Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)Ulfah Hanum
Materi pelatihan ini membahas pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan di puskesmas, meliputi perencanaan dan permintaan obat, penerimaan, penyimpanan dan distribusi obat, pencatatan dan pelaporan obat, supervisi dan evaluasi pengelolaan obat, serta indikator pengelolaan obat. Materi lain yang dibahas adalah pengkajian dan pelayanan resep, pelayanan informasi obat, konseling obat, pelayanan kefarmasian di rumah, kon
Mi 1 7. pencatatan, pelaporan, pengarsipan pengelolaan obat di puskesmasLinaNadhilah2
Tim tutor pelatihan pelayanan kefarmasian membahas pentingnya pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan pengelolaan obat di puskesmas. Kegiatan ini bertujuan untuk memantau keluar masuk obat, menyusun laporan, dan menjadi bukti pengelolaan telah dilaksanakan. Pencatatan dilakukan menggunakan kartu stok, buku penerimaan, dan rekapan harian. Laporan yang harus dibuat antara lain LPLPO, obat
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan obat di apotek, termasuk pelayanan non-resep, pelayanan resep, penjualan barang lainnya, penataan obat, sistem pengeluaran obat, alur pemesanan obat, dan alur penerimaan barang di apotek.
Dokumen tersebut membahas tentang penggolongan obat, penomoran pada obat jadi dan obat tradisional, serta informasi yang tercantum pada kemasan dan brosur obat seperti nama obat, komposisi, indikasi, kontraindikasi, efek samping, aturan pakai, dan tanggal kedaluwarsa.
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)Ulfah Hanum
Materi pelatihan ini membahas pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan di puskesmas, meliputi perencanaan dan permintaan obat, penerimaan, penyimpanan dan distribusi obat, pencatatan dan pelaporan obat, supervisi dan evaluasi pengelolaan obat, serta indikator pengelolaan obat. Materi lain yang dibahas adalah pengkajian dan pelayanan resep, pelayanan informasi obat, konseling obat, pelayanan kefarmasian di rumah, kon
Mi 1 7. pencatatan, pelaporan, pengarsipan pengelolaan obat di puskesmasLinaNadhilah2
Tim tutor pelatihan pelayanan kefarmasian membahas pentingnya pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan pengelolaan obat di puskesmas. Kegiatan ini bertujuan untuk memantau keluar masuk obat, menyusun laporan, dan menjadi bukti pengelolaan telah dilaksanakan. Pencatatan dilakukan menggunakan kartu stok, buku penerimaan, dan rekapan harian. Laporan yang harus dibuat antara lain LPLPO, obat
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan obat di apotek, termasuk pelayanan non-resep, pelayanan resep, penjualan barang lainnya, penataan obat, sistem pengeluaran obat, alur pemesanan obat, dan alur penerimaan barang di apotek.
Dokumen tersebut membahas tentang penggolongan obat, penomoran pada obat jadi dan obat tradisional, serta informasi yang tercantum pada kemasan dan brosur obat seperti nama obat, komposisi, indikasi, kontraindikasi, efek samping, aturan pakai, dan tanggal kedaluwarsa.
Dokumen tersebut membahas tentang manajemen mutu dan personalia dalam pembuatan obat. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa (1) mutu obat ditentukan oleh proses produksi dan pengawasan mutu yang ketat, (2) diperlukan manajemen mutu yang memastikan konsistensi produksi, dan (3) personalia kunci seperti kepala produksi, pengawasan mutu, dan pemastian mutu harus memiliki kualifikasi tertentu.
Pengadaan obat di puskesmas dapat dilakukan melalui permintaan ke dinas kesehatan kabupaten atau pengadaan mandiri. Permintaan obat diajukan berdasarkan laporan pemakaian dan kebutuhan obat, sedangkan pengadaan mandiri dapat dilakukan melalui sistem pengadaan pemerintah atau langsung ke apotek dalam kondisi tertentu. Apoteker berperan penting dalam proses pengadaan obat di puskesmas.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menetapkan pedoman penerapan Formularium Nasional (Fornas) untuk menjamin penggunaan obat yang aman, berkualitas dan terjangkau dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Fornas disusun oleh komite ahli dengan mempertimbangkan usulan dari fasilitas kesehatan dan organisasi profesi, serta mengevaluasi obat yang sudah tercantum dalam pedoman sebelumnya.
Kasus pelanggaran kode etik apoteker di apotekAstriedAmalia
Dokumen tersebut membahas tentang kasus pelanggaran kode etik apoteker di apotek. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa apoteker harus mematuhi standar pelayanan kefarmasian dan kode etik apoteker Indonesia dalam memberikan obat kepada pasien. Jika apoteker lalai, maka dapat dikenai sanksi atau bahkan dijadikan tersangka karena melanggar undang-undang.
Dokumen tersebut berisi informasi tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia. Terdapat penjelasan mengenai sejarah, kedudukan, tugas, fungsi, struktur organisasi, dan pelaksanaan pengawasan obat dan makanan di Indonesia oleh BPOM. Juga dijelaskan mengenai sistem registrasi dan nomor registrasi untuk berbagai jenis produk yang diawasi oleh BPOM.
Dokumen tersebut membahas tentang pelayanan kefarmasian di puskesmas, yang meliputi pengertian dan tujuan pelayanan kefarmasian, standar pelayanan kefarmasian sesuai peraturan, peran apoteker di puskesmas, serta indikator dan target pelayanan kefarmasian.
Per BPOM No. 4 tahun 2018 tentang fasyanfarUlfah Hanum
[Ringkasan]
Peraturan ini mengatur tentang pengawasan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian. Fasilitas pelayanan kefarmasian meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, puskesmas, dan toko obat. Peraturan ini mengatur persyaratan obat yang diedarkan harus memiliki izin edar dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat
Dokumen tersebut membahas mengenai peran penting farmasis dalam memberikan konsultasi obat kepada masyarakat untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dan mengurangi risiko efek samping obat. Konsultasi farmasi meliputi memberikan edukasi tentang penyakit, pengobatan, dan cara penggunaan obat yang benar kepada pasien. Teknik komunikasi seperti bertanya, mendengarkan, dan memberikan contoh digunakan untuk memastikan pas
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Regulasi ini menetapkan persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan untuk produksi dan peredaran sediaan farmasi serta alat kesehatan, serta mengatur izin edar dan pengujian produk. Tujuannya adalah melindungi masyarakat dari bahaya akibat penggunaan produk kesehatan yang tidak sesuai standar.
Dokumen tersebut membahas tentang manajemen mutu dan personalia dalam pembuatan obat. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa (1) mutu obat ditentukan oleh proses produksi dan pengawasan mutu yang ketat, (2) diperlukan manajemen mutu yang memastikan konsistensi produksi, dan (3) personalia kunci seperti kepala produksi, pengawasan mutu, dan pemastian mutu harus memiliki kualifikasi tertentu.
Pengadaan obat di puskesmas dapat dilakukan melalui permintaan ke dinas kesehatan kabupaten atau pengadaan mandiri. Permintaan obat diajukan berdasarkan laporan pemakaian dan kebutuhan obat, sedangkan pengadaan mandiri dapat dilakukan melalui sistem pengadaan pemerintah atau langsung ke apotek dalam kondisi tertentu. Apoteker berperan penting dalam proses pengadaan obat di puskesmas.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menetapkan pedoman penerapan Formularium Nasional (Fornas) untuk menjamin penggunaan obat yang aman, berkualitas dan terjangkau dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Fornas disusun oleh komite ahli dengan mempertimbangkan usulan dari fasilitas kesehatan dan organisasi profesi, serta mengevaluasi obat yang sudah tercantum dalam pedoman sebelumnya.
Kasus pelanggaran kode etik apoteker di apotekAstriedAmalia
Dokumen tersebut membahas tentang kasus pelanggaran kode etik apoteker di apotek. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa apoteker harus mematuhi standar pelayanan kefarmasian dan kode etik apoteker Indonesia dalam memberikan obat kepada pasien. Jika apoteker lalai, maka dapat dikenai sanksi atau bahkan dijadikan tersangka karena melanggar undang-undang.
Dokumen tersebut berisi informasi tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia. Terdapat penjelasan mengenai sejarah, kedudukan, tugas, fungsi, struktur organisasi, dan pelaksanaan pengawasan obat dan makanan di Indonesia oleh BPOM. Juga dijelaskan mengenai sistem registrasi dan nomor registrasi untuk berbagai jenis produk yang diawasi oleh BPOM.
Dokumen tersebut membahas tentang pelayanan kefarmasian di puskesmas, yang meliputi pengertian dan tujuan pelayanan kefarmasian, standar pelayanan kefarmasian sesuai peraturan, peran apoteker di puskesmas, serta indikator dan target pelayanan kefarmasian.
Per BPOM No. 4 tahun 2018 tentang fasyanfarUlfah Hanum
[Ringkasan]
Peraturan ini mengatur tentang pengawasan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian. Fasilitas pelayanan kefarmasian meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, puskesmas, dan toko obat. Peraturan ini mengatur persyaratan obat yang diedarkan harus memiliki izin edar dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat
Dokumen tersebut membahas mengenai peran penting farmasis dalam memberikan konsultasi obat kepada masyarakat untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dan mengurangi risiko efek samping obat. Konsultasi farmasi meliputi memberikan edukasi tentang penyakit, pengobatan, dan cara penggunaan obat yang benar kepada pasien. Teknik komunikasi seperti bertanya, mendengarkan, dan memberikan contoh digunakan untuk memastikan pas
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Regulasi ini menetapkan persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan untuk produksi dan peredaran sediaan farmasi serta alat kesehatan, serta mengatur izin edar dan pengujian produk. Tujuannya adalah melindungi masyarakat dari bahaya akibat penggunaan produk kesehatan yang tidak sesuai standar.
Peraturan ini mengatur tentang izin dan penyelenggaraan praktik tenaga kesehatan tradisional jamu. Dokumen ini menjelaskan kualifikasi tenaga kesehatan tradisional jamu, persyaratan surat tanda registrasi dan izin praktik, serta ketentuan penyelenggaraan praktik keprofesian tenaga kesehatan tradisional jamu.
Permenkes No.1799 Tahun 2010 Tentang Industri FarmasiSainal Edi Kamal
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Industri Farmasi mengatur ketentuan umum tentang izin industri farmasi, termasuk persyaratan untuk memperoleh izin, tata cara permohonan persetujuan prinsip, dan kewajiban industri farmasi dalam memenuhi standar Cara Pembuatan Obat yang Baik dan melakukan farmakovigilans.
Dokumen tersebut membahas tentang peraturan pelaksanaan pekerjaan kefarmasian di Indonesia seperti PP 51/2009 dan PMK 889/2011. Dokumen tersebut mengatur tentang persyaratan, prosedur, dan pelaksanaan pekerjaan kefarmasian oleh tenaga kefarmasian seperti apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedagang Besar Farmasi mengatur tentang perizinan dan persyaratan untuk mendirikan dan mengoperasikan Pedagang Besar Farmasi dan cabangnya. Pedagang Besar Farmasi wajib memiliki izin dari Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan dan harus memenuhi persyaratan administratif, fasilitas, dan personel. Proses perizinan melibatkan verifikasi oleh dinas kesehatan provinsi dan audit oleh Badan Pengawas
Peraturan ini menetapkan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas yang meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan farmasi klinik. Standar ini bertujuan meningkatkan mutu pelayanan dan melindungi pasien. Pelayanan kefarmasian diselenggarakan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sesuai ketentuan sumber daya, prosedur, dan pengawasan.
Permenkes No. 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di puskesmas Ulfah Hanum
Peraturan ini menetapkan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas yang meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan farmasi klinik. Standar ini bertujuan meningkatkan mutu pelayanan dan melindungi pasien. Pelayanan kefarmasian diselenggarakan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sesuai ketentuan sumber daya, prosedur, dan pengawasan.
Peraturan ini mengatur tentang pedagang besar farmasi (PBF) dan PBF cabang. PBF adalah perusahaan yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan bahan obat dalam jumlah besar. PBF wajib memiliki izin dari Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan, sedangkan PBF cabang memerlukan pengakuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Peraturan ini mengatur tata cara permohonan,
Modul Ajar Matematika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Matematika Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka.
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...nasrudienaulia
Dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Talcott Parsons, konsep struktur sosial sangat erat hubungannya dengan kulturalisasi. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan sosial yang terorganisir dalam masyarakat, termasuk hierarki, peran, dan institusi yang mengatur interaksi antara individu. Hubungan antara konsep struktur sosial dan kulturalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola Interaksi Sosial: Struktur sosial menentukan pola interaksi sosial antara individu dalam masyarakat. Pola-pola ini dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang diinternalisasi oleh anggota masyarakat melalui proses sosialisasi. Dengan demikian, struktur sosial dan kulturalisasi saling memengaruhi dalam membentuk cara individu berinteraksi dan berperilaku.
2. Distribusi Kekuasaan dan Otoritas: Struktur sosial menentukan distribusi kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat juga memengaruhi bagaimana kekuasaan dan otoritas didistribusikan dalam struktur sosial. Kulturalisasi memainkan peran dalam melegitimasi sistem kekuasaan yang ada melalui nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Fungsi Sosial: Struktur sosial dan kulturalisasi saling terkait dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya dan norma-norma yang terinternalisasi membentuk dasar bagi pelaksanaan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep struktur sosial dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Parsons tidak dapat dipisahkan dari kulturalisasi karena keduanya saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam membentuk pola-pola hubungan sosial, distribusi kekuasaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat.
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024Kanaidi ken
Dlm wktu dekat, Pelatihan/WORKSHOP ”CSR/TJSL & Community Development (ISO 26000)” akn diselenggarakan di Swiss-BelHotel – BALI (26-28 Juni 2024)...
Dgn materi yg mupuni & Narasumber yg kompeten...akn banyak manfaat dan keuntungan yg didpt mengikuti Pelatihan menarik ini.
Boleh jga info ini👆 utk dishare_kan lgi kpda tmn2 lain/sanak keluarga yg sekiranya membutuhkan training tsb.
Smga Bermanfaat
Thanks Ken Kanaidi
Universitas Negeri Jakarta banyak melahirkan tokoh pendidikan yang memiliki pengaruh didunia pendidikan. Beberapa diantaranya ada didalam file presentasi
Laporan Pembina Pramuka SD dalam format doc dapat anda jadikan sebagai rujukan dalam membuat laporan. silakan download di sini https://unduhperangkatku.com/contoh-laporan-kegiatan-pramuka-format-word/
2. Di KOTA SURABAYA terdapat apotik B yang
merupakan kerjasama antara Apoteker pengelola
apotik (APA) dengan Pemilik Saham Apotik (PSA)
apotek membeli obat dari jalur tidak resmi.
Bagaimana PENDAPAT ANDA ATAS KASUS
TERSEBUT tersebut beri penjelasan dan APA
sangsi hukum menurut Undang Undang Kesehatan
no 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tahun
72 1998
SOAL STUDI KASUS (1)
3. Pendapat saya atas kasus tersebut jelas bahwa kerjasama yang dilakukan
antara Apoteker pengelola apotik (APA) dengan Pemilik Saham Apotik (PSA) dan apotek
membeli obat dari jalur tidak resmi telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Undang-undang Kesehatan Nomer 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sendiri
telah mengatur secara jelas, sesuai yang tertera pada Bagian kelima belas pasal 98 ayat
(2) setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan,
menyimpan, dan mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang
berkhasiat obat.
Sementara itu pada pasal 98 ayat (3) juga dijelaskan bahwa Ketentuan
mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi
dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan
dengan Peraturan.
4. Kemudian pada pasal 106 ayat (1) dijelaskan bahwa sedian farmasi dan
alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Jika kita
melihat dari kasus diatas jelas bahwa apoteker pengelola apotik (APA) dan
pemilik saham apotik (PSA) membeli obat secara ilegal yang notabene tidak
diketahui asal usulnya, serta tidak jelas standar dan mutunya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Sanksi bagi apoteker pengelola apotik (APA) dan pemilik saham apotik
(PSA) yang membeli obat secara ilegal jelas tertera pada:
Pasal 106 ayat (3) bahwa Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
6. Peraturan Pemerintah Nomer 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sedian Farmasi dan Alat Kesehatan juga telah mengatur bahwa :
Pasal 3 Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi
oleh badan usaha yang teleh memiliki izin usaha industri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9 sedian farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah memperoleh izin edar dari menteri.
Pasal 72 ayat (1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif
terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang melanggar
hukum di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 72 ayat (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat berupa :
a. Peringatan secara tertulis.
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau
perintah
untuk menarik produk sediaan farmasi dan alat kesehatan dari
peredaran yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan
dan
kemanfaatan.
7. c. Perintah pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, jika terbukti
tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan.
d. Pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri, izin
edar sediaan farmasi dan alat kesehatan serta izin lain yang diberikan.
Pasal 74 Barangsiapa dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan
farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam dalam Pasal
80 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.
Pasal 75 huruf (b) Barang siapa dengan sengaja :
Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan
8. SOAL STUDI KASUS (2)
Di Kota Malang terdapat produsen industri
Rumah tangga tidak mempunyai izin
memproduksi mie basah dengan
menggunakan formalin dan borax sehingga
menyebabkan keracunan pada anak anak
dengan gejala mual muntah dan diare.
Berikan penjelasan atau analisa saudara apa
yang seharusnya dilakukan dan dikaitkan
peraturan menurut Undang Undang
Kesehatan no 36 tahun 2009 dan Peraturan
Pemerintah tahun 72 1998
9. Di dalam Undang-undang Kesehatan Nomer
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, bagian keenam
belas mengenai pengamanan makanan dan
minuman khususnya yang tertera pada pasal 109
bahwa : Setiap orang dan/atau badan hukum yang
memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan
makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai
makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa
genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman
bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan
lingkungan.
10. Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat
harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar,
persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan,
ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dari beberapa penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan hal
utama yang perlu dilakukan dalam kasus tersebut yaitu menarik
kembali mie yang mengandung boraks dan formalin tersebut dari
peredaran untuk segera dilakukan pemusnahan, kemudian menyita
tempat tersebut serta memberikan sanksi hukum yang tegas sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
11. Di kampung saudara terdapat penjual jamu obat
tradisional yang tidak terdapat izin edar dan tidak ada
penandaan apapun dalam bentuk serbuk dalam
kemasan kertas dibungkus plastik dijual di warung dan
toko jamu.
Jelaskan apa yang seharusnya saudara lakukan dan
informasi apa saudara berikan, sesuai dengan Undang–
Undang Kesehatan no 36 tahun 2009 dan Peraturan
Pemerintah tahun 72 1998?
SOAL STUDI KASUS (3)
12. Yang akan saya lakukan adalah memberikan informasi kepada penjual
jamu tersebut terkait dengan ketentuan produksi obat tradisional yang tertera
dalam undang undang.
Pada kasus ini telah dibahas dalam Undang–Undang Kesehatan no 36 tahun 2009
pada beberapa pasal, yaitu :
Pasal 100
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat
tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
dan keamanannya.
Pada pasal 100 dan pasal 101 tersebut dapat dilihat bahwa jamu yang dijual
harus aman dan dapat dipertanggungjawabkan manfaat serta keamanannya.
13. Sedangkan terkait izin edar, pada Undang-undang Kesehatan
Nomer 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sendiri telah mengatur
secara jelas pada Pasal 106 ayat (1) yaitu, Sediaan farmasi dan alat
kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
Dan pada izin edar sebagaimana dijelaskan kembali pada
Peraturan Pemerintah Nomer 72 Tahun 1998 pada bagian 2 tentang
izin edar pasal 9 yaitu :
Pasal 9
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
memperolah izin edar dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi
oleh perorangan.
14. Sedangkan terkait kemasan jamu yang dijual harusnya
memenuhi ketentuan sebagaimana dijelaskan pada Peraturan
Pemerintah Nomer 72 Tahun 1998 pasal 24 dan pasal 25 dimana
kemasan jamu yang diedarkan harus aman tidak membahayakan
kesehatan manusia dan/atau dapat mempengaruhi berubahnya
persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan
alat kesehatan. Dan jelas bahwa sediaan farmasi yang mengalami
kerusakan kemasan yang langsung bersentuhan dengan produk
sediian farmasi dan alat kesehatan dilarang untuk diedarkan.
Dan juga dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Nomer 72
Tahun 1998 pasal 26, 27, dan 28. Dimana penandaan pada kemasan
dan informasi harus memenuhi persyaratan berbentuk tulisan yang
berisi keterangan mengenai sediaan farmasi secara obyektif, lengkap
serta tidak menyesatkan. Tetapi pada Pasal 30 di tegaskan bahwa
ketentuan mengenai penandaan dan informasi sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini tidak
berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang
diproduksi oleh perorangan.
15. Ketika anda pergi ke pasar tradisional anda menjumpai
seorang ibu yang berjualan kosmetik antara lain lipstik,
lipsglos dengan huruf cina dan mandarin tanpa ada huruf
dan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dengan
harga yang lebih murah dibanding dengan harga
pasaran.
Bagaimana pendapat saudara jelaskan juga dikaitkan
dengan Undang –undang Kesehatan no 36 tahun 2009
dan Peraturan Pemerintah tahun 72 1998??
SOAL STUDI KASUS (4)
16. Menurut pendapat saya, Ibu yang menjual produk kosmetik
tersebut perlu dipertanyakan mutu, kualitas, dan aman atau tidaknya.
Karena dijual dengan harga yang dibilang lebih murah. Selain itu,
adanya keterangan yang dapa menyulitkan pembeli karena
keterengan tersebut menggunakan huruf mandarin. Dan menurut
saya pada pembelian apapun jangan terpaku pada harga yang
murah, karena kebanykan harga murah belum tentu memberikan
kualitas yang baik. Dan perhatikan juga dampak bagi kesehatan kita
kedepannya.
Dilihat dari segi keamanannya pun perlu dipertanyakan, apakah
kosmetik tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomer 72 Tahun
1998 pasal 2 yaitu, Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan
peryaratan dalam buku odeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh
Menteri. Serta memenuhi persyaratan seperti yang disebutkan pada Undang
–undang Kesehatan Nomer 36 tahun 2009 pasal 105 yaitu :
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika
serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
yang ditentukan.
17. Selain itu, apabila suatu produk merupakan produk import luar
negeri, maka haruslah memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomer
72 Tahun 1998 pasal 17 yaitu produk yang diedarkan harus memenuhu
persyaratan mutu, keamanan dan pemanfaatan. Sebaiknya pada produk
tersebut haruslah dicantumkan juga bahasa inggris yakni bahasa global yang
setidaknya mudah dipahami masyarakat secara umum agar tidak
menyesatkan atau membingungkan pembeli. Hal ini berakitan Peraturan
Pemerintah Nomer 72 Tahun 1998 pasal 26 dan 28. Pada pasal 26 ayat
(2) jelas bahwa Penandaan dan informasi sediaan dan alat kesehatan dapat
berbentuk gambar, warna, tulisan atau kombinasi antara atau ketiganya atau
bentuk lainnya yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam
kemasan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya. Selain
itu terdapat pula pada pasal 28 ayat 1.
18. Suatu pabrik kosmetika di kota Surabaya diduga
menambahkan Rhodamin B ke dalam produknya dan
produk tersebut sudah diedarkan di pasaran.
Bagaimana pendapat dan apa yang saudara lakukan
jika menemukan hal tersebut dan dikaitkan dengan UU
36 th 2009 dan Peraturan Pemerintah tahun 72 1998?
SOAL STUDI KASUS (5)
19. Jelas bahwa Rhodamin B adalah salah satu zat
pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri
tekstil dan kertas . Zat ini ditetapkan sebagai zat yang
dilarang penggunaannya pada makanan melalui Menteri
Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85.
Menurut saya, kosmetik tersebut tidaklah aman jika
digunakan. Karena dapat membahayakan pemakainya.
Telah kita ketahui bahwa Rhodamin B adalah zat
pewarna untuk industri tekstil dan kertas bukan untuk
kulit wajah sebagaiman yang terdapat pda kosmetik
tersebut.
20. Dilihat dari segi keamanan, ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi, seperti yang tercantum pada dan
Peraturan Pemerintah Nomer 72 Tahun 1998 pasal 2 ayat 2
yaitu : Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan
peryaratan dalam buku odeks Kosmetika Indonesia yang
ditetapkan oleh Menteri.
Selain itu, hal ini tercantum pula pada Undang –undang
Kesehatan Nomer 36 tahun 2009 pasal 105 yang berisi :
Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika
serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditentukan.
Sebaiknya sebuah rumah produski harus memperhatikan
zat-zat yang akan ditambahkan kedalam produknya. Agar
tidak membhayakan dan juga tidak merugikan konsumen.