2. PENGERTIAN
• Istinja yang sering dipahami sebagai perbuatan membersihkan kubul atau dubur,
dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong
atau melepas diri (qatha‘a). Orang istinja artinya orang sedang berupaya melepas
dirinya dari kotoran yang menempel di anggota tubuhnya. Adapun istinja dalam
terminologi syariat adalah membersihkan sesuatu yang keluar dari kemaluan, kubul
ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang terikat beberapa syarat tertentu.
(Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, at-Tausyîh ‘alâ Ibni Qasim, [Surabaya,
Nurul Huda], halaman 19).
3. HUKUM DAN ALAT BERISTINJA
• Ulama sepakat bahwa hukum istinja dari sisa kotoran yang menempel
setelah buang hajat adalah wajib. Bahkan, walau tak diwajibkan pun tabiat
setiap orang pasti mendorong melakukannya. Karena tabiat yang sehat
tentu risih dan terganggu dengan kotoran yang ada pada dirinya. Allah
berfirman:
• ِِهْيِف
ِ
الَج ِ
ر
َِن ْوُّب ِحُي
ِْنَأ
ا ْوُرَّهَطَتَي
ِ
ُللاَو
ُِّب ِحُي
ِ
ْي ِ
رِهَّطُمْلا
َِن
(
التوبة
:
108
)
• Artinya, “Di dalam masjid itu terdapat penduduk Quba yang bersuci dan
membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang
bersuci.” (QS at-Taubah: 108) Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan
cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan dan kesucian.
4. • Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan
dan kesucian.
• Alat istinja ada dua: (1) air; dan (2) batu atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi
dengannya, yaitu bukan benda cair, suci, berpotensi membersihkan najis yang melekat di kubul
maupun dubur, dan bukan termasuk benda yang dimuliakan, seperti buku, roti, dan semisalnya. Di
antara dalil air menjadi alat istinja adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra meriwayatkan:
• َدِإ يِوَْحن ٌم َ
الُغ َو َانَأ ُلِمْحَأَف َءَالَخْال ُلُخْدَي َمَّلَسو عليه هللا َّىلَص هللا ُل ْوُس َر َانَك
َََََعو اءَِ ِِْْ ً َاو
ِاءَمْالِِ ََََِِْْْيَف ً
( .
َع ٌقَفََُِّ
ِهْيَل
)
• Artinya, “Bilamana Rasulullah saw masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas ra)
dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau
istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulûghul Marâm
dicetak bersama Ibânatul Ahkâm, [Dârul Fikr: 2012], juz I, halaman 113).
5. • Adapun dalil kebolehan istinja dengan batu adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:
• ِ
َيِتِآْنَأِيِنَرَمَأَفَِطِئاَغْلِاَمَّلَسِوِهْيَلَعُِللاِىَّلَصُِّيِبَّنىِالَتَأ
ِِنْيَرَجَحُِتْدَجَوَفِ، ٍ
ارَجْحَأِِةَث َ
َلَثِبُِه
ِ
َأِْمَلو
اًثِلاَثِْد ِج
.
ِ
َلاَقَِو،َةَث ْوَّىِالرَقْلَأَاِوَمُهَذَخَأَفِ،ٍةَث ْوَرِبُِهُتْيَتَأَف
:
ِْج ِ
اِرَهَّنِإ
ِ
س
• Artinya, “Suatu ketika ketika Nabi saw buang air besar, lalu memerintahkan saya agar
membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak
menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering). Akhirnya,
beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang saya berikan.
Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari). (Al-Asqalani, Bulûghul
Marâm, juz I, halaman 122).
• Dalam riwayat Imam Ahmad dan ad-Daraquthni, terdapat tambahan redaksi yang menyebutkan
bahwa Nabi bersabda, ‘I‘tini bi ghairiha’, atau ‘Carikan saya benda yang lain sebagai ganti dari
kotoran tadi’. Artinya, batu yang digunakan bersuci tidak boleh kurang dari tiga, namun bisa lebih
bila memang dibutuhkan.
6. KETENTUAN ISTINJA’
• Dalam istinja, orang boleh memilih tiga cara; (1) istinja dengan batu terlebih dahulu lalu dengan
air, dan ini cara terbaik; (2) istinja dengan air saja; dan (3) istinja dengan batu saja. Namun, jika
dibandingkan antara pilihan kedua dan ketiga, lebih baik pilihan kedua, yaitu menggunakan air.
• Ada beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi ketika orang istinja dengan batu atau benda
lain yang memiliki kesamaan fungsi dengannya.
• 1. Minimal menggunakan tiga batu, atau satu namun memiliki tiga sisi.
• 2. Tiga batu tersebut dapat membersihkan tempat keluarnya kotoran, kubul atau dubur, sehingga bila belum
bersih, maka harus ditambah.
• 3. Tidak boleh ada tetesan air atau najis lain selain tinja dan kencing yang mengenai kubul dan dubur.
• 4. Najis yang keluar saat buang hajat tidak boleh melewati shafhah (lingkaran batas dubur), atau melewati
hasyafah (pucuk zakar).
• 5. Najis yang dibersihkan bukan najis yang sudah kering.
• 6. Najis yang keluar tidak berpindah ke anggota tubuh yang lain semisal selangkangan, paha, dan lain-lain.
7. •Bila tidak memenuhi ketentuan-
ketentuan di atas, maka mustanji atau
seorang yang istinja harus menggunakan
air, tidak boleh menggunakan batu atau
yang serupa dan sefungsi.
8. BERSUCI MENGGUNAKAN SEPATU
• Islam adalah agama paripurna dengan ajarannya yang penuh kasih
sayang. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Islam memandu
manusia secara bijaksana. Di antaranya adalah dengan syariat bersuci
yang mudah bagi pemakai sepatu, yang dalam fiqih lebih akrab
disebut khuf (selanjutnya cukup disebut: sepatu). Bagi orang yang
terus-menerus mengenakan sepatu, bila hendak berwudhu maka
diberi kemudahan oleh syariat boleh berwudhu tanpa melepas
sepatunya. Adapun sebagai ganti dari basuhan kaki, ia cukup
mengusap bagian atas sepatunya saja. Tentu bersuci semacam ini
harus memenuhi berbagai ketentuan hukumnya yang harus
diperhatikan secara teliti sebagaimana akan dijelaskan. Tidak setiap
pemakai sepatu boleh melakukannya.
9. DALIL BERSUCI MENGGUNAKAN SEPATU
• Dalam kitab Bulûghul Marâm, al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H) mengutip hadits riwayat
sahabat al-Mughirah bin Syu’bah ra yang menjadi dalil kebolehan berwudhu dengan mengusap bagian atas
kedua sepatu sebagai berikut:
• َي ِ
َاصَِِ َحََْمَف َأَّض َوَت َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص َّ ِبََّال َّنَأ
ِْْيَّفُخْال َو ِةَِاَمِعْلَا ىَلَع َو ِهَِ
( .
ِْلم رواه
)
•
Artinya, “Sesungguhnya Nabi saw pernah berwudhu dengan mengusap ubun-ubunnya, mengusap surban
yang diikatkan di kepalanya, dan mengusap kedua sepatunya (sebagai ganti dari basuhan kaki).” (HR
Muslim). (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulûgul Marâm dicetak bersama Ibânatul Ahkâm, juz I, halaman 71).
• Hadist ini disepakati sebagai dalil kebolehan mengusap sepatu bagi orang yang memiliki kebutuhan untuk
terus mengenakannya, dalam rangkaian wudhu sebagai ganti dari membasuh kaki. Alasannya, bila memaksa
untuk menerapkan ketentuan hukum yang ideal, yaitu membasuh kaki, pastilah akan menyulitkan mereka
yang dalam perjalanan di tengah cuaca dingin dengan suhu yang tinggi. Mereka akan selalu kerepotan di
setiap waktu shalat.
10. • Jangankan untuk melakukan hal ini, menyisihkan waktu dan
berhenti sejenak untuk melakukan shalat saat dalam perjalanan saja,
sudah lumayan memberatkan, kecuali bagi mereka yang benar-
benar beriman tinggi. Apalagi di tengah cuaca yang tak stabil,
sangat dingin, lalu dibebani membasuh kakinya. Karenanya Nabi
saw memberi contoh yang memudahkan umatnya. Di satu
kesempatan, ketika hendak berwudhu, Nabi tidak melepas
sepatunya, dan mengusap bagian atas sepatu tersebut sebagai ganti
dari basuhan kakinya.
•
11. SYARAT MENGUSAP SEPATU DALAM WUDHU
• Syekh Nawawi Banten dalam Nihâyatuzzain menjelaskan empat (4) syarat yang membolehkan
orang mengusap sepatu sebagai ganti dari membasuh kaki dalam wudhu.
• Pertama, kedua sepatu dipakai pada saat ia mempunyai wudhu secara sempurna dan tidak
dilepasnya.
• Kedua, kedua sepatu menutupi secara utuh bagian kaki yang wajib dibasuh saat wudhu, yakni dari
ujung kaki hingga dua mata kakinya. Karenanya, tak dibenarkan bila dari salah satu kedua
sepatunya ada yang bolong, air berpotensi masuk lewat sana. Kecuali bagian yang terbuka adalah
bagian atas sepatu (bagian yang sejajar dengan betis), maka hal demikian tak jadi soal. Sebab,
makna dari ‘menutup’ di sini adalah menutupi bagian sisi, punggung, dan telapak kaki.
• Lalu bagaimana jika sepatunya berwarna bening, sehingga seluruh bagian kaki dapat terlihat dari
luar? Lagi-lagi ditegaskan oleh sekalian ulama terkait makna ‘menutup’, bahwa yang dimaksud
bukan menutupi kaki dari pandangan mata, tetapi menutupi kaki dari air yang dapat masuk melalui
arah bawah, seluruh sisi dan punggung sepatu.
12. • Ketiga, sepatu yang dikenakan termasuk sepatu yang tidak mudah rusak ketika digunakan
menempuh perjalanan jauh. Tentunya, ketentuan ini berdasarkan prediksi pemakainya.
Bila si pemakai menduga bahwa sepatunya kuat, maka boleh, jika ragu, atau bahkan yakin
bahwa pasti akan rusak, maka tidak boleh. Penting diketahui, tiga syarat di atas adalah hal
yang harus dipenuhi sebelum sepatu tersebut dikenakan (mengikuti cara dan ketentuan
syariat).
• Keempat, sepatu yang digunakan harus suci atau tidak terkena najis. Syarat terakhir ini,
tidak harus terpenuhi sejak sebelum dikenakan. Terpenting, sebelum si pemakai sepatu
berhadats (yang terhitung sejak ia memakai sepatunya), sepatu tersebut sudah dipastikan
suci. (Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi, Nihayâtuzzain fî Irsyâdil
Mubtadi‘în, [Darul Kutubil Islamiyyah: 2008], halaman 35).
13. HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN KEBOLEHAN
MENGUSAP SEPATU DALAM WUDHU
• Ada tiga hal yang dapat menggugurkan dispensasi mengusap sepatu.
Berikut rinciannya.
• 1. Terlihatnya bagian kaki yang seharusnya tertutup.
• 2. Batas waktu kebolehan mengusap sepatu telah habis (penjelasannya akan
diurai setelah ini).
• 3. Ketika si pemakai sepatu memiliki kewajiban mandi; baik karena junub,
haid, nifas, atau melahirkan.
Dengan adanya salah satu dari tiga hal tersebut, maka gugurlah dispensasi
kebolehan mengusap sepatu dalam wudhu sebagai ganti dari membasuh kaki.
14. BATAS WAKTU KEBOLEHAN MENGUSAP
SEPATU DALAM WUDHU
• Karena mengusap sepatu merupakan dispensasi atau dalam fiqih disebut rukhshah, maka tak
berlaku selamanya, namun memiliki batas waktu tertentu. Dalam hal ini dibagi dua
mengikuti kondisi pemakainya, yang
• (1) adakalanya dalam perjalanan atau safar, dan
• (2) adakalanya tidak dalam perjalanan, di rumah saja atau hadhar. Dalam riwayat hadits
disebutkan:
• َو ٍامَّيَأ َةَث َ
َلَث ِ
رِفاَسُمْلِل َ
صَخْرَأ َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِهللا َلوُسَر َّنَأ
ْوَي ِيمِقُمْلِلَو َّنِيهِلاَيَل
َلَف َرَّهَطَت ذاِإ ًةَلْيَلَو اًم
ْنَأ ِهْيَّفُخ َ
سِب
اَمِهْيَلَع َحَسْمَي
( .
َانَّب ِح ُنْباَو َةَمْيَزُخ ُنْبا ُهاَوَر
)
• Artinya, “Sungguh Nabi saw memberi dispensasi dengan batas waktu tiga hari dan tiga
malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim, ketika ia telah bersuci
(dengan wudhu) lalu memakai kedua sepatunya, yaitu dispensasi mengusap kedua sepatunya
sebaga ganti dari membasuh kedua kaki.” (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
15. • Hadist di atas merupakan salah sebuah rujukan ulama yang sangat jelas terkait batasan
waktu kebolehan mengusap sepatu, baik bagi musafir maupun orang yang mukim.
• Pertanyaannya kemudian, terhitung sejak kapankah batas waktu tersebut, tiga hari bagi
musafir dan sehari bagi mukim? Untuk hal ini, ulama sepakat bahwa masa itu terhitung
sejak pertama kali berhadats setelah ia mengenakan sepatunya. Bukan dihitung dari saat ia
memakai sepatu tersebut.
• Walaupun demikian, Imam Ibnu Hajar dan Imam ar-Ramli berselisih paham apakah
terhitung dari awal berhadats atau akhir hadatsnya? Menurut Ibnu Hajar, masa itu mulai
terhitung sejak akhir hadats dan bukan dari awal. Jadi, kapan pun hadasnya selesai, maka
sejak itulah masanya terhitung. Adapun Imam ar-Ramli membaginya menjadi dua. Jika
memang hadats tersebut muncul atas kehendaknya sendiri, maka batasan waktu kebolehan
mengusap sepatu dihitung dari awal hadatsnya.
16. • Menurut Ibnu Hajar, masa itu mulai terhitung sejak akhir hadats dan bukan dari
awal. Jadi, kapan pun hadasnya selesai, maka sejak itulah masanya terhitung.
Adapun Imam ar-Ramli membaginya menjadi dua. Jika memang hadats tersebut
muncul atas kehendaknya sendiri, maka batasan waktu kebolehan mengusap
sepatu dihitung dari awal hadatsnya.
• Misalnya, ia berhadats karena memeluk dan mencium istrinya. Bila ia melakukan
itu selama satu atau dua jam, maka hadatsnya terhitung sejak awal ia memeluk.
Bukan setelah selesai memeluk. Tetapi jika keberadaan hadatsnya bukan atas
kehendak sendiri, seperti buang air besar (BAB), misalnya—di mana seseorang
tidak mungkin BAB dalam kondisi perut kosong, walau dipaksa bagaimana pun,
dan tak mungkin mampu tidak BAB dalam kondisi sangat kebelet, kendati ditahan
bagaimana pun—maka, hadatsnya terhitung setelah ia selesai buang hajat, dan
bukan sejak awal BAB. (Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri, Syarhul
Yaqûtun Nafîs fî Madzhabi Ibni Idris, halaman 71-72).
17. TATA CARA BAGI PEMAKAI SEPATU
• Adapun tata cara mengusap sepatu adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
• 1. Sebelum memakai sepatu, pemakai harus bersuci dahulu dengan wudhu sempurna. Setelah itu baru
kemudian memakainya, dan tidak boleh melepaskannya lagi. Artinya, bila ia sempat melepas sepatu tersebut,
konsekuensinya ia tidak boleh mengusap sepatunya sebagai ganti dari membasuh kaki. Kecuali ia telah
berhadats dan memulainya lagi dari awal, berwudhu dengan sempurna, lalu memasang sepatunya.
• 2. Berwudhu seperti biasa kecuali membasuh kedua kaki yang akan diganti dengan mengusapnya.
• 3. Setelah mengusap kedua telinga, lalu mengambil air atau membasahi kedua tangan dengan air untuk
kepeluan mengusap sepatu kanan.
• 4. Mengusap bagian punggung atau bagian atas sepatu kanan, dan ini hukumnya wajib. Secara prinsip
mengusap sepatu caranya seperti mengusap kepala, sedikitpun sudah cukup. Namun lebih baik dengan cara
sebagai berikut. Tangan kiri yang sudah basah dengan air memegang bagian tumit sepatu kanan, sementara
tangan kanan yang sudah basah dengan air diletakkan di ujung depan bagian atas sepatu (bertepatan dengan
jari-jari kaki) kiri. Kemudian tangan kanan diusapkan dari ujung depan bagian atas sepatu (bertepatan dengan
jari-jari kaki) kiri sampai ke batas betis, sementara tangan kiri diusapkan dari tumit sepatu kiri sampai ujung
depan bagian bawah sepatu (bertepatan dengan jari-jari kaki). Semuanya dilakukan dengan jari-jari tangan
terbuka.
18. • 5. Mengambil air atau membasahi kedua tangan dengan air untuk kepeluan mengusap
sepatu kiri.
• 6. Tangan kanan yang sudah basah dengan air memegang bagian tumit sepatu kiri,
sementara tangan kiri yang sudah basah dengan air diletakkan di ujung depan bagian atas
sepatu (bertepatan dengan jari-jari kaki) kiri. Kemudian tangan kiri diusapkan dari ujung
depan bagian atas sepatu (bertepatan dengan jari-jari kaki) kiri sampai ke batas betis,
sementara tangan kanan diusapkan dari tumit sepatu kiri sampai ujung depan bagian bawah
sepatu (bertepatan dengan jari-jari kaki). Semuanya dilakukan dengan jari-jari tangan
terbuka.
• 7. Selesai. Mengusap kedua sepatu sudah sah menjadi ganti membasuh kedua kaki dalam
wudhu. (Al-Jawi, Nihayâtuzzain, halaman 36).