BAB 11 - JURNAL KHUSUS PERUSAHAAN DAGANG
PENGANTAR AKUNTANSI 1
1. Warren, Carl S., dkk. 2014. Pengantar Akuntansi: Adaptasi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
2. Sumarsan, Thomas. 2013. Akuntansi Dasar dan Aplikasi dalam Bisnis Versi IFRS. Jakarta: Indeks.
E-Book Berbasis Project Based Learning pada Mata Pelajaran Akutansi KeuanganMarini Fitri Rahmawati
Penyusunan E-Book Berbasis Project Based Learning ini mengacu pada kurikulum 2013. Materi pembelajaran yang termuat adalah materi akuntansi persediaan. Setelah mempelajari materi pada e-book ini, peserta didik diharapkan dapat: (1) mengevaluasi pengertian persediaan; (2) membedakan klasifikasi persediaan dan sistem pencatatannya; (3) membedakan metode-metode yang digunakan untuk menentukan nilai persediaan; (4) mengevaluasi penggunaan metode dalam menentukan nilai persediaan; dan (5) mendesain kartu persediaan untuk menghitung nilai persediaan dengan sistem periodik dan sistem perpetual. E-Book ini juga memuat soal-soal esai dalam Dimensi Kognitif C4 – C6, yaitu soal esai yang dapat mengukur kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Indikator tersebut merupakan indikator berpikir kritis (critical thinking). Tujuan utama pengembangan E-Book berbasis Project Based Learning ini adalah untuk meningkatkan critical thinking peserta didik pada mata pelajaran akuntansi keuangan, materi akuntansi persediaan di Sekolah Menengah Kejuruan.
BAB 11 - JURNAL KHUSUS PERUSAHAAN DAGANG
PENGANTAR AKUNTANSI 1
1. Warren, Carl S., dkk. 2014. Pengantar Akuntansi: Adaptasi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
2. Sumarsan, Thomas. 2013. Akuntansi Dasar dan Aplikasi dalam Bisnis Versi IFRS. Jakarta: Indeks.
E-Book Berbasis Project Based Learning pada Mata Pelajaran Akutansi KeuanganMarini Fitri Rahmawati
Penyusunan E-Book Berbasis Project Based Learning ini mengacu pada kurikulum 2013. Materi pembelajaran yang termuat adalah materi akuntansi persediaan. Setelah mempelajari materi pada e-book ini, peserta didik diharapkan dapat: (1) mengevaluasi pengertian persediaan; (2) membedakan klasifikasi persediaan dan sistem pencatatannya; (3) membedakan metode-metode yang digunakan untuk menentukan nilai persediaan; (4) mengevaluasi penggunaan metode dalam menentukan nilai persediaan; dan (5) mendesain kartu persediaan untuk menghitung nilai persediaan dengan sistem periodik dan sistem perpetual. E-Book ini juga memuat soal-soal esai dalam Dimensi Kognitif C4 – C6, yaitu soal esai yang dapat mengukur kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Indikator tersebut merupakan indikator berpikir kritis (critical thinking). Tujuan utama pengembangan E-Book berbasis Project Based Learning ini adalah untuk meningkatkan critical thinking peserta didik pada mata pelajaran akuntansi keuangan, materi akuntansi persediaan di Sekolah Menengah Kejuruan.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
2. Kelompok 1 XI AK 2
1. Ilham Afrianda
2. Indra
Hendrajat
3. Meidi
Arfananda
4. M. Adlan
Ridhani
5. M. Erik
3. SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
A. PENGERTIAN SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir
atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pengertian lain
juga menyebutkan bahwa SSP adalah surat yang digunakan oleh Wajib
Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Penerima Pembayaran.
4. B. FUNGSI SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
1. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan
2. Sebagai dokumen atau surat yang dijadikan bukti pembayaran
pajak terutang
3. Sebagai pengganti bukti potong, bukti pungut dan SPT Masa
5. C. JENIS SURAT SETORAN PAJAK
1. Surat Setoran Pajak Standar;
2. Surat Setoran Pajak Khusus;
3. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor
4. Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan dalam
Negeri.
6. C. JENIS SURAT SETORAN PAJAK
SSP Standar adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak atau berfungsi untuk melakukan
pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran, dan
digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran, dan isi yang telah ditetapkan.
SSP Khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin
transaksi dan/atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang telah ditetapkan, dan
mempunyai fungsi yang sarna dengan SSP Standar dalam administrasi perpajakan.
Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) adalah SSP yang
digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor.
Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan dalam Negeri
(SSCP) adalah SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan
PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
7. D. UNSUR POKOK YANG ADA DALAM
SURAT SETORAN PAJAK
Untuk SSP Standar, paling sedikit memuat keterangan-keterangan sebagai berikut:
1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
2. Nama dan alamat Wajib Pajak;
3. Identitas Kantor Penerima Pembayaran;
4. Mata Anggaran Penerimaan (MAP)/Kode Jenis Pajak dan Kode Jenis Setoran;
5. Masa Pajak dan/atau Tahun Pajak;
6. Nomor Ketetapan (untuk pembayaran: STP, SKPKB, atau SKPKBT);
7. Iumlah dan Tanggal Pembayaran;
8. Uraian pembayaran; dan
9. Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan/atau Nomor Transaksi Bank (NTB) atau
Nomor Transaksi Pos (NTP).
8. E. MATA ANGGARAN PENERIMAAN
(MAP) UNTUK SURAT SETORAN
PAJAK
Berhubung SSP digunakan untuk melakukan pembayaran atas semua jenis pajak,
sedangkan pengadministrasian setiap jenis pajak adalah sendiri-sendiri dalam kas
negara (APBN), maka perlu ada Mata Anggaran Penerimaan (MAP) untuk setiap jenis
pembayaran pajak. Satu SSP Standar maupun SSP Khusus hanya dapat digunakan
untuk pembayaran satu jenis pajak, dan untuk satu Masa Pajak atau satu Tahun Pajak
surat ketetapan pajak Surat Tagihan Pajak dengan menggunakan satu MAP/Kode Jenis
Pajak dan satu Kode Jenis Setoran.
9. Berikut adalah MAP untuk setiap jenis pembayaran pajak yang
digunakan untuk keperluan pengisian SSP dan perekamannya di
bank persepsi atau pos persepsi, maupun di Direktorat Jenderal
Pajak.
No. MAP Baru Uraian
– 411121 Untuk Jenis Pajak PPh Pasa 121
– 411122 Untuk Jenis Pajak PPh Pasa 122
– 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor
– 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23
– 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi
– 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasa125129 Badan
– 411127 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 26
– 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final dan Fiskal Luar
Negeri
– 411129 Untuk Jenis Pajak PPh Non-Migas Lainnya
– 411111 Untuk Jenis Pajak PPh Minyak Bumi
– 411112 Untuk Jenis Pajak PPh Gas Alam
– 411113 Untuk Jenis Pajak PPh Lainnya dari Minyak Bumi
– 411119 Untuk Jenis Pajak PPh Migas Lainnya
– 411211 Untuk Jenis Pajak PPN dalam Negeri
– 411212 Untuk Jenis Pajak PPN Impor
– 411221 Untuk Jenis Pajak PPnBM dalam Negeri
– 411222 Untuk Jenis Pajak PPnBM Impor
– 411219 Untuk Jenis Pajak PPN Lainnya
– 411229 Untuk Jenis Pajak PPnBM Lainnya
– 411611 Untuk Bea Materai
– 411612 Untuk Penjualan Benda Materai
– 411619 Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya
– 411621 Untuk Bunga Penagihan PPh
– 411622 Untuk Bunga Penagihan PPN
– 411623 Untuk Bunga Penagihan PPnBM
– 411624 Untuk Bunga Penagihan PTLL
10. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
NPWP, Nama WP dan Alamat
Diisi sesuai dengan:
1. NPWP diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP yang dimiliki Wajib Pajak.
2. Nama WP diisi dengan Nama Wajib Pajak.
3. Alamat diisi sesuai dengan alamat yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Catatan : Bagi WP yang belum memiliki NPWP
NPWP diisi:
1. Untuk WP berbentuk Badan Usaha diisi dengan 01.000.000.0-XXX.000
2. Untuk WP Orang Pribadi diisi dengan 04.000.000.0-XXX.000
3. XXX diisi dengan Nomor Kode KPP Domisili pembayar pajak.
Nama dan Alamat diisi dengan lengkap sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lainnya
yang sah.
11. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran
Kode Akun Pajak diisi dengan angka Kode Akun Pajak yang tertera di atas tabel-tabel berikut
untuk setiap jenis pajak yang akan dibayar atau disetor.
Kode Jenis Setoran (KJS) diisi dengan angka dalam kolom “Kode Jenis Setoran” untuk setiap
jenis pajak yang akan dibayar atau disetor pada tabel berikut sesuai dengan penjelasan
dalam kolom “Keterangan”.
Catatan : Kedua kode tersebut harus diisi dengan benar dan lengkap agar kewajiban
perpajakan yang telah dibayar dapat diadministrasikan dengan tepat.
12. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Uraian Pembayaran (untuk SSP Standar)
Diisi sesuai dengan uraian dalam kolom “Jenis Setoran” yang berkenaan dengan Kode
MAP dan Kode Jenis Setoran pada tabel berikut.
1. Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dilengkapi dengan nama pembeli dan lokasi objek pajak.
2. Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan Bangunan yang disetor
oleh yang menyewakan, dilengkapi dengan nama penyewa dan lokasi objek sewa.
13. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Masa Pajak
Diisi dengan memberi tanda silang pada salah satu kolom bulan untuk masa pajak yang
dibayar atau disetor.
Pembayaran atau setoran untuk lebih dari satu masa pajak dilakukan dengan
menggunakan satu SSP untuk setiap masa pajak.
14. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Tahun Pajak Diisi tahun terutangnya pajak.
Nomor Ketetapan
Diisi nomor ketetapan yang tercantum pada surat ketetapan pajak (SKPKB,
SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak (STP) hanya apabila SSP digunakan untuk
membayar atau menyetor pajak yang kurang dibayar/disetor berdasarkan
surat ketetapan pajak atau STP.
15. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Jumlah Pembayaran
Diisi dengan angka jumlah pajak yang dibayar atau disetor dalam rupiah penuh.
Pembayaran pajak dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat (bagi WP
yang diwajibkan melakukan pembayaran pajak dalam mata uang Dollar Amerika
Serikat), diisi secara lengkap sampai dengan sen.
16. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Terbilang (untuk SSP Standar)
Diisi jumlah pajak yang dibayar atau disetor dengan huruf latin dan menggunakan bahasa
Indonesia.
Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran (untuk SSP Standar)
Diisi tanggal penerimaan pembayaran atau setoran oleh Kantor Penerima Pembayaran (Bank
Persepsi/Devisa Persepsi atau PT. Pos Indonesia), tanda tangan, dan nama jelas petugas
penerima pembayaran atau setoran, serta cap/stempel Kantor Penerima Pembayaran.
17. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Wajib Pajak/Penyetor (untuk SSP Standar)
Diisi tempat dan tanggal pembayaran atau penyetoran, tanda tangan, dan nama jelas
Wajib Pajak/Penyetor serta stempel usaha.
18. F. PETUNJUK PENGISIAN SSP
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran (untuk SSP Standar)
Diisi Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB) atau
Nomor Transaksi Pos (NTP) hanya oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah mengadakan
kerja sama Modul Penerimaan Negara (MPN) dengan Direktorat Jenderal Pajak.
19. G. PEMBAYARAN PAJAK
Pembayaran Pajak
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem
self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
1. Membayar sendiri pajak yang terutang:
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk
meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran
pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran
angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
20. G. PEMBAYARAN PAJAK
a. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun
eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha
termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha
(omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
21. G. PEMBAYARAN PAJAK
b. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha
Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi
yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai
pekerja bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif
PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
22. G. PEMBAYARAN PAJAK
2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan
23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah
a. Pemberi penghasilan
b. Pemberi kerja atau
c. Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
d. Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian
Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
e. Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
23. G. PEMBAYARAN PAJAK
Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan
menggunakan ATM di Bank-bank tertentu. Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara
menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti
menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,-
sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai
tempel sebesar Rp6.000,-.
24. G. PEMBAYARAN PAJAK
3. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang
dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan
perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan
Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka
diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM.
25. G. PEMBAYARAN PAJAK
PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan
sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada
karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga
ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP
tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
diterimanya.
26. G. PEMBAYARAN PAJAK
PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti
penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan
usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
1. Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
2. Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
3. Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan
otomotif;
4. Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari
pedagang pengumpul;
5. Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang
dipungut PPh Pasal 22.
27. G. PEMBAYARAN PAJAK
PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan
jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT (Badan Usaha Tetap).
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan
Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian
sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan
PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh
si pihak pemotong tersebut.
28. G. PEMBAYARAN PAJAK
- PPh Pasal 26
PPh pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya
kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
- PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan
pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah/bangunan dan bunga. Yang dimaksud final disini
bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak
penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam
penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
29. H. KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Tata cara pengembalian dalam hal lebih bayar pajak
Dalam hal jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada
jumlah pajak yang terutang, prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Dirjen Pajak melalui
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar atau berdomisili.
2. Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak (restitusi), menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB) dalam hal:
• Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang;
30. H. KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
• Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah
pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak
yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
• Pajak Penjualan atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang
3. SKPLB diterbitkan oleh Dirjen Pajak paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima
secara lengkap.
4. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Dirjen Pajak tidak
memberikan keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan
dalam waktu paling lambat satu bulan setelah jangka waktu berakhir. Apabila SKPLB terlambat
diterbitkan, kepada WP diberikan imbalan bungasebesar 2% per bulan dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu satu bulan tersebut sampai dengan saat diterbitkan SKPLB.
31. I. DALAM HAL PEMBAYARAN PAJAK YANG
SEHARUSNYA TIDAK TERHUTANG
Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh wajib
pajak (WP) yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan
pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau
dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau bukan
merupakan objek pajak.
32. Prosedur pengembaliannya adalah sebagai berikut:
1. Kondisi wajib pajak:
WP (wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan, termasuk orang pribadi yang belum memiliki NPWP) dapat mengajukan
permohonan restitusi keDirjen Pajak melalui KPP (Kantor Pajak Pusat) tempat WP terdaftar atau berdomisili, apabila terjadi
kesalahan pembayaran pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang. Surat permohonan harus melampirkan:
• Asli bukti pembayaran pajak;
• Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
• Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
2. WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN, dan PPnBM) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Dirjen Pajak melalui KPP
tempat WP yang dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP tempat Pengusaha Kena Pajak yang dipungut
dikukuhkan dengan catatan PPh, PPN, dan PPnBM yang dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau dibiayakan. Surat
permohonan harus melampirkan:
• Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
• Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
• Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
33. 3. WP yang melakukan pemotong atau pemungutan dapat mengajukan permohonan restitusi ke Dirjen Pajak
melalui KPP tempat WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan pemungutan dikukuhkan, apabila terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yang
dilakukannya dan pihak yang dipotong atau dipungut adalah:
• orang pribadi yang belum memiliki NPWP;
• subjek pajak luar negeri; atau
• terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungutan kecuali WP yang melakukan
pemotongan atau pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran
usaha.
Surat permohonan harus melampirkan:
• Asli bukti pembayaran pajak;
• Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
• Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
• Surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada WP yang melakukan pemotongan atau
pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
34. 4. Dirjen Pajak melakukan penelitian terhadap permohonan pengembalian
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam jangka waktu paling lama
tiga bulan sejak permohonan WP diterima secara lengkap dan menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) bila hasil penelitian tersebut terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila hasil penelitian tidak
terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, maka Ditjen Pajak harus memberitahu
secara tertulis kepada WP.