Ta’arudh Adillah menjadi topik yang hangat, Ta’arudh Adillah merupakan pertentangan antara dua dalil hukum -Islam. Dalil-dalil yang saling bertentangan padahal sumber atau asal dari dalil-dalil itu adalah pembuat syariat yakni Allah dan Rasulnya, sehingga untuk memetakan pertentangan-pertentangan ada beberapa cara yang telah dikenal untuk menyelesaikan Ta’arudh al-adillah seperti Nasakh, Tarjih ataupun Jam’ wa Taufiq.
Ilmu dasar tentang hadits, dengan ini kita bisa melihat bagaimana sebuah hadits bisa berstatus shohih, hingga ke maudhu, mohon sabar, karena tidak semua dijadikan dalam satu paparan slide, karena materinya cukup panjang sehingga harus disusun sesederhana mungkin namun tetap sistematis dan tidak merusak struktur pembelajaran.
tahun ajaran 2013-2014 semester I
kelas XII IPA II | Madrasah Aliyah Negeri 1 Rantau
nama : Risma Amalia dan Muhammad Maulana abdillah
guru pembimbing : Bapak Hilal Najmi
Ta’arudh Adillah menjadi topik yang hangat, Ta’arudh Adillah merupakan pertentangan antara dua dalil hukum -Islam. Dalil-dalil yang saling bertentangan padahal sumber atau asal dari dalil-dalil itu adalah pembuat syariat yakni Allah dan Rasulnya, sehingga untuk memetakan pertentangan-pertentangan ada beberapa cara yang telah dikenal untuk menyelesaikan Ta’arudh al-adillah seperti Nasakh, Tarjih ataupun Jam’ wa Taufiq.
Ilmu dasar tentang hadits, dengan ini kita bisa melihat bagaimana sebuah hadits bisa berstatus shohih, hingga ke maudhu, mohon sabar, karena tidak semua dijadikan dalam satu paparan slide, karena materinya cukup panjang sehingga harus disusun sesederhana mungkin namun tetap sistematis dan tidak merusak struktur pembelajaran.
tahun ajaran 2013-2014 semester I
kelas XII IPA II | Madrasah Aliyah Negeri 1 Rantau
nama : Risma Amalia dan Muhammad Maulana abdillah
guru pembimbing : Bapak Hilal Najmi
5. Yang berpegang dengan dalil istihsan
ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas,
yaitu memenangkan qiyas khafi atas
qiyas jali atau mengubah hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar
ketentuan umum kepada ketentuan
khusus karena ada suatu kepentingan
yang membolehkannya.
6. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain
yang menggunakan istihsan ialah
sebagian Madzhab Maliki dan sebagian
Madzhab Hambali.
7. Yang menentang istihsan dan tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah
ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut
mereka adalah menetapkan hukum
syara' berdasarkan keinginan hawa
nafsu.
8. Ditinjau dari segi pengertian istihsan
menurut ulama ushul fiqh di atas, maka
istihsan itu terbagi atas dua macam,
yaitu:
Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
Pindah dari hukum kulli kepada hukum
juz-i
9.
10. Istishab menurut bahasa berarti ”mencari
sesuatu yang ada hubungannya”.
Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap
berpegang pada hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau kejadian sampai
ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Atau dengan kata lain, ialah menyatakan
tetapnya hukum pada masa lalu, sampai
ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum tersebut.
11. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A
dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang
berjauhan selama 15 tahun. Karena telah
lama berpisah itu maka B ingin kawin
dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum
dapat kawin dengan C karena ia telah
terikat tali perkawinan dengan A dan
belum ada perubahan hukum perkawinan
mereka walaupun mereka telah lama
berpisah. Berpegang ada hukum yang
telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum
yang ditetapkan dengan istishab.
12. Dari keterangan dan contoh diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishab itu bukanlan cara menetapkan
hukum (thuruqul istinbath),
13. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa
sebenarnya istishab itu tidak lain
hanyalah untuk mempertahankan
hukum yang telah ada, bukan untuk
menetapkan hukum yang baru.
14. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah
itu istishhab dapat dibagi kepada:
Istishhab berdasar penetapan akal
Istishhab berdasarkan hukum syara’
15. Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara
hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan
yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak
menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau
qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan
seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa.
Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah,
maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an,
kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia
tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun
(boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik
pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’
(istishhab al-hal).
Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka
prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku.
16. Pendapat pertama, bahwa istishhab
adalah dalil (hujjah) dalam penetapan
ataupun penafian sebuah hukum.
Pendapat ini didukung oleh Jumhur
ulama dari kalangan Malikiyah,
Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah
dan sebagian Hanafiyah.
17. Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah secara
mutlak, baik dalam menetapkan hukum
ataupun menafikannya. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab
adalah hujjah pada saat membantah
orang yang memandang terjadinya
perubahan hukum yang lalu –atau yang
dikenal dengan bara’ah al-dzimmah-dan
tidak dapat sebagai hujjah untuk
menetapkan suatu hukum baru.
18.
19. Maslahah mursalah ialah pembinaan
(penetapan) hukum berdasarkan
maslahah (kebaikan, kepentingan) yang
tidak ada penentuannya dari syara’
baik ketentuan secara umum atau
secara khusus.
20. Maslahah itu harus hakikat, bukan
dugaan.
Maka maslahah-maslahah yang bersifat
dugaan, sebagaimana yang dipandang
sebagian orang dalam sebagian syari’at
tidaklah diperlukan, seperti dalil
maslahah yang dikatakan dalam soal
hak talak tersebut kepada hakim saja
dalam semua keadaan.
21. Maslahah harus bersifat umum dan
menyeluruh, tidak khusus untuk orang
tertentu dan tidak khusus untuk
beberapa orang dalam jumlah sedikit.
Maslahah itu harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang dituju oleh
syari’.
Maslahah itu bukan maslahah yang
tidak benar, di mana nash yang sudah
ada tidak membenarkannya dan tidak
menganggap salah.
22. Ditinjau dari materinya, para ulama ushul
fikh membagi maslahah menjadi dua :
› Maslahah ammah
› Maslahah khassah
Sementara dilihat dari berubah atau
tidaknya maslahah , Muhammad Mustafa
al-Ayalabi membagi maslahah menjadi 2 :
› Maslahah al stabitah,
› Maslahah Mutaghayirah
23. Dan dilihat dari segi keberadaan
Maslahat itu sendiri, syariat
membaginya atas tiga bentuk yaitu:
› Maslahah muktabarah
› Maslahah al-mulghah
› Maslahah yang keberadaannya
tidak didukung oleh syarak dan
tidak pula ditolak melalui dalil yang
detail (rinci).
Maslahah al-gharibah
Maslahah al-mursalah
24.
25. Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering
disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan
namun para ulama membahas kedua
kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang
diterima oleh tabiat dan akal sehat
manusia.
26. Macam-macam Urf
Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya
o Urf ‘am (umum)
o Urf khosh (khusus)
Urf ditinjau berdasarkan objeknya
o Urf Lafzhy (ucapan)
o Urf Amali (perbuatan)
Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya
o Urf shahih
o Urf bathil
28. Kata sadd adz-dzari’ah ( سد الذريعة ) merupakan
bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata,
yaitu sadd ( سَ د ) dan adz-dzari’ah ( .(الذَّرِيْعَة
Secara etimologis, kata as-sadd ( (السَّ د
merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari
سَدَّ يَسُ د سَدًّا . Kata as-sadd tersebut berarti
menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lobang.
Sedangkan adz-dzari’ah ( الذَّرِيْعَة ) merupakan
kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya
sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah ( (الذَّرِيْعَة
adalah adz-dzara’i ( .(الذَّرَائِع
29. Dari berbagai pandangan di atas, bisa
dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah
adalah menetapkan hukum larangan
atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan maupun
dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
30. Secara umum berbagai pandangan
ulama tersebut bisa diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu:
oYang menerima sepenuhnya
oYang tidak menerima sepenuhnya
oYang menolak sepenuhnya
32. Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-
Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi
empat macam, yaitu:
› Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti
menimbulkan kerusakan (mafsadah).
› Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan
atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja
dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu
keburukan (mafsadah).
› Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan
namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu
keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja.
› Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan
namun terkadang bisa menimbulkan keburukan
(mafsadah).
33. Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan
ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi
adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
› Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang
meskipun bisa menjadi jalan atau sarana
terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan
› Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti
mencaci maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa
penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci maki Allah seketika itu pula.
› Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang
atau diperbolehkan, seperti memandang
perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya
zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada
unsur riba.