yang dihadapi peneliti dalam mengejar
calon responden untuk diwawancarai sangat tinggi dan kebanyakan tidak dapat diprediksi.
Hal ini dikarenakan keberadaan calon responden potensial masih banyak yang ditutupi oleh
pihak-pihak pengurus tempat kerja, mulai dari pihak keamanan, manajer, pemilik tempat kerja
hingga instansi pemerintah daerah atau aparat penegak hukum yang diberi wewenang untuk
membina sekaligus memonitoring kegiatan dalam tempat kerja tersebut.
Secara internal baik peneliti dan enumerator sama-sama memiliki keterbatasan pengetahuan
tentang titik-titik lokasi yang merupakan sumber data potensial responden sehingga
mengakibatkan banyak waktu terbuang untuk mencari lokasi calon responden potensial
tersebut. Selain itu, tidak banyak akses yang ditawarkan oleh enumerator kepada peneliti
untuk bisa mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan. Hal ini membuat proses
pengumpulan data sering menemui jalan buntu.
Secara eksternal peneliti sering menghadapi pihak-pihak yang sengaja menutupi keberadaan
calon responden, juga tidak mudah mendapatkan persetujuan calon responden untuk
wawancara. Terkadang jadwal wawancara yang sudah disepakati waktu dan tempat bisa
mundur atau gagal sama sekali hanya karena calon responden berubah pikiran untuk tidak
mau diwawancara. Adanya intervensi dari orang terdekat seperti orangtua juga dapat menjadi
faktor kegagalan wawancara.
20
22. Sejumlah kendala dan hambatan lain acap kali ditemukan saat pelaksanaan penelitian ini.
Selain minimnya lembaga-lembaga yang bekerja pada isu perdagangan anak mengakibatkan
sumber informasi dari berbagai responden dan informan sangat sulit didapatkan, korban
perdagangan orang yang berusia anak saat wawancara dilakukan juga tidak banyak.
Kebanyakan mereka mulai diperdagangkan saat usia anak, namun saat diwawancara sudah
berusia di atas 18 tahun. Menembus tempat-tempat praktek seks untuk mengambil data juga
tidak mudah dilakukan, mengingat hampir setiap lokasi dilindungi oleh orang-orang setempat
sebagai penjaga keamanan dan mereka cenderung menutupi keberadaan anak, belum lagi
meyakinkan sang mucikari untuk mengakses responden dan mewawancarainya. Wawancara
akhirnya seringkali dilakukan di luar lokalisasi dengan membuat janji khusus dengan
responden saat tidak bekerja. Sejumlah calon responden potensial yang berhasil dijangkau,
khususnya mereka yang bekerja untuk tujuan seks, enggan untuk bekerjasama karena takut
dan khawatir identitasnya tersebar walaupun sudah diyakinkan berulang kali.
1.7. DEFINISI OPERASIONAL
1.7.1. Definisi Perdagangan Anak
Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia,
Khususnya Wanita dan Anak-anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo,
Sisilia, Italia. Teks tersebut berbunyi sebagai berikut:
(a) “Trafiking manusia” (trafficking in persons) memiliki arti pengrekrutan, transportasi,
pemindahan tangan, penyembunyian atau penerimaan manusia, melalui cara ancaman
atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya dari paksaan, penculikan, pemalsuan,
penipuan, atau penyalahgunaan wewenang atau posisi kerentanan atau pemberian atau
penerimaan bayaran atau keuntungan dalam rangka mendapatkan persetujuan pihak
yang memiliki kendali atas manusia lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi,
setidaknya, eksploitasi atas prostitusi manusia lain atau bentuk eksploitasi seksual lainnya,
kerja atau pelayanan secara paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan
perbudakan, pelayanan secara paksa atau pengambilan organ tubuh;
21
23. (b) Persetujuan dari seorang korban trafiking manusia atas eksploitasi sebagaimana yang
diuraikan dalam huruf (a) pasal ini tidak akan relevan jika salah satu cara yang dijelaskan
dalam huruf (a) telah digunakan;
(c) Pengrekrutan, transportasi, pemindahan tangan, penyembunyian seorang anak untuk
tujuan eksploitasi akan dianggap sebagai “trafiking manusia” bahkan jika hal tersebut
tidak melibatkan cara sebagaimana dijelaskan dalam huruf (a) pasal ini;
(d) “Anak” adalah semua orang yang berada di bawah umum delapan belas tahun.
1.7.2. Definisi Korban
Korban yang diinterview dalam penelitian ini adalah anak-anak yang belum berusia 18 tahun
dengan terdiri dari tiga kelompok yaitu anak-anak yang saat diwawancarai masih menjadi
korban traffiking, anak-anak korban traffiking yang sudah diintegrsikan kepada keluarga, dan
anak-anak korban traffiking yang saat ini kasusnya sedang ditangani penegak hukum
22
25. BAGIAN DUA
POTRET PERDAGANGAN ANAK
DI TIGA WILAYAH
2.1. PERDAGANGAN ANAK: MASALAH YANG MENGKHAWATIRKAN
2.1.1. Situasi Perdagangan Anak di Kupang
Secara nasional, tahun 2011 Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati urutan ketiga
kasus perdagangan manusia (human trafiking) dengan 168 kasus. Menurut data organisasi
keimigrasian internasional (International Organization for Migration, IOM) hingga Juni 2011
terdapat 3.943 korban trafiking di Provinsi NTT. Anak-anak dan perempuan menduduki
peringkat terbanyak dengan 3.559 korban.25 Kendati demikian IOM tidak melakukan
pemilahan data jumlah korban anak dan perempuan.
Secara umum korban perdagangan manusia di NTT berasal dari kalangan keluarga yang
kurang mampu, pendidikan rendah, tidak memiliki akses informasi, dan berasal dari pedesaan.
Biasanya korban diberikan janji menggiurkan seperti pekerjaan dan penghasilan yang tinggi
oleh trafficker. Bagi perekrut illegal, kualitas dan ketrampilan tenaga kerja tidak
diperhitungkan, baik dari sisi pendidikan, usia, laki-laki atau perempuan. Bagi mereka semakin
banyak tenaga kerja yang direkrut, maka akan semakin besar keuntungan yang didapat.26
Salah satu modus yang dipakai pelaku untuk meloloskan keberangkatan korban diantaranya
dengan memalsukan dokumen. Sehingga, tidak sedikit anak-anak di Nusa Tenggara Timur
menjadi korban kejahatan ini.
Kupang sebagai sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur bukan daerah bebas
kejahatan trafiking bahkan tercatat sebagai salah satu daerah ”merah” yang menjadi pengirim
anak untuk diperdagangkan. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah kasus yang berhasil diungkap
pihak Kepolisian terdapat banyak korban anak berasal dari wilayah Kupang. Wilayah ini pun
memiliki peran lain dalam perdagangan anak mengingat selain menjadi daerah pengirim
Kupang kerap dijadikan daerah transit pengiriman korban yang berasal dari daerah dataran
Pulau Timor yang hendak melakukan perpindahan/pengirman korban melalui Bandara Eltari
dan Pelabuhan Tenau.
25 http://www.suryainside.com/index.php/plugin/?mod=3&idb=1853
26 http://www.floresbangkit.com/2012/04/human-trafiking-tak-sekadar-isu/
24
26. Meski belum ditemukan data jumlah trafiking anak, namun sejumlah kasus perdagangan
manusia ini melibatkan anak laki-laki dan perempuan terungkap berasal dari daerah ini.
Misalnya Sembilan perempuan asal Kupang yang berhasil digagalkan Polda Kepri di Bandara
Hang Nadim, yang hendak dipekerjakan di Malaysia. Enam dari Sembilan korban ini masih di
bawah umur. Kemudian pihak kepolisian menyerahkan kepada Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan pada 9 Agustus 2012.27
Rata-rata mereka dibujuk keluarga, tetangga atau yang dikenal dekat para korban. Selanjutnya
mereka diberangkatkan dengan rute Kupang (NTT) ke Surabaya tujuan Batam dan terjaring di
Bandara Hang Nadim oleh kepolisian dari Polda Kepri. Menurut Lelyta Fitri, Pimpinan Rumah
Singgah Engku Putri Tanjungpinang, perjalanan dari NTT ke Batam dilakukan dengan
menggunakan pesawat udara, dimana saat ini tersangka sudah ditahan Polda Kepri.
Sedangkan jumlah korban sebanyak 15 orang, enam orang diantaranya di bawah umur dan
telah dipulangkan oleh PPA Polda Kepri.
Adapun nama-nama korban trafiking yang ditampung sementara di Rumah Singgah P2TP2A
EP adalah, KK kelahiran (29/4/1986), NSK kelahiran (26/4/1993), DN kelahiran (23/12/1995),
JN kelahiran (30/10/1976), FN kelahiran (29/2/1990), AM kelahiran (20/8/1980), JM
kelahiran (21/7/1992), DT kelahiran (11/12/1986), DYU.28
Banyaknya warga Kupang yang menjadi korban trafiking ini diakui Wakil Walikota Kota
Kupang, Jonas Salean bahwa banyak tenaga kerja dari pelosok yang berada di Kota Kupang
bekerja di luar negeri mengalami masalah cukup besar. Maka itu para RT dan RW
mengarahkan mereka untuk memahami proses perekrutan tenaga kerja yang resmi atau yang
diakui. Selain itu, kata Jonas langkah koordinasi harus ditingkatkan sehingga peran gugus
tugas bisa dihidupkan guna mengantisipasi masalah penjualan orang di luar negeri.29
Sedangkan dijadikannya Kupang sebagai daerah transit korban trafiking yang berasal dari
pulau yang sama dengan Kupang, dapat terlihat pada kasus upaya trafiking terhadap lima
gadis di bawah umur yang akan dipekerjakan di Jakarta dan berhasil di gagalkan oleh
27 http://www.bisnis-kti.com/index.php/2012/07/human-trafiking-9-perempuan-kupang-akan-dipulangkan/
28 http://www.haluankepri.com/news/tanjungpinang/31995-15-korban-trafiking-diinapkan-di-rumah-singgah.
html
29http://www.gugustugastrafiking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1956:walikota-minta-
gugus-tugas-ttpo-tingkatkan-perannya&catid=151:info&Itemid=191
25
27. Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Bandara Eltari, Kupang. Lima gadis
tersebut adalah EF, 13 tahun; BM, 15 tahun; FYF, 17 tahun; MAS, 19 tahun; dan AA, 19 tahun.
Kelima korban ini diketahui berasal dari Kabupaten Belu.
Menurut petugas disebutkan, rencanannya diberangkatkan ke Jakarta untuk dipekerjakan
sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Mereka saat itu sudah bersiap-siap melakukan chek-in
untuk diberangkatkan menggunakan pesawat Lion Air. Selain tidak miliki dokumen, kelima
gadis asal Kabupaten Belu ini juga tidak miliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan surat ijin dari
orang tua. Polisi juga menahan Adriana Redriquez, 43 tahun. Warga Atambua, Kabupaten
Belu tersebut bertindak sebagai perekrut para gadis. Saat itu Adriana juga akan ikut terbang
untuk mengantar para gadis itu ke Jakarta.
MAS, salah seorang gadis mengatakan untuk pekerjaan sebagai PRT, dia dijanjikan gaji Rp
500 ribu per bulan. Sementara itu, Adriana Redriquez mengatakan dirinya diperintahkan ibu
Lili yang kini berada di Jakarta untuk mencari gadis-gadis yang akan dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga. Adriana membantah melakukan pungutan terhadap para gadis yang
direkrutnya. Seluruh biaya keberangkatan kelima gadis itu dari kampung halaman di
Kabupaten Belu hingga Jakarta ditanggung ibu Lili.
Berdasarkan data Media Tempo, penggagalan upaya trafiking sudah berulangkali terjadi.
Sabtu, 28 Januari 2011 lalu digagalkan keberangkatan 18 orang calon Tenaga Kerja Indonesia
(TKI). Terdiri dari 17 laki-laki dan seorang perempuan. Usia mereka rata-rata di bawah 20
tahun. Warga asal Kabupaten Belu tersebut rencananya diterbangkan ke Palembang,
Sumatera Selatan.30
2.1.2. Perdagangan Anak di Semarang
Kota Semarang sebagai kota raya dan Ibukota dari Jawa Tengah memiliki posisi geostrategis
karena berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa, dan merupakan koridor
pembangunan Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor pantai
Utara, koridor Selatan, Timur dan Barat. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa
Tengah, Semarang sangat berperan terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport
darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul
30http://www.tempo.co/read/news/2011/01/31/179310082/Polisi-Kupang-Gagalkan-Upaya-Trafiking
26
28. transportasi Regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak
kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat
wilayah nasional bagian tengah.31 Keberadaan simpul-simpul transportasi tersebut selain
berfungsi sebagai jalur pendukung roda perekonomian kota, juga banyak dimanfaatkan oleh
para pelaku perdagangan orang terutama yang memiliki sindikat dan sumber daya yang besar
sehingga menjadikan Semarang sebagai kota rawan perdagangan orang.
Semarang termasuk dalam ketiga kategori daerah rawan perdagangan perempuan dan anak
yaitu sebagai daerah pengirim, transit, dan daerah penerima. Sebagai daerah pengirim,
tekanan ekonomi atau kemiskinan di daerah asal sering disebut-sebut sebagai faktor
penyebab terjadinya pelacuran remaja. Kemiskinan biasanya membuat mereka rentan
terhadap perdagangan anak. Rendahnya mutu kehidupan mereka di desa membuat anak-anak
dan bahkan orangtua mereka rentan terhadap berbagai tindak penipuan yang berkedok
pekerjaan. Pada akhirnya, janji-janji akan dicarikan pekerjaan tersebut membuat anak-anak
tertipu, dan terperangkap dalam dunia pelacuran.
Pelaku biasanya merekrut anak-anak perempuan untuk dikirim ke berbagai wilayah di
Indonesia dan luar negeri. Wilayah penerima yang teridentifikasi dari laporan beberapa kasus
perdagangan anak dari Semarang adalah Jakarta, Batam, Medan, Kalimantan, Bangka dan
Surabaya. Sedangkan di luar wilayah Indonesia, antara lain Malaysia, Singapore, Arab Saudi.
Sebagai daerah penerima, beberapa lokasi di Kota Semarang menjadi incaran para pelaku
untuk menjerumuskan korban antara lain lokalisasi Sunan Kuning dan Gambilangu. Dua
lokalisasi ini merupakan tempat yang cukup populer dikalangan masyarakat Kota Semarang
sebagai pusat prostitusi bagi perempuan penjaja seks komersial. Tempat-tempat di dalam
kompleks lokalisasi dikenal sebagai wisma. Secara umum, wisma beroperasi di bawah
pengawasan seseorang, biasanya seorang germo/pemilik rumah tersebut. Namun ada juga
seorang manajer/germo yang mengontrol beberapa unit wisma. Pekerja seks anak yang
beroperasi di jalanan umumnya berasal dari Kota Semarang atau dari daerah-daerah lain di
sekitar Semarang namun mereka yang tinggal di lokalisasi di Semarang kebanyakan berasal
dari daerah-daerah di luar Jawa Tengah.
Seperti halnya praktik prostitusi di Jalan Pandanaran, Kota Semarang, sejak beberapa tahun
terakhir, para pekerja seks ini dikenal dengan sebutan gadis bermotor. Sejak adanya
31 http://www.semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/kondisi-umum
27
29. penggusuran kedai teh di daerah Simpang Lima, tempat biasanya para pekerja seks
menjajakan jasanya, mereka menjadi tidak memiliki tempat mangkal dan kemudian memilih
untuk beroperasi di jalan-jalan. Beberapa dari mereka ada yang usianya masih muda. Bahkan
ada yang mengaku masih duduk di bangku salah satu SMA swasta di Semarang.32
Sementara sebagai daerah transit, sejauh ini Semarang hanya menjadi lokasi transaksi
perdagangan orang. Di dalam wilayah Semarang sendiri terdapat istilah ‘ciblek’, yaitu istilah
khusus untuk sebutan anak-anak yang dilacurkan. Istilah ini mulai terkenal sejak tahun 2000-
an. Istilah ini diambil dari nama burung kecil yang lincah dan suka berkicau di awal 90-an.
Ciblek juga merupakan singkatan dari cilik-cilik betah melek (kecil-kecil suka bergadang) atau
anak-anak yang tetap terjaga sampai malam. Kemudian, istilah lain muncul, yaitu Cilik-Cilik Isa
Digemblak (Kecil-Kecil Bisa menjadi Simpanan) atau anak-anak yang menjadi Nyonya kecil.
Umur mereka bervariasi mulai dari 14 tahun ke bawah hingga 18 tahun, namun umumnya
berada di usia 14-17 tahun.
Pernah terjadi perpindahan besar-besaran anak-anak yang dilacurkan yang beroperasi di luar
lokalisasi. Sebelum terjadi krisis ekonomi, sebagian tempat pelacuran di luar lokalisasi
didominasi oleh para remaja yang berasal dari luar kota Semarang, seperti Jepara, Demak,
Pekalongan, Purwodadi dan kabupaten-kabupaten lain di sepanjang pantai utara. Namun kini
sebagian besar pekerja seks remaja yang bekerja di luar lokalisasi berasal dari kota dan
kabupaten Semarang. Ada indikasi bahwa mereka yang berasal dari luar kota tersebut terusir
sehingga akhirnya mereka pindah ke Jakarta.
Meski kasus perdagangan anak di Semarang kian marak terjadi namun tidak mudah
mengungkap kasus dan menjerat pelaku. Hal ini diakui oleh Kepala Satuan Reserse dan
Kriminal Kepolisian Resor Semarang Barat, Ajun Komisaris Muliyawati Syam yang
mengatakan, kepolisian memiliki kendala dalam menangani kasus perdagangan anak.
Alasannya korban tidak ingin disidik karena malu. Saat dimintai keterangan, korban cenderung
tertutup karena takut dengan ancama pelaku. Selain itu, ditambahkan Hening dari Yayasan
Setara, bahwa bukti minim menyulitkan proses hukum penanganan kasus perdagangan anak.
Adanya hubungan kekerabatan antara pelaku dengan korban juga menjadi salah satu alasan
kenapa korban enggan untuk meneruskan proses hukum terhadap kasusnya.
32http://regional.kompas.com/read/2012/10/31/1013529/Melongok.Prostitusi.Terselubung.di.Kota.Se
marang
28
30. Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian, dapat dijumpai adanya perubahan pola dan
modus operandi praktek prostitusi. Penegakan hukum untuk menindak para mucikari dan
pengambil keuntungan terhadap eksploitasi seksual anak mengakibatkan mereka bersikap
lebih hati-hati. Selain itu, perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat anak-anak
yang dilacurkan tidak langsung berada dibawah pengawasan mucikari, namun dapat bergerak
secara individual atau dalam kelompok kecil. Ini yang menyebabkan kasus sulit terungkap.33
Namun ada pula kasus-kasus yang berhasil ditangani pihak kepolisian bekerjasama dengan
instansi pemerintah terkait maupun LSM setempat. Seperti kasus yang terjadi pada tahun
2008, mengenai pengungkapan kasus perdagangan anak untuk tujuan prostitusi yang terjadi
di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Kasus tersebut melibatkan tiga korban anak
perempuan berasal dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Kasus ini berhasil terungkap karena
adanya laporan dari sebuah LSM perlindungan anak di Semarang dan hasil koordinasi dari
gabungan instansi pemerintah Kota Semarang, Kutai Kertanegara dan aparat kepolisian.34
Kemudian satu contoh kasus perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual diungkap
pada tahun 2011, korban dijual oleh pacarnya sendiri di Gambilangu, Semarang dengan dalih
akan dicarikan pekerjaan. Korban bekerja sebagai pemandu karaoke, tempat sang pacar juga
bekerja sebagai operator karaoke. Namun diduga, sang pacar kemudian membujuk korban
untuk mau melayani permintaan seks dari para tamu.35
Dalam studi dokumen ini, data spesifik mengenai jumlah kasus trafiking anak hanya didapat
dari keterangan Bupati Semarang melalui penjelasannya pada acara sosialisasi dan advokasi
P2TPA di Ungaran, Semarang tahun 2010. Walaupun jumlahnya tidak bisa dibilang banyak
dibanding dengan data hasil penelitian maupun dampingan langsung dilapangan, namun
trend-nya tetap mengalami kenaikan. Dari 15 kasus trafiking anak yang ditangani pada tahun
2009 menjadi 19 kasus di tahun 2010.36
Pelacuran anak-anak merupakan salah satu masalah pekerja anak yang mendesak dan butuh
penanganan secara serius. Pelacuran anak atau anak- anak yang dilacurkan merupakan
33 http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/08/pariwisata-tanpa-seks-anak/
34http://www.merdeka.com/hukum-kriminal/tiga-korban-trafiking-di-kaltim-berhasil-dibebaskan-kz0or3f.
html
35 http://jambi.tribunnews.com/2011/01/28/angel-si-cantik-ini-dijual-pacarnya
36 http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=13280
29
31. bentuk pekerjaan terburuk sehingga anak-anak harus dihindarkan dari kegiatan ini. Ini berarti
atas alasan apapun, tidak dibenarkan mengijinkan anak (berusia di bawah 18 tahun) untuk
bekerja di dunia pelacuran. Namun menghapuskan pelacuran anak tidak semudah itu, karena
masalahnya bersifat multi dimensional dan terkait dengan berbagai faktor lain yang tidak
mudah diubah.
Langkah penutupan lokalisasi ternyata tidak efektif. Terbukti dengan semakin tidak
terkontrolnya penyebaran para pekerja seks komersial ke berbagai tempat termasuk di jalan-jalan
utama sehingga keberadaan praktik prostitusi semakin meluas. Selain itu, tempat-tempat
praktek prostitusi yang telah ditutup, kemudian dibuka lagi oleh para pengelola tanpa jaminan
aturan dari pemerintah sehingga bersifat ilegal. Pengawasan dan kontrol dari pemerintah
tidak ada lagi terhadap lokalisasi-lokalisasi ilegal tersebut sehingga menyebabkan perekrutan
penghuni lokalisasi menjadi tidak terkontrol. Dengan ketiadaan kontrol tersebut akhirnya
perekrutan terhadap anak-anakpun menjadi tidak terhindarkan.
2.1.3. Perdagangan Anak di Tangerang-Jakarta Barat
Jakarta Barat merupakan salah satu kota administrasi di ibu kota Negara, Jakarta. Jakarta Barat
sebagai daerah pusat bisnis menjadi salah satu daerah tujuan urbanisasi yang cukup
potensial, termasuk sebagai daerah tujuan perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual.
Beberapa kecamatan/kelurahan cukup dikenal sebagai area maraknya praktik industri seks
termasuk yang melibatkan anak-anak seperti Jembatan Gantung, Kali Jodoh, Mangga Besar,
dan lainnya.
Sementara Tangerang yang merupakan wilayah pengembangan Jakarta yang berada di bagian
barat, difokuskan sebagai daerah sentra industri, permukiman, dan pusat pemerintahan. Pusat
pertumbuhan Teluk Naga, berada di wilayah pesisir, mengedepankan industri pariwisata alam
dan bahari, industri maritim, perikanan, pertambakan, dan pelabuhan. Sebagian penduduk
Tangerang bekerja di Jakarta. Beberapa perumahan memiliki fasilitas yang lengkap, sehingga
menjadi kota mandiri. Karakteristik wilayah yang merupakan pusat industri, pariwisata dan
pelabuhan menjadi salah satu faktor potensial munculnya permintaan terhadap layanan seks
yang juga rentan melibatkan anak-anak yang diperdagangkan dari wilayah sekitar Jawa Barat.
Tangerang-Jakarta Barat selain sebagai daerah tujuan dari perdagangan anak, juga menjadi
daerah transit, baik dalam maupun di luar pulau Jawa. Sebagai daerah tujuan trafiking, sebuah
30
32. LSM yaitu Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Sumatera Barat menemukan
empat kasus "trafiking" atau perdagangan manusia, dimana korbannya berasal dari dua daerah
di luar provinsi tersebut. Empat kasus yang ditemukan terjadi sepanjang September hingga
awal Oktober 2012, dimana keempatnya ditemukan dipekerjakan di Bukit tinggi dan Padang.
Korban di rekrut dari kampung halamannya di NTT tanpa sepengetahuan orang tua mereka
dan kemudian diberangkatkan ke Jakarta. Mereka ditampung di rumah penampungan yang
ada di Jakarta Barat dan kemudian menyalurkan kepada majikan di Sumbar.37
Berdasarkan data Unit Pelayanan Terpadu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak DKI Jakarta sebanyak 359 korban perdagangan orang pada tahun 2010
- 2011. Sebanyak 338 korban berasal dari luar DKI dan 21 korban berasal DKI Jakarta.
Wilayah yang menjadi konsentrasi penerima korban perdagangan orang di DKI Jakarta di
antaranya di Mangga Besar, Rawa Bebek, Blok M, Kali Jodo, dan Ciracas. Sasaran sektor
pekerjaan perdagangan orang, yaitu pembantu rumah tangga, pengemis, hiburan malam,
pelacuran, industri, dan pengedar narkotika.38 Ada pula 3 anak di bawah umur menjadi
korban trafiking yang meminta perlindungan hukum kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Mereka mengaku dijual orang yang mereka kenal di Terminal Kampung
Melayu kepada seorang germo di komplek lokalisasi di kawasan Jakarta Barat. Mereka
berharap polisi dapat menangkap si pelaku dan mengganjarnya dengan hukuman setimpal. 39
Beberapa kasus trafiking anak berhasil dilaporkan kepada pihak Kepolisian. Beberapa waktu
lalu, di Jakarta, sejumlah gadis muda korban trafiking berhasil diselamatkan melalui
penggerebekan dimana mereka ditampung. Kepolisian mendapatkan 12 perempuan, 5
diantaranya masih dibawah umur40. Menurut data Dit.Tipiddum, Bareskrim Mabes Polri per
17 Januari 2012, disebutkan penanganan tindak pidana trafiking 3 tahun terakhir sebagai
berikut: pada tahun 2009 tercatat 142 kasus dilaporkan dengan 208 korban dewasa dan 67
korban anak dan 67 kasus diproses. Pada tahun 2010 tercatat 105 kasus dilaporkan, dengan
37 http://www.antaranews.com/berita/337609/wcc-temukan-empat-kasus-perdagangan-manusia
38http://dkijakarta.bkkbn.go.id/Lists/Berita/DispForm.aspx?ID=649&ContentTypeId=0x0100A28EFCBF5
20B364387716414DEECEB1E
39 http://www.elshinta.com/v2003a/readnews.htm?id=114860
40http://www.gugustugastrafiking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1563:di-jakarta-
12-gadis-muda-menjadi-korban-trafiking&catid=34:info&Itemid=58
31
33. 86 korban dewasa, dan 57 korban anak dan 23 kasus dip roses. Pada tahun 2011 tercatat
128 kasus dilaporkan, 148 korban dewasa dan 68 korban anak, dan 44 kasus diproses.
2.2. BENTUK DAN JENIS PERDAGANGAN ANAK
Anak-anak yang diperdagangan di 3 (tiga) wilayah penelitian ternyata memiliki karakteristik
yang hampir sama. Mereka berada di area seks komersial, lebih tepatnya lagi anak-anak ini
diperdagangkan untuk tujuan seksual, meski memiliki keragaman dari segi bentuk maupun
jenis pekerjaan yang mereka lakoni. Sebagaian lagi meski tidak mengakui berada di area
eksploitasi seksual, namun yang mereka lakukan sangat berpotensi dan rentan sekali dengan
eksploitasi seksual komersial. Sebut saja jenis pekerjaan pemandu karoke yang bertebaran di
kota semarang. Pemandu karoke yang masih belia, harus bekerja mulai bekerja jam 6 sore
hingga jam 2 dini hari dan diwajibkan menggunakan pakaian yang “minim”. Mereka-mereka
ini harus mendampingi tamu yang menyanyi dan mereka pun harus ikut serta dalam proses
menyanyi ini di ruang-ruang yang tertutup dan kecil. Tamu yang mereka hadapi, sebagian
meneguk minuman keras, karena penjualan minuman keras atau lebih dikenal dengan “bir”
merupakan target yang dibebankan oleh pemilik karoke. Tanpa minuman yang dibeli tamu,
berarti semakin sedikit pendapatan yang diterima oleh pemilik karoke dan ini juga berimbas
pada pemandu karoke. Pemandu karoke akan mendapatkan teguran, bahkan makian dari
pemilik karoke.
Perdagangan anak untuk tujuan seksual ini yang terjadi di tiga lokasi penelitian menunjukkan
bahwa perdagangan seks anak menjadi “primadona” dan permintaan pasar akan seks anak ini
menunjukkan kecenderungan meningkat meski upaya-upaya penanggulangan kerap
dilakukan. Perdagangan seks anak diibaratkan seperti deret ukur yang grafiknya naik searah
dengan tingginya permintaan dan kebutuhan seks di berbagai tempat hiburan di kota-kota
yang diteliti tersebut.
Jika dicermati kota-kota yang diteliti maka dapat digambarkan bahwa untuk daerah Kupang
jenis perdagangan anak yang terbesar adalah untuk pemandu karoke yang jumlah mencapai
44% lalu disusul dengan pekerja seks panggilan yang jumlahnya 24% dan ketiga adalah
pekerja seks yang ada di lokalisasi yang mencapai 15%. Selebihnya dijadikan sebagai tenaga
kerja salon, pemijat, pengemis, dan pramusaji. Situasi yang digambarkan ini menjadi indikator
betapa menyebarnya bisnis seks di Kota Kupang. Setiap sudut kota dihiasi dengan bentuk
32
34. hiburan malam yang mengeksploitasi secara seksual anak-anak dari berbagai wilayah di NTT
bahkan sebagian dari mereka juga berasal dari luar NTT.
Hal yang hampir sama dijumpai juga di Semarang. Anak-anak yang diperdagangkan juga
dijadikan sebagai pemandu karoke jumlahnya sangat fantastis yaitu mencapai 65% dari total
responden yang diwawancarai di Semarang. Karoke di Semarang sedikit berbeda dengan
Karoke di Kupang. Jika di Kupang pusat karoke ada di pinggiran kota dan pelanggannya
sebagai besar adalah kelompok pendatang yang kebetulan transit di Kupang. Maka di
Semarang sendiri, karoke ini ada dua jenis yaitu karoke yang ada di tengah kota dan karoke
yang ada di pinggiran kota. Para pekerja karoke sendiri kebanyakan berasal dari Semarang
dan sekitarnya. Mereka direkrut sebagai tenaga kerja karoke. Karena perdagangan anak untuk
dijadikan pemandu di karoke yang paling dominan, bukan berarti perdagangan anak untuk
tujuan lain tidak ditemukan selama dalam penelitian ini, tetap ditemukan tetapi populasinya
sangat kecil, rata-rata hanya 3% -6%, jenisnya meliputi pekerja seks panggilan, tukang semir
sepatu, musisi jalanan, pengemis, pekerja rumah tangga, pekerja seks di lokalisasi.
Di Tangerang-Jakarta Barat sendiri populasi terbesar untuk bentuk atau jenis perdagangan
anak adalah anak-anak yang dijadikan sebagai pekerja seks di lokalisasi, jumlahnya mencapai
71%. Anak-anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pekerja seks ini umumnya berasal dari
luar kota Tangerang-Jakarta Barat. Lokalisasi ini pun terbesar berada di Tangerang yang
berbatasan dengan Jakarta Barat. Peringkat kedua adalah anak-anak yang diperdagangkan
untuk dijadikan pekerja seks panggilan. Selebihnya adalah untuk dijadikan sebagai pekerja
rumah tangga, pengasuh bayi.
Tabel di bawah ini dapat memberikan penjelasan lebih lanjut tentang jenis perdagangan anak
di 3 (tiga) lokasi penelitian.
33
35. TABEL 2.1
PERDAGANGAN ANAK UNTUK BERBAGAI TUJUAN
JENIS
PEKERJAAN DI
TEMPAT BARU
KLASIFIKASI DAERAH
TOTAL
KUPANG SEMARANG TANG-JAKBAR
N % N % N % N %
Pekerja seks
panggilan
8 24% 2 6% 4 14% 14 15%
Pekerja seks
panggilan,
Lainnya
0 0% 2 6% 0 0% 2 2%
Tukang semir
sepatu
0 0% 2 6% 0 0% 2 2%
Musisi jalanan 0 0% 1 3% 0 0% 1 1%
Pengemis 2 6% 1 3% 0 0% 3 3%
Pramusaji 1 3% 0 0% 0 0% 1 1%
Pekerja Rumah
0 0% 0 0% 1 4% 1 1%
Tangga
Pekerja rumah
tangga,
Pengasuh bayi
0 0% 0 0% 1 4% 1 1%
Pekerja Rumah
Tangga, Lainnya
0 0% 2 6% 0 0% 2 2%
Pengasuh bayi 0 0% 0 0% 1 4% 1 1%
Tenaga salon 1 3% 0 0% 0 0% 1 1%
Pemijat 1 3% 0 0% 0 0% 1 1%
Pekerja seks
(lokalisasi)
5 15% 1 3% 20 71% 26 28%
Pekerja seks
(lokalisasi),
Lainnya
1 3% 0 0% 0 0% 1 1%
Pemandu karoke 15 44% 20 65% 1 4% 36 39%
TOTAL 34 100% 31 100% 28 100% 93 100%
Sumber : Data Primer, 2012
34
36. 2.3. PENGALAMAN KEKERASAN
Anak-anak yang diperdagangkan kerap sekali mengalami kekerasan, kekerasan demi
kekerasan mereka alami. Adakalanya kekerasan tersebut telah menjadi rutinitas sehingga
dianggapnya bukan lagi sebagai bagian dari kekerasan. Kerasan sistemik telah masuk dan
menyelinap dalam tubuhnya. Kekerasan yang dialami oleh anak-anak korban trafiking
umumnya adalah kekerasan seksual, fisik dan mental. Ketika bentuk kekerasan ini ada
ditemukan di setiap kota yang menjadi lokasi penelitian.
Di Kupang sendiri kekerasan mental yang dialami oleh korban mencapai 15% sedangkan di
Semarang dan Tangerang-Jakarta Barat masing-masing mencapai 16% dan 11%. Kekerasan
seksual yang dialami anak-anak korban perdagangan anak ini ternyata cukup memprihatinkan
yaitu di Semarang mencapai 19% dan di Tangerang-Jakarta Barat mencapai 21% sedangkan
di Kupang sendiri hanya 3%.
Pemahaman anak korban perdagangan tentang kekerasan fisik, mental dan seksual pun
sebenarnya sangat minim. Ketika mucikari memarahi bahkan memaki para korban hanya
karena para korban ini tidak tersenyum kepada tamu dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Mereka juga mengalami bentakan dari tamu atau mendapatkan bayaran kurang dari yang
seharusnya. Ini pun sebagai sesuatu yang wajar terjadi secara terus menerus dan berulang-ulang
dan tidak dianggap oleh anak sebagai bentuk kekerasan.
Kekerasan seksual yang sering terjadi dan menimpa anak-anak biasanya berbentuk
pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual tanpa kondom, hubungan seks dalam bentuk
oral seks atau bagi anak-anak dianggap sebagai hubungan seksual yang tidak normal.
Sedangkan bentuk kekerasan mental yang mereka alami berasal dari mucikari dan tamu dan
yang paling sering adalah ucapan-ucapan yang merendahkan martabat mereka, memaki
dengan perkataan-perkataan yang kotor.
Tabel di bawah ini memberikan penjelasan yang lebih komprehensif tentang pengalaman
kekerasan dialami oleh korban perdagangan anak di 3 (tiga) wilayah penelitian.
35
37. TABEL 2.2
PENGALAMAN KEKERASAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK
Sumber : Data Primer, 2012
2.4. PENYEBARAN PERDAGANGAN ANAK
Sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang mencakup 3 (tiga) tipe, yaitu:
pertama, sebagai daerah pengirim (sending area), kedua, daerah transit, dan ketiga, sebagai
daerah tujuan (destination). Dari tiga tipe di atas, kota kupang lebih dikenal sebagai daerah
transit kegiatan trafiking, mengingat aktivitas pengiriman tenaga kerja baik usia dewasa
ataupun anak-anak hampir setiap hari terjadi. Menurut berbagai sumber yang didapatkan baik
melalui wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD), aktivitas yang diduga erat
kaitannya dengan paraktik perdagangan manusia dapat mudah dilihat setiap hari di Pelabuhan
Tenau dan Bandara El Tari. Kendati demikian, sulit dilakukan pencegahaan oleh aparat yang
berwenang mengingat belum semua unsur hukum terpenuhi; belum terjadi eksploitasi pada
mereka.
Sementara untuk Kota Kupang sebagai daerah pengirim masih pada skala kecil. Berdasarkan
data dan hasil diskusi dengan salah satu lembaga yang menangani isu trafiking terdapat
korban pada usia anak yang di jual ke Malaysia untuk tujuan bekerja pada sektor rumah
tangga. Sehingga penyebaran pada tipe ini adalah menuju luar negeri dengan melibatkan
sindikat besar seperti agen perusahaan. Sedangkan tipe Kota Kupang sebagai daerah tujuan,
anak-anak di datangankan dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan dalam Provinsi NTT
sendiri. Mereka dipekerjakan pada lokasi-lokasi hiburan dan lokalisasi prostitusi di daerah Kota
Kupang, seperti Kecamatan Alak dan Kecamatan Kelapa Lima.
36
38. Kanit PPA Polres Kota Kupang Bripka Nuriyani Trisani Ballu mengungkapkan terdapat kasus
yang menyatakan bahwa Kota Kupang menjadi salah satu daerah tujuan (destination) trafiking.
Hal ini diketahui ketika pihaknya menerima laporan dari 5 orang korban yang dipekerjakan
sebagai penari di klub malam Dancing Hall (DH). Mereka berasal dari Pulau Jawa dan masih
dibawah umur. Menurut keterangan mereka kepada Unit PPA, pihak Dancing Hall tidak
membayar gaji mereka sehingga kelima orang tersebut minta untuk dipulangkan ke daerah
masing-masing.
Penelitian di Kota Kupang berhasil mengumpulkan kuesioner dari 34 responden anak korban
trafiking dengan usia paling tinggi 18 tahun. Hampir seluruhnya responden merupakan korban
berasal dari luar kota kupang atau Kota Kupang sebagai daerah tujuan. Sulitnya mendapatkan
responden Kupang sebagai daerah pengirim mengingat minimnya informasi dan anak yang
sudah berhasil didata sudah kebali lagi ke Malaysia. Hampir sama dengan mencari responden
untuk anak yang menjadikan Kota Kupang sebagai daerah transit, karena umumnya mereka
bekerja di dalam maupun luar negeri selama 2-3 tahun. Sehingga ketika mereka kembali ke
sudah pada usia diatas 18 tahun. Dengan itu, peneliti di lapangan menjadikan satu anak
berusia 21 tahun sebagai informan sebagai pelengkap/penyeimbang bahan penelitian.
Kepala Bagian Pengarus Utamaan Anak Pemberdayaan Perempuan Setda NTT, Erny Nappoe,
mengatakan, setiap hari di Bandara El Tari dan Pelabuhan Tenau selalu ditemukan anak-anak
yang akan dikirimkan keluar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk dijadikan pekerja di
sektor informal. Menurutnya, dalam konteks perdagangan orang ketika anak dipekerjakan
sudah termasuk pada kategori trafiking, mengingat dalam kategori usia anak mereka direkrut
untuk dijadikan tenaga kerja baik di domestic maupun luar negeri. Apalagi sering ditemukan
jika anak-anak yang akan diberangkatkan ke luar daerah tidak memiliki dokumen lengkap dan
identitasnya dipalsukan oleh perekrut. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh pihaknya,
banyak anak-anak yang hendak berangkat ke luar daerah untuk tujuan bekerja dokumennya
terlebih dahulu dipalsukan. Misalnya ditemukan seorang anak yang masih berusia 15 tahun
didalam dokumen disebutkan sudah berusia 21 tahun.
Erny menjelaskan anak-anak tersebut direkrut dari desa-desa di beberapa kabupaten di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut catatannya, daerah pengirim berasal dari kabupaten
Timor Tengah Utara (TTU), Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Belu,
Kabupaten Kupang, Kabupaten Flotim (Flores Timur), Kabupaten Sumba Barat Daya, dan
Kabupaten Sumba Barat. Daerah-daerah tersebut merupakan target Pelaksana Penempatan
37
39. Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau para calo untuk merekrut anak-anak. Sementara
dari sekian daerah, pengirim terbesar berasal dari Kabupaten Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS), Kabupaten Belu, Kabupaten Kupang.
Kepala Bagian Pengarus Utamaan Anak Pemberdayaan Perempuan Setda NTT, Erny Nappoe
mengatakan, Kecamatan Anfoang adalah tempat terbanyak untuk Kabupaten Kupang.
Sementara Kabupaten TTS, TTU, dan Kabupaten Belu hampir semua desa menjadi tempat
rekrutmen. Data-data tersebut, kata Erny, didapatkan dari Tim Satgas Pencegahan Tindak
Perdagangan Orang (PTPPO) yang melakukan pengawasan di Bandara El Tari dan Pelabuhan
Tenau. Pada kegiatan pengawasan sehingga dapat diketahui banyak informasi seperti
kelengkapan dokumen, dokumen palsu, dan lain sebagainya. Banyak ditemukan kasus anak-anak
ini dilengkapi dengan alamat palsu. Atas permintaan dari beberapa pihak di luar seperti
Kementrian Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk memeriksa alamat anak yang
sudah dicegah karena diduga menjadi korban trafiking. Setelah Tim Gugus Tugas memeriksa
di lapangan ternyata di desa/lokasi tidak ada nama anak tersebut. Menurut informasi yang
didapatkannya, anak-anak tersebut hanya menginap satu malam di desa dan kemudian esok
harinya meninggalkan desa. Dengan kata lain, mereka bukan warga setempat tetapi berasal
dari desa lain, bahkan Kabupaten lain.
Senada dengan Erny Nappoe, Kanit PPA Polres Kota Kupang Bripka Nuriyani Trisani Ballu
mengatakan, kasus perdagangan anak yang terjadi di Kota Kupang sebenarnya cukup banyak.
Para korban kebanyakan berasal dari daerah lain yang akan diberangkatkan ke luar NTT.
Sehingga Kota Kupang lebih sering menjadi daerah transit dari aktivitas pengiriman tenaga
kerja anak-anak melalui Bandara El Tari dan Pelabuhan Tenau. Menurutnya, mereka yang
berusia anak tidak lepas dari target calo untuk dipekerjakan. Pada beberapa kasus terdapat
anak-anak yang ditangkap di bandara ataupun pelabuhan baru diketahui usia mereka yang
sebenarnya setelah dilakukan pemeriksaan. Dalam pemeriksaan itu juga diketahui bahwa
anak-anak mengaku akan di bawa ke Batam atau Kalimantan untuk mencari kerja. Meski
mereka tidak menjawab untuk menjadi TKI/TKW, tetapi kita mengetahui bahwa tujuan akhir
mereka adalah ke Malaysia.
Sementara itu Tangerang-Jakarta Barat lebih dikenal sebagai daerah tujuan perdagangan anak
untuk tujuan seksual. Berkembangnya pusat-pusat hiburan, dan berkembangnya kota ini
menjadi kota industri dan pusat perdagangan menyebabkan banyaknya orang mencari
peruntungan di kota ini. Penelitian ini berhasil mewawancarai 28 orang korban trafiking yang
38
40. ada di Tangerang-Jakarta Barat, dari jumlah itu 10 diantaranya ada di Jakarta barat dan 18
berada di Tangerang. Tangerang ini pun meliputi Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.
Menurut Ibu Miyarsih, Kanit PPA Polresta Tangerang, sejumlah tempat-tempat prostitusi yang
ditengarai sebagai titik-titik tujuan perdagangan anak antara lain daerah sekitar Mall Lippo
Karawaci, beberapa komplek perumahan, pinggiran bandara, hotel dan motel pinggiran tol
merak.
Beberapa kasus perdagangan anak berdasarkan catatan penanganan di Polresta Tangerang
terjadi 3 kasus sepanjang 2008-2012. Jumlah kasus memang relatif kecil, namun beliau yakin
banyak kasus terjadi di lapangan. Kota Tangerang menurutnya rawan menjadi daerah
pengirim dan tujuan perdagangan anak dikarenakan karakternya yang merupakan kota
industri, typical masyarakatnya yang heterogen dan prilaku remajanya yang terbuka dan
konsumtif.
Sementara Bapak Uyum Mulyardi, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tangerang mengatakan
bahwa ada sejumlah tempat prostitusi di Kabupaten Tangerang, salah satunya daerah Dadap
dimana asal pekerja seks kebanyakan dari Indramayu, Kerawang, dan Pantura. Penggunanya
supir-supir dikawasan tersebut dan nelayan.
2.4.1. Daerah Asal
Penelitian yang dilakukan di 3 (tiga) wilayah ini menemukan bahwa anak-anak memiliki asal
daerah yang heteregon, tidak ditemukan secara pasti adanya satu daerah yang ditengarai
sebagai “pemasok” utama untuk kebutuhan trafiking. Keragaman daerah asal menunjukkan
bahwa seluruh daerah yang di tiga lokasi penelitian berpeluang untuk dijadikan daerah asal
perekrutan untuk dijual atau diperdagangkan.
Dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa di Kota Kupang ada 11 daerah asal anak-anak yang
diperdagangkan .41 Namun demikian, setiap wilayah di NTT berpotensi untuk dijadikan
daerah rekrutmen oleh para jaringan sindikat perdagangan anak. Daerah asal yang paling
sering terjadi insiden perdagangan anak ke kupang di bagi dalam dua kelompok besar,
kelompok pertama adalah anak-anak yang diperdagangkan ke Kupang yang berasal dari
41 Pembagian pada 11 kluster ini didasarkan pada titik-titik (hotspot) penjualan anak yang ada di
Kupang, dan selanjutnya dapat dilihat pada peta persebaran perdagangan anak di Kota Kupang
39
41. Propinsi NTT dan kelompok kedua adalah anak-anak yang diperdagangkan ke Kupang yang
berasal dari luar propinsi NTT (Peta Terlampir).
Korban trafiking yang berasal dari propinsi NTT meliputi Desa Eban (kecamatan Eban),
Kelurahan Nun Leu, Pulau Rote, Alor, Niuk Baun, Kayu Putih. Dari daerah-daerah yang
disebutkan di atas ternyata anak-anak korban trafiking paling sering berasal dari Pulau Rote.
Beberapa daerah asal anak yang berada di luar propinsin NTT meliputi Depok, Lumajang,
Blitar, Jakarta, Bojonegoro, Malang, Tasikmalaya, Timor Leste, Ciamis, Cipayung.
Kota semarang memiliki beberapa hotspot anak-anak diperdagangkan. Dari beberapa
hotspot tujuan perdagangan tersebut, anak-anak berasal dari beberapa titik di Semarang
maupun yang berasal dari luar Semarang. Namun, secara umum anak-anak yang
diperdagangkan ke Semarang sebagian besar (lebih dari 90%) ternyata berasal Semarang atau
setidak-tidaknya masih berada di Propinsi Jawa Tengah diantaranya Kendal, Perwodadi,
Boyolali, Wonosobo, Karanganyar, Pedurungan, dan beberapa daerah lainnya di
Semarang/Jawa Tengah (peta terlampir).
Untuk lokasi Tangerang-Jakarta Barat daerah asal anak di bagi dalam 8 kluster. Dari 8 kluster
tersebut sebagian terbesar anak-anak yang diperdagangkan ke Tangerang-Jakarta Barat masih
berasal dari wilayah Tangerang sendiri diantaranya Jayanti, Bataraja, Cisoko. Sementara anak-anak
yang berasal dari luar Tangerang-Jakarta Barat yang pernah diperdagangkan ke wilayah ini berasal
dari Mandailing Natal (Sumut), Serang, Subang, Semarang, Bogor, Sukabumi (peta terlampir).
2.4.2. Daerah Tujuan
Dalam penelitian ini juga dipotret titik-titik besar (hotspot) lokasi tujuan perdagangan anak di
tiga kota yang diteliti. Di Kupang ditemukan 11 titik perdagangan anak yaitu Kelurahan Alak,
Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Lima, Kelurahan Namosain , Kelurahan Nun Leu, Kelurahan
Oeba, Kelurahan Oebufu, Kelurahan Oesapa, Kelurahan Sikumana dan Keluruhan Tuak Daun
Merah. Kelurahan-kelurahan inilah ditengarai sebagai tempat anak-anak diperdagangkan
(selanjutnya dapat dilihat pada peta terlampir)
Di Semarang sendiri ada 6 titik lokasi perdagangan anak yaitu Kauman, Purwodinatan, Tiber,
Tanggul Indah, Pontjol, Gambilangu. Keenam lokasi acap kali menjadi tujuan perdagangan
anak untuk eksploitasi seksual anak terutama dijadikan pemandu lagu karoke dan juga pekerja
40
42. seksual. Puluhan karoke bertumbuh di area tersebut, bersaing untuk mendapatkan
pelanggan. Karena itu, pemilik karoke melakukan rekrutmen dari para pemandu yang muda,
karena bisa mendatangkan tamu yang lebih banyak.
Tangerang-Jakarta Barat sendiri menyimpan titik 9 hotspot daerah tujuan perdagangan anak.
Titik-titik ini pun digunakan untuk tujuan seksual dengan mayoritas sebagai pekerja seks yang
terlokalisir. Ke-9 titik tujuan perdagangan itu adalah Kelurahan Angke, Desa Balaraja, Desa
Buniayu, Desa Jayanti, Kota Tangerang, Desa Pabuaran, Desa Pangkat, Desa Sentul, Desa
Sumurbandung. Kesemuanya tempat-tempat ini dijadikan lokasi perdagangan untuk tujuan
seks karena tumbuhnya tempat tempat prostitusi yang dikelola oleh warga yang kemudian
berkembang dengan pesat, sehingga banyak dilakukan rekrutmen terhadap anak-anak
perempuan untuk dipekerjakan di tempat tersebut.
2.5. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK YANG DIPERDAGANGKAN
Karakteristik anak-anak yang diperdagangkan ini sebenarnya untuk memotret identitas anak-anak
yang diperdagangkan di kota-kota kota yang diteliti dalam penelitian ini. Identitas ini
penting untuk mengetahui, dan memahami ciri-ciri anak yang “rentan” menjadi korban
perdagangan anak. Tanpa mengetahui ciri-ciri ini, maka akan kesulitan dalam melakukan
upaya-upaya pencegahan, maupun upaya-upaya perlindungan, rehabilitasi dan reintegrasi
serta upaya-upaya intervensi lainnya. Dalam memahami karakteristik korban perdagangan
anak, maka variabel yang digunakan adalah umur, jenis kelamin, pendidikan dan jenis sosial
ekonomi anak/keluarganya. Keempat variabel akan menghiasi penjelasan berikutnya. Dengan
memahami keempat variabel ini maka akan utuhlah pemahaman tentang kelompok anak-anak
yang acap kali diperdagangkan oleh para sindikat dan juga menjadi incaran para “user”.
2.5.1. Usia
Penelitian ini memberikan batasan usia tidak lebih dari 18 tahun untuk responden yang
menjadi subjek dalam penelitian ini. Total responden yang diwawancarai dalam penelitian ini
adalah 93 orang dengan rincian 34 orang di Kupang, 31 orang di Semarang dan 28 di
Tangerang-Jakarta Barat. Penelitian ini menemukan usia termuda anak yang menjadi korban
perdagangan adalah berusia 12 tahun di Semarang yang berjumlah 3 orang atau sekitar 3%
41
43. dari total populasi yang diteliti dalam penelitian ini, serta satu orang anak berusia 13 tahun di
Tangerang, sedangkan usia tertua adalah 18 tahun dengan total populasi mencapai 38%.
Anak yang berusia 12 tahun ini dieksploitasi untuk tujuan pengamen, pengemis, dan
penyemir sepatu di Kota Semarang. Sementara itu anak usia yang 13 tahun yang ditemukan di
Tangerang dipekerjakan untuk pekerja warung.
Jika melihat rentang usia rata-rata yang menjadi korban perdagangan anak, maka tiap daerah
memiliki rentang usia rata-rata yang berbeda. Di Kupang rentang usia rata-rata yang menjadi
korban perdagangan anak adalah 15 -18 tahun, dengan rincian populasi terbesar adalah 18
tahun mencapai 56%, disusul oleh 17 tahun (24%) dan 16 tahun (15%), sedangkan yang usia
15 tahun hanya 6%. Di Semarang sendiri rentang usia rata-rata adalah 12 hingga 18 tahun,
dengan populasi terbesar pada usia 17 tahun yang mencapai 26%, lalu disusul pada usia 18
tahun (23%) dan rangking 3 ada usia 16 tahun dengan jumlah 19%. Di Tangerang-Jakarta
Barat sendiri rentang usia rata-rata anak yang menjadi korban trafiking adalah berkisar antara
13 tahun – 17 tahun. Dari usia rata-rata ini yang terbesar yang menjadi korban trafiking adalah
berusia 17 tahun berjumlah 43% lalu disusul usia 18 tahun dengan jumlah 32% dan usia
berikutnya adalah 16 tahun yang menyumbang 21% dari total populasi. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
TABEL 2.3
USIA ANAK YANG MENJADI KORBAN TRAFIKING
USIA KLASIFIKASI DAERAH TOTAL
KUPANG SEMARANG TANGERANG
N % N % N % N %
12 0 0% 3 10% 0 0% 3 3%
13 0 0% 0 0% 1 4% 1 1%
14 0 0% 2 6% 0 0% 2 2%
15 2 6% 5 16% 0 0% 7 8%
16 5 15% 6 19% 6 21% 17 18%
17 8 24% 8 26% 12 43% 28 30%
18 19 56% 7 23% 9 32% 35 38%
Total 34 100% 31 100% 28 100% 93 100%
Sumber : Data Primer, 2012
42
44. 2.5.2. Jenis Kelamin
Anak yang menjadi korban trafiking umumnya berjenis kelamin perempuan, fakta ini
ditemukan di seluruh lokasi penelitian, bahkan di Kupang anak perempuan yang menjadi
korban trafiking adalah 100% perempuan, sedangkan di Semarang ada 13% anak korban
trafiking adalah laki-laki sementara itu di Tangerang-Jakarta Barat 96% korban trafiking adalah
anak perempuan. Anak laki-laki yang dijadikan korban perdagangan umumnya bekerja di
jalanan sedangkan anak perempuan yang menjadi korban perdagangan dipekerjakan sebagai
pemandu karoke dan pekerja seks. Chart berikut ini menjelaskan tentang karakteristik jenis
kelamin.
TABEL 2.4
JENIS KELAMIN KORBAN PERDAGANGAN ANAK
Sumber : Data Primer, 2012
2.5.3. Pendidikan
Ada sebanyak 96% korban trafiking yang tidak bersekolah lagi dan hanya 4% yang masih
bersekolah. Ini menunjukkan bahwa betapa buruknya dampak trafiking terhadap masa depan
pendidikan anak-anak. Indikasi lain adalah, para sindikat melakukan rekrutment terhadap anak-anak
yang putus sekolah, karena anak-anak yang putus sekolah mudah untuk dibujuk rayu
dan ditipu muslihat sehingga mereka pun mudah diiming-imingi pekerjaan yang tidak mereka
ketahui bentuk dan jenisnya.
43
45. TABEL 2.5
TINGKAT PENDIDIKAN KORBAN TRAFIKING
PENDIDIKAN KLASIFIKASI DAERAH TOTAL
KUPANG SEMARANG TANGERANG
N % N % N % N %
Tidak Sekolah 30 88% 29 94% 27 96% 86 92%
SD 0 0% 1 3% 0 0% 1 1%
SLTA 3 9% 0 0% 1 4% 4 4%
Kejar paket 0 0% 1 3% 0 0% 1 1%
Perguruan tinggi 1 3% 0 0% 0 0% 1 1%
Total 34 100% 31 100% 28 100% 93 100%
Sumber : Data Primer, 2012
Di Kupang hanya 4 orang yang saat ini masih mengenyam pendidikan, 3 orang di anataranya
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 1 orang di Perguruan Tinggi. 30 orang
responden yang saat ini tidak bersekolah memiliki alasan yang berbeda satu sama lainnya,
dimana 12 orang atau 35,5% mengaku tidak memiliki biaya pendidikan sehingga tidak
melanjutkan/menyelesaikan pendidikan, 32,4 persen atau setara dengan 11 orang
menyatakan alasan tidak bersekolah karena tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah.
Sedangkan 5,9% atau 2 orang responden mengaku orang tuanya tidak mengijinkan untuk
melanjutkan sekolah. Sementara setiap responden lainnya tidak sekolah karena alasan:
diperkosa ayah tiri sehingga memilih untuk meninggalkan rumah, sudah dijual orang tidak
dikenal dari ia kecil, ada yang ingin bekerja, masalah orang tua, dan ada juga anak yang
merasa cukup dengan menyelesaikan pendidikan ditingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
Hal yang hampir sama terjadi juga di Tangerang dan di Semarang. Di semarang hanya 2 orang
yang sedang mengikuti pendidikan, satu anak mengikuti pendidikan Sekolah Dasar dan satu
44
46. anak lagi mengikuti pendidikan kejar paket, di Tangerang-Jakarta Barat ada 1 anak yang
sedang mengikuti pendidikan pada jenjang SLTA. Ketiadaan biaya dan ketiadaan motivasi
orang tualah menjadi alasan utama mereka tidak melanjutkan pendidikan, di samping itu tidak
ada semangat atau motivasi yang kuat ditambah sikap optimisme tentang pendidikan yang
mampu memberikan nilai-nilai tertentu dalam hidupnya. Pendidikan bagi mereka tidak bisa
menjamin akan adanya perubahan pada kerjaan mereka, pendidikan bagi mereka hanya
menghabiskan waktu kerja mereka serta tidak akan mungkin diberikan izin oleh para mucikari
atau orang yang mengawasi mereka.
2.5.4. Kondisi Sosial Ekonomi
Dalam menilai kondisi sosial ekonomi korban perdagangan anak, maka indikator yang
digunakan adalah keberadaan orang tua korban, dalam hal ini pertanyaan yang diajukan
adalah apalah korban perdagangan anak memiliki orang tua yang lengkap dan saat ini tinggal
dengan siapa. Pertanyaan ini penting diajuakan untuk menilai karakteristik keluarga, apakah
faktor konflik dalam rumah tangga memberikan kontribusi terjadinya perdagangan anak di
Indonesia.
Saat diwawancarai sebagian besar korban trafiking tinggal di kos-kosan bersama teman yang
jumlah mencapai 33%, lalu disusul tinggal di asrama yang disediakan oleh mucikari besarnya
27% dan yang tidak mau memberikan jawaban dimana mereka tinggal jumlahnya juga cukup
besar yaitu 21%. Pilihan tempat tinggal bersama teman, menunjukkan tingkat kepercayaan
mucikari kepada korban trafiking sudah sedemikian tinggi, sehingga diberikan kebebasan
untuk tidak tinggal di asrama, aspek lain adalah bahwa anak-anak yang menjadi korban
trafiking sudah tidak punya harapan lagi untuk kembali ke keluarga, karena tidak ada aktivitas
ekonomi yang bisa mereka lakoni ketika kembali kepada keluarga mereka di kampung
halaman, sehingga mereka “menikmati” pekerjaan yang ada meskipun mereka menyadari
pekerjaan ini merugikan diri mereka sendiri, namun tidak ada pilihan pekerjaan yang bisa
mereka lakukan. Seorang korban perdagangan anak yang bekerja sebagai pemandu karoke di
Semarang menuturkan:
45
47. “Kalo ada pekerjaan lain, aku mau keluar saja dari pekerjaan ini, setiap hari pulang jam dua
pagi, aku bosan, badanku capek, aku pengen punya toko baju yang bisa menjual baju kepada
teman-teman di sini, mereka senangnya ganti baju baru, tapi aku ngak tahu gimana
mendapatkan modal, dan bagaimana membeli baju-baju tersebut, aku juga ngekost, kadang-kadang
aku nunggak karena uangnya aku gunakan untuk beli keperluan lain”
Penggalan penuturan dari seorang korban trafiking menunjukkan bahwa adanya keinginan
yang kuat dari korban untuk segera kaluar dari lingkungan pekerjaan, biaya mereka pun
sangat mahal, pekerjaan yang membosankan.
Korban trafiking yang diperdagangkan ke berbagai daerah tujuan ternyata tak luput dari
ajakan, bujuk rayu maupun tipu muslihat. Beragam motivasi sehingga anak-anak terperdaya,
dan sebagian besar (15%) karena keinginan mencari uang dan ini dibarengi dengan tawaran
pekerjaan dari berbagai pihak termasuk mucikari atau orang yang disuruh oleh mucikari (8%).
Motivasi lain adalah adanya ajarakn teman, disuruh orang tua, konflik dalam rumah tangga,
dan juga karena ditipu mentah-mentah oleh teman sendiri rata-rata 3%.
Aspek lain yang perlu dicermati dalam melihat kondisi sosial ekonomi adalah jenis pekerjaan
yang dilakoni oleh korban trafiking ketika mereka berhasil dijual ke tempat-tempat kerja yang
ada di daerah tujuan trafiking. Sebagian besar korban trafiking dijual untuk kebutuhan pasar
seks lokal, atau untuk tujuan yang rentan terhadap eksploitasi seksual komersial. Sekitar 39%
anak-anak yang dijual ini dipekerjakan untuk pamandu karoke. Dari jumlah itu yang terbesar
ada di Semarang yang jumlahnya mencapai 65% dari total populasi yang berhasil
diwawancarai, lalu disusul di Kota Kupang yang mencapai 44% dari total populasi. Tujuan
kedua terbesar adalah untuk dijadikan pekerja seks yang jumlahnya mencapai 28%. Dari
jumlah ini yang terbesar ada di Kota Tangerang-Jakarta Barat yang mencapai 71% dari total
populasi.
Dari Table di bawah ini bisa terlihat jelas bentuk dan jenis pekerjaan yang dilakoni anak ketika
mereka berhasil dijual ke berbagai tempat eksploitasi. Pada chart terlihat variabel “lainnya”,
varibel lainnya ini adalah pemandu karoke.
46
48. TABEL 2.6
JENIS PEKERJAAN KORBAN TRAFIKING
Sumber : Data Primer, 2012
47
49. 2.6. MIMPI BURUK KORBAN PERDAGANGAN ANAK
“…setibanya di Batam, kami ditampung di rumah Mami berhari-hari tanpa ada kejelasan nasib.
Kami bertiga berhasil kabur dari rumah itu dengan pura-pura mau cari sinyal HP. Kami sempat
tersesat di hutan selama beberapa jam karena ndak tahu jalan, tapi kami harus terus jalan
karena takut sudah ketahuan dan ada yang ngejar kami. Akhirnya kami sampai di sebuah
rumah dan meminta pertolongan kepada si pemilik rumah. Kemudian kami dibawa ke kantor
polisi untuk melaporkan persoalan yang menimpa kami saat itu. Selama diperjalanan menuju
kantor polisi, Mami terus-terusan nelpon ke HP kami”
Sepenggal penuturan di atas berasal dari salah satu korban perdagangan anak berinisial Dn,
yang pada saat kejadian berusia 17 tahun. Dia harus mengalami kenyataan pahit terdampar di
Batam bersama dua temannya yang lain karena diajak orang yang baru dikenalnya yang
menjanjikan pekerjaan di Malaysia dengan gaji tinggi. Belum cukup rasa kecewa karena
impiannya kandas, Dn juga harus terlibat dalam drama penangkapan pelaku perekrutan dan
menjalani proses hukum yang melelahkan dikepolisian sebelum akhirnya dipulangkan ke
Semarang oleh aparat penegak hukum setempat.
Kisah di atas juga menjadi salah satu indikator betapa buruknya kondisi korban trafiking,
trafiking telah menghapus mimpi indahnya selama ini dan berubah menjadi mimpi buruk yang
tidak pernah terbayang sebelumnya olehnya. Korban perdagangan anak tidak sedikit yang
mengalami berbagai pengalaman pahit, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tapi
tidak ada daya untuk menghindar. Berbagai pengalaman buruk dialami oleh para korban,
seperti: kesulitan-kesulitan ekonomi yang semakin membuatnya terperosok dalam situasi tidak
menguntungkan; Kekesaran baik fisik, mental dan seksual dari orang-orang yang ada
disekeliling; Perasaan hina, kotor dan tidak lagi punya harapan dan masa depan.
Tuturan seorang korban berikut ini menambah cerita panjang tentang situasi yang dialami
korban. Pengalaman salah seorang anak korban yang akhirnya harus bergulat dalam dunia
seks komersil untuk membiayai hidupnya. “EY” gadis belia 18 tahun yang terpaksa putus
sekolah di kelas 2 SMA, meninggalkan rumah lebih 2 tahun lalu diajak seseorang yang
diakuinya “mami” yang memang berniat memasukkannya ke dunia gelap.
48
50. “…Aku awalnya diajak buat nongkrong-nongkrong dijalanan, terus mulai ngelayani tamu.
Tamunya macem-macem, ada yang banyak maunya, ada yang resek. Terkadang minta “maen”
dua kali, tapi bayarnya sekali. Ada juga yang kasar sama aku, mau mukul. Pas mabok juga
kadang pergi aja gak mau bayar. Mami aku yang sebelumnya juga pernah mukul aku, karena
aku mau pindah tempat, gak tahan karena hasil “maen” yang gak seberapa diminta bagi
dua...”
Beberapa kisah lainnya dari anak korban perdagangan juga merupakan kenyataan pahit yang
terpaksa harus mereka hadapi, antara lain: Kebanyakan terjadi pada anak korban
perdagangan untuk tujuan pelacuran yaitu terjebak dalam kondisi serba salah yang pada
akhirnya membuat mereka pasrah mengikuti nasib dan kemudian menekuninya sebagai
profesi. Stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat membuat anak korban perdagangan
kehilangan kepercayaan diri untuk bersosialisasi dan menjadikan mereka apatis dalam
memandang hidup. Biasanya anak korban perdagangan akan kembali ke kehidupan bebas
mereka dijalan atau menikah di usia dini. Ada juga yang menjadi korban kekerasan atau
memiliki kerentanan terhadap kekerasan fisik, seksual dan mental dari orang-orang
disekitarnya.
Gambaran di atas menjadi kisah tersendiri betapa buruknya nasib mereka, bukan saja ketika
mereka diperdagangkan tetapi juga ketika mereka sudah diselamatkan atau sudah
diintegrasikan kepada keluarga atau masyarakat, mereka kembali menjadi korban atau yang
tidak mereka fahami mengapa situasinya seburuk itu. Dalam literatur, situasi inilah yang
disebut dengan viktimogen, artinya anak menjadi korban yang berikutnya karena struktur
sosial dan struktur kebijakan yang masih belum berpihak kepada mereka sepenuhnya.
2.7. PENYEBAB PERDAGANGAN ANAK
Anak-anak yang diperdagangkan di tiga lokasi penelitian ini ternyata memiliki beragam dan
karkateristik faktor yang menjadi kontribusi penyebab terjadinya perdagangan anak.
Keragaman wilayah, perbedaan pendidikan, ciri kota, pandangan masyarakat, nilai-nilai
ekonomi serta kebijakan pemerintah daerah menjadi penyumbang terhadap munculnya
perdagangan anak di kota-kota yang diteliti tersebut. Faktor kekuatan lembaga swadaya
masyarakat ternyata mempengaruhi apakah kota tersebut dijadikan sebagai pusat rekrutmen
atau pusat transaksi perdagangan anak atau tidak. Lembaga Swadaya Masyarakat menjadi
49
51. kekuatan tersendiri untuk melihat dan mengawasi bukan saja pada aspek penanganan kasus
tetapi juga menjadi kekuatan lobby, advokasi dan penguatan kapasitas institusi pemerintah.
Karena perbedaan karakteristik yang menjadi kontribusi penyebab, maka pendalaman aspek
ini dilakuakan berdasarkan daerah masin-masing yang diteliti.
Menurut Kanit PPA Polres Kupang Kota Bripka Nuriyani Trisani Ballu, anak-anak direkrut
adalah orang-orang yang mereka kenal atau orang terdekat korban sendiri, seperti: tetangga
dan teman korban sendiri. Terkadang ada kasus seseorang yang datang ke Kota Kupang untuk
mencari pekerjaan, namun karena tidak kunjung dapat dia ditampung kemudian dijual oleh
orang yang menampungnya.
Bagi Bripka Nuryani, anak-anak sangat rentan menjadi korban trafiking karena orang tua dan
anak yang bersangkutan lebih memilih bekerja menjadi TKI/TKW di luar negeri karena alasan
pendapatan yang lebih besar. Terkadang korban dan orang tuanya melihat kisah sukses
TKI/TKW yang kembali pulang ke kampung halaman membawa uang banyak dan berhasil
membangun rumah. Dengan kata lain mereka hanya melihat sisi berhasilnya saja, tidak
melihat faktor-faktor lainnya seperti syarat-syarat dokumen dan keahlian yang harus mereka
miliki.
Selain itu terdapat juga kasus perdagangan anak yang dilakukan oleh teman sebaya. Seorang
anak perempuan yang masih duduk di bangku SMA dijual oleh kakak kelasnya kepada lelaki
setengah baya di Hotel Bougenvil. Kronologi kasus ini dimulai ketika korban diajak untuk
berkunjung ke tempat kerja ayah si pelaku. Namun sebenarnya, hal itu merupakan siasat dari
pelaku yang sudah membuat janji dengan calon pelanggan di hotel. Sesampai di hotel korban
diminta untuk melayani si laki-laki setengah baya dengan iming-iming akan diberikan uang
Rp.600.000. Atas jasa menjual temannya ini, si pelaku mendapatkan uang Rp.650.000 dengan
catatan si korban masih perawan. Pihak Kepolisian sudah menangkap si lelaki setengah baya
yang notabene sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekaligus pelaku penjual anak atas
laporan yang dilakukan oleh orang tua korban.
Sementara itu Akademisi sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Kupang,
Veronica Ata juga menyatakan jika kejahatan trafiking di Provinsi NTT cukup marak bahkan
provinsi ini sudah dikenal sebagai daerah pengirim, meskipun ada juga fenomena sebagai
daerah tujuan. Meski demikian Veronika mengaku sulit menyebut angka seberapa banyak
anak-anak yang menjadi korban mengingat angka dan data yang pasti susah didapatkan.
50