Teks tersebut membahas masalah-masalah pelayanan publik di Indonesia dan pilihan perspektif administrasi untuk mengatasinya. Masalah utama pelayanan publik di Indonesia adalah kualitas pelayanan yang masih rendah dan Perspektif Baru Pelayanan Publik serta Good Governance dianggap paling tepat untuk mengatasinya.
"
1. MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK
MAKALAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Akademik Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Program Studi Administrasi Publik
0
Oleh :
……………………………………………….
NIM : ………………………………..
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2023
2. LEMBAR PERSETUJUAN
Judul : MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK
Identitas Penulis :
Nama : ………………………………..
NIM : ….……………………………..
Jurusan : Ilmu Administrasi
Program Studi : Administrasi Publik
Jenjang Program : Strata Satu (S1)
Disetujui
Pada Tanggal, ……………………… 2023
Pembimbing I
………………………………….
NIP. ………………………..
Pembimbing II
………………………………..
NIP. ……………………….
Mengetahui:
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik
FISIP Universitas Cenderawasih
Dr. Abner H. Bajari, S.Sos, M.Si
NIP. 19730427 200112 1 001
3. MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK
Oleh : ……………………………………………..
ABSTRAK
Masyarakat selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari para
birokrat, padahal tuntutan tersebut tidak sesuai dengan harapan karena secara
empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih diwarnai dengan hal-hal
seperti berbelit-belit, lambat, mahal, ketidakpastian yang melelahkan. Dalam
keadaan seperti ini terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak
yang “melayani” dan tidak dilayani. Jika kita melihat permasalahan pelayanan
publik di Indonesia, permasalahan utama pelayanan publik saat ini adalah terkait
dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Menurut Albrecht dan Zemke
(1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek,
sistem pelayanan, sumber daya manusia penyedia layanan, strategi, dan
pelanggan. Sedangkan Mohammad (2003) menyatakan bahwa kualitas pelayanan
tergantung pada aspek-aspek seperti pola pelaksanaan, dukungan sumber daya
manusia, dan manajemen kelembagaan. Perspektif Baru Pelayanan Publik dan
Good Governance dinilai paling tepat untuk kondisi saat ini dalam menghadapi
permasalahan pelayanan publik di Indonesia, dengan menggunakan model seperti
model citizen charter, model KYC (Know Your Customer), dan model m-
Government.
Kata Kunci: Masalah, Kualitas, Pelayanan Publik
4. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pelayanan kepada masyarakat telah menjadi tujuan utama dalam
penyelenggaraan administrasi publik. Di Indonesia, penyelenggaraan pelayanan
publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan pelayanan
publik di negeri ini cenderung terjadi, sedangkan implikasinya seperti diketahui
sangat luas karena menyentuh seluruh ruang publik baik di bidang ekonomi,
sosial, dan politik. kehidupan politik, budaya dan lainnya. -lainnya. Di bidang
perekonomian, buruknya pelayanan publik akan berimplikasi pada penurunan
investasi yang dapat mengakibatkan terjadinya PHK di industri dan tidak adanya
lapangan kerja baru yang juga akan berdampak pada meningkatnya angka
pengangguran. Akibat lebih lanjut dari permasalahan ini adalah munculnya
kerawanan sosial.
Perbaikan pelayanan publik akan dimungkinkan perbaikan iklim investasi
sangat dibutuhkan bangsa ini agar segera keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Sayangnya, upaya perbaikan masih sebatas basa-basi. Dalam
berbagai kajian yang dilakukan terhadap pelayanan publik, nampaknya hal
tersebut tidak berjalan linier dengan reformasi yang dilakukan di berbagai sektor
sehingga pertumbuhan investasi justru bergerak ke arah negatif. Akibatnya,
harapan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat membantu bangsa ini
keluar dari berbagai krisis ekonomi belum terwujud sesuai harapan.
Sementara itu, dalam kehidupan politik, buruknya pelayanan publik
berimplikasi besar terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Pelayanan publik yang buruk menjadi salah satu variabel penting yang mendorong
krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Krisis kepercayaan ini
diwujudkan dalam bentuk protes dan demonstrasi yang cenderung tidak sehat,
menunjukkan rasa frustrasi masyarakat terhadap pemerintah.
Berkaitan dengan hal tersebut, peningkatan pelayanan publik mutlak
diperlukan agar masyarakat dapat mempunyai citra buruk terhadap pemerintah
ditingkatkan, karena peningkatan kualitas pelayanan publik dapat mempengaruhi
kepuasan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dapat dibangun kembali.
Dari segi sosial budaya, pelayanan publik yang buruk mengakibatkan
terganggunya psikologi masyarakat yang ditandai dengan menurunnya rasa saling
menghormati antar masyarakat, munculnya rasa saling curiga, meningkatnya
eksklusivitas yang berlebihan, yang pada akhirnya berujung pada ketidakpedulian
masyarakat baik terhadap masyarakat. pemerintah dan terhadap sesama. Akibat
yang sangat buruk terlihat melalui berbagai kerusuhan dan tindakan anarkis di
5. berbagai daerah. Seiring dengan itu, masyarakat cenderung memilih jalan pintas
yang mengarah ke arah negatif dengan berbagai tindakan yang tidak rasional dan
cenderung melanggar hukum.
1.2. Rumusan Masalah
Penulis mengambil masalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja masalah-masalah dalam pelayanan publik di Indonesia ?
2. Apa saja pilihan perspektif administrasi dalam mengatasi masalah
pelayanan publik di Indoensia ?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki tujuan sebagai
berikut:
1. Mengetahui masalah-masalah dalam pelayanan publik di Indonesia
2. Mengetahui pilihan perspektif administrasi dalam mengatasi masalah
pelayanan publik di Indoensia
6. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyelenggaraan pelayanan publik pada prinsipnya ditujukan kepada
manusia. Wajar jika setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara
ekstrim dapat dikatakan pelayanan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Sejak lahir manusia sudah memerlukan jasa, seperti yang diungkapkan
oleh Rusli (2004) bahwa sepanjang hidupnya manusia selalu membutuhkan jasa.
Pelayanan menurutnya sesuai dengan teori siklus hidup kepemimpinan bahwa
pada awal kehidupan manusia (masa bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi,
namun seiring bertambahnya usia manusia maka pelayanan yang dibutuhkan akan
semakin berkurang.
Masyarakat setiap saat selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas
dari para birokrat, padahal tuntutan tersebut seringkali tidak sesuai dengan
harapan karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih
diwarnai dengan hal-hal seperti berbelit-belit, lambat, mahal, melelahkan,
melelahkan, dan melelahkan. dan tidak pasti. Keadaan ini terjadi karena
masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukannya dilayani.
Pelayanan publik secara konseptual dapat dijelaskan dengan mengkajinya
kata demi kata. Menurut Kotler yang dikutip Lukman (2000), disebutkan bahwa
pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kelompok
atau unit, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk fisik. Istilah publik dalam istilah sehari-hari di Indonesia sering diartikan
sebagai negara atau umum, hal ini biasa dijumpai dalam pola bahasa Indonesia
yang menerjemahkan publik seperti pada istilah administrasi publik yang
diterjemahkan menjadi administrasi negara. Kata “publik” sebenarnya telah
diterima dalam bahasa Indonesia baku menjadi “publik” yang berarti masyarakat
umum, atau orang banyak. Berdasarkan uraian pengertian di atas, maka berbagai
pengertian pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan bagi
kebutuhan masyarakat atau masyarakat yang berkepentingan terhadap organisasi
sesuai dengan aturan pokok dan prosedur yang telah ditetapkan (Kurniawan,
2005). Dalam Keputusan Menteri Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang dimaksud
dengan masyarakat adalah segala kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, pelayanan publik merupakan pemenuhan keinginan dan kebutuhan
masyarakat oleh penyelenggara negara. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa pengertian pelayanan publik
adalah suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau administrasi. layanan yang
disediakan oleh operator pelayanan publik.
7. Pelayanan publik pada dasarnya mencakup aspek kehidupan yang sangat
luas. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah mempunyai fungsi
menyelenggarakan berbagai pelayanan publik yang diperlukan masyarakat, mulai
dari pelayanan berupa peraturan atau pelayanan lainnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, utilitas, dan lain-lain
(Mohamad , 2003).
Berbagai gerakan reformasi publik yang dialami negara-negara maju pada
awal tahun 1990an sebagian besar dilatarbelakangi oleh tekanan masyarakat
terhadap perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah. Hal ini juga ditunjukkan dalam berbagai karya ilmiah yang telah
ditulis oleh para ahli yang berkaitan dengan pelayanan publik, termasuk yang
berkembang di Amerika Serikat dengan munculnya paradigma pasca birokrasi
oleh Barzelay (1992) bersama dengan Armajani (1997). Pandangan pasca-
birokrasi terkait pelayanan publik terlihat pada penekanan administrasi publik
pada hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk dan
keterikatan pada norma, serta mengutamakan misi, pelayanan dan hasil akhir
(outcome).
Hampir bersamaan dengan itu muncul paradigma reinventing Government
yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler (Keban, 2008) dan kemudian
dioperasionalkan oleh Osborne dan Plastrik pada tahun 1997 dalam karyanya
Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government.
Paradigma ini dikenal juga dengan istilah New Public Management. Pandangan
dari paradigma ini sebenarnya menekankan bahwa pemerintah atau birokrat harus
benar-benar memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Mereka
menilai, pemerintah harus melimpahkan kewenangan pengendaliannya kepada
masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan
yang diberikan pemerintah. Manajemen Publik Baru dipandang sebagai suatu
pendekatan administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin ilmu lainnya untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kinerja pelayanan publik dalam birokrasi
modern (Vigoda, dalam Keban, 2008).
Penjelasan lain mengenai perspektif pelayanan publik dapat dilihat pada
karya J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt dalam bukunya The New Public Service
(2003). Paradigma ini memberikan pandangan terkait pelayanan, yaitu
administrasi publik harus melayani warga negara, bukan pelanggan,
mengutamakan kepentingan publik, dan melayani daripada mengontrol. Landasan
teori pelayanan publik yang ideal menurut paradigma pelayanan publik baru
adalah pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nilai
publik yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan
mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok masyarakat.
Pandangan ini mengandung arti bahwa karakter dan nilai-nilai yang terkandung
8. dalam pelayanan publik harus memuat preferensi nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka karakter pelayanan publik
harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Selain itu, model
pelayanan publik yang baru ini harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana
dimaksud dengan landasan teori yang digunakan, yaitu teori demokrasi yang
menjamin kesetaraan warga negara tanpa membeda-bedakan asal usul, suku, ras,
suku, agama, dan latar belakang. (Dwiyanto, 2005).
9. BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Masalah-Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Terlepas dari berbagai teori, pendekatan, perspektif dan paradigma terkait
pelayanan publik yang terus berubah menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan
masyarakat yang berkembang di negara maju atau di belahan dunia lainnya.
Pergeseran ini bertujuan untuk menciptakan kerangka penyelenggaraan pelayanan
publik yang lebih baik, efisien, responsif dan berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, gelombang tekanan
untuk mengubah wajah pemerintahan dan substansi operasional mesin pelayanan
publiknya tidak lepas dari tekanan lembaga internasional seperti IMF, Bank
Dunia, atau lembaga donor lainnya. Hal ini tidak lepas dari kepentingan lembaga-
lembaga tersebut yang beroperasi di Indonesia.
Tuntutan perbaikan pelayanan publik terkadang menjadi prasyarat utama
bagi lembaga internasional atau negara donor dalam memberikan bantuan
(pinjaman). Seperti IMF dan Bank Dunia, kedua lembaga keuangan yang sangat
berpengaruh ini semakin rajin menekan tuntutan politik bagi negara-negara
berkembang untuk melakukan devolusi sistem pemerintahan dan sistem pelayanan
publik yang monopolistik sejak hampir dua dekade terakhir dengan mengadvokasi
kebijakan untuk memperkuat otonomi daerah, privatisasi sektor swasta, dan
privatisasi sektor swasta. sektor publik dan memberikan kesempatan yang luas
kepada sektor di luar birokrasi pemerintah (Abdul Wahab, 2000). Menelusuri
permasalahan pelayanan publik di Indonesia sebenarnya dapat dilihat pada
beberapa periode penyelenggaraan pemerintahan, misalnya mulai pada masa Orde
Baru dan terakhir pada masa reformasi. Pergeseran paradigma pelayanan publik
tidak lepas dari perubahan iklim politik yang berimplikasi pada kebijakan yang
dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Di Indonesia pada masa Orde Baru
misalnya, pelayanan publik diwarnai dengan dominasi negara terhadap berbagai
elemen kehidupan nasional, sehingga pada saat ini dikenal dengan paradigma
negara kuat atau negara otonom dimana kekuatan-kekuatan sosial politik antara
lain kekuatan pasar, bahkan memiliki pengaruh yang kecil terhadap kebijakan
publik dalam implementasi.
Era reformasi ditandai dengan paradigma deregulasi yang setengah hati,
dimana pemerintah memilih sektor-sektor tertentu untuk deregulasi yang
pertimbangan utamanya bukan pada pencapaian efisiensi pelayanan publik,
melainkan keamanan berusaha antara penyelenggara negara dan pengusaha besar.
Kemudian pada paradigma reformasi pelayanan publik. Paradigma ini mengkaji
peran pemerintah dan mendefinisikannya kembali sesuai konteks, yaitu perubahan
ekonomi dan politik global, penguatan masyarakat sipil, tata kelola pemerintahan
10. yang baik, meningkatnya peran pasar dan masyarakat dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan publik.
Meskipun secara politis di Indonesia era reformasi telah berlangsung
kurang lebih 10 tahun sejak lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998,
namun penyelenggaraan pelayanan publik masih diwarnai dengan berbagai
kelemahan, padahal sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam
upayanya. untuk meningkatkan layanan. kepada masyarakat, termasuk reformulasi
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya memberikan
perluasan kewenangan pada tingkat pemerintah daerah, dipandang sebagai upaya
untuk memangkas hambatan birokrasi yang seringkali mengakibatkan pemberian
pelayanan memakan waktu yang lama. dan mempunyai biaya yang tinggi. Dengan
adanya desentralisasi, mau tidak mau daerah harus mampu menjalankan berbagai
kewenangan yang selama ini diemban oleh pemerintah pusat, beserta pelayanan
yang harus diberikan.
Upaya meningkatkan pelayanan Kebijakan ini sudah lama dilaksanakan
oleh pemerintah, antara lain kebijakan tersebut terlihat pada Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kemudian Instruksi Presiden no. 1 Tahun
1995 tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Perkembangan terakhir juga telah diterbitkan Keputusan Menpan
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik. Upaya peningkatan kualitas pelayanan tidak hanya dicapai
melalui keputusan, namun juga melalui peningkatan kemampuan petugas dalam
memberikan pelayanan. Upaya tersebut dilakukan dengan memberikan berbagai
materi mengenai manajemen pelayanan dalam pelatihan struktural di berbagai
tingkatan.
Hanya saja dari berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pelayanan publik, namun masih ditemukan berbagai kelemahan dalam pelayanan
publik tersebut. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan UGM pada tahun
2002, diketahui bahwa dari segi efisiensi dan efektivitas, daya tanggap, kesetaraan
perlakuan dan besarnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan
(Mohamad, 2003). Oleh karena itu, jika membandingkan upaya yang telah
dilakukan pemerintah dengan kondisi pelayanan publik yang dibutuhkan di era
desentralisasi, nampaknya upaya pemerintah tersebut belum memberikan
kontribusi yang banyak terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik itu
sendiri. Bahkan birokrasi pelayanan publik masih belum mampu memberikan
pelayanan yang adil dan non-partisan.
Jika kita memperhatikan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan
pelayanan publik di Indonesia, maka permasalahan utama pelayanan publik saat
ini adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Menurut
Albrecht dan Zemke (1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi
11. dari berbagai aspek yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia pemberi
pelayanan, strategi, dan pelanggan. Sedangkan Mohammad (2003) menyatakan
bahwa kualitas pelayanan sangat bergantung pada aspek-aspek seperti cara
pelaksanaannya, dukungan sumber daya manusia, dan lembaga yang
mengelolanya.
Dilihat dari pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia
masih mempunyai berbagai kelemahan, antara lain: (1) kurang responsif, (2)
kurang informatif, (3) kurang mudah diakses, (4) kurangnya koordinasi, (5)
birokratis, (6) kurang mau mendengarkan keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan
(7) inefisiensi. Dilihat dari sisi sumber daya manusia, kelemahan utama terkait
dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Pola kerja yang digunakan
sebagian besar aparatur saat ini masih dipengaruhi oleh model birokrasi klasik,
yaitu cara kerja terstruktur/hierarki, legalistik formal, dan sistem tertutup. Selain
itu, beberapa pendapat menilai bahwa lemahnya sumber daya manusia aparatur
pemerintah dalam memberikan pelayanan disebabkan oleh sistem kompensasi
yang rendah dan tidak tepat. Kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
lainnya dapat dilihat pada sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
desain organisasi yang tidak dirancang secara khusus guna memberikan pelayanan
kepada masyarakat penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan menjadi
berbelit-belit (birokrasi). ) dan tidak terkoordinasi. Pemerintah masih mempunyai
kecenderungan untuk menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi regulasi dan
fungsi administrasi, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak
efisien.
3.2. Pilihan Perspektif Administrasi Dalam Mengatasi Masalah Pelayanan
Publik
Sebagaimana diketahui, perkembangan atau perubahan paradigma
administrasi publik selalu berlangsung sesuai dengan tuntutan lingkungan, seperti
situasi dan kondisi sosial, perubahan iklim politik dan ekonomi. Berbagai
perubahan terjadi seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang
dihadapi oleh penyelenggara publik. Para ahli teori menyikapi kompleksitas ini
dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik.
Denhardt dan Denhardt (2003) menyatakan ada tiga perspektif dalam
administrasi publik. Perspektif tersebut adalah administrasi publik lama,
manajemen publik baru, dan pelayanan publik baru. Berdasarkan cara pandang
yang dikemukakan oleh Denhardt dan Denhardt sebagai pencetus cara pandang
baru mengenai administrasi publik yaitu new public service, kedua ahli ini
menyarankan untuk meninggalkan prinsip-prinsip administrasi klasik dan
manajemen publik baru yang terkenal dengan reinventing governance, dan beralih
ke prinsip pelayanan publik baru. Menurut Denhardt dan Denhardt (2003),
administrasi publik harus:
12. 1) Melayani anggota masyarakat, bukan pelanggan.
2) Mengutamakan kepentingan umum.
3) Menghargai kewarganegaraan lebih dari kewirausahaan.
4) Berpikir strategis dan bertindak demokratis.
5) Menyadari bahwa akuntabilitas bukanlah sesuatu yang mudah.
6) Melayani daripada mengontrol.
7) Hargai manusia, bukan produktivitas saja.
Pandangan yang serupa dengan perspektif yang dikemukakan oleh
Denhardt dan Denhardt, walaupun dengan nama yang berbeda, adalah perspektif
yang dikemukakan oleh Bovaird dan Loffler (2003) bahwa ada tiga pendekatan
dalam administrasi publik, yaitu administrasi publik, manajemen publik, dan
manajemen publik. pemerintahan. Sementara itu, G. Shabbir Cheema (2007)
sebagaimana dikutip Keban (2008) mengemukakan empat fase administrasi
publik yang juga menggambarkan perkembangan administrasi publik, yaitu:
administrasi publik tradisional, manajemen publik, manajemen publik baru, dan
tata kelola.
Paradigma terakhir yang dikemukakan Cheema yaitu governance
mendapat perhatian besar dari berbagai negara melalui ajakan UNDP untuk
menggunakan istilah Good Governance. UNDP meliputi (Keban, 2008):
1) Partisipasi, yaitu seluruh masyarakat harus diberikan kesempatan yang
sama untuk menyampaikan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga perantara
yang mewakili kepentingannya.
2) Rule of law, yaitu aturan hukum harus adil dan ditegakkan tanpa
diskriminasi.
3) Transparansi, yaitu keterbukaan yang harus dibangun atas dasar
kebebasan arus informasi.
4) Responsiveness, yaitu lembaga dan proses yang ada harus diarahkan
untuk melayani pemangku kepentingan.
5) Orientasi konsensus, yaitu harus adanya proses mediasi untuk
mencapai konsensus umum berdasarkan kepentingan kelompok, dan
sedapat mungkin berdasarkan kebijakan dan prosedur.
6) Keadilan, yaitu setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraannya
7) Efektivitas dan efisiensi, yaitu proses dan lembaga yang ada sedapat
mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan
sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya.
8) Akuntabilitas, yaitu pengambil keputusan di lembaga pemerintah,
sektor publik, dan organisasi masyarakat sipil harus mampu
mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan dan putuskan
kepada publik serta pemangku kepentingan.
9) Visi strategis, yaitu pemimpin dan masyarakat harus memiliki
perspektif pembangunan manusia yang luas dan berjangka panjang,
dengan mempertimbangkan latar belakang sejarah dan kompleksitas
sosial budaya
13. Mencermati beberapa sudut pandang yang dikemukakan para ahli tersebut,
dan upaya mengatasi permasalahan terkait penyelenggaraan pelayanan publik di
Indonesia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kemajuan pengetahuan masyarakat dan perubahan iklim politik yang lebih
demokratis, maka perspektif administrasi publik relevan. yang dapat diterapkan
adalah perspektif pelayanan publik (NPS) dan tata kelola yang baru. NPS sebagai
paradigma terbaru administrasi publik menempatkan pelayanan publik sebagai
kegiatan utama penyelenggara publik. Pelayanan dalam konteks ini berbeda
dengan pelayanan berbasis pelanggan (konsumen) seperti yang dipahami dalam
paradigma New Public Management (NPM). NPM menurut Kamensky dalam
Denhardt dan Denhardt (2003) didasarkan pada teori pilihan publik, dimana teori
ini lebih menekankan pada kemampuan individu seseorang dibandingkan dengan
kemampuan publik secara bersama-sama.
Penggunaan perspektif Pelayanan Publik Baru dalam mengatasi
permasalahan pelayanan publik di Indonesia, hal ini juga sesuai dengan sila
negara Pancasila khususnya sila keempat dan kelima yang mengedepankan
musyawarah dan mufakat, dalam hal ini adanya kesepakatan antara pemerintah
sebagai pemberi layanan dan warga negara. sebagai penerima layanan. , bahwa
dalam aspek keadilan sosial hal ini menunjukkan bahwa pemberian pelayanan
kepada masyarakat harus didasarkan pada aspek keadilan dalam arti tidak boleh
ada diskriminasi atau perbedaan yang didasarkan pada alasan ekonomi, politik
atau alasan lain yang tidak rasional. Salah satu inti dari prinsip NPS adalah
bagaimana administrator publik mengartikulasikan dan berbagi kepentingan
warga negara (Denhardt dan Denhardt, 2003). Agar kepentingan warga negara
dapat terdistribusi secara merata, diperlukan suatu wadah pertemuan antara
pemerintah dan warga negara, sehingga seluruh kepentingan warga negara dapat
terakomodasi.
Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, beberapa kegiatan
telah dilakukan pemerintah, misalnya terlihat pada kegiatan perencanaan
partisipatif seperti musyawarah pembangunan (Musrenbang) di tingkat
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Namun kegiatan tersebut tidak
dapat dilaksanakan setiap saat, sehingga kepentingan masyarakat berupa
kebutuhan tidak dapat ditangkap secara cepat oleh pemerintah. Kebutuhan yang
muncul secara tiba-tiba, seperti kebutuhan kesehatan, air bersih, bisa terjadi kapan
saja. Agar kebutuhan masyarakat dapat segera diantisipasi dan ditangani oleh
pemerintah, diperlukan suatu media komunikasi antara pemerintah dan
masyarakat. Sesuai dengan perspektif Pelayanan Publik Baru dan good
governance, terdapat beberapa model pelayanan publik yang dapat digunakan
untuk mengatasi permasalahan pelayanan publik di Indonesia, antara lain:
1. Model Citizen’s Charter (kontrak layanannan), model ini berasal dari
gagasan Osborne dan Plastrik (1997). Dalam model ini, terdapat
standar pelayanan publik yang ditentukan berdasarkan masukan dari
14. warga, dan pejabat pemerintah berjanji untuk memenuhi dan
melaksanakannya. Model ini merupakan pendekatan pelayanan publik
yang memposisikan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Oleh
karena itu, kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa harus
diperhatikanmenjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan.
Piagam Warga ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial antara warga
negara dengan aparat birokrasi untuk menjamin mutu pelayanan
publik. Dengan kontrak sosial ini, warga negara mempunyai hak baru
jika dirugikan oleh birokrasi dalam memberikan pelayanan. Dengan
mengadopsi model Citizen's Charter, birokrasi juga harus membangun
sistem penanganan keluhan pelanggan dengan tujuan untuk terus
meningkatkan kinerjanya.
2. Model KYC (Know Your Customers), model ini dikembangkan di
dunia perbankan dan dapat disesuaikan dengan konteks pelayanan
publik di organisasi pemerintah. Mekanisme kerja pada model ini
adalah mencoba mengidentifikasi terlebih dahulu kebutuhan dan
kepentingan pelanggan sebelum memutuskan jenis layanan yang akan
diberikan (Dwiyanto, 2005). Untuk mengetahui keinginan, kebutuhan
dan kepentingan pengguna jasa, birokrasi pelayanan publik harus
mendekatkan diri kepada masyarakat. Beberapa metode yang dapat
digunakan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan pelanggan
adalah melalui survei, wawancara dan observasi. Jika menggunakan
metode survei, harus disusun daftar pertanyaan untuk mengidentifikasi
keinginan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat terhadap layanan yang
diinginkan. Dalam model KYC ini, birokrasi pemerintah harus
mengetahui siapa pelanggannya (masyarakat atau kelompok
masyarakat yang dilayani). Oleh karena itu, setiap unit birokrasi
pemerintahan harus mampu mendefinisikan pelanggan atau pengguna
jasanya, sehingga kedepannya dapat mengorientasikan pelayanannya
terhadap kebutuhan masyarakat pengguna jasa tersebut. Kantor camat
misalnya, harus bisa mengidentifikasi pengguna jasanya, apakah
berasal dari masyarakat di wilayah kelrahannya, atau camat dan bupati
yang lurah tersebut.
3. Model M-Government (m-Gov), kemajuan teknologi di bidang
informasi dan komunikasi memberikan pengaruh langsung maupun
tidak langsung terhadap kinerja birokrasi pemerintah khususnya dalam
hal pelayanan masyarakat. M-Government sebenarnya diadaptasi dari
Electronic Government (e-Gov) yang merupakan suatu cara untuk
menjalankan fungsi pemerintahan dengan memanfaatkan berbagai
perangkat teknologi informasi dan komunikasi (ICT) (Nugroho, 2008).
Menurut Kuschu dan Kuscu (2003), pemanfaatan e-Gov setidaknya
mampu mengubah pola interaksi antara pemerintah dan masyarakat.
15. Pelayanan yang semula berorientasi pada antrian (in line) di depan
meja pegawai dan tergantung pada jam kerja serta orang pegawai yang
menangani suatu pelayanan tertentu telah berubah menjadi pelayanan
online yang dapat diakses di website pemerintah melalui komputer
yang terhubung dengan internet. 24 jam sehari.
Konsep pemerintahan yang menggunakan teknologi seluler disebut
Mobile Government (m-Gov). Saat ini model tersebut dapat digunakan
dengan mudah karena fasilitas yang digunakan dapat melalui komputer
PC di rumah atau di kantor, laptop/notebook/tablet, dan telepon seluler
(ponsel). m-Gov adalah strategi dan implementasinya yang melibatkan
pemanfaatan semua jenis teknologi, layanan, aplikasi, dan perangkat
nirkabel dan seluler untuk meningkatkan manfaat bagi pihak-pihak
yang terlibat dalam e-Government termasuk warga negara, dunia
usaha, dan unit pemerintahan (Kuschu dan Kuscu , 2003).
Beberapa daerah di Indonesia sudah menerapkan e-Gov, seperti Kota Solo
dan Kabupaten Sragen. Presiden SBY juga memanfaatkan e-Gov untuk
memberikan layanan seperti pembukaan layanan SMS di nomor 9949 untuk
menerima pengaduan masyarakat dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menerima pengaduan masyarakat terkait kasus korupsi melalui fasilitas SMS. Ada
beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengimplementasikan m-Gov, seperti
melalui jaringan internet menggunakan laptop, saat ini sudah banyak tersedia
jaringan WiFi (wireless fidelity), yaitu perangkat yang memungkinkan pengguna
mengakses internet secara nirkabel bahkan di beberapa lokasi. memiliki hotspot
gratis yang tersedia. Cara lain yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan
m-Gov adalah melalui telepon seluler, baik melalui suara maupun SMS (layanan
pijat singkat).
Penggunaan suara melalui telepon atau telepon seluler (ponsel) untuk
menerima kebutuhan dari masyarakat sering digunakan dalam dunia bisnis dengan
nama Call Center, di lembaga perbankan dikenal dengan istilah phone banking.
Bagi organisasi publik, konsep ini diterapkan dengan menempatkan beberapa
pegawai sebagai agen.
Nantinya agen ini akan memberikan informasi mengenai kebutuhan
masyarakat. Selain berfungsi sebagai garda terdepan dalam memberikan layanan
informasi kepada masyarakat, agen ini juga dapat berfungsi sebagai penghubung
aspirasi masyarakat dengan pemerintah. Kebutuhan masyarakat dituangkan dalam
suatu sistem yang terintegrasi sehingga dapat diketahui oleh pimpinan lembaga.
Melalui fasilitas SMS di ponsel merupakan fasilitas yang dapat digunakan untuk
mengirim dan menerima pesan singkat. Ada beberapa bentuk pemanfaatan
teknologi ini di pemerintahan (Nugroho, 2008), antara lain:
a) Government to society, dalam hal ini pemerintah dapat memberikan
informasi kepada warganya melalui SMS.
16. b) Public to Government, pengaduan dan saran masyarakat dapat
disampaikan kepada pemerintah melalui SMS. Menurut Lallana dan
Zalesak (2004) poin a dan b diatas disebut mKomunikasi.
c) Pemerintah kepada PNS, pemerintah dapat memberikan pengumuman
kepada PNS melalui SMS, sehingga informasi dapat diterima lebih
cepat dan pada akhirnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.
bisa lebih cepat. Kemampuan ponsel lainnya adalah mampu
memberikan lokasi keberadaan PNS, hal ini diperlukan untuk
mengetahui keberadaan pegawai jika sedang tidak berada di kantor.
Menurut Lallana dan Zalesak (2004), hal ini disebut m-Administrasi.
Ada beberapa cara atau pola yang dapat digunakan untuk mengefektifkan
model pelayanan M-Gov ini, konsep yang ditawarkan oleh (Nugroho, 2008)
adalah:
a) Komunitas dengan Database Pengaduan Masyarakat
b) Database Pengaduan Masyarakat kepada Pemerintah Daerah
c) Database Pengaduan Masyarakat ke DPRD
d) Sistem Pengaduan Masyarakat dengan Muspida
e) Sistem internal Pemerintah Daerah melalui SMS
17. BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perspektif Pelayanan Publik Baru dan Good Governance dinilai paling
tepat dengan kondisi saat ini dalam mengatasi permasalahan pelayanan publik di
Indonesia. Hal ini didukung oleh situasi politik yang lebih demokratis dan
keterbukaan pemerintahan. Dan untuk implementasi yang efektif dari perspektif
ini, dapat diimplementasikan dengan menggunakan beberapa model seperti model
piagam warga, model KYC (Know Your Customer), dan model m-Government.
Dengan adanya model-model di atas diharapkan hambatan-hambatan yang selama
ini menghambat efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik dapat diatasi
sehingga penyelenggaraan pelayanan publik dapat ditingkatkan efektivitasnya,
meskipun hal tersebut semua kembali pada pribadinya. atau pelaksana pelayanan
yaitu aparatur pemerintah dan juga partisipasi. publik
18. DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, J.V., dan Denhardt, R.B., 2003. The New Public Service: An
Approach to Reform. International Review of Public Aministration Vol 8
No 1. 2004. The New Public Service: Serving, Not Steer- ing. New York:
M.E Sharve.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Frederickson, H.G., 1987. Administrasi Negara Baru (terjemahan). Jakarta:
LP3ES.
Keban, Y.T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori
dan Isu. Jakarta: Gava Media.
Kushcu dan Kuscu. 2003. From E-government to M-government: Facing the
Inevitable in the Proceeding of European Confrence on E-Government
(ECEG 2003), Trinity College, Dublin.
Lallana, E. 2004. eGovernment for Develop- ment, M-Government
Definitions and Models. www.egov4dev.org/mgovdefn. htm. di akses
(20 Mei 2007)
Nugroho, Rino A., 2008. “Model Pelayanan Publik Menggunakan M-
Governement (Studi Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo dan
Karanganyar)”. Jurnal Dinamika, Vol 8 : No. 2.
Osborne, D., dan Gaebler, T., 1996. Mewira- usahakan Birokrasi:
Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik
(Terjemahan). Jakarta: CV Taruna Grafika.
Osborne, D., dan Plastrik, P., 1997. Banishing Bureaucracy: The Five
Strategies for Reinventing Governement . New York: Addison-
Wessley Publising Company.
Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Public Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Zalesak, Mischal. “Overview and Opportunities of Mobile Government”.
www.develop mentgateway.org/download/218309/mGov.doc.