DI SUSUN OLEH :
NAMA : WIDYIA ASTUTI
NPM : 1434021395
KELAS : KARYAWAN (SABTU)
NAMA DOSEN : DR. EDDY SANUSI, SE, MM
NAMA PENGARANG : DR. H. SUDIARTO, SH, M.HUM
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan
Berisi penjelasan tentang penyelesaian sengketa bisnis, baik secara ligitasi dan non ligitasi. dijelaskan dengan gambar ilustratif dan desain yang eyecatching
tidak terlalu maksimal, karena sebenarnya ini bukan tugas yang dikumpulkan ke dosen. tapi, aku sudah berusaha sampai pusing kepala.. haha
catatan ini untuk keperluan ujian hukum perdata ku di kampus
slide ini di buat dalam perkuliahan hukum kontrak atau contract drafting, pada masa perkuliahan semester 7 tahun 2011, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jurusan HUKUM BISNIS SYARIAH
KLP 1 LANDASAN TEORITIS DAN FAKTUAL TENTANG LEMBAGA ARBITRASEandimuhraihan
Secara umum bisnis diartikan sebagai suatu urusan atau kegiatan dagang. Bisnis dalam bahasa Inggris berasal dari kata business yang berarti kegiatan usaha. Bisnis merupakan keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terusmenerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitasfasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Kegiatan bisnis dapat dikelompokkan dalam beberapa bidang usaha, yaitu bidang industri(industry): seperti pabrik, bidang perdagangan(commerce): seperti agen, makelar, bidang jasa(service): seperti konsultan, bidang agraris(agrarian): seperti pertanian dan perkebunan, dan bidang ekstraktif(ekstractive): seperti pertambangan dan penggalian.
DI SUSUN OLEH :
NAMA : WIDYIA ASTUTI
NPM : 1434021395
KELAS : KARYAWAN (SABTU)
NAMA DOSEN : DR. EDDY SANUSI, SE, MM
NAMA PENGARANG : DR. H. SUDIARTO, SH, M.HUM
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan
Berisi penjelasan tentang penyelesaian sengketa bisnis, baik secara ligitasi dan non ligitasi. dijelaskan dengan gambar ilustratif dan desain yang eyecatching
tidak terlalu maksimal, karena sebenarnya ini bukan tugas yang dikumpulkan ke dosen. tapi, aku sudah berusaha sampai pusing kepala.. haha
catatan ini untuk keperluan ujian hukum perdata ku di kampus
slide ini di buat dalam perkuliahan hukum kontrak atau contract drafting, pada masa perkuliahan semester 7 tahun 2011, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jurusan HUKUM BISNIS SYARIAH
KLP 1 LANDASAN TEORITIS DAN FAKTUAL TENTANG LEMBAGA ARBITRASEandimuhraihan
Secara umum bisnis diartikan sebagai suatu urusan atau kegiatan dagang. Bisnis dalam bahasa Inggris berasal dari kata business yang berarti kegiatan usaha. Bisnis merupakan keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terusmenerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitasfasilitas untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Kegiatan bisnis dapat dikelompokkan dalam beberapa bidang usaha, yaitu bidang industri(industry): seperti pabrik, bidang perdagangan(commerce): seperti agen, makelar, bidang jasa(service): seperti konsultan, bidang agraris(agrarian): seperti pertanian dan perkebunan, dan bidang ekstraktif(ekstractive): seperti pertambangan dan penggalian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sengketa berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Dalam penyelesaian sengketa, kita dihadapkan pada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa, yaitu litigasi ataunon-litigasi. Pada umumnya, cara menyelesaikan sengketa adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan atau litigasi.
2. hbl,Chives Radin ,prof.hapzi ali,alternatif resolusi sengketa atau resolus...
Alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan
1. M. Husni: Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa...
10
ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA BISNIS DI LUAR PENGADILAN
M. Husni
Abstract: Today arbitration overview as important legal institution as one
dispute resolution out of court that based on one bussiness arbitration agreement
that made by the parties. Arbitration institution have many positive aspect, like/
such as the confidentially of the dispute parties, and the time of resolution that
related in short time. Arbitration is an alternative dispute resolution that
attractive in business dispute resolution that occur/happen ini bussinessman
society, because trusted more efficient and effective.
Kata Kunci: Arbitrase, Penyelesaian sengketa alternatif, Litigasi
Dunia bisnis dalam menjalankan profesinya ingin agar segala sesuatunya dapat
berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Namun dalam kenyataannya ada kalanya
apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak tidak dapat dilaksanakan karena salah satu
pihak mempunyai penafsiran yang berbeda dengan apa yang telah disetujui dalam kontrak,
sehingga hal ini dapat menimbulkan perselisihan atau sengketa. Selanjutnya setiap sengketa
yang terjadi pada umumnya akan diusahakan agar dapat diselesaikan secara musyawarah untuk
mufakat bagi kepentingan bersama. Namun tak sedikit pula harus menyelesaikan sengketa itu
melalui jalur hukum baik melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan.
Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, boleh
dikatakan akan selalu berusaha untuk dihindari oleh banyak pihak. Hal ini dikarenakan proses
dan jangka waktu yang relatif lama dan berlarut- larut karena ada beberapa tingkatan dalam
hierarkhi pengadilan yang harus dilalui. Selain itu juga dikarenakan identitas para pihak yang
bersengketa akan diketahui oleh masyarakat, sebab prinsip sidang yang dilakukan oleh
lembaga peradilan adalah pada asasnya terbuka untuk umum. Tentunya bagi pihak yang sudah
mempunyai nama di kalangan dunia bisnis kurang begitu suka identitasnya dipublikasikan
lewat kasus di pengadilan, karena khawatir kebonafiditasnya yang terjamin selama ini akan
luntur khususnya di kalangan rekan-rekan bisnisnya, di samping itu juga karena peradilan yang
ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
Dunia usaha sering kali juga secara langsung atau tidak langsung merasa terpukul oleh system
dan cara kerja peradilan yang dianggap kurang tanggap terhadap kebutuhan ekonomi dunia
usaha.
Sehubungan dengan itu masyarakat mencari cara dan sistem penyelesaian sengketa
yang cepat, efektif dan efisien yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan
perekonomian dan perdagangan di masa datang. Banyak kalangan yang mencari cara lain atau
institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan peradilan. Model penyelesaian
sengketa di luar pengadilan inilah yang menjadi alternatif dalam penyelesaian sengketa.
Model ini cukup popular di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama
ADR (Alternative Dispute Resolution) yang diantaranya meliputi negosiasi, mediasi, dan
arbitrase. Walaupun penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan menggunakan model ADR,
2. JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
11
namun tidak menutup peluang penyelesaian perkara tersebut dilakukan secara litigasi atau
pengadilan, manakala penyelesaian secara non litigasi tidak membuahkan hasil.
Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 30 TAHUN 1999 TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA. Undang-undang ini tidak
hanya mengatur tentang arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa,
melainkan juga alternatif penyelesaian sengketa lainnya di Indonesia.
Alternatif penyelesaian sengketa dalam UU No.30 Tahun 1999 diatur dalam Bab II
yaitu Pasal 6. Dari pengertian yang dimuat dalam Pasal 1 angka 10 dan rumusan Pasal 6 ayat
(1) UU No.30 Tahun 1999, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan alternatif
penyelesaian sengketa adalah: “Suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan, atau
dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dalam kaitan
dengan hal tersebut diatas maka permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah langkah-
langkah apa yang harus ditempuh untuk meletakkan arbitrase sebagai pilihan penyelesaian
sengketa bisnis.
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
“Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk arbitrase) dapat diberi batasan sebagai
sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata
cara penyelesaian sengketa melalui bentuk arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan
mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan
pihak ketiga yang independent yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa
tersebut” (Abdulrasyid, 2002).
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan ADR (Alternative Dispute
Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa
di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan menyampingkan penyelesaian
sengketa secara litigasi di pengadilan. Dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat kita temui
sekurangnya ada lima macam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
KONSULTASI
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan dalam UU No.30 Tahun 1999 mengenai
makna dari konsultasi. Dalam Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Gunawan Widjaja,
pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang
memberikan pendapatnya kepada kliennya untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya
tersebut (Widjaya, 2001). Peran konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa
yang ada tidaklah dominan sama sekali. Konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum),
sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian
sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan
juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang
dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
NEGOSIASI
Pada prinsipnya, yang dimaksud dengan negosiasi adalah “suatu proses tawar
menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang
terjadi di antara para pihak. Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa diantara para
pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan
masalah tersebut”. Negosiasi dilakukan oleh seorang negosiator. Mulai dari negosiasi yang
paling sederhana dimana negosiator tersebut adalah para pihak yang berkepentingan sendiri.
3. M. Husni: Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa...
12
Sampai kepada menyedia negosiator khusus, atau memakai lawyer sebagai negosiator. Dalam
Pasal 5 UU No.30 Tahun 1999 dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang
menurut Undang- Undang yang berlaku dapat diadakan perdamaian dapat pula dinegosiasikan.
Suatu negosiasi berhasil apabila terdapat kompromi atas posisi-posisi para pihak yang
antara lain dapat diukur dengan nilai uang. Pendekatan “Problem Solving” dalam negosiasi
menekankan pencapaian apa sebenarnya yang dikehendaki kedua belah pihak dan mencari hal-
hal yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Pendekatan dilakukan sebagai ganti dari
pendekatan untuk keuntungan salah satu pihak atas pihak lainnya (Rajagukguk, 2001).
MEDIASI
“Mediasi adalah suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak
luar yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi
kedua belah pihak” (Fuady, 2000).
“Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak
memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu
mereka memperoleh kesepakatan dengan memutuskan. Menurut rumusan Pasal 6 ayat (3) UU
No.30 Tahun 1999, “Mediasi adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari
gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak”. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No.30
Tahun 1999 itu juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa
atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator (Sudiarto, 2004).
KONSILIASI
Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, UU No.30 Tahun 1999 tidak
memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi. Jika
mengacu kepada asal kata konsiliasi yaitu “conciliation” dalam bahasa Inggris yang berarti
perdamaian dalam bahasa Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi
merupakan perdamaian.
Konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang
netral dan tidak memihak dengan tugas sebagai fasilitator untuk menemukan para pihak agar
dapat dilakukan penyelesaian sengketa. Konsiliator dalam menjalankan tugasnya harus
mengetahui hak dan kewajiban para pihak, kebiasaan bisnis, sehingga dapat mengarahkan
penyelesaian sengeta dengan berpegang kepada prinsip keadilan, kepastian dan objektivitas
dari setiap kasus tertentu.
Tugas dari konsiliator seperti juga mediator hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk
melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat ditemukan solusi oleh para pihak. Pihak
konsiliator hanya melakukan tindakan- tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan
para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak
lain jika pesan tersbut tidak mungkin disampaikan langsung, dan lain-lain. Sementara pihak
mediator melakukan lebih jauh dari itu. Namun, keputusan dan persetujuan terhadap keputusan
perkara tetap terletak penuh di tangan para pihak yang bersengketa.
PEMBERIAN PENDAPAT HUKUM
Pemberian pendapat hukum yang dalam hal ini adalah Lembaga Arbitrase merupakan
suatu masukan bagi para pihak dalam menyusun atau memuat kontrak yang akan mengatur
hak-hak dan kewajiban para pihak, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat
terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam kontrak yang telah dibuat oleh para pihak.
4. JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
13
Rumusan Pasa 52 UU No.30 Tahun 1999 menyatakan bahwa “para pihak dalam suatu
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas
hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Pendapat hukum ini bersifat mengikat
(binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kontrak pokok. Pendapat hukum ini juga bersifat akhir (final) sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 53 UU NO.30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:
“terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat
dilakukan perlawanan melalui upaya hukum”.
Adanya berbagai alternatif penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang
mempermudah para pelaku bisnis dalam menghadapi sengketa dagang. Pada saat ini sudah
harus ditinggalkan pembuatan kontrak yang tradisional dan beralih kepada model-model
kontrak modern ynag mencantumkan penyelesaian sengketa melalaui forum non litigasi. Para
konsultan hukum atau advokat disarankan agar kliennya dalam membuat kontrak dagang selalu
mencantumkan cara penyelesaian sengketa dengan memasukkan beberapa pilihan. Misalnya
dalam kontrak mensyaratkan bahwa dalam hal timbul sengketa hubungan dengan perikatan
tersebut, para pihak pertama- tama akan mencoba menyelesaikannya dengan cara negosiasi
atau mediasi. Jika upaya ini gagal, para pihak akan menyerahkan sengketa mereka kepada
lembaga arbitrase dengan mengikuti prosedur tertentu.
PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI PILIHAN DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA BISNIS
Di kalangan dunia bisnis, umumnya lebih mendayagunakan arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang terjadi diantara para pihak, daripada
penyelesaiannya melalui lembaga litigasi atau peradilan. Hal ini terjadi karena saat sekarang ini
ada suatu tendensi bahwa hampir di setiap kontrak dagang mencantumkan klausul penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, dimana arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa
yang sedang populer dan paling dianjurkan untuk digunakan dibandingkan dengan lembaga
penyelesaian sengketa lainnya.
Dalam menentukan cara penyelesaian sengketa tersebut, tentunya banyak
pertimbangan yang mendasari para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai upaya
penyelesaian sengketa yang akan atau sedang dihadapi. Namun demikian, kadangkala
pertimbangan para pelaku bisnis dalam memilih lembaga arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa para pihak tidaklah sama, karena itu perlu diketahui dasar pertimbangan
para pihak yang bersengketa dalam memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa
dalam kontrak dagang. Secara umum dalam alinea keempat Penjelasan Umum UU No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan dalam lembaga
arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan-kelebihan
itu antara lain: (1) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. (2) Dapat dihindarkan kelambatan
yang diakibatkan karena hal prosedur dan administrative. (3) Para pihak dapat memilih arbiter
yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil. (4) Para pihak dapat menentukan
pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase. (5) Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Di samping itu, ada beberapa dasar pertimbangan mengapa para pihak memilih
penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Beberapa pakar menulis bahwa sebagian besar
pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para pihak yang
bersengketa melalui arbitrase di luar pengadilan dari pada pengadilan di Indonesia karena
beberapa alasan berikut ini: (1) Sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. (2)
5. M. Husni: Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa...
14
Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim negara berkembang tidak
menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan
keuangan internasional yang rumit. (3) Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang
besar. (4) Keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan pengadilan
bertolak dari anggapan bahwa pengadilan akan bersikap subjektif kepada mereka karena
sengketa diperiksa dan diadili bukan berdasarkan hukum mereka, oleh hakim yang bukan dari
negara mereka. (5) Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan
siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang diantara mereka,
sedangkan putusan melalui arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis
yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai
kelebihan, antara lain: (1) Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu
relative singkat. (2) Biaya lebih murah. (3) Dapat dihindari expose dari keputusan di depan
umum. (4) Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks. (4) Para pihak dapat
memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase. (5) Para pihak dapat memilih
sendiri para arbiter. (7) Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya. (8)
Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi. (9) Keputusannya umumnya final dan
binding (tanpa harus naik banding atau kasasi). (10) Keputusan arbitrase umumnya dapat
diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.
(11) Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas. (12) Menutup
kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping” (Fuady, 2000).
Disamping kelebihan- kelebihan tersebut di atas, menurut Sudiarto dan Zaeni
Asyhadie ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih arbitrase
sebagai upaya penyelesaian perselisihan mereka. Pertimbangan tersebut secara lebih terperinci
dan lebih jelas ada sebagai berikut:
Ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri
Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan
menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan biasanya melalui
pengadilan umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, bahkan bisa sampai ke Mahkamah Agung. Apabila diperoleh putusan dari Pengadilan
Negeri, pihak yang merasa tidak puas dengan putusan itu akan naik banding dan kasasi
sehingga akan memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut.
Di samping itu, seringkali dijumpai bahwa dimana- mana seperti di lembaga peradilan
umum, dijumpai adanya tunggakan perkara- perkara yang menyebabkan semakin lamanya
penyelesaian perkara di pengadilan. Dengan demikian, dapatlah dimengerti mengapa jalur
lewat pengadilan tidaklah menguntungkan bagi dunia bisnis yang menuntut penyelesaian serba
cepat.
Prosesnya cepat
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase memerlukan waktu sekitar 60
(enam puluh) hari sehingga prosesnya relatif cepat, terutama jika para pihak beritikad baik.
Pertama; Dilakukan secara rahasia, Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk
menyerahkan suatu sengketa kepada badan/majelis arbitrase, yaitu bahwa pemeriksaan maupun
pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan secara tertutup sehingga tidak
ada publikasi dan para pihak terjaga kerahasiaannya. Sehingga pada siding pengadilan,
menurut ketentuan peraturan perundang- perundangan yang berlaku, dilaksanakan dengan sifat
terbuka untuk umum, begitu pula putusannya diucapkan dalam sidang terbuka. Pemeriksaan
6. JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
15
secara terbuka ini sering sangat merugikan bagi perusahaan (pihak yang bersengketa) bila
masyarakat mengetahui bahwa perusahaan tersebut mempunyai masalah karena akan
menurunkan prestisenya. Dengan demikian, memilih arbitrase merupakan jalan yang tepat
karena persidangan maupun pengucapan putusannya dilakukan secara tertutup. Persidangan
maupun pembacaan putusan secara terbuka hanya bisa dilakukan dengan seizin para pihak.
Kedua; Bebas memilih arbiter, Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang
akan menyelesaikan persengketaan mereka. Jika dalam hal ini para pihak tidak bersepakat
dalam memilih arbiter, maka penunjukan arbiter akan menjadi kewenangan pengadilan negeri,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 (1) UU No.30 Tahun 1999, “Apabila tidak tercapai
kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan
arbiter, ketua pengadilan negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”. Disamping
adanya kemungkinan penunjukan arbiter yang dilakukan oleh hakim, penunjukan arbiter juga
bisa dilakukan oleh badan arbitrase tertentu. Badan arbitrase mana yang akan berwenang
menentukannya tergantung pada kontrak arbitrasenya. Ketiga; Diselesaikan oleh ahlinya
(expert)
Penyelesaian sengketa di pengadilan kadangkala memerlukan biaya tambahan. Hal ini
karena seringkali dijumpai hakim kurang mampu menangani kasus/sengketa yang bersifat
teknis, seperti kasus pencarteran kapal dan sebagainya sehingga diperlukan saksi ahli yang
membutuhkan biaya. Saksi ahli ini dapat diperintahkan untuk memberikan keterangan di
bawah sumpah tentang apa saja yang bersifat teknis yang ingin diketahui oleh hakim guna
menyelesaikan kasus yang sedang diperiksanya.
Dalam hal penyelesaian melalui arbitrase, saksi ahli tidak mesti diperlukan karena
para pihak yang bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter yang serta
mengetahui masalah yang dipersengketakan. Hal ini membuat para pihak yang bersengketa
memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter dibandingkan jika mereka
menyerahkan kasusnya kepada pengadilan negeri.
Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)
Putusan arbitrase pada umumnya dianggap final dan binding (tidak ada upaya untuk
banding). Namun apabila hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan
menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan, maka pengadilan harus
mengesahkannya dan tidak berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.
Biaya lebih murah
Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya administrasi dan biaya
arbiter yang sudah ditentukan tarifnya. Prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak
terlalu formal. Di samping itu para arbiter adalah para ahli dan praktisi di bidang atau pokok
yang dipersengketakan sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan yang cepat dan
objektif. Hal ini tentunya menghemat biaya jika dibandingkan dengan melalui pengadilan.
Bebas memilih hukum yang diberlakukan
Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para
pihak sendiri dalam kontrak. Khusus dalam kaitannya dengan para pihak yang berbeda
kewarganegaraan, para pihak yang bebas memilih hukum ini berkaitan dengan teori pilihan
hukum dalam Hukum Perdata Internasional (HPI). Hal ini karena masing-masing negara
mempunyai HPI tersendiri.
7. M. Husni: Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa...
16
Eksekusinya mudah
Keputusan arbitrase umumnya lebih mudah dilaksanakan daripada putusan
pengadilan. Hal ini disebabkan karena putusan arbitrase bersifat final dan binding, yang
tentunya dilandasi dengan itikad baik para pihak. Pelaksanaan putusan arbitrase ini tergantung
para peraturan arbitrase yang berlaku dalam yurisdiksi dimana para pihak meminta untuk
melaksanakan putusan arbitrase. Keputusan arbitrase mungkin akan lebih cepat dilaksanakan
daripada melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini disebabkan putusan arbitrase dianggap
final dan tidak dapat diajukan banding kecuali ada alasan atau dasar yang khusus.
Kepekaan arbiter
Ciri penting lainnya adalah kepekaan/kearifan dan arbiter, termasuk perangkat hukum
yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa. Sekalipun para hakim di pengadilan
arbiter menerapkan ketentuan hukum untuk menentukan penyelesaian sengketa yang
dihadapinya, dalam hal-hal yang relevan arbiter akan memberikan perhatian yang besar
terhadap keinginan, realitas dan praktik dagang para pihak. Sebaliknya, pengadilan seringkali
memanfaatkan sengketa privat sebagai tempat untuk menonjolkan nilai-nilai masyarakat.
Akibatnya, dalam penyelesaian sengketa privat yang ditanganinya, pertimbangan hakim
seringkali mengutamakan kepentingan umum, kepentingan privat/pribadi merupakan
pertimbangan kedua.
Kecenderungan yang modern
Dalam dunia perdagangan modern, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi
peraturan perundang-undangan arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada
penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan. Pada umumnya Undang-Undang dirancang
untuk memberikan otonomi, kebebasan kepada para pihak untuk menunjuk hukum atau
prinsip-prinsip yang adil dapat diterapkan terhadap sengketa yang terjadi antara para pihak dan
memberikan kewenangan kepada para pihak untuk memilih para arbiter, sekaligus prosedur
yang dapat diterapkan dalam arbitrase.
Menurut Tan Kamello, memilih arbitrase yang dilakukan para pihak bukan tidak
beralasan, paling tidak sudah diketahui keuntungan dan kelemahan dari forum arbitrase
tersebut. Undang-Undang tidak mengajak para pihak untuk menyelesaikan sengketa para
forum arbitrase dengan alasan biaya murah. Semua biaya yang diperlukan untuk
menyelesaikan sengketa bisnis tersebut ditanggung oleh para pihak, dapat saja jumlahnya besar
atau kecil, jadi relative. Kata “biaya murah” para proses arbitrase selalu dikontradiksikan
dengan proses perkara di pengadilan, yang biayanya sulit untuk diestimasi, karena besarnya
pengeluaran para pihak untuk menghadapi “mafia pengadilan”. Hal ini berbeda dengan
arbitrase, yang sudah ditentukan jumlah biayanya oleh BANI, dan masih terasa asing untuk
mendengar kata “mafia arbitrase”.
Pada sisi lain, Undang- Undang menentukan proses waktu berlangsungnya
penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih singkat dari proses penyelesaian melalui
pengadilan. Seiring dengan itu, para pihak dengan kesepakatan tertulis menghindari “sang
hakim” memeriksa perkaranya. Sementara itu, ada juga yang berpendapat, memilih arbitrase
lebih professional, independent, arbiternya memiliki integritas moral, jujur dan dapat dipercaya
serta ahli di bidangnya. Keinginan para pihak memilih arbitrase juga karena untuk menghindari
formalitas dalam beracara di pengadilan. Demikian pula karena sifat privatisasi dari
penyelesaian arbitrase ini yang tidak dipublikasikan, tidak konfrontatif, damai, win-win
solution bukan win-loose solution, menjadikan arbitrase lebih digemari untuk dipilih para
pihak.
8. JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
17
Dari beberapa uraian tentang dasar pertimbangan mengapa para pihak lebih condong
memilih penyelesaian sengketa dagang melalui arbitrase dari pada pengadilan, pada dasarnya
dapat disimpulkan ada 3 (tiga) hal pokok, yaitu dilakukan dengan cepat, oleh ahli dan secara
rahasia. Di samping kelebihan tersebut, menurut Tan Kamello, penggunaan forum arbitrase
masih memiliki kelemahan. Hal ini terlihat dari beberapa faktor, antara lain: (1) Tidak mudah
untuk mengajak para pelaku bisnis menyelesaikan sengketanya kepada arbiter. (2) Klausul
arbitrase yang sudah dicantumkan dalam kontrak selalu diingkari salah satu pihak dengan
berbagai dalih. (3) Pengingkaran hakim terhadap norma hukum yang sudah dinyatakan secara
tegas Undang- Undang. (4) Masih ada keengganan para pihak untuk menyisihkan biaya yang
harus dipikul dalam proses arbitrase. (5) Pelaksanaan putusan arbitrase masih juga berkaitan
dengan pengadilan. (6) Dalam arbitrase tidak dikenal putusan-putusan yang mengikat arbiter
sebelumnya (seperti dalam ilmu hukum dikenal yurisprudensi). (7) Dalam forum arbitrase
internasional masih sulit untuk mempertemukan sengketa hukum yang berbeda sistem
hukumnya dari negara msing-masing.
Selain itu, arbitrase juga masih terdapat beberapa kelemahan yang bisa saja terjadi,
yakni antara lain: (1) Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan
bonafide. (2) Due Process Kurang terpenuhi. (3) Kurangnya unsure Finalty. (4) Kurangnya
power untuk menggiring para pihak ke settlement. (5) Kurangnya power untuk menghadirkan
barang bukti, saksi, dan lain-lain. (6) Kurangnya power untuk hal law enforcement dan
eksekusi keputusan. (7) Dapat menyembunyikan dispute dari Public Security. (8) Tidak dapat
menghasilkan solusi yang bersifat preventif. (9) Kemungkinan timbulnya keputusan yang
paling bertentangan satu sama lain karena tidak ada system “precedent” terhadap keputusan
sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter. Karena itu, keputusan arbitrase
tidak predektif. (10) Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu
sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standard mutu keputusan arbitrase. Oleh
karena itu, sering dikatakan “An arbitration is as good arbitrators”. (11) Berakibat kurangnya
upaya untuk mengubah system pengadilan konvensional yang ada. (12) Berakibat semakin
tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan (Fuady, 2000).
Dengan demikian, berbicara di depan peradilan wasit atau arbitrase tidak selalu seperti
apa yang dibayangkan atau malah terkadang tidak sesuai dengan dasar pertimbangan di atas.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan secara mendalam sebelum para pihak membuat
kontrak arbitrase yang diharapkan akan mampu menyelesaikan sengketa secara mudah, murah
dan cepat dapat menjadi cara penyelesaian yang sukar, lama dan mahal. Contoh untuk hal ini
adalah kasus Kartika Plaza yang menghabiskan waktu kurang lebih 9 tahun. Kasus ini pertama
kali diajukan pada tanggal 15 Januari 1981 oleh Amco Asia Corporation, Pan American
Development Limited dan PT.Amco Indonesia terhadap Republik Indonesia. Hal ini sesuai
dengan Konvensi ICSID yang telah disahkan juga oleh Indonesia dan dijadikan UU No.5
Tahun 1968, untuk menjamin dan menunjang iklim investasi di Indonesia. Kasus ini baru
selesai setelah pemeriksaan ronde ketiga yang putusannya dijatuhkan pada tanggal 31 Mei
1990 di Kopenhagen (Jerman) dan disampaikan kepada para pihak tanggal 5 Juni 1990. Jadi
menghabiskan waktu sembilan tahun.
Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase tidak selalu cepat dan murah. Demikian pula jika ternyata pelaksanaan putusannya
tidak bisa segera dilaksanakan, baik karena adanya itikad tidak baik dari para pihak maupun
karena adanya upaya bantahan terhadap putusan arbitrase. Pada hakikatnya, tercapai tidaknya
tujuan semula memilih arbitrase sebagai pilihan dalam penyelesaian sengketa dagang yang
akan atau telah tercantum dalam suatu kontrak bisnis, tergantung dari itikad baik para pihak.
Keuntungan yang utama berarbitrase adalah kerahasiaan dan tidak ada preseden serta tidak
terikat pada suatu prosedur tertentu. Namun, karena kelebihan-kelebihannya tadi lebih banyak
9. M. Husni: Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa...
18
menguntungkan bagi dunia bisnis, maka badan arbitrase terbukti sebagai pilihan dalam
penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang yang paling dianjurkan dan paling diminati.
Di samping itu dengan nama baik para pihak, semua permasalahan ingin diselesaikan
dengan cepat dan dengan itikad baik untuk melaksanakan hasil putusan arbiter. Dengan
demikian, arbitrase merupakan jalan yang terbaik bagi para pihak, dan itulah sebabnya para
pihak memilih arbitrase sebagai alternative penyelesaian sengketa bisnis.
KESIMPULAN
Arbitrase sebagai pilihan dalam penyelesaian sengketa bisnis dilakukan dengan
berbagai pertimbangan, dimana mereka tidak ingin sengketa yang dihadapi diketahui orang dan
lembaga arbitrase dapat memberikan jaminan kerahasiaan terhadap para pihak, baik dalam
proses pemeriksaan berlangsung sampai setelah putusan dijatuhkan. Disamping itu, arbitrase
diakui sebagai model penyelesaian sengketa yang mengedepankan pencapaian keadilan dengan
pendekatan konsensus dan berdasarkan pada kepentingan para pihak dalam mencapai “Win
Win Solution”. Namun dibalik semua kelebihan arbitrase ternyata ada satu hal penting yang
sangat tidak memuaskan para pihak, terutama pada saat pelaksanaan (eksekusi) putusan
arbitrase, baik putusan arbitrase nasional maupun putusan internasional, di Indonesia selalu
menghadapi kesulitan dan hambatan karena norma hukum yang ambivalen. Disatu pihak
arbitrase diakui sebagai salah satu model penyelesaian sengketa yang efektif, tetapi disisi lain
putusan arbitrase dapat dilaksanakan apabila tidak mendapatkan perintah untuk dieksekusi dari
Pengadilan Negeri.
Kontrak arbitrase dan penerapan klausul arbitrase menurut UU No.30 Tahun 1999
pada dasarnya merupakan bagian dari kebebasan para pihak dalam membuat kesepakatan
mengenai objek kontrak. Kesepakatan memilih lembaga arbitrase dapat dilakukan melalui dua
macam yaitu: (1) Sebelum terjadi sengketa dan dicantumkan dalam kontrak pokok, dinamakan
pactum de compremittendo; (2) Sesudah terjadi sengketa, dibuat dalam bentuk tertulis, terpisah
dari kontrak pokok, disebut acta compromise
Akan tetapi, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase.
Sengketa-sengketa diluar sengketa perdagangan bukan merupakan jurisdiksi lembaga arbitrase.
Kewenangan dan kekuatan hukum lembaga arbitrase terhadap putusannya menurut UU No. 30
Tahun 1999 adalah putusan arbitrase yang bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
mengikat para pihak yang bersengketa. Namun faktanya, putusan arbitrase tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan eksekusi atau tidak memiliki kekuatan eksekutorial terhadap
putusan yang dibuatnya sendiri, sehingga putusan tersebut tidak benar-benar mandiri dan sangat
tergantung pada kewenangan eksekutorial dari Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan oleh
syarat yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 itu sendiri, seperti dalam pasal 59 s/d pasal 64
untuk putusan arbitrase nasional, dan pasal 65 s/d pasal 69 untuk putusan arbitrase
internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu
Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska.
Badrulzaman, Mariam Darus. 2004, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa di
Bidang Ekonomi dan Keuangan di Luar Pengadilan, Makalah pada Acara Peresmian
BANI Sumatera Utara di Medan, tanggal 3 April 2004.
Fuady, Munir. 2000, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung:
Citra Aditya Bakti, hal 42.
10. JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
19
Juwana, Hikmahanto. Modul Pelatihan Dasar-Dasar Perancangan Kontrak Bisnis, Makalah
Disampaikan oleh Syapri Chan pada Acara Pendidikan Khusus Profesi Advokat
Kerjasama DPD. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Sumatera Utara dengan
Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 25 Agustus 2005.
Kamello, Tan. Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia. Makalah
Disampaikan pada Acara Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama DPD. Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Sumatera Utara dengan Fakultas Hukum Universitas
Dharmawangsa, Medan, 5 Agustus 2005.
Margono, Suyud. 2000, ADR (Alternative Dispute Resolution), & Arbitrase Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rajagukguk, Erman, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta, Chandra Pratama.
Suparman, Eman. 2004. Pillihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk
Penegakan Keadilan. Jakarta: Tatanusa.
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie. 2004. Mengenal Arbitrase Salah Satu Altenatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis. Jakarta: Tatanusa.
Usman,, Rachmadi. 2002. Hukum Arbitrase Nasional. Jakarta: Gramedia Widisarana
Indonesia.
Widjaja, Gunawan. 2001. Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.