1) Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan moral dan keagamaan remaja, termasuk teori-teori perkembangan moral dan pengaruh agama terhadap remaja.
1. Perkembangan Moral Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu,
seperti:
1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2. Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang
harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan
kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang
sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima
perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
1). Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2). Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3). Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis
kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan
terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4). Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5). Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut
tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu
2. mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan
mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat
memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak
faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional
harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip
dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan
dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila
hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua
individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk
menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas
didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat
pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1). Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2). Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode
prilaku.
3). Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral adalah salah satu topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin
tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat
mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan
tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat
diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat
potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang
perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak
boleh dikerjakan.
3. Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral,
teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego,
dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan
tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem
ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-
benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk
mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku
moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan
semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatan-
perbuatannya.
font-size: 12pt; line-height: 150%;">B. Perkembangan Keagamaan Remaja.
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan
hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang
apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia.
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem
tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya
berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan
terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap
kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan
untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama
dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama
merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
4. Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan
kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada
kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala
mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka
abaikan (Bossard dan Boll, 1943).
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman
dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan
tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia
ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari
eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah
mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka
baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada
diawan, maka pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan
agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua
mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan
kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama
masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman
agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget,
ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal
operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih
abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada
anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan
bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan,
pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang
agama.
5. Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan
cirri-ciri pokoknya saja.
James Fowler (1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius.
Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja
akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk
pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan
religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan
seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk
menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks
pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih
penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks
pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-
pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan
penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas
masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi,
mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan,
yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional
(konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada
garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang
secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan
remaja adalah sebagai berikut:
1). Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a) Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang
kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan
ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
6. b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang
enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2). Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
a) Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual,
bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan
dipilihnya.
c) Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu
puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya,
yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan
jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup
didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari
rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan
pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan
agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima
agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas
menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.