Dokumen tersebut membahas tentang kasus pelanggaran kode etik apoteker di apotek. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa apoteker harus mematuhi standar pelayanan kefarmasian dan kode etik apoteker Indonesia dalam memberikan obat kepada pasien. Jika apoteker lalai, maka dapat dikenai sanksi atau bahkan dijadikan tersangka karena melanggar undang-undang.
Manajemen Pengadaan Obat di Rumah Sakit
Sistem pengadaan obat, Metode pengadaan obat, pendistribusian obat, komponen pengadaan obat, kriteria suplier siklus pengadaan obat
Apotek : suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Kepmenkes No.1332 thn 2002, Kepmenkes No.1027 thn 2004)
Konseling obat sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan pasien. Penerapan konseling obat sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam praktek kefarmasian pada pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat karena pasien mendapatkan penjelasan mengenai manfaat penggunaan obat yang sesuai dengan aturan pakai yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.
Manajemen Pengadaan Obat di Rumah Sakit
Sistem pengadaan obat, Metode pengadaan obat, pendistribusian obat, komponen pengadaan obat, kriteria suplier siklus pengadaan obat
Apotek : suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Kepmenkes No.1332 thn 2002, Kepmenkes No.1027 thn 2004)
Konseling obat sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan pasien. Penerapan konseling obat sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam praktek kefarmasian pada pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat karena pasien mendapatkan penjelasan mengenai manfaat penggunaan obat yang sesuai dengan aturan pakai yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien adalah praktik apoteker ruang rawat (ward pharmacist) dengan visite sebagai salah satu aktivitasnya. Visite apoteker adalah kunjungan rutin yang dilakukan apoteker kepada pasien di ruang rawat dalam rangka mencapai hasil terapi (clinical outcome) yang lebih baik. Aktivitas visite dapat dilakukan secara mandiri atau kolaborasi secara aktif dengan tim dokter dan profesi kesehatan lainnya dalam proses penetapan keputusan terkait terapi obat pasien.
Ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme) obat pada manusia atau hewan dan menggunakan informasi ini untuk meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran, rejimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan disposisi obat.
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) ialah jumlah relatif (persentase) dari obat yang masuk ke sirkulasi sistemik sesudah pemberian obat dalam sediaan tertentu, serta kecepatan peningkatan kadar obat dalam sirkulasi sistemik. Sedangkan studi bioekivalensi dilakukan karena banyak produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien adalah praktik apoteker ruang rawat (ward pharmacist) dengan visite sebagai salah satu aktivitasnya. Visite apoteker adalah kunjungan rutin yang dilakukan apoteker kepada pasien di ruang rawat dalam rangka mencapai hasil terapi (clinical outcome) yang lebih baik. Aktivitas visite dapat dilakukan secara mandiri atau kolaborasi secara aktif dengan tim dokter dan profesi kesehatan lainnya dalam proses penetapan keputusan terkait terapi obat pasien.
Ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme) obat pada manusia atau hewan dan menggunakan informasi ini untuk meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran, rejimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan disposisi obat.
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) ialah jumlah relatif (persentase) dari obat yang masuk ke sirkulasi sistemik sesudah pemberian obat dalam sediaan tertentu, serta kecepatan peningkatan kadar obat dalam sirkulasi sistemik. Sedangkan studi bioekivalensi dilakukan karena banyak produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian;
Mengingat
:
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
2.
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3.
Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
5.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
6.
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
7.
Fasilitas Kesehatan adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
8.
Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian.
9.
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
10.
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.
11.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
12.
Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
13.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
14.
Toko Obat a
Apotek Online : Tinjauan Regulasi dan Etika di indonesiaStefanus Nofa
·Perkembangan Pelayanan Kesehatan berbasis teknogi informasi merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan, namun kita tidak boleh gegabah dengan begitu saja mengakomodir perkembangan yang ada di masyarakat, harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu apakah sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan dan berdampak positif bagi peningkatan derajat kesehatan seluruh masyarakat.
·Pelayanan Kesehatan khususnya Pelayanan kefarmasian secara elektronik berdampak positif kepada peningkatan kualitas dan kenyamanan pelayanan namun disisi lain berpotensi negatif bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat , untuk itu penyusunan regulasi yang berkaitan dengan pelayanan kefarmasian elektronik perlu dilakukan dengan penuh ke hati hatian agar dampak negatif dapat diminimalisiir se rendah rendah nya.
·Rencana Penerbitan PMK tentang Pelayanan Kefarmasian secara elektronik oleh pemerintah perlu dikaji lebih dalam dengan melibatkan seluruh stakeholder, karena menyangkut kewenangan / tanggungjawan inter istitusi dan inter profesi agar tetap sejalan dengan tujuan pembangunan Kesehatan Indonesia
Perlu Diskusi lanjut via Talk Show/ seminar / Hub : apoteker.onine@gmail.com
2. ULASAN
Apoteker Menurut Peraturan Perundang-undangan
Apoteker yang maksud di sini adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
(Pasal 1 poin 5 PP 51/2009).
Apotek itu sendiri adalah sarana dan salah satu Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yakni sarana
yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di antara fasilitas–fasilitas
lainnya seperti instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama (Pasal 1 poin 11 dan poin 13 PP 51/2009).
Standar Pelayanan Kefarmasian
Prinsipnya, dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Di samping itu, penyerahan dan
pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (Pasal 21 ayat1 dan 2 PP
51/2009).
Jadi, terkait soal pemberian obat dari apoteker kepada pasien, ada standar pelayanan yang
wajib dipatuhi oleh apoteker yang bersangkutan. Standar pelayanan ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian.
Menurut Permenkes 35/2014 ini, Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua)
kegiatan, yaitu:
1. Kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
2. Pelayanan farmasi klinik.
Apoteker sebagai Pelaku Usaha
Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal
baik perorangan maupun perusahaan (Pasal 25 ayat 1 PP 51/2009). Ini menunjukkan bahwa
apoteker bertindak juga sebagai pelaku usaha.
Terkait soal kelalaian dalam memberikan obat, sebagai pelaku usaha, apoteker salah satunya
dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 8 ayat 1 huruf a UU Perlindungan Konsumen). Jika
pelaku usaha melanggar kewajiban ini, maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) (Pasal 62 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen).
3. Standar Pelayanan Kefarmasian Terkait Pemberian Obat oleh Apoteker
Standar yang dipersyaratkan ini menjadi tolak ukur untuk menilai kelalaian apoteker dalam
memberikan obat. Secara umum, standar-standar pelayanan Kefarmasian itu antara lain
adalah: (Lampiran Permenkes 35/2014)
1. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain adalah pembentukan informasi obat dan konseling kepada pasien yang
membutuhkan.
2. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi,
mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problem), masalah
farmakoekonomi, dan farmasi sosial (sociopharmacoeconomy).
Sedangkan secara khusus, terkait pemberian obat, standar pelayanan kefarmasian atau yang
khususnya dikenal sebagai Pelayanan farmasi klinik yang wajib dipatuhi apoteker adalah:
(BAB III Lampiran Permenkes 35/2014).
1. pengkajian Resep; meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan
klinis
2. dispensing; terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Di samping itu, profesi apoteker juga mengacu pada Kode Etik Apoteker Indonesia dan
apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya maka apoteker dapat
dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia:
“Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak pasien, dan melindungi makhluk hidup
insani.”
Salah satu penjabarannya: seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada
pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, khasiat, dan cara pakai obat yang tepat.
undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 telah mengatur secara ketat prosedur
pembuatan obat, pengamanan, sampai pendistribusian obat, hanya boleh dilakukan oleh
tenaga kesehatan, dalam hal ini apoteker.
4. Kesimpulan:
Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Apoteker harus memperhatikan standar
pelayanan kefarmasian di Apotek. Disamping itu, apoteker juga harus mengacu pada Kode
Etik Apoteker Indonesia dan apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan
tugasnya maka apoteker dapat dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Apoteker
dapat dijadikan tersangka karena melanggar undang-undnag yang berlaku.