Tulisan ini membahas tentang regionalisme dan pengaruhnya terhadap kebijakan domestik negara anggota dengan mengambil contoh ASEAN dan Indonesia. ASEAN dijadikan forum kerjasama antarnegara Asia Tenggara untuk mencapai tujuan bersama, namun keikutsertaan Indonesia belum mampu meningkatkan kepentingan domestiknya di kawasan tersebut. Kebijakan Indonesia masih lebih banyak mementingkan kepentingan nasional dibandingkan kerjasama regional
1. Volume 1
2016
1
Diterbitkan Oleh:
DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Jl. Veteran no. 10 Jakarta 10110
Regionalisme dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Domestik Negara Anggota:
Bagaimana ASEAN Terhadap Indonesia?
Kebijakan Pemekaran Daerah Dalam UU No. 23 Tahun 2014
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES): BUMDES Karangrejek
Gunungkidul Yogyakarta
Potret Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945 dan Penyelesaian
Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Inovasi Pelayanan Publik: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Moratorium Daerah Otonomi Baru: Sebuah Konsep Pematangan Menuju
Efektivitas Daerah Otonom
Mendorong Inovasi Pelayanan Publik di Pemerintah Daerah
Sayfa Auliya Achidsti
Suryanto
Tony Murdianto Hidayat
Frenky Kristian Saragi
Harditya Bayu Kusuma
Sabilla Ramadhiani Firdaus
P. Pieter Djoka
Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 1 Halaman 1-122 2016
ISSN : 2528-6757
Jurnal Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 1 Tahun 2016
2. i
ISSN : 2528-6757
Jurnal Analisis Kebijakan
Vol. 1 No. 1 Tahun 2016
Redaksi :
Pengarah : Sri Hadiati WK SH, MBA
Penanggung Jawab/Pemimpin
Redaksi
: Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Dewan Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Ani Suprihartini, SE, MM
Widhi Novianto, S.Sos, M.Si
Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si
Suryanto, S.Sos, M.Si
Mitra Bestari : Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Kebijakan Publik)
Dr. Mohammad Faisal (Ekonomi Kebijakan Publik)
Moh. Ilham A. Hamudy, S.IP., M.Soc.Sc (Politik dan
Pemerintahan)
Imam Radianto ASP, ST, MM (Administrasi Publik)
Redaktur Pelaksana : Tony Murdianto Hidayat, S.Si
Redaksi : Muhamad Imam Alfie Syarien, S.Sos, MPA
Rico Hermawan, SIP
Rusman Nurjaman, S.Fil
Maria Dika Puspita Sari, SIA
Frenky Kristian Saragi, SH
Muhammad Syafiq SIP
Desain Cover : Sulistio Satrio Firdaus S.Pd
Diterbitkan oleh:
Deputi Bidang Kajian Kebijakan
(Deputi Chairman For Policy Studies)
Lembaga Administrasi Negara
(National Institute Of Public Administration)
Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102
Website : www.lan.go.id/web/dkk/
Email : pkdod@lan.go.id
2016
UNDANGAN MENULIS:
Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup
bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Reforma-
si Administrasi serta Analis Kebijakan. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa
Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12,
dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan
Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke
Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan
soft file copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang ma-
suk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah
yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik.
3. ISSN : 2528-6757
Daftar Isi
Editorial iii-iv
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN DOMESTIK NEGARA
ANGGOTA: Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
1-15
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2014
Suryanto
17-32
PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA: BUMDES Desa Karangrejek Gunungkidul
Yogyakarta
Tony Murdianto Hidayat
33-50
POTRET KELEMBAGAAN NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 DAN PENYELESAI
AN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
Frenky Kristian Saragi
51-67
INOVASI PELAYANAN PUBLIK: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Harditya Bayu Kusuma
69-88
MORATORIUM DAERAH OTONOM BARU: Sebuah Konsep Pematangan Menuju Efek-
tifitas Daerah Otonom
Sabilla Ramadhiani Firdaus
89-104
MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH
P. Pieter Djoka
105-122
Petunjuk Penulisan 123-124
ii JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
4. Jurnal Analisis Kebijakan merupakan jur-
nal yang diterbitkan oleh Deputi Bidang Kajian
Kebijakan Lembaga Administrasi Negara RI.
Jurnal ini menjadi wadah penyampaian ide,
gagasan, pemikiran, dan analisis kebijakan,
terutama di bidang Sistem dan Hukum Ad-
ministrasi Negara, Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, Reformasi Administrasi dan Analis
Kebijakan.
Edisi perdana Jurnal Analsis Kebijakan
ini menyajikan sejumlah tulisan yang mere-
fleksikan sejumlah gagasan sebagai respon
atas dinamika yang berkembang dalam
bidang sistem dan hukum administrasi nega
ra, desentralisasi dan otonomi daerah, refor-
masi administrasi dan analisis kebijakan.
Melalui tulisan berjudul “Regionalisme dan
Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Domestik
Negara Anggota: Bagaimana ASEAN Terha-
dap Indonesia?”, Sayfa Auliya Achidsti meng
angkat topik keikutsertaan Indonesia dalam
kerjasama regional ASEAN. Menurutnya kei-
kutsertaan Indonesia dalam forum kerjasama
regional (ASEAN) belum mampu meningkat-
kan kepentingan domestik Indonesia ke ling
kup Asia Tenggara.
Dalam studi perbandingan regulasi me
ngenai kebijakan pemekaran daerah, melalu
artikelnya “Kebijakan Pemekaran Daerah da-
lam UU No. 23 Tahun 2014”, Suryanto meng-
garisbawahi bahwa aturan-aturan yang mem-
perketat syarat melakukan pemekaran di UU
pemda yang baru ini bisa menjadi jalan keluar
untuk menekan laju derasnya permintaan pe-
mekaran di daerah selama ini. Adanya syarat
harus menjadi daerah persiapan terlebih da-
hulu selama 3 tahun merupakan salah satu
langkah strategis sebelum memutuskan apa-
kah daerah yang akan mekar tersebut layak
untuk berdiri sendiri menjadi wilayah anyar
yang mampu membawa kesejahteraan rakyat.
Melalui pembahasannya mengenai penge-
lolaan badan usaha milik desa dengan studi
kasus di Desa Karangrejek, Gunungkidul, Yog
yakarta”, Tony Murdianto Hidayat melakukan
identifikasi faktor-faktor kunci yang melanda-
si keberhasilan pengelolaan BUMDes di desa
tersebut. Menurutnya ada 5 kunci keberha
silan yaitu kearifan lokal; kuatnya dukungan
masyarakat, pemerintah (pusat maupun
daerah) dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM); kepemimpinan kepala desa; pemilihan
usaha yang tepat berbasis potensi desa, dan;
pengelolaan usaha.
Frenky Kristian Saragi membahas tentang
Potret Kelembagaan Negara dan Penyelesai
an Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara. Melalui artikel yang berjudul “Potret
Kelembagaan Negara Pasca Amandemen
UUD 1945 dan Penyelesaian Sengketa Ke-
wenangan Antara Lembaga Negara”, penulis
menyoroti perubahan sistem ketatanegaraan
pasca amandemen UUD 1945. Selain itu,
mayoritas perkara dinyatakan tidak dapat
diterima oleh MK karena permohonan perkara
sengketa kewenangan lembaga negara terse-
but tidak memenuhi kriteria objectum litis dan
subjectum litis.
Tulisan berikutnya mengambil tema inova-
si pelayanan publik dan otonomi daerah. Da-
lam tulisan yang bertajuk “Inovasi Pelayanan
Publik: Praktik Penyelenggaraan Otonomi Da
erah”, Harditya Bayu Kusuma mengungkap-
kan bahwa otonomi daerah memberikan ru-
ang mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat
serta peningkatan daya saing. Inovasi yang
telah dilakukan oleh beberapa daerah mem-
berikan harapan menjanjikan adanya arah ke-
cenderungan yang positif dalam peningkatan
kualitas pelayanan publik.
Artikel selanjutnya mengambil topik ke-
bijakan moratorium Daerah Otonomi Baru
(DOB). Melalui tulisannya yang berjudul “Mor-
atorium Daerah Otonom Baru: Sebuah Kon-
sep Pematangan Menuju Efektifitas Daerah
Otonom”, Sabilla Ramadhiani Firdaus me-
nekankan bahwa keberhasilan efektifitas DOB
sangat bergantung pada komitmen seluruh
stakeholders memenuhi indikator dan langkah
strategis yang dirancang untuk membangun
dan menciptakan penyelenggaran daerah
yang dinamis.
Tulisan terakhir, P. Pieter Djoka mengang-
kat topik inovasi pelayanan publik di pemerin
tah daerah dengan mengambil studi kasus
di Kota Kupang. Dalam tulisan yang berju
dul “Mendoriong Inovasi Pelayanan Publik di
Daerah”, ia menguraikan tiga hal yang bisa
mendorong inovasi pelayanan publik di da
erah, yaitu, perubahan mindset dan cultural
set, optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pin-
tu (PTSP), dan kerjasama Pemerintah Daerah
dengan swasta.
iii
Editorial
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
5. Redaksi menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan serta apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari selaku
reviewer yang memberikan masukan yang
berharga atas seluruh naskah yang masuk.
Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada semua penulis yang telah berupaya
keras dan tidak putus asa telah melakukan
revisi dan perbaikan naskahnya sesuai ko-
reksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada
sidang pembaca budiman, kami haturkan se-
lamat membaca. Komentar dan masukan dari
pembaca mengenai isi, topik, dan pengem-
bangan jurnal ke depan juga sangat kami
nantikan. Semoga bermanfaat.
**********
iv JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
6. REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJA-
KAN DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Abstrak:
Kajian berfokus pada pandangan bahwa kebijakan negara adalah bentuk “kepublikan” dari
sebuah rezim pemerintahan. Kebijakan adalah produk hukum yang mengikat setiap tindakan
masyarakat, dan negara itu sendiri, sebagai sebuah aturan. Namun, penguatan pasar me
munculkan ketidakseimbangan dan kebutuhan pencapaian tujuan tertentu antarnegara. Hal
ini menimbulkan kebutuhan untuk kerjasama antara negara-negara. Regionalisme merupa-
kan fenomena yang mulai berkembang di dunia sebagai kesepakatan antara negara-negara
berdasar kewilayahan. Kajian melakukan analisis dalam konteks regionalisme dan pengaruh
nya terhadap kepublikan (kebijakan) negara, yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan-
nya.
Kata Kunci: Kebijakan, Regionalisme, Kepublikan, Investasi, ASEAN.
Abstract:
This paper focuses on state policy as a form of “publicness” of a particular regime. Policy is
a legal product that binds public action, and the state itself. However, the growing market
triggered imbalances and needs to attain shared objectives of countries within a region. It
raises the needs to cooperate between countries. Regionalism, a phenomenon that is emer
ging in the international relations, is an agreement between countries based on territory. In
this paper, the author analyses regionalism and its influence to state publicness, which is
manifested in its policies.
Keywords: Policy, Regionalism, Publicness, Investment, ASEAN.
REGIONALISM AND ITS INFLUENCE TO MEMBER COUN-
TRY’S DOMESTIC POLICIES:
Study on ASEAN and Indonesia
Sayfa Auliya Achidsti
Alumnus Pasca sarjana Manajemen dan Kebijakan Publik
Universitas Gajah Mada
A. PENDAHULUAN
Belakangan, perkumpulan para
pemimpin negara di kawasan Asia
Tenggara diadakan lebih sering untuk
melakukan kesepakatan-kesepakatan
multilateral antara pemerintahan. Da-
lam konteks regional Asia Tenggara,
organisasi ASEAN menjadi lembaga
yang menaungi dan bertindak sebagai
semacam forum yang membicarakan
persoalan di berbagai sektor, terutama
ekonomi, sosial-politik, dan sebagai
penengah dalam konflik baik yang
mungkin terjadi maupun potensial.
Agenda terakhir dari ASEAN, mi
salnya, adalah pencapaian ASEAN
Economic Community (AEC) yang ber-
komitmen membentuk kawasan Asia
Tenggara sebagai sebuah kesatuan
pasar tunggal. Dalam tingkat tertentu,
regionalisme ASEAN menampilkan
bentuk lembaga supranasional, yang
memiliki kekuatan mempengaruhi ke-
bijakan domestik negara anggotanya.
Pada tingkat paling sederhana, ASEAN
sebagai lembaga supranasional me
lakukan pengaruhnya paling tidak da-
lam tindakan komunikasi antarnegara,
yang termapankan dalam bentuk
hubungan diplomasi itu sendiri.
1JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel
7. B. ASEAN SEBAGAI REGIONALIS
ME: Aspek Historis Non-Blok.
Persoalan yang lebih penting se-
benarnya adalah dalam hal pengaruh
ASEAN sebagai lembaga luar nega-
ra yang dapat mempengaruhi nega
ra anggotanya dalam dua konteks.
Pertama, terkait dengan sifat negara
sebagai lembaga tertinggi secara le-
gal-formal terhadap penduduk dalam
wilayahnya. Hal ini jelas berimplikasi
pada konsep “tidak ada lembaga yang
lebih tinggi di atas negara terhadap
rakyat dalam batas-batas teritorial
nya”. Di sisi lain, ASEAN sebagai se-
buah lembaga selalu melakukan re-
definisi mengenai posisinya terhadap
negara-negara anggota melalui konfe-
rensi atau pertemuan-pertemuan yang
dilakukan untuk membentuk kebijakan
atau kesepakatan antarnegara. Kedua,
posisi negara yang menempatkan diri
sebagai anggota ASEAN yang meng-
hasilkan kebijakan domestik dalam
berbagai sektor.
Dalam hal ini, artikel ini akan me
ngesampingkan perbincangan menge
nai bagaimana penerapan lapangan
atas kebijakan-kebijakan tersebut;
melainkan akan lebih fokus secara
konseptual, di mana negara anggota
menerima posisinya sebagai anggo-
ta dan menerima pengaruh lembaga
supranasional tersebut dengan pro-
duk-produk kebijakannya dan tindakan
politis berkaitan dengan diplomasinya.
Association of South-East Asia Na-
tions (ASEAN) didirikan pada 8 Agus-
tus 1967 dengan anggota pertamanya
Indonesia (diwakili Adam Malik), Ma-
laysia (Tun Abdul Razak), Filipina (Nar-
cisco Ramos), Singapura (S. Rajarat-
nam), dan Thailand (Thanat Koman).
Pertemuan pertamanya melahirkan
Deklarasi Bangkok, dengan tujuan
peningkatan pertumbuhan ekonomi,
sosial, kebudayaan, perdamaian, dan
stabilitas negara anggota. Anggota
berikutnya adalah Brunei Darussalam
(resmi terdaftar pada 7 Januari 1984),
Vietnam (28 Juli 1995), Myanmar (23
Juli 1997), Laos (23 Juli 1997), dan
Kamboja (16 Desember 1998) yang
menyusul bergabung.
Prinsip-prinsip utama ASEAN da-
lam pembentukannya mencakup be-
berapa hal, antara lain: Menghormati
kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan,
integritas wilayah nasional, dan iden-
titas nasional setiap negara; Hak un-
tuk setiap negara untuk memimpin
kehadiran nasional bebas daripada
campur tangan, subversif atau koersi
pihak luar; Tidak mencampuri urusan
domestik sesama negara anggota;
Penyelesaian perbedaan atau perde-
batan dengan damai; Menolak peng-
gunaan kekuatan yang mematikan;
dan Kerjasama efektif antara anggota.
Pembentukan ASEAN yang di atas
kertas mencoba menjalankan fungsi
koordinatif, bagaimanapun menjadi
bentuk dari regionalisme dalam ka-
wasan Asia Tenggara. Regionalisme
di Asia Tenggara yang mendapat-
kan bentuknya melalui ASEAN pada
1967 berawal dari kekhawatiran ne
gara-negara di kawasan ini menge-
nai isu stabilitas: ini adalah periode
awal negara yang baru merdeka saat
itu. Regionalisme ini juga —langsung
maupun tidak langsung— dipengaruhi
kondisi Perang Dingin yang sedang
terjadi.
Apa yang terjadi saat itu adalah
adanya pengaruh bipolar dan adanya
kepentingan Indonesia untuk tidak
merapat kepada satu poros politik du
nia (blok Barat dengan pasukan sekutu
dan NATO, dan blok Komunis dengan
Uni Soviet dan aliansinya). Perang Di
ngin sendiri berlangsung sejak pasca
Perang Dunia II (PD II) antara periode
1947-1991.
Uni Soviet dengan negara-negara
di kawasan Eropa Timur yang didudu
2 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
8. kinya membentuk Blok Timur. Di sisi
lain, agenda pembangunan Amerika
Serikat (AS) pasca PD II di kawasan
Eropa Barat membawa Rencana Mar-
shall (Marshall Plan); sedangkan Blok
Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet
membentuk agenda Council of Mutual
Economic Assistance (Comecon) yang
berkegiatan pada sekitaran periode
Perang Dingin 1949-1991. Kubu AS
membentuk aliansi militer NATO pada
1949 dan Uni Soviet membentuk Pakta
Warsawa pada 1955. Beberapa negara
lain yang memilih untuk tidak memi-
hak kedua blok tersebut membentuk
Gerakan Non-Blok.
Perang Dingin berpengaruh ter-
hadap adanya konsep regional-
isme pada periode tersebut. Negara
baru dan negara yang memilih tidak
memihak, tidak bisa berdiri sendiri.
Gerakan Non-Blok adalah cara me
reka menempatkan diri (positioning)
sekaligus pengamanan politik dan
diplomasinya. Hal yang kurang-lebih
sama terjadi pada sebab-sebab mun-
culnya regionalisme Asia Tenggara
ini. Isu konflik dan keamanan nega
ra-negara berkembang muncul se-
bagai pertimbangan. Memang aliansi
di bawah kedua blok tersebut bukan
negara-negara yang memiliki pengala-
man dalam aksi militer untuk perang
lapangan. Namun, ketegangan muncul
sebab masing-masing kubu memiliki
senjata nuklir sebagai potensi perang
dengan kehancuran yang besar.
Periode selanjutnya pada saat
Perang Dingin berlangsung menyebab-
kan adanya krisis di berbagai negara,
misalnya konflik militer regional dalam
Blokade Berlin (1948-1949), Perang
Korea (1950-1953), Krisis Suez (1956),
Krisis Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba
(1962), Perang Vietnam (1959-1975),
Perang Yom Kippur (1973), Perang Af-
ghanistan (1979-1989), dan peristiwa
penembakan penerbangan Korean Air
007 oleh Soviet (pada 1983).
Di lapangan, ketidakstabilan tidak
hanya terjadi akibat adanya ketegang
an antarblok. Ketidakstabilan dalam
negeri mengakibatkan pula jatuhnya
banyak korban dan kerugian ekonomi
negara. Penolakan terhadap peme
rintahan berkuasa, aksi demonstra-
si, hingga upaya-upaya menjatuhkan
rezim menjadi rangkaian gerakan yang
muncul pada periode ini.1
Kemunculan Perang Dingin itu
sendiri ditandai dengan perubahan
drastis dalam budaya politik di bebe
rapa negara, tidak terkecuali negara
besar seperti AS. Dalam politik luar
negeri—yang begitu mempengaruhi
perspektif masyarakat AS di dalam
negeri—terlahir persepsi paranoid
terhadap komunisme sebagai musuh
yang kejam yang berniat untuk men-
dominasi dunia.2
Beberapa fenomena
dalam negeri akibat Perang Dingin
seperti suasana ancaman, proyek in-
vestigasi, tes kesetiaan, dan kebijakan
anti-subversi muncul sebagai respon
pemerintah negara-negara yang terli-
bat dalam ketegangan tersebut.
Dengan adanya perubahan kons
telasi politik internasional dan kondi-
1. Lihat Philip G. Altbach (Ed.), Politik dan Ma-
hasiswa, terj. (Jakarta: PT Gramedia, 1995).
Dalam buku ini terdapat beberapa tulisan
mengenai gerakan mahasiswa dan sosial di
beberapa negara yang melakukan tuntutan
perubahan kebijakan pemerintahan hingga
aksi radikal dalam penolakan pemerintahan.
2. Ori Landau, “Cold War Political Culture and
the Return of the Systems Rationality”,
dalam Human Relations 59.5 (May, 2006);
G.M. Lyons, The Uneasy Partnership: Social
Science and the Federal Government in
the Twentieth Century (New York: Russell
Sage Foundation, 1969); R. Polenberg, One
Nation Divisible (Harmondsworth: Penguin,
1980); P. Boyer, By the Bomb’s Early Light
(New York: Pantheon Books, 1985); J.P. Dig-
gins, The Proud Decades (New York: W.W.
Norton, 1988); S.J. Whitfield, The Culture of
the Cold War (Baltimore, MD: Johns Hopkins
University Press, 1991).
3JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
9. si konflik tersebut, beberapa bentuk
regionalisme yang terbentuk berawal
dari sebab-sebab ketidakstabilan glo
bal yang dikhawatirkan akan berpe
ngaruh dalam kestabilan domestik.
Paling tidak terdapat tiga faktor yang
menjadi sebab terjadinya regionalisme
di kawasan Asia Tenggara.
Pertama, adanya kesamaan kondi-
si negara-negara di kawasan ini yang
mayoritas adalah negara baru pas-
ca-kolonialisme. Pada kurun waktu
di sekitar PD II yang mengakibatkan
banyak negara kolonial mengalami
ketidakstabilan, banyak negara jajah-
an memerdekakan diri.
Kedua, kesamaan bahwa nega-
ra-negara di kawasan ini bukan men-
jadi sentrum penyebar ideologi, me-
lainkan lebih sebagai arena perebutan
pengaruh ideologi. Secara umum, be-
berapa negara memilih menjauh dari
blok komunis. Terutama Indonesia se-
bagai salah satu inisiator yang memi-
liki sejarah yang menempatkan Par-
tai Komunis Indonesia (PKI) sebagai
pihak yang dikambinghitamkan pada
Peristiwa G30S 1965. Paling tidak,
lima negara pendiri ASEAN pertama
merupakan negara yang menjauh dari
blok komunis.
Ketiga, persamaan kondisi bahwa
negara-negara di kawasan Asia Teng-
gara relatif memiliki persamaan etnis.
Walau demikian, alasan pertama dan
terutama alasan kedualah yang men-
jadi sebab ide regionalisme ASEAN
dilaksanakan di Asia Tenggara.
C. POLITIK GLOBAL TERHADAP
REGIONALISME
Pada periode awal terbentuknya
ASEAN, gagasan mengenai kestabilan
di tengah kondisi Perang Dingin dan
ide tentang persamaan etnisitas cukup
kuat. Namun, dengan semakin berku-
rangnya ketegangan kondisi Perang
Dingin dan rangkaian protes sosial di
dalam negeri, isu kerjasama ekonomi
mulai dijadikan pertimbangan dalam
regionalisme. Tahun 1980-an adalah
masa di mana proyek regionalisme di-
pandang dengan kekurangpercayaan
publik dengan fungsi hanya sebagai
“penjaga keamanan” di satu wilayah
kawasan.
Doktrin Washington Consensus oleh
Ronald Wilson Reagan (Presiden AS
1981-1989) dan Margaret Tatcher (PM
Britania Raya 1979-1990) membuat
konsep regionalisme lama ditinggal-
kan.3
Hal ini ditandai dengan hancur
nya Pakta Warsawa dan melemah
nya NATO. “Regionalisme lama” yang
dilandasi pada keamanan regional
pada kondisi Perang Dingin, beralih
menjadi “regionalisme baru” yang le
bih bertolak pada hubungan diplomasi
dalam kepentingan ekonomi.
Beralihnya “regionalisme lama”
pada “regionalisme baru” ini sendiri
memiliki proses yang tidak sederha-
na. Di awal dekade 1980-an, banyak
negara berkembang mengalami kri-
sis ekonomi sebab faktor eksternal
3. Washington Consensus pertama kali diperke-
nalkan oleh John Williams pada 1989 yang
menjelaskan mengenai kebijakan ekonomi
yang perlu dijadikan standar reforma-
si di negara berkembang. Rekomendasi
Washington Consensus tersebut antara lain
adalah: 1) Disiplin anggaran pemerintah; 2)
Pengarahan pengeluaran pemerintah dari
subsidi ke belanja sektor publik, terutama
di sektor pendidikan, infrastruktur, dan
kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan
dan pelayanan masyarakat kelas menengah
ke bawah; 3) Reformasi pajak, dengan
memperluas basis pemungutan pajak;
4) Tingkat bunga yang ditentukan pasar
dan harus dijaga positif secara riil; 5) Nilai
tukar yang kompetitif; 6) Liberalisasi pasar
dengan menghapus restriksi kuantitatif;
7) Penerapan perlakuan yang sama antara
investasi asing dan investasi domestik se-
bagai insentif untuk menarik investasi asing
langsung; 8) Privatisasi BUMN; 9) Deregulasi
untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku
ekonomi baru dan mendorong pasar agar
lebih kompetitif; dan 10) Keamanan legal
bagi hak kepemilikan
4 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
10. (kondisi global) dan internal (keku-
rangan modal). Hal ini mengakibat-
kan adanya tren utang luar negeri
yang meningkat pada negara-negara
baru. Negara-negara di Amerika La
tin, Asia, dan Afrika melakukan respon
krisis dengan mengubah kebijakan
domestik secara struktural: dari sen-
tralisasi menjadi desentralisasi. Dalam
pengaruh wacana global, tren desen-
tralisasi semacam ini dapat memiliki
kaitan dengan konsep yang diusung
Washington Consensus, misalnya pada
kebijakan substitusi impor, pembukaan
kran mekanisme pasar, dan liberalisasi
aset negara.
Berakhirnya Perang Dingin memun
culkan berbagai bentuk regionalisme
di berbagai kawasan. Penerimaan
Vietnam, Kamboja, dan Laos sebagai
anggota baru ASEAN meskipun nega
ra-negara tersebut memiliki kedeka-
tan dengan komunisme adalah bukti
bahwa “regionalisme lama” ASEAN
telah ditinggalkan, dan beralih pada
kepentingan ekonomi. Pembentukan
ASEAN Economic Community 2015
(yang kemudian direvisi targetnya
menjadi tahun 2015 dalam AEC Blue-
print 2025) yang bertumpu pada tiga
konsep besar (keamanan, ekonomi,
dan sosial-budaya) menyisakan sek-
tor ekonomi menjadi fokus riil dalam
agenda-agendanya.
Di awal terbentuknya ASEAN, fokus
pembahasan berada dalam isu poli-
tik dan stabilitas keamanan dengan
pendekatan “ASEAN Way”, memben-
tuk identitas bersama sebagai dasar
pemecahan masalah antarnegara ASE-
AN. Beberapa perjanjian yang kemu-
dian muncul dan diterapkan seperti
Zone of Peace, Freedom, and Neutrali-
ty (ZOPFAN) pada 1971, Treaty of Ami-
ty and Cooperation (TAC) yang dikenal
sebagai Bali Concord I adalah bentuk
kebijakan dari ide “regionalisme lama”
ASEAN.
Deklarasi ZOPFAN ditandatangani
pada 27 November 1971 sebagai ke
sepakatan ASEAN sebagai kawasan
damai dan netral menggagas adanya
pembentukan Southeast Asia Nuclear
Weapon Free Zone (SEANWFZ) un-
tuk “mengamankan” wilayah ASEAN
dari adanya nuklir. Pada 29 Juli 2007
akhirnya ASEAN bersepakat untuk
mengadopsi gagasan SEANWFZ untuk
pembentukan kawasan bebas nuklir.
Protokol ini juga terbuka bagi pena
ndatanganan oleh RRC, Perancis, Ru-
sia, Inggris, dan AS.
Walaupun kemudian alasan-alasan
“regionalisme lama” ASEAN seperti
kekhawatiran terhadap perang dunia
dan rangkaian protes pada Perang
Dingin telah usai, pada kenyataannya
banyak kesepakatan yang dilakukan
ASEAN merupakan pengaruh dari tun-
tutan tren negara maju. Terlebih per-
soalan ekonomi, reformasi kebijakan
negara adalah salah satu fokus yang
pada akhirnya menjadi perhatian dari
perjanjian-perjanjian yang melibatkan
negara-negara anggota ASEAN.
Kontradiksinya adalah, ASEAN Way
merupakan manifestasi dari regiona
lisme gaya lama yang mencoba mem-
buat demarkasi identitas dengan poros
kekuatan global lain. Perjanjian yang
telah disebut di atas pada kenyataan-
nya lebih memunculkan perdebatan
konseptual daripada menyelesaikan
masalah lintasnegara ASEAN. Lebih
jauh, ASEAN Way yang dibentuk se-
bagai penyadaran identitas bersama
(collective identity recognition) ti-
dak mampu memunculkan implikasi
ekonomi-politik dalam dunia global.
Perjanjian ekonomi dan investasi asing
yang masuk ke kawasan ASEAN ma-
sih berupa aktivitas yang tidak mem-
bentuk industrialisasi dan perputaran
modal dalam lingkup regional ini.
Krisis ekonomi Asia pada 1997/1998
memberikan pengaruh langsung pada
5JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
11. ASEAN, dengan fokus kerjasama an-
tara negara anggota pada peningka-
tan “competitiveness” kawasan untuk
menarik investasi. Pada 1972, ASEAN
membentuk Preferential Trade Agree-
ment (PTA) yang mengalami kegaga-
lan.4
Dengan adanya krisis ekonomi
Asia tahun 1997/1998, peran organi-
sasi internasional seperti International
Monetary Fund (IMF) menguat dalam
kaitannya dengan organisasi regional.
ASEAN menarik IMF untuk percepa-
tan perbaikan ekonomi, yang pada
akhirnya berimplikasi pada perubahan
model integrasi ASEAN. Pembentu-
kan ASEAN plus 3 (APT) dan ASEAN
Vision 2020 adalah reaksi atas krisis.
Pelaksanaan berikutnya adalah penan-
datanganan Hanoi Plan of Action yang
berjalan selama enam tahun sebagai
rangkaian ASEAN Vision 2020 terse-
but.
Kegiatan ASEAN dikoordinasikan
oleh Sekretariat ASEAN, yang ber-
basis di Jakarta, Indonesia. Pada
perkembangannya, para pemimpin
ASEAN mengatakan bahwa AEC berni-
at melakukan integrasi populasi lebih
dari 566 juta penduduk dan produk
domestik bruto lebih dari 1,1 triliun
dolar AS. Landasan AEC adalah ASEAN
di Area Perdagangan Bebas (ASEAN
Free Trade Area/AFTA) yang merupa-
kan skema tarif umum eksternal pre
ferensial untuk mempromosikan aliran
bebas barang dalam ASEAN.5
Un-
4. Lihat Gerald Tan, ASEAN Economic Devel-
opment and Cooperation (Singapore: Times
Media Pvt., Ltd., 2003).
5. Kesepakatan AEC ditandatangani pada No-
vember 2007 dengan tujuan adanya sebuah
pasar tunggal, tetapi hal ini terkendala
persoalan ketiadaan eksekutif pusat yang
kuat atau badan yang berkembang dengan
hukum. Namun demikian, oleh Suppanunta
Romprasert, hal ini disebutkan sebagai kega-
galan untuk mengintegrasikan pasar ASEAN
beragam berarti hilangnya investasi dan
peluang ekonomi untuk pesaing regional,
seperti China dan India. Sebagai dampak
sur-unsur lain dari integrasi ekonomi,
seperti arus bebas investasi dan jasa
dan penghapusan hambatan non-tarif
telah ditambahkan.6
Menarik untuk mencermati bagai
mana dampak lanjutan adanya AEC
bagi negara-negara anggota ASEAN.
Dalam tulisan Romprasert mengenai
keberlanjutan ekonomi makro ne
gara ASEAN, dikatakan bahwa ketika
AEC diaktifkan, Thailand dan anggota
ASEAN lainnya akan menghadapi pe-
rubahan besar dalam keuntungan dan
kerugian. Thailand sendiri merupakan
salah satu negara pengekspor besar
di dunia. Dalam hal ini, ekspor dijadi
kan ukuran untuk melihat pengaruh
perubahan kondisi makro ekonomi di
sebuah negara. Disebut bahwa kese-
pakatan AEC yang diturunkan dalam
bentuk kebijakan ekonomi pemerintah
Thailand menimbulkan peningkatan
nilai pendapatan domestik bruto (PDB)
dan ekspor. Di samping itu, laporan
menunjukkan AEC memiliki pengaruh
dalam penurunan tingkat penganggu-
ran di Thailand.7
Hampir seperti European identi-
ty pada regionalisme Uni Eropa (UE),
ASEAN Way menjadi semacam satu
kode formal dalam mengarahkan kese
pakatan-kesepakatan negara anggota
ASEAN dalam kebijakan yang akan
dilakukan. Dengan adanya latar be-
lakang pembentukan ASEAN yang le
bih pada landasan diplomasi tersebut,
dari pembentukan AEC telah meningkatkan
ekspor, yang merupakan faktor yang paling
penting yang berkontribusi terhadap PDB,
dan kemudian dihubungkan bersama-sama
dengan variabel ekonomi makro lainnya
seperti tingkat pengangguran, nilai tukar riil.
Lihat Suppanunta Romprasert, “Asian Eco-
nomic Community with Selected Macroeco-
nomic Variables for Exports Sustainability”,
dalam International Journal of Economics
and Financial Issues, Vol. 3, No. 3/2013.
6. ASEAN Annual Report 2008-2009 (2009).
7. Romprasert (2013).
6 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
12. kebijakan yang diadakan kurang ber-
dasar pada kepentingan dasar negara
anggota.8
Perbedaan antara UE de
ngan ASEAN dalam regionalisme pada
persoalan ini memang jelas. Seperti,
bahwa UE menerapkan regionalisme
institusional dan ASEAN lebih dalam
bentuk yang cair. Sifat kebijakan ASE-
ANsecara organisasional masih lebih
cenderung sebagai reaksi atas kondisi
global.
UE secara kelembagaan memiliki
pengaruh yang relatif mengikat dalam
kebijakan di kawasan Eropa. Hal ini
karena sifat dari lembaga, yang ter-
utama bergerak dalam kepentingan
ekonomi-politik. Beberapa hal dapat
menjelaskan perbedaan model antara
ASEAN dan UE.
Pertama, UE memiliki negara de
ngan kekuatan ekonomi yang dapat
mempengaruhi ekonomi internasional,
sedangkan ASEAN merupakan organi
sasi dengan anggota negara-negara
baru yang terpengaruh global.
Kedua, pembentukan UE awalnya
adalah motif ekonomi, yaitu kebutu-
han adanya otoritas administrasi ber-
sama untuk mengurus industri batu
bara dan baja yang dimiliki Perancis
dan Jerman. Pada perkembangan
nya, negara yang bergabung adalah
negara dengan kepentingan ekonomi
yang relatif sama. Pada “peresmian”
organisasi UE, negara-negara ber-
gabung untuk kepentingan ekonomi di
mana forum ekonomi yang telah ada
sebelumnya semakin menguat dalam
diplomasi. Sedangkan, ASEAN diben-
tuk dengan kepentingan taktis (jangka
pendek dan reaktif) dengan adanya
ketegangan dua blok negara besar
saat itu.
8. Lihat tulisan Gillian Goh, “The ‘ASEAN Way’:
Non Intervension and ASEAN’s Role in Con-
flict Management”, dalam Stanford Journal
of East Asian Affairs, Vol. 3, No. 1 (2003).
Ketiga, hal yang sekaligus menjadi
kelemahan ASEAN adalah adanya visi
yang mengasumsikan bahwa ASEAN
dapat bergerak dalam sektor kebu-
dayaan dengan melihat persamaan
relatif kebudayaan negara-negara
anggota. Dalam hal ini mungkin per-
samaan akan dapat ditemukan secara
parsial.9
Namun, dalam konteks regio
nalisme, hal ini menjadi masalah kare-
na kebudayaan yang dimiliki antarne
gara berbeda. Belum lagi bahwa selain
persoalan perbedaan kebudayaan,10
visi ASEAN sebagai organisasi regional
yang mengusung tema kebudayaan
akan sulit menemukan indikator pen-
capaian dalam kegiatan integrasi bu-
daya ini.
D. KEPUBLIKAN DIPLOMASI DA
LAM KEBIJAKAN NASIONAL
Seperti yang telah dijelaskan, dalam
perkembangan ASEAN, perjanjian dan
kesepakatan yang dilakukan dalam
forum regional tersebut telah dapat
mempengaruhi munculnya kebijakan
domestik, bahkan beberapa telah
mempengaruhi pola kebijakan domes-
tik. Dalam konteks Indonesia sendiri,
terdapat beberapa kebijakan menarik
terkait dengan pengaruh diplomasi
negara-negara di kawasan Asia Teng-
gara—yang pada perkembangannya
sangat mempengaruhi pembangunan
Indonesia hingga hari ini.
Salah satu contohnya adalah ke-
bijakan yang melibatkan beberapa
negara dalam program Revolusi Hijau.
Program ini menggambarkan peruba-
han yang sangat fundamental dalam
penggunaan teknologi pertanian yang
dimulai pada 1950-an hingga 1980-
an. Program ini diterapkan di banyak
9. Oleh karena itu, saya menyebut dengan
“persamaan relatif” (dalam tanda kutip).
10. Lihat Shaun Narine, Explaining ASEAN: Re-
gionalism in Southeast Asia (London: Lynne
Rienner Publishers Inc., 2002).
7JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
13. negara berkembang, terutama di Asia
sebagai daerah dengan pertanian
yang masih dilakukan sebagai peker-
jaan mayoritas penduduk dengan cara
tradisional. Target program ini adalah
kecukupan bahan pangan di nega-
ra-negara yang mengalami kekurang
an pangan, seperti di Bangladesh,
Cina, Vietnam, India, Indonesia, dan
beberapa negara lain.
Revolusi Hijau sendiri pada akhirnya
menjadi program paradigmatik, de
ngan perubahan pola pikir dan pola
kebijakan pemerintah terkait dengan
pertanian melalui empat pilarnya, ya
itu: sistem irigasi, penggunaan pupuk
kimia, pestisida, dan varietas unggu-
lan. Program ini diinisiasi oleh dua or-
ganisasi donor internasional, Ford dan
Rockefeller Foundation. Kedua organi
sasi ini pun telah mengembangkan
gandum di Meksiko (pada 1950) dan
padi di Filipina (1960). Istilah Revolu-
si Hijau digunakan pertama kali pada
1968 oleh mantan direktur USAID, Wil-
liam Gaud, yang menggunakan kon-
sep ini sebagai instrumen kebijakan
multinasional. Walaupun tidak secara
langsung dilakukan kerjasama atas
nama perjanjian institusional melalui
ASEAN, pada kenyataannya Revolusi
Hijau merupakan program yang diikuti
Indonesia oleh karena pengaruh diplo-
masi dan kondisi ekonomi-politik yang
mengharuskan pemerintah Indonesia
mengikutinya.
Hal yang menarik di sini adalah
penerapan Revolusi Hijau yang mulai
dilakukan pada pemerintahan Presiden
Soeharto. Rezim Orde Lama ini mene
rapkan konsep “Pembangunanisme”
dalam sistem kebijakannya. Pada ta-
hun 1984-1989, Indonesia mencapai
swasembada beras. Namun, terdapat
fakta bahwa Revolusi Hijau ini tidak
kompatibel diterapkan sebagai kebi-
jakan pertanian di Indonesia. Alih-
alih membawa dampak positif dan
berkelanjutan, Revolusi Hijau justru
membawa pengaruh yang tidak me-
nguntungkan secara jangka panjang.
Adanya kedekatan pemerintahan
Soeharto dengan Barat mengarahkan
kebijakan ke arah akomodasi modal
asing, berikut dengan beberapa ke-
bijakan struktural yang turut berubah
mengikuti adanya kekuatan modal
tersebut.11
Hal ini menjadi persoalan
yang lebih kompleks mengingat bahwa
pada latar belakang sejarah ASEAN, In-
donesia menempatkan diri pada posisi
depan sebagai inisiator. Tercatat bah-
wa dampak negatif yang justru terjadi
berkelanjutan dengan adanya Revolusi
Hijau adalah: 1) penurunan produksi
pangan protein, karena pengembang
an pangan karbohidrat tidak diimbangi
dengan penguatan pangan ternak; 2)
berkurangnya keanekaragaman haya-
ti dengan drastis dengan adanya ke-
harusan penggunaaan bibit yang te
lah disepakati; 3) ketidakseimbangan
alam dengan pemakaian pupuk kimia;
dan 4) munculnya hama jenis baru
dengan pemakaian pestisida.
Dampak lanjutan setelahnya, justru
menjadi persoalan struktural dalam
negeri yang rumit untuk dipecahkan.
Dengan penerapan kebijakan paradig-
matik adanya Revolusi Hijau ini, masa
pemerintahan Presiden Soeharto lebih
tampak sebagai penyeragaman bahan
pangan pokok (beras) di seluruh In-
donesia. Hasilnya, kebutuhan pangan
pokok yang sebelumnya tidak menja-
di masalah karena beragamnya tradisi
terkait pertanian dan penyediaan pa
ngan lokal, berubah menjadi kebutu-
11. Untuk lebih jelas melihat hubungan an-
tara modal asing yang masuk dan pen-
garuhnya pada pola kebijakan dan aspek
ekonomi-politik Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto, lihat Jefrey
A. Winters, Power in Motion: Capital Mobility
and the Indonesian State (AS: Cornell Uni-
versity Press, 1996).
8 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
14. han akan satu jenis pangan meningkat.
Ujungnya, pasca program pendampi
ngan dan donasi Revolusi Hijau, terjadi
kekurangan bahan pangan dan impor
bahan pangan pokok di Indonesia.
Dapat dilihat bahwa pola kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah In-
donesia lebih cenderung sebagai reak-
si terhadap kepentingan-kepentingan
negara lain yang diinstitusionalkan
sebagai kesepakatan regional mau-
pun kondisi global. Hal ini lebih terlihat
pasca pemerintahan Presiden Soekar-
no berakhir dan digantikan dengan
Presiden Soeharto yang memilih un-
tuk mendekatkan diri pada blok Barat.
Implikasinya, mekanisme pasar adalah
pilihan kebijakan yang lebih banyak
digunakan oleh pemerintah, terma-
suk dengan adanya regionalisme yang
mulai menguat sebagai representasi
kepentingan ekonomi melalui ASEAN.
Dalam konteks program Revolu-
si Hijau, pola pembangunan dengan
gaya pendampingan pada akhirnya
berkembang hingga sekarang. Adanya
beberapa program yang coba diterap-
kan belakangan ini merupakan model
yang dilakukan sejak adanya keterbu-
kaan pemerintah Indonesia pada lem-
baga donor yang mengajukan skema
pendampingan tersebut.
Masih terdapat beberapa kesepa-
katan yang melibatkan ASEAN secara
institusional dalam kebijakan domes-
tik secara langsung. Hal ini memang
kemudian dapat dipahami dalam per-
soalan bagaimana menjalin hubung
an antarnegara (diplomasi). Namun,
diplomasi yang dibangun pemerintah
Indonesia agaknya mengarah pada
pengaruh eksternal (luar negeri) yang
dibawa ke dalam. Menarik jika melihat
tesis Rajesh Kumar bahwa diplomasi
yang dilakukan Indonesia merupa-
kan partisipasi aktif dan mandiri dari
kepentingan nasional Indonesia yang
terwujud sebagai politik non-blok.12
Namun, hal yang lebih tampak pada
akhirnya adalah pengaruh kepenti
ngan dari negara-negara maju dengan
paradigma yang disebarkan melalui
instrumen kebijakan pendampingan
dan program penyesuaian struktural-
nya. ASEAN sendiri, jika dilihat dalam
struktur besar ekonomi-politik ini, me
rupakan hasil dari konstelasi yang ter-
bentuk dari kepentingan negara ma-
ju.13
Perubahan paradigma pembangu
nan yang tampak pada pola kebi-
jakan pemerintah Indonesia, dapat
ditelusuri dengan pilihan konsep
Pembangunanisme yang diterapkan
pemerintahan Soeharto dengan meli-
hat Barat sebagai model ideal tujuan
pembangunan, yang secara mendasar
terkait dengan aspek ekonomi. Dalam
konteks ASEAN, hal ini membawa pe
ngaruh langsung secara diplomasi
dengan paradigma “good neighbour-
hood policy” (kebijakan yang mewa-
jahkan negara tetangga yang baik).
Melihat beberapa perjanjian melalui
ASEAN, ZOPFAN dan SEANWFZ misal-
nya, lebih tampak sebagai bentuk dari
model diplomasi good neighbourhood
policy dengan tidak adanya program
12. Pendapat Kumar tentang diplomasi Indone-
sia ini dapat dilihat dalam bukunya, dalam
Rajesh Kumar, Non-Alignment Policy of
Indonesia (Jakarta: Centre for Strategic and
International Studies, 1997).
13. Terdapat artikel mengenai kontestasi antara
AS dan Cina dalam kawasan Asia Pasifik
melalui adanya perdagangan bebas. Dalam
artikel yang berfokus pada bagaimana AS
dan Cina melakukan persaingan dalam
mendapatkan pengaruh pada kerjasama
perdangangan tersebut, dapat dilihat bahwa
ASEAN merupakan satu bagian yang kurang
memiliki pengaruh aktif dalam kontrol dan
pengarahan perdagangan bebas antar-
negara. Lihat Ling Ling He dan Razeen
Sappideen, “Free Trade Agreements and
the US-China-Australia Relationship in the
Asia-Pacific Region”, dalam Asia Pacific Law
Review 21.1 (2013).
9JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
15. lebih lanjut yang konkrit. Dalam kon-
teks kebutuhan publik, ZOPFAN (dite
rapkan ASEAN pada 1971) dan SE-
ANWFZ (yang dikenalkan Indonesia
pada 1983) bukan merupakan cermi-
nan dari kebutuhan publik Indonesia
saat itu. Situasi krisis ekonomi dengan
tergesernya pembangunan ekonomi
riil non-migas pada periode tersebut
justru lebih mengharuskan Indonesia
melakukan proteksi pada produk da-
lam negeri dan menerapkan proteksi
pada produk luar negeri. Pembentu-
kan AFTA, normalisasi hubungan In-
donesia-Cina, dan aktivitas Indonesia
dalam OPEC (Organization of the Pe-
troleum Exporting Countries) adalah
beberapa kebijakan diplomatis paling
penting pada masa Presiden Soeharto.
Sedangkan, pasca Reformasi, kebija-
kan-kebijakan seperti Millenium De-
velopment Goals (MDG’s) dan Protokol
Kyoto menjadi kesepakatan antarne
gara yang sangat mempengaruhi kebi-
jakan nasional Indonesia.
Dalam hal ini, menarik dilihat bah-
wa konsep kepublikan yang masuk
dari luar justru lebih mendominasi
paradigma kebijakan nasional yang
seharusnya lebih berdasarkan pada
kepentingan dan kebutuhan nasional
Indonesia. Secara konseptual, kepu
blikan sendiri merupakan kajian yang
terus berkembang. Dalam perdebatan
akademis di lingkungan kampus, ke-
publikan masih menjadi hal yang be-
lum disepakati pemaknaannya. Perta
ma, apakah kepublikan merupakan
konsep yang lebih terkait pada per-
soalan manajemen dan partisipasi
warga.14
Atau, Kedua, persoalan aktor
14. Beberapa artikel mengenai kepublikan dalam
perspektif manajemen diutarakan, misalnya
pada Jocelyne Bourgon, “Responsive, Re-
sponsible, and Respected Government: To-
wards a New Public Administration Theory”,
dalam International Review of Administrative
Sciences 2007; 73; 7; Sanjay K. Pandey,
(apakah kepublikan berurusan dengan
siapa aktornya, negara atau swasta).15
Namun, agaknya dua perspektif
tersebut belum cukup kontekstual
dalam menjelaskan kondisi Indonesia
dalam hal kepentingan nasionalnya
pada struktur besar ekonomi-politik
dunia. Dalam pengaruh regionalisme,
misalnya, “kepublikan nasional” belum
dapat menemukan bentuknya.
E. KOMPATIBILITAS STRUKTUR
EKONOMI-POLITIK INDONE-
SIA DALAM REGIONALISME
ASEAN
Secara normatif, AEC Blueprint
2025 menjadi komitmen terlembaga
yang berawal dari KTT ASEAN ke-27
pada 22 November 2015 di Kuala Lum-
pur, Malaysia, memberikan arah yang
luas melalui langkah-langkah strategis
untuk AEC dari tahun 2016 ke tahun
2025. Melalui komitmen antarnega-
ra ini, AEC Blueprint 2025 bertujuan
untuk mencapai sistem yang integrasi
dan terpadu, kompetitif, inovatif, dina-
mis, dan konektivitas kerjasama sek-
toral untuk visi persaingan global.
AEC membayangkan bahwa melalui
langkah deregulasi dan peniadaan
kuota serta hambatan-hambatan per-
dagangan regional, maka anggotanya
akan meningkat kapasitasnya dalam
persaingan ekonomi global. Memang,
“Cutback Management and the Paradox of
Publicness”, dalam Public Administration
Review (Jul/Aug, 2010); dan Udo Pesch,
“Publicness of Pubic Administration”, dalam
Administration & Society, Vol. 40,2 (2008).
15. 15 Lihat M. Shamsul Haque, “The Diminish-
ing Publicness of Public Service under the
Current Mode of Government”, dalam Public
Administration Review (Jan/Feb, 2001);
Jonathan G.S. Koppell, “Administration With-
out Borders”, dalam Public Administration
Review (December 2010); dan Stephanie
Moulton, “Putting Together the Publicness
Puzzle a Framework for Realized Publicness”,
dalam Public Administration Review (Sept/
Oct, 2009).
10 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
16. Tabel 1.
Perkembangan Penerapan Integrasi Ekonomi di ASEAN menurut Sektor *
Tariffs Non-tariff Measures Trade Procedures Services
Tariffed
goods
Tariffed
amount
Standards
regulations
Other
non-tariff
measures **
Single
window
status
Single
window
trade
Customs Trade
speed
Trade
cost
Services
restrictive-
ness
FDI
restrictions
Labor
mobility
Average Lowest
Agriculture-
fisheries
91 88 57 70 71 75 57
Rubber 93 98 98 96 71 82 58
Wood 94 99 96 75 68 80 58
Textiles 96 99 99 73 81 82 58
Auto 94 94 94 39 81 77 39
Electronics 98 99 57 62 81 76 57
Consumer 94 99 60 56 81 76 56
Resources
***
84 93 79 89 70 58 61 85 94 61 78 58
Air travel 71 61 66 61
e-ASEAN
****
60 47 n/a****
54 47
Health care 33 83 10 42 10
Tourism 72 90 30 64 30
Logistics 46 94 70 46
Finance 59 64 62 59
Telecom 60 47 n/a****
54 47
Average 93 96 80 70 70 58 61 85 94 57 72 20 69 20
Sumber: McKinsey Global Institute (2014)
* Berdasar pada perhitungan pada Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan Brunei Darussalam, Kamboja, Lao People’s Democratic Republic,
dan Myanmar tidak termasuk.
** Termasuk biaya administratif, perijinan,. lisensi impor, quantity control, pajak internal, and pembatasan-pembatasan.
*** Termasuk pertambangan dan migas.
**** Kesiapan konektivitas digital, local content, e-commerce, pasar untuk ICT and layanannya, pengembangan skill, and e-governance.
***** Sektor-sektor yang tidak tercakup pada perjanjian atau kesepakatan.
11JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
17. Tabel. 2
Total Arus Masuk FDI ASEAN 2013-2014 Berdasar Komoditas (juta USD)
12
Commodities 2013 2014
Agriculture, forestry, and fishing 2,346.0 4,492.6
Mining and quarrying 8,042.2 7,295.1
Manufacturing 33,342.1 22,215.4
Electricity, gas, steam and air conditioning supply 1,156.8 460.4
Water supply; sewerage and waste management 602.2 98.2
Construction 825.0 1,187.9
Wholesale and retail trade; repair of motor vehicles and cycles 13,946.6 17,055.2
Transportation and storage 2,802.5 2,612.8
Accomodation and food service activities 260.4 158.0
Information and communication 2,196.5 2546.9
Financial and Insurance activities 28,263.7 43,052.2
Real estate activities 9,821.5 10,040.0
Professional, scientific and technical activities 711.8 1,048.3
Administrative and support service activities 294.9 216.7
Education 66.5 61.6
Human health and social work activities 127.7 210.5
Arts, entertainment and recreation 218.8 (47.4)
Other services 9,010.3 19,311.3
Other memorandum 3,692.0 4,165.3
Total 117,687.1 136,181.3
secara tekstual, AEC Blueprint 2025
memiliki komitmen dalam memben-
tuk integrasi “pasar tunggal” dan “ba-
sis produksi tunggal”.16
Namun, pada
kenyataannya, hal yang disebut per-
tama lebih ditekankan dalam aktivitas
AEC, belum pada pembentukan hal
yang kedua.
Fakta bahwa AEC Blueprint 2025
belum seluruhnya kompatibel dengan
struktur ekonomi-politik negara-nega-
ra anggotanya, membuat fungsi dasar
AEC mengalami ketimpangan. Pilar
pertama AEC bertujuan untuk men-
ciptakan pasar dan basis produksi
tunggal dan terdiri dari lima unsur: 1)
aliran bebas barang, 2) aliran bebas
jasa, 3) aliran bebas investasi, 4) ali-
ran bebas modal, dan 5) arus bebas
tenaga kerja terampil. Pilar pertama
tersebut dasarnya merupakan inti dari
AEC, dan ada sejumlah prestasi yang
patut dicatat di bawah pilar ini. Analisis
16 Lihat ASEAN Investment Report 2015;
ASEAN Services Integration Report (2015); dan
ASEAN Integration Report 2015
terbaru oleh McKinsey Global Institute
(MGI, 2014) menunjukkan bahwa ke-
berhasilan di lima unsur tersebut telah
sangat tidak merata.
Selain itu, survei yang dilakukan
oleh MGI mengungkapkan bahwa 38
persen dari perusahaan multinasio
nal yang beroperasi di Asia Tenggara,
prosedur kepabeanannya yang tidak
seragam di seluruh wilayah. Sementa-
ra, lebih dari banyak yang tidak mera-
sakan terciptanya kemajuan dalam
perapian lintas peraturan yang menga
tur komoditas (terutama jasa) yang
diperdagangkan. Survei yang sama
juga mengungkapkan 5 sektor yang
dianggap memiliki tingkat terendah
dari harmonisasi lintas batas ASEAN
adalah: 1) media dan pemasaran, 2)
properti dan konstruksi, 3) komoditas
dan energi, 4) barang konsumsi, dan
5) perawatan kesehatan dan obat-
obatan.17
17. Jayan Menont Anna Cassandra Mellendez,
“Realizing in ASEAN Economic Community:
Progress and Remaining Challenges”, se-
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
18. AEC Blueprint 2025 berdiri dengan
pondasi dalam dua fungsi utama, yaitu
ekonomi ke luar (outwards economic)
dan sekaligus ekonomi ke dalam (in-
wards economic). Keduanya tidak bisa
berjalan sendiri-sendiri, melainkan dua
hal yang harus terkondisikan dalam satu
paket. Regionalisme ASEAN dalam ske-
ma ekonomi AEC berada dalam kerangka
penguatan ekonomi dan meminimalisir
ketimpangan kapasitas ekonomi anta-
ranggotanya (capacity levelling). Dengan
adanya penguatan kapasitas, komitmen
integrasi yang disepakati dalam visi AEC
Blueprint 2025 adalah menyediakan ASE-
AN sebagai kesatuan pasar dan kesatuan
basis produksi. Artinya, rantai ekonomi
global dapat melakukan investasi di ne
gara-negara ASEAN dalam satu kesatu-
an, serta dapat menerima hasil produksi
dari ASEAN dalam satu kesatuan pula.
Mulai pada 2010, ASEAN membuku-
kan perolehan tertinggi input investasi
dari luar (foreign direct investment/FDI)
ASEAN dengan 75,8 milyar USD. Hal ini
dalam disebabkan karena tiga faktor
utama. Pertama, posisi geografis ASE-
AN yang berada pada jalur lintas per
dagangan. Kedua, kondisi bahwa mayo
ritas negara ASEAN merupakan negara
berkembang. Ketiga, ASEAN mendapat
kan keuntungan dari kondisi ekonomi
global dan arah minat modal para inves-
tor. Dengan adanya faktor tersebut, arus
intraregional ASEAN mencapai lebih dari
12 miliar USD untuk pertama kalinya se-
bagai ADB Economics Working Paper Series
No. 432 (May 2015).
jak 1997.
Di ASEAN, belum seluruhnya nega
ra anggota mempersiapkan perce-
patan pembangunan infrastruktur
ekonomi-politiknya dalam perubahan
skema ekonomi regional ini. Menurut
data Bank Dunia, Vietnam dan Myanmar
adalah dua negara yang tergolong dapat
beradaptasi dengan peluang ekonomi
global dan perubahan skema ekonomi
regional ini. Kedua negara tersebut
mengubah kebijakan perekonomian dan
investasinya sebagai bagian dari sistem
global supply chain, dalam industri
pelengkap komponen elektronik dan in-
dustri otomotif. Pada 2015, di Vietnam,
72 persen modal investasi langsungnya
berada dalam sektor manufaktur dan
pengolahan (ASEAN Investment Re-
port, 2015). Dalam struktur regulasi,
perundangan baru tentang investasi di
Vietnam dibentuk pada 2014, yang men-
gatur tentang sektor-sektor yang dibuka
dan didukung dalam investasi asing ma-
suk ke dalam.
Melihat dari jumlah terbesar investasi
masuk ke ASEAN, terdapat tiga komodi-
tas yang menarik jumlah investasi di atas
10 miliar USD, yaitu manufaktur, per-
baikan alat industri, dan kredit/asuran-
si. Namun, jika dilihat, ketiganya bukan
termasuk sebagai komoditas strategis
Indonesia.
Memang, dalam sistem ranking, In-
donesia termasuk menempati posisi atas
di ASEAN diukur dari besaran investasi
asing langsung yang masuk. Namun, jika
dicermati, target investasi masih berada
dalam komoditas yang komposisinya
timpang dan tidak menyebar. Pada sek-
Tabel. 3
Realisasi FDI di Indonesia Berdasar Lokasi (Q3 2015)
Location Quarter 1 Quarter 2 Quarter 3
Project Invest Project Invest Project Invest
Sumatera 417 979,2 525 984,9 461 860,8
Jawa 2.155 3.340,8 3.050 4.318,2 2.858 3.781,
Bali, NTT, NTB 136 184,8 378 413,0 401 407,2
Kalimantan 214 1.205,5 204 962,4 299 1.729,7
Sulawesi 147 506,8 206 284,0 218 194,7
Maluku 30 32,5 33 17,7 20 165,2
Papua 44 313,9 64 392,5 53 261,9
sumber: BPKM 2015
13JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
19. tor sekunder sebagai sektor yang pro-
porsi FDI-nya terbesar, masih dalam ka
tegori industri berat, di mana Indonesia
dijadikan tempat investasi produksi yang
menyasar pemasaran domestik di Indo-
nesia. Sedangkan, sektor tersier yang
paling beragam varian komoditasnya,
masih terpusat pada investasi di bidang
real estate dan properti pendukungnya.
Bidang ini pun lebih pada konsumsi dari
masyarakat domestik Indonesia. Pada
sektor yang diharapkan mampu untuk
tumbuh dan mendatangkan profit bagi
Indonesia, masih terpusat pada per-
tambangan. Artinya, lebih pada industri
ekstraktif yang hasilnya dibawa ke luar
negeri dalam bentuk mentah dengan
nilai ekonomi rendah. Distribusi penana-
man investasi, sebagai salah satu ukuran
paling jelas dalam melihat distribusi in-
frastruktur, di Indonesia masih mengala-
mi pemusatan di Jawa.
Hampir di seluruh aspek yang dijadi
kan fokus pada AEC, Indonesia masih
lemah. IMD World Talent Report 2015
menunjukkan kondisi SDM Indonesia
anjlok dari ke peringkat ke-25 menjadi
ke-41 (dari 61 negara), jauh di bawah Si
ngapura, Malaysia, dan Thailand. Kondisi
infrastruktur belum memenuhi stan-
dar bahkan dalam persaingan regional.
Global Competitiveness Index 2014-
2015 menempatkan kapasitas kompeti-
si Indonesia pada peringkat ke-34 (dari
144 negara) dengan peningkatan yang
lambat.
Dengan kondisi demikian, pemerintah
Indonesia pada berbagai kesempatan
justru merilis kebijakan yang memperli-
hatkan paradigma defensif dalam meres
pon adanya AEC. Peniadaan hambatan
perdagangan dalam skema regionalisme
ini belum mampu disikapi dengan para
digma ekspansif, sebagaimana yang
dilakukan Vietnam dan Myanmar.
F. PENUTUP
Regionalisme dewasa ini merupakan
agenda yang marak diterapkan dalam
kompetisi global terkait sektor ekonomi
dan tren global lain (seperti kemiskinan,
iklim, gender, dan hal lain). ASEAN se-
bagai lembaga regional di kawasan Asia
Tenggara muncul dengan latar belakang
kondisi global Perang Dingin yang mem-
bagi dua blok besar. Indonesia yang se-
cara geopolitik berada di tengah blok,
sedang melakukan transisi pemerintah-
an dan konsekuensi sejarah pasca 1965.
Namun, pada perkembangannya, ASEAN
lebih tampak sebagai forum yang men-
jalankan agenda global, berikut dengan
kesepakatan-kesepakatan di dalamnya
yang merupakan hasil dari inisiatif lem-
baga internasional yang lebih besar se-
cara modal dan pengaruh ekonomi-poli-
tiknya.
Dalam konteks keberadaan regional
isme bagi Indonesia, kecenderungan
yang ada adalah bahwa ASEAN tidak
menjadi wadah untuk menaikkan kepen
tingan domestik Indonesia ke lingkup
Asia Tenggara, melainkan sebaliknya.
Skema yang dilakukan dalam komitmen
AEC misalnya, masih belum menempat-
kan negara anggota dalam basis produk-
si yang berangkai. Selebihnya, memang
masing-masing pemerintah negara ang-
gota (termasuk Indonesia) belum mem-
posisikan diri dalam peran sebagai stake-
holder pada kegiatan ekonomi, terbatas
pada kepentingan diplomasi regional.
DAFTAR PUSTAKA
Altbach, Philip G. (Ed.), 1995. Politik
dan Mahasiswa, terj. Jakarta: PT
Gramedia.
ASEAN. 2015. ASEAN Annual Report
2008-2009 (2009).
_____. 2015. ASEAN Integration Report
2015.
_____. 2015. ASEAN Investment Report
2015.
_____. 2015. ASEAN Services Integra-
tion Report (2015).
Bourgon, Jocelyne. 2007. “Responsive,
Responsible, and Respected Gov-
ernment: Towards a New Public
Administration Theory”, dalam In-
ternational Review of Administra-
tive Sciences 2007; 73; 7.
Boyer, P. 1985. By the Bomb’s Early Light.
New York: Pantheon Books.
14 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
20. Diggins, J.P. 1988. The Proud Decades.
New York: W.W. Norton.
Haque, M. Shamsul. 2001. “The Dimin-
ishing Publicness of Public Service
under the Current Mode of Gov-
ernment”, dalam Public Adminis-
tration Review (Jan/Feb, 2001).
He, Ling Ling SAPPIDEEN, Razeen.
2013. “Free Trade Agreements and
the US-China-Australia Relation-
ship in the Asia-Pacific Region”, da-
lam Asia Pacific Law Review 21.1
(2013).
Koppell, Jonathan G.S. 2010. “Adminis-
tration Without Borders”, dalam
Public Administration Review (De-
cember 2010).
Kumar, Rajesh. 1997. Non-Alignment
Policy of Indonesia. Jakarta: Cen-
tre for Strategic and International
Studies.
Landau, Ori. 2006. “Cold War Political
Culture and the Return of the Sys-
tems Rationality”, dalam Human
Relations 59.5 (May, 2006).
Lee, Ashley. 2015. “Vietnam Builds
Hopes on FDI Reforms”, dalam In-
ternational Financial Law Review
(Jul 14 2015).
Lyons, G.M. 1969. The Uneasy Partner-
ship: Social Science and the Fed-
eral Government in the Twentieth
Century. New York: Russell Sage
Foundation.
Menont, Jayan Mellendez, Anna Cas-
sandra. 2015. “Realizing in ASEAN
Economic Community: Progress
and Remaining Challenges”, dalam
ADB. 2015. ADB Economics Work-
ing Paper Series No. 432 (May
2015).Phillippiness: Asian Devel-
opment Bank.
Moulton, Stephanie. 2009. “Putting To-
gether the Publicness Puzzle a
Framework for Realized Public-
ness”, dalam Public Administration
Review (Sept/Oct, 2009).
Narine, Shaun. 2002. Explaining ASEAN:
Regionalism in Southeast Asia.
London: Lynne Rienner Publishers
Inc.
Pandey, Sanjay K. 2010. “Cutback Man-
agement and the Paradox of Pub-
licness”, dalam Public Administra-
tion Review (Jul/Aug, 2010).
Pesch, Udo. 2008. “Publicness of Pubic
Administration”, dalam Administra-
tion Society, Vol. 40,2 (2008).
Polenberg, R. 1980. One Nation Divisi-
ble. Harmondsworth: Penguin.
Romprasert, Gillian. 2003. “The ‘ASEAN
Way’: Non Intervension and ASE-
AN’s Role in Conflict Management”,
dalam Stanford Journal of East
Asian Affairs, Vol. 3, No. 1 (2003).
Romprasert, Suppanunta. 2013. “Asian
Economic Community with Selected
Macroeconomic Variables for Exports
Sustainability”, dalam International
Journal of Economics and Financial
Issues, Vol. 3, No. 3/2013.
Tan, Gerald. 2003. ASEAN Economic De-
velopment and Cooperation. Singa-
pore: Times Media Pvt., Ltd.
Whitfield, S.J. 1991. The Culture of the
Cold War. Baltimore, MD: Johns Hop-
kins University Press.
Winters, Jefrey A. 1996. Power in Mo-
tion: Capital Mobility and the Indo-
nesian State. AS: Cornell University
Press.
15JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
21. 16 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
REGIONALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBIJAKAN
DOMESTIK NEGARA ANGGOTA:
Bagaimana ASEAN terhadap Indonesia?
Sayfa Auliya Achidsti
22. KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Abstrak:
Hasil kajian dan evaluasi pemekaran daerah yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tujuan
pemekaran masih jauh dari harapan. Regulasi tentang pemekaran daerah selalu berupaya
meningkatkan bobot persyaratan dari waktu ke waktu. Persyaratan pemekaran dalam PP No.
78/2007 lebih berat dibandingkan persyaratan pemekaran yang ada dalam PP No. 129/2000.
Demikian pula, persyaratan yang tertuang dalam UU No. 23/2014 lebih berat ketimbang per-
syaratan yang ada dalam PP No. 78/2007. Pemekaran daerah hanya dilakukan melalui satu
yakni pintu Pemerintah/eksekutif. Daerah yang diusulkan tidak serta merta menjadi daerah
otonom baru, tetapi menjadi Daerah Persiapan yang ditetapkan dengan PP. Selanjutnya,
apabila hasil penilaian setelah 3 tahun menjadi Daerah Persiapan dinyatakan layak barulah
menjadi daerah otonom definitif/daerah baru dan apabila dinilai tidak layak maka akan diga-
bungkan ke daerah induknya.
Kata kunci: otonomi daerah, pemekaran daerah, perketat persyaratan, desain be-
sar penataan daerah.
Abstract:
Past studies on local government proliferation found that the results of local governments
proliferations are far below expectation. Hence, the government tried to make the requisites
for proliferation heavier, as shown by the Government Regulation Number 78/2007 that set up
more difficult requirements for proliferation that the previous Regulation (Number 129/2000).
Similarly, the new Local Government Law (Number 23/2014) has heavier provision than those
listed on the Government Regulation Number 78/2007. The proliferation can only be done
through the government/executive initiative. The proposed area does not necessarily become
a new autonomous region but became the Preparatory Region, which stipulated through a
government regulation. The region will then be evaluated after three years and the result will
determine whether or not it is eligible to become an autonomous one.
Keywords: regional autonomy, local government proliferation, heightened re-
quirements, local governance system grand design.
LOCAL GOVERMENT PROLIFERATION UNDER THE LAW
NUMBER 23/2014
Suryanto
Staf Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
A. PENDAHULUAN
Fokus perhatian publik terhadap
pengaturan dan implementasi pem-
bentukan daerah (pemekaran dan
penggabungan daerah) masih cukup
mendominasi dalam kaitan pelaksa-
naan kebijakan desentralisasi dan oto-
nomi daerah di Indonesia. Faktanya,
sejumlah pimpinan daerah masih saja
menyampaikan usul pemekaran da
erah di wilayahnya. Saat ini terdapat
132 usul pemekaran daerah, dari
jumlah tersebut sebanyak 88 usulan
sedang dibahas Pemerintah dengan
DPR RI (sindonews.com, 26/02/2016).
Sejumlah alasan disampaikan untuk
memuluskan jalan agar isu peme-
karan daerah dapat dikabulkan oleh
Pemerintah dan DPR RI, salah satunya
mendekatkan pelayanan publik kepa-
da masyarakat daerah. Akan tetapi
benarkah “mendekatkan pelayanan
17JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
Artikel
23. publik” yang menjadi alasan daerah
melakukan pemekaran daerah? Atau-
kah sesungguhnya terdapat alasan
lain yang mendorong para tokoh di
berbagai daerah untuk memekarkan
daerahnya?
Hasil kajian Pusat Kajian Kinerja
Otonomi Daerah Lembaga Admin-
istrasi Negara (PKKOD LAN, 2006
– sejak tahun 2013 berganti nama
menjadi Pusat Kajian Desentralisa-
si dan Otonomi Daerah/PKDOD LAN)
menyimpulkan sejumlah alasan yang
mendasari pelaksanaan pemekaran
daerah yaitu: 1) alasan mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat, ini
menjadi alasan utama karena adanya
kendala geografis, infrastruktur dan
prasarana perhubungan yang min-
im (contoh: Provinsi Bangka Belitung
dengan Provinsi Sulawesi Selatan),
2) alasan historis, pemekaran da
erah dilakukan karena alasan sejarah
yaitu bahwa daerah hasil pemekaran
memiliki nilai historis tertentu (con-
toh: Provinsi Maluku Utara pernah
menjadi ibukota Irian Barat), 3) alasan
kultural (budaya) dimana pemekaran
terjadi karena menganggap adanya
perbedaan budaya antardaerah yang
bersangkutan dengan daerah induk
nya (contoh: pemekaran Provinsi
Gorontalo dari Provinsi Sulawesi Utara,
bahwa masyarakat Gorontalo mera-
sa berbeda budaya/adat istiadat de
ngan masyarakat Manado), 4) alasan
ekonomi, pemekaran daerah diharap
kan dapat mempercepat pembangu-
nan di daerah (contoh: pemekaran
Provinsi Papua Barat dari Provinsi Pa
pua), 5) alasan anggaran, pemekaran
daerah dilakukan untuk mendapatkan
insentif anggaran dari pemerintah
(contoh: seluruh daerah pemekaran),
dan 6) alasan keadilan, pemekaran
daerah diharapkan akan menciptakan
keadilan dalam hal pengisian jabatan
publik dan pemerataan pembangunan
(contoh: pemekaran Provinsi Kepri dari
Provinsi Riau).
Tulisan ini akan membahas euforia
pemekaran daerah pada dasawarsa
kedua terutama setelah terbitnya UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemekaran
Daerah. Bagaimana potret animo
publik dalam melakukan pemekaran
daerah setelah terbitnya undang-un-
dang tersebut, karena sesungguhnya
persyaratan yang tercantum dalam
undang-undang baru ini lebih berat
dibandingkan persyaratan yang tertu-
ang dalam peraturan perundangan se-
belumnya, dalam hal ini PP No. 129 Ta-
hun 2000 dan PP No. 78 Tahun 2007.
Lalu, bagaimana sebaiknya agar de-
sain besar penataan daerah (Desarta-
da) disusun nantinya mampu menjadi
semacam dashboard untuk memonitor
penambahan jumlah daerah otonom di
Indonesia ke depan?
B. KONSEP OTONOMI DAERAH:
Urgensi Kebijakan Otda di In
donesia
Otonomi daerah (atau sering diper-
tukarkan dengan desentralisasi) dapat
diartikan dalam berbagai cara bergan-
tung pada kepentingan-kepentingan
dan perspektif dari masing-masing
pengamat (Conyers, 1984:147, Smith,
1985:2-7, Smoke, 2003:8 dalam Said,
2005:5). Rondinelli dan Cheema
(1983) mendefinisikan otonomi da
erah sebagai “the transfer of planning,
decisión making, or administratif au-
thority from the central government to
its field organizations, local administra-
tif units, semi-autonomous and paras
tatal organization, local government
or non-governmental organization”
(pelimpahan wewenang perencanaan,
pengambilan keputusan atau peme
rintahan dari pemerintah pusat kepada
organisasi-organisasi pelaksana, unit-
unit pelaksana di daerah, organisasi
semi otonom dan parastatal, ataupun
kepada pemerintah daerah atau or-
ganisasi non pemerintah).
18 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
24. Menurut Laporan Tahunan Bank
Dunia (1999:107-124, ibid: 6), oto-
nomi daerah didefinisikan sebagai
“the transfer of authority and respon-
sibility for public functions from the
central government to subordínate or
quasi-independent government orga-
nizations and or the prívate sector”
(pelimpahan wewenang dan tanggung
jawab untuk menjalankan fungsi-fung-
si publik dari pemerintah pusat kepada
organisasi-organisasi pemerintah yang
menjadi bawahannya atau yang bersi-
fat semi-independen dan/atau kepada
sector swasta).
Konsep otonomi daerah bukan me
rupakan konsep yang baru, akan tetapi
otonomi daerah dapat digunakan pada
situasi modern dimana konsep tersebut
sejalan dengan ketersediaan kerangka
hukum pada badan-badan sosial dan
kebebasan aktual yang dimilikinya.
Konsep otonomi daerah juga mampu
memberikan kontribusi kepada feoda
lisme dengan esensi penekanan pada
perjanjian dan norma, sejalan dengan
pertumbuhan kapasitas legislatif dan
administratif yang dapat menjamin
asosiasi-asosiasi tersebut berhubung
an secara damai dalam situasi yang
lebih banyak atau lebih sedikit diatur
oleh negara (Muttalib, 1982:234).
Dengan kata lain, penerapan kon-
sep otonomi daerah bagi sebuah ne
gara modern masih tetap relevan. Saat
ini berbagai negara di dunia telah dan
sedang menerapkan kebijakan oto-
nomi daerah, dengan berbagai pertim-
bangan (alasan) yang mendasarinya.
Said (2005:78) menyatakan sejum-
lah alasan mendasar otonomi daerah
di Indonesia yaitu: 1) alasan sejarah
dan kesepakatan para pendiri bangsa
(founding fathers), dan alasan ada
nya hasil akhir dari perdebatan-per-
debatan historis yang berlangsung
sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI
Tahun 1945, 2) alasan kondisi geogra
fis Indonesia yang terdiri dari daerah
kepulauan yang sangat luas, 3) alasan
pertimbangan politik yaitu hasrat me-
misahkan diri (separatisme), 4) alasan
respons terhadap globalisasi, OECD
(Organization for Economic Coopera-
tion and Development) mengungkap-
kan bahwa logika yang mendukung
otonomi daerah sangat dekat dengan
prinsip subsidiaries financial system
(Dana Alokasi Umum) dalam konteks
pemerintahan dan merupakan hasil
dari proses globalisasi dan semakin
meningkatnya internasionalisasi inter-
aksi ekonomi, 5) alasan keperluan ad-
ministrasi publik, pembangunan akan
menghadapi semakin banyak tantang
an saat negara semakin maju. Secara
teoretis, sentralisme merendahkan po-
sisi masyarakat daerah dalam arti bah-
wa pemerintah pusat andai pun bisa
menghargai apa yang diinginkan pu
blik secara umum, akan menghadapi
kesulitan dalam melakukan pendekat-
an sesuai dengan “selera daerah” (lo-
cal tastes).
Otonomi daerah era reforma-
si yang telah disiapkan mulai tahun
1999-2001, dilaksanakan mulai tahun
2001-2003, konsolidasi mulai tahun
2003-2007, dan tahap penerapan mu-
lai tahun 2007 ternyata tidak berjalan
“mulus” sebagaimana yang diharap-
kan. Pada 2004 yang seharusnya me
rupakan tahap konsolidasi pelaksanaan
UU No. 22 Tahun 1999 ternyata pada
tahap tersebut justru terbit UU No. 32
Tahun 2004 sebagai pengganti UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Kini, UU No. 32 Tahun 2004
juga tidak berlaku lagi karena Peme
rintah dan DPR RI telah menerbitkan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Peme
rintahan Daerah.
Berkaitan dengan implementasi
otonomi daerah di Indonesia sebe-
narnya terbagi dalam dua perspektif
yaitu perspektif positif dan perspektif
19JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
25. negatif. Perspektif positif meliputi: 1)
bahwa otonomi daerah adalah sarana
untuk demokratisasi, 2) bahwa oto-
nomi daerah membantu meningkatkan
kualitas dan efektivitas pemerintah-
an, 3) bahwa otonomi daerah dapat
mendorong stabilitas dan kesatuan
nasional, 4) bahwa otonomi daerah
memajukan pembangunan daerah.
Adapun perspektif yang negatif terdiri
dari: 1) otonomi daerah lekat dengan
perspektif fragmentasi dan keterpeca-
han, 2) otonomi daerah dan merosot-
nya kualitas pemerintahan, 3) otonomi
daerah dan kesenjangan antardaerah,
4) otonomi daerah dan pengingkaran
terhadap demokrasi (Ibid: 22).
Terlepas dari besarnya dukungan
terhadap konsep dan implementasi
otonomi daerah, tentu perhatian lebih
banyak diberikan kepada kondisi atau
fenomena rendahnya dukungan ter
hadap pelaksanaan otonomi daerah
itu sendiri. Penulis berasumsi bahwa
euforia pemekaran daerah yang terjadi
pada dasawarsa pertama (1996-2005),
yang terus berlanjut pada dasawarsa
kedua (2006-2015) pelaksanaan oto-
nomi daerah di era reformasi, ternyata
belum sesuai dengan tujuan dilaku-
kannya pemekaran daerah. Hal ini di-
buktikan dengan hasil kajian PKKOD
LAN bekerjasama dengan Kemente-
rian Dalam Negeri, bahwa kebijakan
pembentukan DOB belum memberi-
kan dampak yang signifikan bagi per-
wujudan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan publik, dan daya saing
daerah (Adi Suryanto, 2008:119). Ha-
sil evaluasi Kemendagri dan Tim Pakar
dari berbagai perguruan tinggi (2010)
menyimpulkan bahwa sebanyak 80%
daerah otonom baru hasil pemekaran
(DOHP) berada dalam kondisi yang
berkinerja rendah, artinya hanya 20%
yang dinyatakan berkinerja cukup
tinggi dan tinggi (Tim EDOHP, 2010).
Dengan berpegang teguh dari data
dan fakta tersebut di atas, menurut
pendapat penulis, kebijakan peme-
karan daerah memang diperbolehkan
dalam undang-undang tetapi pelak-
sanaannya harus dilakukan dengan
sangat hati-hati dan memperhatikan
seluruh persyaratan yang diminta.
Apabila pemekaran daerah memang
menjadi satu-satunya strategi untuk
mencapai tujuan otonomi daerah di
wilayah itu dan secara regulasi juga
memenuhi persyaratan-persyaratan,
maka keputusan memekarkan daerah
menjadi suatu kewajiban. Artinya, ur-
gensi otonomi daerah yang dimaksud
disini tidak harus dilakukan melalui pe-
mekaran daerah.
C. UPAYA MEMPERKETAT PER
SYARATAN PEMEKARAN DA
ERAH
Guna melaksanakan prinsip kehati-
hatian dalam melakukan pemekaran
daerah, Pemerintah melalui regulasi
terbaru telah menetapkan sejumlah
klausul persyaratan yang dapat dika-
takan”lebih ketat” daripada peratu
ran sebelumnya. Hal ini dimaksudkan
untuk mengerem agar penambahan
daerah otonom baru (DOB) tidak ter-
lalu bertambah secara cepat seperti
yang terjadi pada masa lalu.
Penambahan jumlah daerah oto-
nom baru (DOB) atau daerah otonom
hasil pemekaran (DOHP) selama 1999-
2014 sebanyak 223 DOB yang terdiri
dari 8 provinsi, 182 kabupaten, dan
33 kota sehingga total Daerah Oto-
nom menjadi 542 yaitu terdiri atas 34
provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota
(Kemendagri, 2015 dalam www.otda.
kemendagri.go.id). Dengan kata lain,
laju pemekaran daerah selama hampir
dua dasawarsa terakhir sangat ting-
gi terutama penambahan kabupaten
(dari 233 kabupaten menjadi 415 ka-
bupaten atau sebesar 178%). Adapun
untuk penambahan provinsi sebanyak
8 daerah yaitu dari 26 menjadi 34
20 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
26. provinsi (31%), sedangkan penam-
bahan kota sebanyak 30 daerah yakni
dari 60 menjadi 93 daerah (55%).
Dari data tersebut timbul per-
tanyaan besar, mengapa penambahan
jumlah DOB tersebut tetap berlan-
jut padahal regulasi telah memberi-
kan rambu-rambu atau persyaratan
yang cukup berat. Sebagai contoh,
pada saat berlakunya UU No. 22/1999
menggariskan bahwa pembentukan
suatu daerah harus memenuhi minimal
6 syarat yaitu kemampuan ekonomi,
potensi daerah, kesamaan sosial bu-
daya, jumlah penduduk, luas daerah,
keamanan dan rentang kendali da
erah yang akan dimekarkan. Penjaba-
ran tentang persyaratan pemekaran
daerah diatur dalam PP No. 129/2000,
yang dirinci di dalam 19 indikator dan
43 sub indikator.
Euforia pemekaran daerah terus
berlangsung di banyak daerah, meski-
pun Pemerintah telah mengeluarkan
himbauan berupa pemberhentian
sementara (moratorium) pada era
pemerintahan SBY. Sebagai contoh,
jumlah daerah provinsi bertambah dari
26 provinsi menjadi 34 provinsi atau
bertambah 8 provinsi baru (31%).
Kedelapan provinsi tersebut meliputi:
1. Provinsi Maluku Utara, provinsi
dengan ibukota di Kota Sofifi ini
terbentuk pada tanggal 4 Oktober
1999. Provinsi yang merupakan ha-
sil pemekaran dari Provinsi Maluku
ini merupakan provinsi di Indonesia
yang ke-27.
2. Provinsi Banten, provinsi dengan
ibukota di Kota Serang ini terben-
tuk pada tanggal 17 Oktober 2000.
Provinsi yang merupakan hasil pe-
mekaran Provinsi Jawa Barat ini
merupakan provinsi di Indonesia
yang ke-28.
3. Provinsi Kepulauan Bangka Be-
litung, provinsi dengan ibukota di
Kota Pangkal Pinang ini terbentuk
pada tanggal 4 Desember 2000.
Provinsi ini dimekarkan dari Provin-
si Sumatera Selatan dan menjadi
provinsi ke-29.
4. Provinsi Gorontalo, provinsi dengan
ibukota di Kota Gorontalo ini ter-
bentuk pada tanggal 22 Desember
2000. Provinsi yang merupakan ha-
sil pemekaran dari Provinsi Sulawesi
Utara ini adalah provinsi ke-30 In-
donesia.
5. Provinsi Papua Barat, provinsi yang
beribukota di Kota Manokwari ini
terbentuk tanggal 21 November
2001. Provinsi yang merupakan ha-
sil pemekaran dari Provinsi Papua
ini merupakan provinsi di Indonesia
ke-31.
6. Provinsi Kepulauan Riau, provinsi
dengan ibukota Tanjung Pinang itu
terbentuk pada tanggal 25 Oktober
2002. Provinsi yang merupakan ha-
sil pemekaran dari Provinsi Riau ini
menjadi provinsi yang ke-32 di In-
donesia.
7. Provinsi Sulawesi Barat, provinsi
yang ibukotanya di Kota Mamuju ini
terbentuk tanggal 5 Oktober 2004.
Provinsi yang terbentuk dari peme-
karan Provinsi Sulawesi Selatan ini
merupakan provinsi ke-33 Indone-
sia.
8. Provinsi Kalimatan Utara, provinsi
dengan ibukotanya Tanjung Selor
ini terbentuk pada tanggal 25 Ok-
tober 2012. Provinsi ini merupakan
hasil pemekaran dari Provinsi Kali-
mantan Timur dan menjadi provinsi
ke-34 Indonesia.
Dari 8 provinsi hasil pemekaran
tersebut sebanyak 7 provinsi merupa-
kan hasil pemekaran pada 10 tahun
pertama, dan hanya 1 provinsi yang
merupakan pemekaran pada 10 tahun
kedua (otda.kemendagri.go.id). Fakta
tersebut nampaknya relevan dengan
persyaratan yang semakin berat sesuai
peraturan perundangan. Secara lebih
21JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
27. rinci, perbandingan persyaratan pem-
bentukan Daerah dapat dilihat pada
tabel 1 di halaman berikut.
Dari tabel tersebut dijelaskan bah-
wa pada saat berlaku PP 129/2000
dan PP 78/2007, usul pemekaran di
sampaikan melalui dua pintu yaitu pin-
tu Kementerian Dalam Negeri (peme
rintah/eksekutif) daerah pintu DPR RI
(legislatif). Pada kondisi tersebut dapat
dibayangkan ‘suasana’ yang melingku-
pi usul pembentukan daerah otonom
baru. Inisiatif pembentukan DOB bu-
kan hanya datang dari pihak eksekutif
tetapi juga dari legislatif, yang memiliki
kewenangan setara dengan Pemerin-
tah dalam perumusan dan penetapan
undang-undang.
Di dalam pengaturan UU No.
23/2014 hal seperti itu tidak terjadi.
Usulan DOB dilakukan melalui satu
pintu yakni Kementerian Dalam Negeri
atas nama Presiden. Persyaratan-per-
syaratan yang harus dipenuhi oleh
daerah pengusul meliputi persyaratan
dasar dan persyaratan administratif.
Persyaratan dasar terdiri dari persya
ratan dasar kewilayahan dan per-
syaratan dasar kapasitas Daerah.
Persyaratan dasar kewilayahan me-
liputi luas wilayah minimal, jumlah
penduduk minimal, batas wilayah, ca
kupan wilayah, dan batas usia minimal
daerah provinsi, daerah kabupaten/
kota, dan kecamatan.
Mengenai batas minimal usia da
erah, hal ini penting guna menghi
ndari terjadinya pemekaran daerah
yang ”prematur” sebagaimana yang
pernah terjadi pada saat berlakunya
PP 129/2000 dan PP 78/2007, dimana
suatu daerah yang baru dimekarkan
kemudian mengalami pemekaran kem-
bali. Kabupaten Boalemo di Provinsi
Gorontalo misalnya, kabupaten ini be-
lum genap berumur 3 tahun setelah
dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo.
Daerah pemekaran Kabupaten Boale-
mo ini bernama Kabupaten Pohuwato,
yang beribukota di Marisa. Dalam UU
23/2014 disebutkan batas usia mini-
mal provinsi 10 tahun sejak pemben-
tukan, batas usia minimal kabupaten/
kota 7 tahun sejak pembentukan, dan
batas usia minimal kecamatan 5 tahun
sejak pembentukan.
Luas wilayah dan jumlah penduduk
minimal ditentukan berdasarkan pe
ngelompokan pulau dan kepulauan.
Batas wilayah dibuktikan dengan titik
koordinat pada peta dasar. Saat ini
masih banyak permasalahan tapal ba-
tas antara daerah satu dengan daerah
lain, karena pada saat pembentukan
daerah penentuan batas tidak meng-
gunakan titik koordinat pada peta
dasar. Ke depan, bukti titik koordinat
pada peta dasar – bukan hanya sket
peta wilayah – ini akan mengeliminir
terjadinya konflik perbatasan antar-
daerah yang selama ini terjadi.
Persyaratan dasar kapasitas Da
erah adalah kemampuan daerah untuk
berkembang dalam mewujudkan kese
jahteraan masyarakat. Persyaratan da
sar kapasitas Daerah didasarkan pada
parameter geografi, demografi, kea-
manan, sosial politik, adat, dan tradisi,
potensi ekonomi, keuangan Daerah,
dan kemampuan penyelenggaraan pe-
merintahan.
Persyaratan administratif disusun
dengan tata urutan sebagai berikut:
a) untuk Daerah provinsi meliputi per-
setujuan bersama DPRD kabupaten/
kota dengan bupati/wali kota yang
akan menjadi Cakupan Wilayah Da
erah Persiapan provinsi dan persetu-
juan bersama DPRD provinsi induk
dengan gubernur Daerah provinsi in-
duk, b) untuk Daerah kabupaten/kota
meliputi keputusan musyawarah Desa
yang akan menjadi Cakupan Wilayah
Daerah kabupaten/kota, c) persetu-
juan bersama DPRD kabupaten/kota
induk dengan bupati/wali kota Daerah
22 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
28. 23
PP No. 129/2000 PP No. 78/2007 UU No. 23/2014 Keterangan
Kemampuan Daerah, diukur
dengan Product Regional
Domestic Bruto (PDRB) dan
penerimaan daerah sendiri
Syarat administratif, Syarat administratif pem-
bentukan Daerah provinsi terdiri dari:
a. Keputusan masing-masing DPRD kabu-
paten/kota yang akan menjadi cakupan
wilayah calon provinsi tentang persetujuan
pembentukan calon provinsi berdasarkan
hasil Rapat Paripurna,
b. Keputusan bupati/walikota ditetapkan de
ngan keputusan bersama bupati/walikota
wilayah calon provinsi tentang persetujuan
pembentukan calon provinsi,
c. Keputusan DPRD provinsi induk tentang
persetujuan pembentukan calon provinsi
berdasarkan hasil Rapat Paripurna,
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan
pembentukan calon provinsi, dan
e. Rekomendasi Menteri, dalam hal ini Men
teri Dalam Negeri.
Syarat administratif pembentukan daerah
kabupaten/kota meliputi:
a. Keputusan DPRD kabupaten/kota induk
tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota,
b. Keputusan bupati/walikota induk tentang
persetujuan pembentukan calon kabupa
ten/kota,
c. Keputusan DPRD provinsi tentang persetu-
juan pembentukan calon kabupaten/kota,
d. Keputusan gubernur tentang persetujuan
pembentukan calon kabupaten/kota, dan
e. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Persyaratan dasar dan persyaratan
administratif.
Persyaratan dasar terdiri dari persyaratan
dasar kewilayahan dan persyaratan dasar
kapasitas Daerah.
Persyaratan dasar kewilayahan meliputi
luas wilayah minimal, jumlah penduduk
minimal, batas wilayah, cakupan wilayah,
dan batas usia minimal daerah provinsi,
daerah kabupaten/kota, dan kecamatan.
Persyaratan dasar kapasitas Daerah
didasarkan pada parameter geografi,
demografi, keamanan, sosial politik, adat,
dan tradisi, potensi ekonomi, keuangan
Daerah, dan kemampuan penyelengga-
raan pemerintahan.
Pada waktu PP No. 129/2000 dan PP
No/ 78/2007, pemekaran daerah dapat
dilakukan melalui dua pintu, Kemenda
gri (Pemerintah/Eksekutif) dan DPR RI.
Menurut UU No. 23/2014 usulan
pemekaran disampaikan hanya melalui
Kemendagri (Pemerintah/Eksekutif)
Dalam UU No. 23/2014 terdapat
pengaturan batas usia minimal daerah
dapat dimekarkan yaitu untuk provinsi
minimal 10 tahun sejak pembentukan,
kabupaten/kota minimal 7 tahun sejak
pembentukan, dan kecamatan minimal
5 tahun sejak pembentukan.
Batas usia minimal ini untuk meng
hindari terjadinya pemekaran daerah
yang ”prematur” sebagaimana yang
pernah terjadi pada saat berlakunya
PP 129/2000 dan PP 78/2007, dimana
suatu daerah yang baru dimekarkan
kemudian mengalami pemekaran
kembali.
Kabupaten Boalemo di Gorontalo misal-
nya, belum genap 3 tahun dimekarkan
dari Kabupaten Gorontalo kemudian
dimekarkan lagi dengan lahirnya Kabu-
paten Pohuwato (ibukota kabupaten di
Marisa).
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
29. 24
PP No. 129/2000 PP No. 78/2007 UU No. 23/2014 Keterangan
Potensi daerah diukur dari
lembaga keuangan, sarana
ekonomi, sarana pendidikan,
sarana kesehatan, sarana
transportasi dan komunika-
si, sarana pariwisata, dan.
ketenagakerjaan.
Syarat teknis pembentukan Daerah meliputi
faktor yaitu kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kepen-
dudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan,
kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan
masyarakat, dan rentang kendali penyeleng-
garaan pemerintahan daerah. Faktor-faktor
tersebut dinilai berdasarkan hasil kajian
daerah terhadap indikator sebagaimana
tercantum dalam lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah tentang pemekaran daerah yaitu
PP No. 78/2007.
Parameter geografi meliputi lokasi ibu
kota, hidrografi, dan kerawanan bencana.
Parameter demografi meliputi kualitas
sumber daya manusia dan distribusi
penduduk.
Parameter keamanan meliputi tindakan
kriminal umum dan konflik sosial.
Parameter sosial politik, adat, dan tradisi
meliputi partisipasi masyarakat dalam
pemilihan umum, kohesivitas sosial, dan
organisasi kemasyarakatan.
Parameter potensi ekonomi meliputi per-
tumbuhan ekonomi dan potensi unggulan
Daerah.
Parameter keuangan Daerah meliputi
kapasitas pendapatan asli Daerah induk,
potensi pendapatan asli calon Daerah
Persiapan, dan pengelolaan keuangan
dan aset Daerah. Parameter kemampuan
penyelenggaraan pemerintahan meliputi
aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan,
aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan,
aksesibilitas pelayanan dasar infrastruk-
tur, dan jumlah pegawai aparatur sipil
negara di Daerah induk, dan rancangan
rencana tata ruang wilayah Daerah
Persiapan.
Sosial budaya diukur dari
tempat peribadatan, tempat/
kegiatan institusi sosial dan
budaya, dan sarana olah raga.
Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan
wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan
prasarana pemerintahan.
• Cakupan wilayah untuk pembentukan
provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/
kota, pembentukan kabupaten paling
sedikit 5 (lima) kecamatan, dan pemben-
tukan kota paling sedikit 4 kecamatan.
Syarat jumlah cakupan wilayah ini
“lebih berat” dibandingkan pengatur-
an pada PP sebelumnya yang hanya
mensyaratkan 3 kabupaten/kota untuk
pemekaran provinsi, 3 kecamatan
untuk pemekaran kabupaten, dan 3
kecamatan pula untuk pemekaran kota.
Sosial politik diukur dari
partisipasi masyarakat dalam
berpolitik dan organisasi
kemasyarakatan.
Persyaratan administratif disusun dengan
tata urutan sebagai berikut:
a. untuk Daerah provinsi meliputi per-
setujuan bersama DPRD
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
30. 25
PP No. 129/2000 PP No. 78/2007 UU No. 23/2014 Keterangan
• Cakupan wilayah pembentukan provinsi
digambarkan dalam peta wilayah calon
provinsi.
• Peta wilayah dilengkapi dengan daftar
nama kabupaten/kota dan kecamatan
yang menjadi cakupan calon provinsi serta
garis batas wilayah calon provinsi dan
nama wilayah kabupaten/kota di provinsi
lain, nama wilayah laut atau wilayah neg-
ara tetangga yang ber-batasan langsung
dengan calon provinsi.
• Peta wilayah dibuat berdasarkan kaidah
pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga
teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.
• Cakupan wilayah pembentukan kabupat-
en/kota digambarkan dalam peta wilayah
calon kabupaten/kota.
• Peta daerah kabupaten/kota dilengkapi
dengan daftar nama kecamatan dan desa/
kelurahan atau nama lain yang menjadi
cakupan calon kabupaten/kota serta garis
batas wilayah calon kabupaten/kota, nama
wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain,
nama wilayah kecamatan di kabupaten/
kota di provinsi yang sama, nama wilayah
laut atau wilayah negara tetangga, yang
berbatasan langsung dengan calon kabu-
paten/kota.
• Peta wilayah kabupaten/kota dibuat ber-
dasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi
oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan
oleh gubernur
kabupaten/kota dengan bupati/wali
kota yang akan menjadi Cakupan
Wilayah Daerah Persiapan provinsi
dan persetujuan bersama DPRD
provinsi induk dengan gubernur Da
erah provinsi induk,
b. untuk Daerah kabupaten/kota me-
liputi keputusan musyawarah Desa
yang akan menjadi Cakupan Wilayah
Daerah kabupaten/kota,
c. persetujuan bersama DPRD kabu-
paten/kota induk dengan bupati/wali
kota Daerah induk, dan
Jumlah penduduk diukur dari
jumlah tertentu penduduk
suatu Daerah.
Pembentukan Daerah dapat dilakukan
dengan alasan kepentingan strategis
nasional.
Maksudnya, pembentukan Daerah ini
dilakukan khusus untuk daerah per-
batasan, pulau-pulau terluar, dan Daerah
tertentu untuk menjaga kepentingan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Luas daerah diukur dari luas
tertentu suatu Daerah.
Pertimbangan lain yang me-
mungkinkan terselenggaranya
Otda diukur dari keamanan
dan ketertiban, ketersediaan
sarana dan prasarana pe-
merintahan, rentang kendali,
Provinsi yang akan dibentuk
minimal telah terdiri dari 3
(tiga) Kabupaten dan/atau
Kota, Kabupaten yang akan
dibentuk minimal telah terdiri
dari 3 (tiga) kecamatan, dan
Kota yang akan dibentuk mini
mal telah terdiri dari 3 (tiga)
kecamatan
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
Sumber: PP No. 129/2000, PP No. 78/2007, dan UU No. 23/2014 Tabel 1.
Perbandingan Persyaratan Pemekaran Daerah
31. induk, dan d) persetujuan bersama
DPRD provinsi dengan gubernur dari
Daerah provinsi yang mencakupi Da
erah Persiapan kabupaten/kota yang
akan dibentuk.
Selain harus memenuhi berbagai
persyaratan di atas, dalam UU No.
23/2014 disebutkan bahwa pemben-
tukan Daerah dapat dilakukan de
ngan alasan kepentingan strategis
nasional. Maksudnya, pembentukan
Daerah ini dilakukan khusus untuk da
erah perbatasan, pulau-pulau terluar,
dan Daerah tertentu untuk menjaga
kepentingan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Upaya memperketat persyaratan
pembentukan daerah, sebagaimana
telah disebutkan beberapa ulasan di
atas, sebenarnya telah diawali pada
saat berlakunya UU No. 32/2004
jo PP No. 78/2007. Di dalam PP No.
78/2007 disebutkan bahwa berdasar-
kan rekomendasi usulan pembentukan
daerah, Menteri Dalam Negeri me-
minta tanggapan tertulis para Anggota
DPOD pada sidang DPOD. Masalahnya
memang, selama ini lembaga DPOD
ini dianggap kurang memerankan di-
rinya secara optimal sehingga pada
praktiknya kurang dapat memberi-
kan “catatan kritis” terhadap kepu-
tusan menolak atau menerima usul
pembentukan daerah otonom baru.
Mengapa peran lembaga ini menjadi
penting, karena saran dan pertimba
ngan DPOD akan disampaikan kepada
Presiden, dan jika Presiden menyetu-
jui maka Pemerintah akan menyusun
rancangan undang-undang (RUU) ten-
tang pembentukan daerah, selanjut
nya usul inisiatif ini akan disampaikan
kepada DPR RI untuk dibahas dan
disepakati menjadi undang-undang.
Namun kelemahan utama pada saat
berlakunya undang-undang ini, selain
lemahnya lembaga DPOD itu sendiri
juga terbukanya dua pintu pemekaran
daerah dimaksud.
D. ARAH BARU: Pemberian Status
Awal DOB
Kebijakan melakukan pemekaran
daerah semakin diperketat terutama
dengan terbitnya UU No. 23/2014.
Salah satunya adalah pemekaran da
erah tidak dapat lagi dilakukan secara
langsung menjadi daerah definitif se-
bagaimana pada saat sebelumnya ke-
tika berlaku PP No. 129/2000 dan PP
No. 78/2007. Penetapan suatu daerah
menjadi daerah otonom yang defini-
tif dilakukan setelah daerah tersebut
dianggap layak menjalankan otonomi
daerah secara mandiri. Penilaian se-
bagai daerah persiapan dilakukan se-
lama 3 tahun.
Di dalam UU No. 23/2014 me-
kanisme pembentukan daerah persia-
pan dilakukan melalui tahap sebagai
berikut: a) Pembentukan Daerah
Persiapan diusulkan oleh gubernur
kepada Pemerintah Pusat, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indone-
sia, atau Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia setelah memenuhi
persyaratan dasar kewilayahan dan
persyaratan administratif, b) Berdasar-
kan usulan tersebut, Pemerintah Pusat
melakukan penilaian terhadap pe-
menuhan persyaratan dasar kewilaya-
han dan persyaratan administratif, dan
c) Hasil penilaian terhadap daerah
persiapan disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan Dewan Perwakilan Daerah Repu
blik Indonesia. Disini terlihat jelas bah-
wa mekanisme pembentukan daerah
otonom baru dimulai dari Pemerintah
yang artinya melalui satu pintu yakni
pemerintah pusat (Kemendagri atas
nama Presiden).
Perubahan mekanisme usulan pe-
mekaran daerah dari dua pintu men-
jadi satu pintu sebagaimana tersebut
di atas, diharapkan akan memberikan
nilai positif bagi penataan daerah ke
depan. Maksud “satu pintu” disini bu-
26 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
32. kan berarti mengabaikan posisi dan
peran DPR RI dan DPD RI sebagai
wakil rakyat, namun peran tersebut
tetap dilakukan setelah urusan di ling
kup eksekutif dianggap selesai. Setelah
berkas usulan pemekaran masuk ke
Pemerintah dan diproses sebagaimana
mestinya, selanjutnya berkas tersebut
diteruskan kepada DPR RI dan DPD RI
untuk mendapatkan persetujuan.
Hal tersebut dinyatakan dalam UU
No. 23/2014 sebagai berikut: bahwa
dalam hal usulan pembentukan Da
erah Persiapan dinyatakan memenuhi
persyaratan dasar kewilayahan dan
persyaratan administratif, dengan per-
setujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Dewan Per-
wakilan Daerah Republik Indonesia,
Pemerintah Pusat membentuk tim kaji-
an independen. Tim kajian independen
bertugas melakukan kajian terhadap
persyaratan dasar kapasitas Daerah.
Hasil kajian disampaikan oleh tim kaji-
an independen kepada Pemerintah Pu-
sat untuk selanjutnya dikonsultasikan
kembali kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Hasil konsultasi menjadi pertimbangan
Pemerintah Pusat dalam menetapkan
kelayakan pembentukan Daerah Per-
siapan. Penetapan menjadi daerah
persiapan dituangkan dalam bentuk
peraturan pemerintah (PP), bukan un-
dang-undang (UU) sebagaimana yang
telah terjadi selama ini.
Selama masa penilaian, Daerah
induk memiliki kewajiban terhadap
Daerah Persiapan, yaitu: a) membantu
penyiapan sarana dan prasarana pe-
merintahan, b) melakukan pendataan
personil, pembiayaan, peralatan, dan
dokumentasi, c) membuat pernyata-
an kesediaan untuk menyerahkan
personil, pembiayaan, peralatan, dan
dokumentasi apabila Daerah Per-
siapan ditetapkan menjadi Daerah
baru, dan d) menyiapkan dukungan
dana. Sebaliknya, Daerah Persiapan
memiliki kewajiban sebagai berikut:
a) menyiapkan sarana dan prasarana
pemerintahan, b) mengelola personil,
peralatan, dan dokumentasi, c) mem-
bentuk perangkat Daerah Persiapan,
d) melaksanakan pengisian jabatan
aparatur sipil negara pada perangkat
Daerah Persiapan, dan e) mengelola
anggaran belanja Daerah Persiapan,
dan f) menangani pengaduan ma
syarakat.
E. TUJUH FORMULASI DESAIN
BESAR PENATAAN DAERAH
(DESARTADA)
Secara makro, penataan daerah
didasarkan atau berpedoman pada
desain besar penataan daerah (De-
sartada). Dokumen ini disusun oleh
Pemerintah Pusat sebagai pedoman
melaksanakan penataan Daerah. De-
sain Besar Penataan Daerah memuat
perkiraan jumlah pemekaran Daerah
pada periode tertentu.
Dalam konteks pemekaran da
erah, Negara Indonesia telah memi-
liki kebijakan penataan daerah yaitu
Desartada 2010-2015. Namun dalam
dokumen tersebut terdapat sejumlah
kelemahan sebagai berikut: 1) Secara
epistemologis desain kebijakan sangat
kental dengan pola pikir yang inward
looking, sehingga konsep penataan
daerah semata-mata ditekankan pada
pemekaran daerah atau pembentukan
Daerah Otonomi Baru (DOB). Demiki-
an juga dengan parameter-parameter
yang ditetapkan sebagai syarat pem-
bentukan daerah, baik persyaratan
administratif, teknis maupun kewilaya-
han, 2) Masih bersifat parsial, di mana
kepentingan daerah per daerah men-
jadi acuan utama. Hal ini tampak dari
diterapkannya pendekatan bottom up
planning dalam tata cara pembentu-
kan daerah (Pasal 14 s/d Pasal 21 PP
No. 78 Tahun 2007), 3) Implementasi
27JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
33. desain yang ada masih terfragmentasi
secara sektoral, sehingga upaya pe-
nataan daerah tidak dapat dilakukan
secara optimal sementara beban pe-
merintah semakin bertambah (Part-
nership, 2011).
Menurut data yang dirilis Kemen
dagri, sampai tahun 2015 terdapat
sebanyak 132 usulan daerah oto-
nom baru yang terdiri atas 22 usulan
Provinsi, 96 usulan Kabupaten, dan
14 usulan Kota. Terkait hal tersebut,
sesungguhnya berapa provinsi, kabu-
paten, dan kota yang perlu dibentuk
dalam menjalankan pemerintahan In-
donesia?
Pada tahun 2011 yang lalu, Part-
nership mengusulkan tujuh formulasi
penataan daerah yang mewakili tu-
juh sudut pandang berbeda yakni: 1)
formulasi dari sudut pandang admi
nistrasi publik, 2) formulasi dari sudut
pandang manajemen pemerintahan,
3) formulasi dari sudut pandang ma-
najemen keuangan, 4) formulasi dari
sudut pandang demografi, 5) formula-
si dari sudut pandang geografi, 6) for-
mulasi dari sudut pandang pertahanan
dan keamanan, dan 7) formulasi dari
sudut pandang sosial ekonomi.
Dari tabel 2 dapat dijelaskan bah-
wa pembentukan provinsi baru dapat
didekati dengan 7 formulasi. Pada for-
mula administrasi publik penambahan
provinsi sampai tahun 2025 sebanyak
0-14 provinsi, sedang perkiraan jum-
lah provinsi antara 33-47 provinsi.
Administrasi publik merupakan suatu
fenomena pemerintahan modern. Da-
lam rangka penyediaan fungsi-fung-
si pengaturan dan pelayanan bagi
masyakat, administrasi publik adalah
penggunaan teori dan proses mana-
jerial, politik dan hukum untuk melak-
sanakan mandate pemerintahan di
bidang legislatif, eksekutif dan yudika-
tif.
Berdasarkan pandangan bah-
wa administrasi publik berkaitan
dengan pelaksanaan fungsi pe
ngaturan dan pelayanan, maka
keberadaan daerah otonomi da-
lam perspektif administrasi pu
blik bertujuan untuk lebih menja-
min bahwa fungsi pengaturan dan
pelayanan tersebut berlangsung
secara lebih efisien, efektif dan
berkesinambungan.
Pada formula manajemen pe-
merintahan penambahan provinsi
sampai tahun 2025 sebanyak 27-
55 provinsi, sedang perkiraan jum-
lah provinsi antara 70-88 provinsi.
Daerah otonom dibentuk dalam
rangka desentralisasi. Desentra
lisasi memiliki 3 tujuan yaitu tu-
juan politik, tujuan administrasi,
dan tujuan sosial ekonomi. Tujuan
politik di antaranya untuk men-
ciptakan suprastruktur dan in-
frastruktur politik yang demokra-
tis berbasis pada kedaulatan
rakyat. Diwujudkan dalam bentuk
pemilihan kepala daerah, pengi-
sian keanggotaan DPRD secara
langsung oleh rakyat. Tujuan Ad-
ministrasi yaitu agar pemerintahan
daerah yang dipimpin oleh kepala
daerah dan bermitra dengan DPRD
dapat menjalankan fungsinya un-
tuk memaksimalkan nilai-nilai 4E,
yakni efektivitas, efisiensi, equity/
kesetaraan, dan ekonomi. Tujuan
sosial ekonomi adalah bagaimana
modal masyarakat yang berwu-
jud modal sosial, modal intelek-
tual, dan modal finansial dapat
didayagunakan untuk mewujud-
kan terciptanya kesejahteraan
masyarakat secara luas. Gejala
yang terlihat dalam pembentukan
daerah otonom di Indonesia pasca
reformasi lebih banyak didasarkan
pada tujuan/pertimbangan politik.
Sementara itu, kriteria dasar dari
aspek manajemen pemerintahan
penentuan ideal yang ditawar-
28 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto
34. Tabel 2.
Estimasi Pertambahan Provinsi Berdasarkan Berbagai Formulasi
Formulasi Penambahan Hingga 2025 Estimasi Jumlah Propinsi
2025
Administrasi Publik 0 - 14 Propinsi 33 - 47 Propinsi
Manajemen Pemerintahan 27 - 55 Propinsi 70 - 88 Propinsi
Manajemen Keuangan 2 - 6 Propinsi 31 - 39 Propinsi
Demografi 6 - 31 Propinsi 39 - 64 Propinsi
Geografi 15 Propinsi 48 Propinsi
Pertahanan Keamanan 9 Propinsi 43 Propinsi
Sumber: Partnership Policy Paper No. 1/2011
kan untuk pembentukan daerah
termasuk untuk pembentukan
provinsi adalah mencakup 3 varia-
bel utama, yaitu jumlah penduduk
bersifat dinamis, luas wilayah ber-
sifat statis, dan rentang kendali
(span of control) pemerintahan.
Pada formula manajemen
keuangan penambahan provinsi
sampai tahun 2025 sebanyak 2-6
provinsi, sedang perkiraan jum-
lah provinsi antara 31-39 provinsi.
Indikator yang dapat digunakan
sebagai indikator ukuran optimal
pemerintahan daerah dari aspek
keuangan daerah adalah hanya
variabel jumlah penduduk. Kondi-
si dari indikator ini meningkat dari
waktu ke waktu, sehingga ukuran
dan jumlah pemerintahan daerah
dimungkinkan selalu ersifat dina-
mis. Ukuran pemerintahan daerah
kabupaten/kota dan provinsi juga
berbeda antar wilayah di Indone-
sia. Jumlah penduduk yang ber-
beda antar wilayah juga berakibat
pada jumlah pemerintahan daerah
provinsi yang berbeda-beda antar
wilayah. Jumlah provinsi yang ide-
al pada tahun 2025 diperkirakan
berjumlah 39 provinsi.
Pada formula demografi penam-
bahan provinsi sampai tahun 2025
sebanyak 6-31 provinsi, sedang
perkiraan jumlah provinsi an-
tara 39-64 provinsi. Pada formu-
la geografi penambahan provinsi
sampai tahun 2025 sebanyak 15
provinsi, sedang perkiraan jumlah
provinsi antara 48 provinsi. Pen-
duduk Indonesia pada tahun 2005
berjumlah 219 juta jiwa dengan
laju pertumbuhan penduduk seti-
ap tahunnya sebesar 1,34. Hingga
saat ini penduduk Indonesia ter-
konsentrasi di Pulau Jawa Proses
pemekaran daerah masih meng-
hadapi berbagai kendala dian-
taranya, ketersediaan pelayanan
umum yang sangat terbatas se
perti pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur. Distribusi pelayanan
dikaitkan dengan luas wilayah dan
jumlah penduduk. Jumlah pen-
duduk yang besar menjadi salah
satu alasan kecenderungan suatu
kabupaten atau kota dimekarkan.
Jumlah penduduk dan luas wilayah
menjadi variabel ukuran kelayakan
pemekaran wilayah karena secara
langsung terkait dengan perma
salahan penyediaan pelayanan
publik. Dari sisi kependudukan
tidak hanya jumlah penduduk na-
mun juga faktor kepadatan pen-
duduk, persebaran dan masalah
etnis. Yang juga menjadi perha-
tian adalah berapa jumlah staf
pemerintahan lokal yang optimal
untuk bisa memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Pada formula geografi, penam-
bahan provinsi hingga 2025 se-
banyak 15 provinsi. Faktor yang
dominan di dalam aspek geografi
dalam pembagian wilayah ada-
29JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 1, 2016
KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
Suryanto