Dokumen tersebut membahas pentingnya pendidikan moral dalam mendidik generasi muda agar menjadi manusia yang berprestasi dan bermoral tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, dokumen menyebutkan konsep tripusat pendidikan yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai sarana pendidikan informal dan nonformal untuk membentuk akhlak dan intelektual siswa.
Pendidikan moral upaya mendidik generasi seutuhnya
1. Pendidikan Moral
Upaya Mendidik
Generasi Seutuhnya
REP | 01 June 2011 | 12:44 Dibaca: 432
Komentar: 1 Nihil
Pada sebuah museum di
Konstantinopel (Istanbul, Republik
Turki) terdapat koleksi benda kuno berupa lempengan tanah liat berasal dari tahun 3800 SM,
yang bertuliskan: We haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and
wicked. Politics are very corrupt. Children are no longer respectful to their parents. Makna
yang terkandung dari tulisan itu adalah kita mengalami zaman edan dan dunia telah diliputi
kemiskinan serta kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat
kepada orang tua (Cahyoto: 2002).[1]
Kesadaran manusia akan pentingnya Pendidikan adalah kesadaran utama yang harus
dipertahankan. Pendidikan sebagai simbol adanya kekuatan “Akal” yang Allah anugerahkan
kepada segenap manusia. Sehingga tidak heran jika pendidikan diatur dengan sistem
sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kemudahan dalam rangka transformasi
pendidikan.
Banyak ragam dan corak dari sistem yang bergulir hingga periode ini. Ada yang berbasis
pendidikan akademik, berbasis pesantren, dst. Namun, kesemua basis itu memiliki tujuan
sama serta impian satu “Mencerdaskan Anak Bangsa”. seiring bergulirnya waktu, cita-cita
pencerdasan itu seakan melangit dan tak terbantahkan. Banyak lulusan-lulusan akademik
yang ahli dalam bidang teknologi, matematika, itu adalah bentuk cita-cita.
Perubahan demi perubahan dialami oleh proses pendidikan berlabel intelektual. Perubahan
cukup dirasa adanya ketidakseimbangan antara ilmu yang didapat dengan penerapannya
dalam taraf amal. Penelitian secara operatif dan objektif terus digulirkan untuk
merekonstruksi cita-cita semu menjadi cita-cita hakiki “Intelektual dan Bermoral Tinggi”.
2. Pergeseran Nilai Moral
Moral yang mendefinisikan kata “Akhlak”[2] terfokus pada pendidikan atau budi pekerti
yang mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk
tindakan. Moral[3]menjadi basis mentalitas seseorang sangat mempengaruhi baik atau
buruknya prestasi. Nilai moral yang sampai saat ini menjadi cita-cita seakan tergeser oleh
keadaan zaman. Zaman dilakoni oleh teknologi cukup menuai perubahan yang signifikan
terhadap moral seseorang. Moral yang baru tumbuh sudah dijatuhi oleh tangga besar yaitu
“Teknologi”. Hal itu bukan berarti memojokkan teknologi, bukan berarti menilai teknologi
sebagai propokator degradasi moral, tidak! Hanya saja teknologi menjadi motif tersendiri dari
hasil berbagai penelitian.
Secara lebih spesifik pergeseran moral sangat
dipengaruhi oleh dua faktor mendasar:
1. Faktor Internal
Faktor yang timbul dari diri seseorang akibat
kelalaian dan kemalasan diri untuk mendalami nilai-nilai kemoralan. Moral yang
seharusnya diutamakan malah dijadikan nomer Sembilankan, sehingga seakan moral
malah menjadi tabu, menghabiskan waktu untuk membaca teori-teori. Faktor internal
ini yang akan merubah sikap dan tingkah laku seseorang. Misalkan yang dulunya
hormat kepada orang tua, hormat kepada yang lebih tua namun sekarang rasa hormat
itu hilang digilas kesombongan. Karena telah lalai dengan kondisi moral pribadi. Dan
jika hal ini terjadi, maka tidak heran apabila kemudian terjangkiti penyakit-penyakit
yang lebih berbahaya dalam dirinya.
1. Faktor Eksternal
Walaupun faktor ini muncul dari luar kepribadian seseorang namun sangat dominan
untuk merubah karakter. Karena dari melihat, mencoba dan terbiasa, sikap pribadi
seseorang akan berubah seketika. Faktor eksternal yang muncul dari keluarga yang
kurang empati terhadap pendidikan moral, keluarga tidak terlalu memperhatikan masa
depan moral anak, keluarga disibukkan oleh urusan dunia semata. Selain dari pada itu
lingkungan sangat rentan akan musibah pergeseran moral pada seseorang.
Lingkungan yang dipenuhi jiwa-jiwa harta, pemuda-pemudi yang hidup dalam
kebebasan tak terkendali, kondisi ini sangat memungkinkan perubahan tingkah dan
prilaku seseorang.
3. Dari kedua faktor mendasar di atas tentunya seseorang akan dapat melihat perubahan-
perubahan yang dialami oleh pengidap “Lalai dan Enggan”. Lalai pada pendidikan moral
dan enggan untuk belajar moral!. Sehingga pribadi yang lemah akan mudah dijangkiti
oleh penyakit-penyakit yang diciptakan oleh diri sendiri atau timbul dari luar kemudian
menyebar keseluruh organ dan merusak sistem moral.
Tripusat Pendidikan Moral
Belajar dari konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara[4] (Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia). Beliau berkomentar bahwa fenomena sekolah tak
ubahnya penjara bagi mereka yang memegang monopoli transfer ilmu pengetahuan.
Sekolah seolah-olah menjadi satu-satunya tempat belajar. Guru yang berada di depan
ruang kelas mendominasi peserta didik. Siswa-siswa tak merdeka itu dengan proses
pendidikan yang otoriter dan tidak menjamin kebebasan semacam itu, bakal terbentuk
hanya sekadar sebagai sekrup mekanisme.[5]
Konsep pendidikan semisal Ki Hajar Dewantara sejatinya mengedepankan daya upaya
untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak. Konsep tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan
sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambngan. Dari situ tersurat wawasan
kemajuan, karena sebagai suatu proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri
dengan tuntunan kemajuan zaman. Tuntutan zaman yang tentunya menjadi sarana
pengembangan diri untuk lebih menjadi orang yang bermoral dan berwawasan tinggi
“Prestasi dan bermoral”.
Demi menciptakan generasi prestasi bermoral tersebut tentunya ada cara dan konsep yang
harus ditempuh. Konsep yang ditata dengan keseriusan penuh cita-cita sangat pantas
untuk dijadikan rujukan dalam mencetak generasi-generasi yang handal, berwawasan luas
dan bermoral tinggi. Konsep tersebut adalah Tripusat atau tiga lingkungan. Yang meliputi
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat serta gerakan
pemuda.
1. Lingkungan Keluarga
Pendidikan dalam lingkungan keluarga berlangsung pendidikan informal tentang
agama, budi pekerti, dan dasar-dasar hidup kemasyarakatan. Pendidikan keluarga ini
sangat ditentukan oleh anak dan para orang tua. Orang tua menjadi komponen besar
dalam mencetak moralitas anak. Dengan cara mengajarkan keilmuan agama,
pendidikan moral, kisah-kisah penggugah, dan pendidikan lain yang menghantarkan
anak pada kesadaran untuk bermoral tinggi.
4. 1. Lingkungan Sekolah
Pendidikan ini lebih cenderung dilakukan dalam jam formal. Pendidikan yang
diperoleh di sekolah-sekolah di bawah pimpinan guru mengenai berbagai ilmu
pengetauan. Potensi intelektual akan cenderung mudah didapat dari jam formal
disekolah. Karena pendidikan dilakukan secara rutin dan dengan sistem lembaga
memadai sehingga menjadi khazanah bagi anak untuk mengembangkan pengetahuan
umum. Dengan hadirnya perpustakaan sekolah, diskusi-diskusi rutin dengan
mengambil tema-tema utama untuk mengasah mental anak didik dalam memahami
ilmu.
1. Lingkungan Masyarakat
Lingkunagn masyarakat atau yang lebih akrab dengan ajang pendidikan nonformal,
merupakan tempat anak didik berlatih berbagai keterampilan dan memperluas hidup
kemasyarakatan. Disamping itu lingkungan masyarakat menjadi tolak ukur
keberhasilan anak didik. Karena lingkunagn sebagai sekolah berjalan sebagai tempat
untuk mengasah wawasan.
Sebagai konsekuensi dari tripusat pendidikan itu adalah teladan bagi anak didik tidak terbatas
pada kalangan pendidik saja, kedua orang tua, tokoh masyarakat, pemimpin masyarakat,
maupun pemimpin bangsa pun jadi panutan. Semua itu akan menjadi tolak ukur keberhasilan
penerapan sistem moral terhadap generasi penerus atau anak didik. Jikalau pemimpin dan
tokoh masyarakatnya atau orang tuanya tidak bisa menjadi teladan atau panutan yang baik,
maka secara otomatis anak didik yang sekaligus sebagai generasi penerus menjadi generasi
muda yang susah untuk diperbaiki. Menjadi perhatian penting bahwa pendidikan seharusnya
diarahkan agar tidak hanya mengejar intelektual saja. Akan tetapi, moral anak didiknya juga
harus diperkuat. Jika yang dikejar hanya intelektualnya saja maka dinamakan pengajaran,
tetapi jika yang dikejar intelektual dan moralnya maka hal itu bisa dikatakan sebagai
pendidikan.
Pembentukan moral adalah tugas pengajar budi pekerti. Pengajaran budi pekerti yang tidak
lain adalah mendukung perkembangan hidup para generasi, lahir dan batin dari sifat
kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Pengajaran moral ini
hendaknya berlangsung sejak anak-anak hingga dewasa dengan memperhatikan tingkatan
perkembangan jiwanya.
5. Sebagai bahan pengajaran, tradisi pendidikan islam yang bermetodekan syariat. Misalnya
diterapkan pada anak-anak kecil untuk membiasakan mereka bertingkah laku dan berbuat
menurut peraturan dan kebiasaan umum. Tripusat yang menyuratkan tiga unsur penting
terpatri pada dua akhlak: (a) akhlak-vertikal (akhlak terhadap Allah SWT), (b) akhlak-
horizontal (akhlak terhadap sesama manusia dan lingkungan).
Akhirnya dengan modal tripusat mudah-mudahan dapat menyelaraskan antara prinsip dunia
(intelektual) dan prinsip agama (moral) yang kemudian dapat menciptakan keselarasan antara
prestasi dan hati, antara wawasan akal dan keluasan spiritual, antara prestasi dan moral
sehingga terwujud generasi yang cerdas secara intelegensi, emosional, dan spiritual.
Wallahu a’lam bis-Shawab.
. disadur dari pendahuluan
[1] buku “Pendidikan Moral dan budi
pekerti” (Dra. Nurul Zairah,M.si)
.kaitannya dengan akhlak, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
[2]
aku (Nabi Muhammad SAW) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia (dalam riwayat yang lain dengan lafadz untuk memperbaiki akhlak).
(HR. Bukhari).
. Moral mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat,
[3]
sopan santun, dan perilaku.
[4].RadenMas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Ki Hajar Dewantara, dilahirkan pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia
berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Ia tergolong penulis
tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta
mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
.dipaparkan dalam artikel “Urgensi Pendidikan Budi Pekerti Bagi Dunia
[5]
Pendidikan Kita (Harapan dan Tantangan Menyongsong Era Globalisasi
Dunia)”Oleh Dra. Nurul Zuhairah, M.si