Teks tersebut membahas tentang pentingnya pendidikan agama Islam pada anak-anak dengan menggunakan penanaman nilai dan pembiasaan. Pendidikan agama yang efektif dilakukan pada usia dini agar menjadi bekal kehidupan dewasa. Ada lima pendekatan penanaman nilai yaitu penanaman, perkembangan moral, analisis nilai, klarifikasi nilai, dan pembelajaran berbuat. Pembiasaan agama melalui perilaku keagamaan dalam keluarga sangat
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Agama yang sumbernya pada nilai-nilai Qur’an semakin diperlukan oleh anak-anak kita,
untuk mempersiapkan masa depannya yang lebih maju, kompleks, canggih, dan penuh tantangan. Mengapa
anak-anak? Apakah orang dewasa tidak lagi membutuhkan pendidikan Agama wa bil khusus pendidikan
Agama Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sejenak berpaling pada pendapat Benyamin
Spock yang mengatakan bahwa usia 0-12 tahun merupakan masa emas anak untuk dirangsang intelektual
dan kreativitasnya, karena 80% perkembangan anak ditentukan pada usia tersebut. Hal ini sekali lagi bukan
berarti kita menafikan keekfetifan pendidikan Agama Islam pada usia dewasa. Bukankah penyair Arab telah
bersenandung, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di masa dewasa ibarat mengukir
di atas air? Rasulullah sendiri telah berstatemen melalui sabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah; “Didiklah
anak-anak kalian dan buatlah pendidikan mereka itu menjadi baik”.
Dari latar belakang ini, jelas bahwa penanaman pendidikan Agama Islam sangat efektif jika
dilakukan pada usia anak-anak sehingga dewasa nanti akan menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari
(pembiasaan).
B. Pembatasan Masalah
Sebagai antisipasi penulis agar pembaca tidak mengalami ambigu dan supaya pembahasan lebih
fokus, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Pendidikan : memelihara dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan
berpikir. Dengan menarik lebih dalam, maka makna pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan
tatalaku seseorang dalam mendewasakan manusia.
2. Agama : sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu.
3. Islam : agama yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’anyang
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
4. Penanaman : berasal dari kata dasar tanam yang berarti menaburkan paham atau ajaran.
5. Pembiasaan : melakukan sesuatu seperti yang sudah-sudah.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain:
1. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai?
2. Bagaimana pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan?
D. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai.
2. Mengetahui pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan.
2. BAB II
ISI
A. Pendidikan Agama Islam dengan Penanaman Nilai
Anak-anak dengan segala potensi yang terpendam, perlu kita poles supaya benar-benar terbentuk
kepribadian yang luhur. Konsep John Locke tentang tabularasa nya menggambarkan bahwa anak akan baik
atau buruk tergantung lingkungan terdekatnya. Bisa jadi, orang tua, keluarga, atau masyarakat sekitar.
Anak dianggap sebagai barang pasif yang tak punya kekuatan sehingga hanya bisa menerima apapun yang
datang dari luar dirinya.
Berbeda dengan John Locke, Nabi Muhammad SAW mempunyai konsep bahwa anak yang lahir di
dunia ini sudah membawa bekal dan potensi yang populer dengan istilah fitrah. Orang tua hanya
meneruskan dan mengelola potensi ini.
Dari dua pandangan tokoh di atas, bisa kita tarik benang merah yaitu faktor penting lingkungan
keluarga terutama orang tua dalam mendewasakan anak-anak mereka. Masa inilah yang seharusnya
dimanfaatkan orang tua untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Agama Islam.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Zakiah Darajat (1996) yang mengatakan bahwa “apabila latihan-
latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau
tidak benar, maka ketika menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau
kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si anak mendapatkan
latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat dia dewasa akan semakin merasakan
kebutuhannya kepada agama”.
Kemudian bagaimana cara kita menanamkan pendidikan nilai pada anak-anak kita? Tentu saja
jawabannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi juga bukan mustahil ketika kita mau
mengusahakan dan melihat apa yang telah dituturkan oleh Trimo, S.Pd.,M.Pd dengan analisisnya;
“setidaknya ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni (1) Pendekatan penanaman nilai atau
inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau cognitive moral development
approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4) Pendekatan klarifikasi nilai atau
values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan
pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini.
Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks,
1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara
bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita
tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi
mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi
muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai
dengan tempat dan zamannya.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam
membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah
menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
3. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa
dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.
Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam
suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977).
Selanjutnya dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey
membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
(1) Tahap “premoral” atau “preconventional”.
Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
(2) Tahap “conventional”.
Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria
kelompoknya.
(3) Tahap “autonomous”.
Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan
pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan
dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan
jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu
kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral
mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang
teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg
mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan
moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang
menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai
kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada
heteronomi.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-
nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting
antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah
yang memuat nilai-nilai sosial. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam
proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut:
Langkah Analisis Nilai Tugas Penyelesaian Masalah
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai
yang terkait.Mengumpulkan fakta yang berhubungan Mengurangi perbedaan dalam fakta yang
berhubungan.
2. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang
berkaitan.
4. 3. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara
fakta yang bersangkutan.
4. Merumuskan keputusan moral sementara Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan
sementara.
5. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan Mengurangi perbedaan dalam
pengujian prinsip moral yang diterima.
6. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran
mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang
sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh
seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor
luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini
berpandangan bahwa isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan
adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi
nilai menurut pendekatan ini.
Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:
Pertama : Memilih
a) Dengan bebas.
b) Dari berbagai alternatif.
c) Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.
Kedua : Menghargai
a) Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya.
b) Mau mengakui pilihannya itu di depan umum.
Ketiga : Bertindak
a) Berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya.
b) Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978).
c) Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran
berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa
sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan
“moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran
kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam
suatu masyarakat yang demokratis.
B. Pendidikan Agama Islam dengan Pembiasaan.
Witeng tresno jalaran soko kulino. Demikian cetusan pepatah Jawa ini kerap menjadi pedoman bagi
kita. Apapun pendidikan yang kita peroleh dan dari mana pun ilmu yang selama ini kita dapat, semuanya
5. tiada guna jika tidak terbiasa untuk diimplementasikan. Al Ghazali dalam Ayyuhal Walad berkata bahwa inti
sari dari ilmu adalah untuk diamalkan.
Lagi-lagi, peran orang tua sebagai lingkungan terdekat sangat mempengaruhi pembiasaan anak-
anaknya dalam mengejawantahkan apapun yang telah ia dapat dari luar. Pembiasaan-pembiasaan perilaku
seperti melaksanakan nilai-nilai ajaran agama Islam (beribadah), membina hubungan atau interaksi yang
harmonis dalam keluarga, memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan nasehat merupakan hal yang
senantiasa harus dilakukan oleh orang tua agar perilaku remaja yang menyimpang dapat dikendalikan.
An-Nahlawi (Dahlan : 1992) menyatakan bahwa metode pendidikan dan pembinaan akhlak yang perlu
diterapkan oleh orang tua dalam kehidupan keluarga adalah sebagai berikut :
a. Metode hiwar (percakapan)
b. Metode kisah.
c. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
d. Metode mendidik dengan teladan.
e. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
f. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
g. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
Selain Al-Nahlawi, pakar pendidikan lain seperti Al-Ghazali juga menjelaskan (Abul Quasem : 1988)
bahwa perubahan dan peningkatan akhlak dapat dicapai sepanjang melalui usaha dan latihan moral yang
sesuai, untuk itu maka dalam mewujudkan akhlak yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu pengalaman (al-tajribah) dan latihan diri (riyadhah).
Secara teknis peran orang tua dalam membiasakan pendidikan Agama Islam di antaranya:
a. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana yang diperintahkan dalam ajaran agama Islam. Dalam hal ini orang tua
harus menjadi contoh yang baik dengan memberikan bimbingan, arahan, serta pengawasan
sehingga dengan kondisi seperti ini remaja menjadi terbiasa berakhlak baik.
b. Meningkatkan interaksi melalui komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini dituntut untuk dapat
berperan sebagai motivator dalam mengembangkan kondisi-kondisi yang positif yang dimiliki
remaja sehingga perilaku atau akhlak remaja tidak menyimpang dari norma-norma baik norma
agama, norma hukum maupun norma kesusilaan.
c. Meningkatkan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tua dalam melaksanakan seluruh
fungsi keluarganya baik fungsi agama, fungsi pendidikan, fungsi keamanan, fungsi ekonomi
maupun fungsi sosial harus dilandasi dengan penanaman disiplin yang terkendali agar dapat
mengendalikan akhlak atau perilaku.
` Agama Islam sebagai sumber nilai akhlak harus dijadikan landasan oleh orang tua dalam membina
akhlak karena agama merupakan pedoman hidup serta memberikan landasan yang kuat bagi diri. Di
samping itu pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orang tua sehari-hari seperti sholat, membaca Al-
Qur’an, menjalankan puasa serta berperilaku baik merupakan bagian penting dalam pembentukan dan
pembinaan akhlak.
6. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui berbagai pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:
1. Pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai menggunakan beberapa pendekatan, yaitu melalui: (1)
Pendekatan penanaman nilai atau inculcation approach,(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif atau
cognitive moral development approach, (3) Pendekatan analisis nilai atau values analysis approach, (4)
Pendekatan klarifikasi nilai atau values clarification approach, dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat
(action learning approach).
2. Metode Pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan dapat dilakukan dengan cara:
1. Metode hiwar (percakapan).
2. Metode kisah.
3. Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan).
4. Metode mendidik dengan teladan.
5. Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Metode mendidik dengan mengambil ibroh (pelajaran) dan mau’idhoh (peringatan).
7. Metode mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan :
a. Dalam mewujudkan pendidikan Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan hendaknya
dimaksimalkan oleh orang tua (lingkungan keluarga) dengan berbagai pendekatan yang ada.
b. Orang tua (keluarga) tak henti-hentinya meningkatkan pendidikan Agama Islam dengan pembiasaan
dengan berbagai metode.
C. Kata Penutup
Demikian makalah ini dibuat. Semoga bisa menjadi tambahan wacana bagi kita terkait tentang pendidikan
Agama Islam dengan penanaman nilai dan pembiasaan. Segala manfaat yang terserap semata hanya
karena ridho-Nya, sedangkan kekhilafan yang ada murni hadir dari penulis. Saran krituk senantiasa terbuka
sebagai acuan perbaikan tulisan ini. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Yudha, Pendidikan Qur’ani Senantiasa Berpihak pada Anak,
(http://keyanaku.blogspot.com).
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: KARYA AGUNG, 2005.
Kania, Ikeu, Peranan Keluarga dalam Membina Akhlak Remaja, (http//friendster.com).
Trimo, Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan, (http://re-searchengines.com/0807trimo.html).