Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiAnas Wibowo
Studi mendalam dan objektif terhadap sistem pidana Islam telah menunjukkan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana sekuler yang tengah diterapkan. Tulisan ini mencoba mengungkap segi-segi keunggulan sistem pidana Islam tersebut, baik keunggulan secara konseptual (teoretis), maupun keunggulan praktikal (empiris).
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiAnas Wibowo
Studi mendalam dan objektif terhadap sistem pidana Islam telah menunjukkan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana sekuler yang tengah diterapkan. Tulisan ini mencoba mengungkap segi-segi keunggulan sistem pidana Islam tersebut, baik keunggulan secara konseptual (teoretis), maupun keunggulan praktikal (empiris).
1. 1
HUKUM PIDANA (AL-‘UQUBAT) DAN HUKUMAN (AL-HUDUD)
An Nisaa Darwisy Fitrada
33020210152
UIN Salatiga
Abstrac: Ta'zir is a part of ‘uqubat (punishment) in Islamic criminal law against something
jarimah (error) or in the form of immorality that has been committed by someone. There are
several forms of at uqubat in Islamic criminal law: first; jarimah hudud, second; jarimah diyat
or qisas, and third; jarimah ta'zir. Ta'zir is a predetermined punishment for jarimah ta'zir. The
forms are various, but the determination is left to the authorized party, namely the legislative
body or the judge. Ta'zir is a punishment that is educational in nature for sin (immorality)
whose punishment has not been determined by syara ', so it must be determined by waliyu amri
or the government, because there are no clear texts mentioned by the shari'a in the Al-Qur'an
and Al -Hadits. Jarimah ta'zir can be divided into two parts, namely: first; jarimah ta'zir, which
is confusing the rights of Allah, and secondly; jarimah ta'zir, which is confusing to individual
or human rights. The purpose of the sentence is determined to cleanse, shape and improve the
perpetrators of disobedience and as a form of protection for the community.
Abstrak: Ta'zir adalah bagian dari 'uqubat (hukuman) dalam hukum pidana Islam terhadap
sesuatu jarimah (kesalahan) atau berupa maksiat yang dilakukan oleh seseorang. Ada beberapa
bentuk at uqubat dalam hukum pidana Islam: pertama; jarimah hudud, kedua; jarimah diyat
atau qisas, dan ketiga; jarimah ta'zir. Ta'zir adalah hukuman yang telah ditentukan untuk
jarimah ta'zir. Bentuknya bermacam-macam, namun penetapannya diserahkan kepada pihak
yang berwenang yaitu lembaga legislatif atau hakim. Ta’zir adalah hukuman yang bersifat
mendidik bagi perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’,
sehingga harus ditentukan oleh waliyu amri atau pemerintah, karena tidak ada nas yang jelas
disebutkan oleh syariat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jarimah ta'zir dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu: pertama; jarimah ta'zir, yaitu mengacaukan hak-hak Allah, dan kedua;
jarimah ta'zir, yang membingungkan individu atau hak asasi manusia. Tujuan pemidanaan
ditentukan untuk membersihkan, membentuk dan memperbaiki pelaku kemaksiatan dan
sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat.
Kata kunci: Ta'zir, Hukum, Pidana, Islam
2. 2
PENDAHULUAN
Ta’zir adalah bagian dari ‘uqubat (hukuman) dalam hukum pidana Islam atau balasan
terhadap sesuatu jarimah (kesalahan) berupa maksiat yang telah dilakukan oleh seseorang. Ada
beberapa bentuk ‘uqubat dalam hukum pidana Islam: pertama; jarimah hudud, kedua; jarimah
diyat atau qisas, dan ketiga; jarimah ta’zir.
Ta’zir adalah hukuman yang telah ditentukan untuk jarimah ta’zir. Bentuknya
bermacam – macam, tetapi penentuannya diserahkan kepada pihak pemerintah atau yang
berwenang, yaitu lembaga legislative atau hakim (waliyul amri atau imam). Menurut Al-
Mawardi: “ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’”.1
Penegakan suatu hukum di sebuah Negara, khususnya Negara Islam, harus sesuai
dengan kehendak syari’ sebagai penentu suatu hukum, yaitu Allah (SWT) dan Rasul-Nya Nabi
Muhammad (SAW). Ketika hukuman tersebut tidak disebutkan atau ditentukan oleh syari’,
baik itu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka waliyul amri atau pemerintah sebagai
perpanjangan tangan atau khalifah Allah (SWT) dan Rasul-Nya, mereka harus menetapkan
hukum tersebut sesuai dengan kehendak syari’.
Dengan itu, sehingga hukum ini bisa ditegakkan dengan sebenarnya dan bisa membawa
kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi penganut agama
Islam khususnya. selanjutnya menjadi sebuah Negara yang berada dibawah naungan Allah dan
Rasul-Nya, yaitu Negara yang diridhai oleh keduanya, karena hukum yang detgakkan tersebut
sesuai dengan kehendaknya.
Tujuan Penelitian
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran atau sudut pandang
mengenai Hukum Pidana (Al-‘Uqubat) dan Hukuman (Al-Hudud)
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian ini dilakukan dalam dua tahap:2
1. Metode Pengumpulan Data (Library Research)
Studi Kepustakaan (Library Research) yaitu, untuk mencari data skunder
dengan mempelajari peraturan-peraturan yang telah ada dan berbagai literatur –
1
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Piadana Islam, cet. 6., (Bulan Bnitang: Jakarta, 2005), hlm. 268- 270.
2
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Gramedia, Jakarta,1997).hal.34
3. 3
literatur berupa buku- buku dan makalah, artikel, jurnal dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.
2. Pendekatan Penelitian (Field Research)
Pendekatan Penelitian (Field Research) Dari segi pendekatan penelitian juga
menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis/empiris yakni pendekatan
terhadap masalah dengan melihat norma-norma/ ketentuan hukum yang
berlaku, kemudian dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada dari permasalahan
yang akan diteliti.3
PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana dan Masyarakat
Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban manusia, syetan semakin
memainkan perannya. Orang menjadi “zhalim” (aniaya) dan “jahl” (bodoh). (QS.
33:72),bukannya terus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh sang pencipta melalui
Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa. Tak peduli betapun murni dan barunya suatu
masyarakat tertentu, tindak pidana akan tetap dilakukan meskipun ada tingkat
perbedaannya. Oleh karena itu kita sangat perlu meneliti masalah – masalah criminal
ini dan sebab – sabab yang mempengaruhinya, mempelajari orang – orang yang
melakukan tindak pidana ini juga sifat kejiwaannya, untuk mencegah meningkatnya
kriminalitas pada masa yang akan datang.
Dimanpun juga, masyarakat perlu disalahkan, demikian pula tatanan
kelembagaan sosial, para pemimpin serta anggota masyarakat yang membantu dan
merangsang timbulnya suatu tindak pidana tertentu. Ibn Hazam Ketika membahas
tentang keadaan seorang lelaki yang tiada berdaya, didorong oleh laparnya, lalu
memakan bangkai, daging basah atau babi yang diharamkan dalam islam, berkata:
“Haram hukumnya bagi muslim menyantap makanan yang haram ini sekalipun
dalam keadaan tak berdaya, apabila tetangganya yang muslim atau Dzimami atau para
anggota masyarakat memiliki makanan dan minuman halal dari yang mereka perlukan,
karena orang – orang berlebih itu diwajibkan untuk memberi makan mereka yang
lapar. Dalam keadaan demikian, dia para tetangganya yang kaya. Lalu dia harus
berjuang dalam upayanya memperoleh makanan dan dia terbunuh maka pembununya
3
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, thn 1994), hal.
101.
4. 4
akan menghadapi Hukum Qiyash. Dia akan dianggap sebagai orang yang
memberontak (baghi)”.4
Orang yang menghalangi saudaranya dari memperoleh haknya yang halal akan
dianggap sebagai seorang pemberontak. Dengan alasan inilah Abu Bakar memerangi
mereka yang menolak yang membayar zakat.
Apabila masyarakat hak individu para anggotanya, makai a harus ditegur karena
Al-Qur’an mengatakan:
“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan
yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
Kembali kepada perintah Allah”.5
Dalam islam, masyarakat lebih diutamakan diatas perorangan dan karenanya
kepentingan masyarakat yang lebih didahulukan bukan sebaliknya. Oleh sebab itu
setiap keriminal yang dilakukan mengganggu kedamaian ketentraman masyarakat akan
dianggap sebagai kejahatan terhadap allah, sang pencipta. Sebagaimana telah kita
ketahui, masyarakat tak berhak zhalim pribadi anggotanya jika kepentingan para
individu itu tidak menimbulkan ancaman terhadap hak – hak orang lain ataupun
masyarakat.
Dengan latar belakang ini Syari’at tidak setuju dengan teori sistematik atau
pengujian untuk menentukan masalah abnormalitas dan kriminalitas. Menurut teori
sistematis tersebut, “tak ada Tindakan yang dapat disebut kriminal jika pada saat
Tindakan tesebut, pelakunya mengalami kekacauan mental atau adanya dorongan tak
terhenti yang benar – benar tidak tertahankan sehingga menyebabkan hilangnya
keseimbangan mental atauoun emosi”.
Ketika Ali bin Abi Thalib berkata kepada Umar bin Khattab: “Apakah engkau
mengetahui terhadap siapakah kebaikan atau kejahatan tidak dicatat, dan tidak
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan: orang yang gila sampai dia waras; anak –
anak sampai dia baligh (puber); dan orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat
Bukhari) Syari’at juga sependapat dengan pandangan tersebut bahwa taka da Tindakan
yang dapat disebut criminal bila pada waktu perbuatan itu dijalankan, pelakunya
mengalami gangguan mental, tetapi juga tidak menyama – ratakan
(menggeneralisasikan) dan menganggap setiap Tindakan criminal sebagai kekacauan
4
Ibn Hazam, Al-Muhalla, jil. VI, hlm. 159
5
QS. 49 / Al-Hujarat: 9
5. 5
mental atau setiap perbuatan jahat semata – mata merupan bentuk dorongan batin yang
tak terkendalikan. Kejahatan dan dosa sering merupakan penjelmaan dari sifat
mementingkan diri sendiri, tamak, nafsu membalas dendam, perbutan berlebihan dan
keangkuhan yang terdapat pada manusia.
Tak diragukan lagi, kesedian berbuat baik merupakan suatu kebaikan yang ideal
asalkan ia tidak membuka jalan untuk menggoda dan merangsang meluasnya kerusuhan
di dunia (Fasad bil Ardh). Tingkat kejahatan jelas akan menigkat bila tak ada alat yang
menjeraknnya yang dijalankan oleh para pengelola urusan masyarakat. Pada abad ke-
20 kita telah melihat bahwa berbagai Tindakan pidana sangat mengganggu apa yang
disebut dunia yang “beradab”. Tak aneh bahwa orang tidak dapat bergerak dengan
bebas tanpa rasa takut dijalan – jalan kota besar dibarat pada waktu senja dimana para
pencopet, pencuri, dan pelaku – pelaku kejahatan dimasyarakat berkeliaran
menghalangi orang – orang dari kalangan yang mendasar untuk bergerak di “Bumi
Allah”! Tahun lalu, penulis menghadiri suatu kompetisi di New York, kemudian
berjalan mengelilingi Amerika Serikat. Penulis disarankan oleh kawan – kawan agar
tidak membawa uang yang banyak juga jangan pergi dengan kantong kosong. Setelah
bertanya – tanya, penulis diberitahukan bahwa kalau membawa uang yang bayak juga
jangan pergi denga kantong yang kosong. Setelah bertanya – tanya, penulis
diberitahukan bahwa kalau membawa uang banyak, seorang penjahat mungkin akan
menghadanya dan merampas segala sesuatu yang dibawa tetapi jika dia gagal
memperoleh sedikitpun barang yang berharga, niscaya bisa jadi dia akan menyerangnya
karena kecewa dan nekad.
Dr. James Seth telah berkata teori hukuman dan saling ketergantungan sekali –
kali tidaklah saling menutup. Menurutnya, berdasarkan sifat kebajikan manusia dan
kepribadiannya, maka “criminal harus diyakinkan dengan hukuman yang adil”. Tetapi
pertanyaanya adalah “bagaimana anda akan menyakinkan Tindak criminal yang telah
dilakukan oleh seorang bandit yang parah, bertindak seperti orang yang ingin
membunuh, perampok yang bersenjata, dan terus melakukan pencurian disertai
hukuman yang adil. Ada hukum allah yang harus disadarinya sejak masa kanak –
kanaknya dalam sebuah keluarga muslim. Huku “Hadd” yang menjerakan yang dia
lihat dan dia dengar akan menyadarkan betapa besarnya resiko atas perbuatan criminal
yang dilakukan. Tetapai kalau syaitan, musuh yang nyata bagi manusia (Aduwum Al-
Mubin), telah meyakinkan lebih daripada “adilnya hukuman”, lantas bagaimana
seseorang dapat menghentikan yang lainnya agar tidak terjebak dalam perangkap yang
6. 6
sama lagi. Menurut para pemikir terkemuka seperti Hejel, hukuman itu sendiri
cenderung untuk mengubah si pelanggar.
Syarat islam telah menetapkan dua macam hukuman, dan orang diarahkan agar
mengajari, memperbaiki dan mendidik diriya sendiri agar tidak melakukan suatu tindak
pidana serupa, serta memberi kesempatan untuk memulihkan dirinya sebagai seorang
anggota masyarakat yang baik dan tidak merugikan. Bentuk hukuman yang ringan ini
disebut “Ta’dzir”, berarti memberi rasa malu atau aib atas perbuatan criminal yang telah
dilakukan terhadap suatu anggota masyarakat; atau dengan kata lain terhadap
masyarakat itu sendiri. Ta’dzir tetap merupakan pertimbangan bagi hakim (Qadhi) yang
shaleh dan terpelajar apakah ia dalam bentuk cambukan dimuka umum, dibuang atau
dipenjarakan atau bahkan diperingatkan dan ditegur agar menjadi lebih baik pada masa
berikutnya.
Terhadap perilaku kriminal Hukum Syaria’at tidak mengenal penjara yang
nyaman didalam rumah, makan yang vaik dan enak, perlengkapan rumah, pesawat
televisi da radio serta lapangan untuk berolahraga.
B. Hudud dan Ta’dzirat
Hukuman Hadd hanya diberikan apabila pelanggaran atas hak – hak
masyarakat.
Kata “Hudud” merupakan kata jamak Bahasa arab “Hadd” yang berarti
pencegah, penegakan atau larangan, dan karenanya ia merupakan suatu peraturan yang
bersifat membatasi atau mencegah atau undang – undang dari allah berkenan dengan
hal – hal yang boleh (halal) dan terlarang (haram).
Hudud allah tersebut terbagi menjadi dua kategori yaitu, Pertama peraturan
yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman,
perkawinan, perceraian, dan lain – lain yang diperbolehkan dan yang dilarang. Kedua
hukuman – hukuman yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang
yang melakukan hal yang terlarang untuk dikerjakan.
Dalam hukum islam, kata “Hudud” dibatasi untuk hukuman karena tindak
pidana yang disebutkan oleh Al-Quranulkarim atau Sunnah Nabi SAW, sedangkan
hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan Qadhi atau penguasa yang disebut
“Ta’dzir” (mempermalukan pelaku pidana). Sedangkan kata umum untuk hukuman
“Uqubah” berasal dari “Aqb” yang artinya “suatu hal yang datang setelah yang
lainnya”, karena hukuman dikekan setelah pelanggaran atas batas – batas ditetapkan
7. 7
oleh hukum illahi. Inilah sebabnya ketetapan hukuman dalam islam disebut “al-
Uqubaat” sebagaimana telah disebutkan diatas.
Kita harus mencamkan dalam hati bahwa semua pelanggaran dan
pembangkangan atas ketetapan – ketetapan illahi secara umum tidak dapat dihukum
karena hukuman itu hanya dapat dikenakan dalam kasus – kasus adanya pemerkosaan
atau pelanggaran atas hak – hak masyarakat atau orang lain. Sebagai contoh, jika
seseorang meninggalkan shalat, tidak mengerjakan puasa atau tidak menunaikan ibadah
haji pada saat dia mampu, mereka tak dapat mengeluarkan hak – hak si miskin dari
hartanya, yang merupakan sedekah sekaligus juga “pajak” dari yang kaya kepada fakir
miskin, maka dia akan dihukum sesuai dengan pelanggaran tersebut.
Nabi SAW telah menunjuk para pertugas untuk mengumpulkan zakat dan
diterimanya di “Bait Al-Maal” (Perbendaharaan), maka hal ini menunjukkan bahwa
pengumpulannya merupakan suatu kewajiban negara islam. Sejarah Islam mencatat
bahwa Ketika beberapa suku arab tertentu menolak membayar zakat, maka khalifah abu
bakar mengirim tentara untuk memerangi mereka, karena suku (kelompok masyarakat)
yang tidak memberikan zakat sama dengan memberontak terhadap negara islam dan
melanggar hak – hak kaum papa.
Tindak pidana yang dapat dihukum dalam Syari’at ini merupakan hal yang
mempengaruhi masyarakat. Al-Quranulkarim telah memerincikan, yaitu pembunuhan
(Qatl), Pembegalan atau perampokan (Hirabah), pencurian (Sariqah), perzinahan
(Zina), dan tuduhan zina (Qadzaf), kami akan membahas tindak – tindak pidana ini dan
hukumannya dengan terperinci, tetapi patut dipahami bahwa Al-Quranulkarim telah
menetapkan suatu ketentuan umum bagi hukuman karena pelangaran – pelanggaran
dalam ayat berikut: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang – orang yang zhalim”.6
Prinsip mulia ini sangat penting serta ditetapkan baik kepada pribadi yang
melaksanakan pelanggaran terhadap orang lain maupun juga pelanggaran yang
dilakukan terhadap masyarakat. Terdapat sejumlah al-qur’an yang berhubungan dengan
hukuman terhadap para pelanggar sebagai petunjuk bagi ummah: “Dan apabila kamu
menghukum maka bukanlah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang baik
6
QS. 42/Asy-Syura: 40
8. 8
untuk orang – orang yang sabar”. (QS. 16: 126). “Dan barangsiapa membalas seimbang
dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti allah akan
menolongnya”. (QS. 22: 60). “Maka barangsiapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. 2: 194).
Dalam ayat yang dikutip diatas serta ayat – ayat al-qur’anlain yang sama,
ditetapkan suatu ketentuan bagi perorangan yang dilanggar, yaitu pertama – tama
sebaiknya dia berusaha memaafkan penyerangannya asalkan dia, si penyerang, menjadi
baik (bertaubat) dengan maaf yang diberikan. Berdasarkan ayat tersebut apabila
hukuman atas kejahatan ditimpakan. Setiap undang – undang tentang hukuman yang
bertujuan memperbaiki harus didasarkan pada prinsip ini. Ada satu point menarik untuk
diingat yaitu, pada umumnya al-qur’an menggunakan kata yang sama untuk hukuman
serta tindak pidana. Dengan demikian, dalam QS. Al-Syura: 40, baik kejahatan maupun
hukumannya disebut “Syyi’ah”: dalam QS. Al-Nahl: 21, serta QS. Al-Hajj: 60, kata
yang digunakan berasal dari “Uqubah; serta dalam QS. Al-Baqarah: 194, kata yang
digunakan yaitu “I’tida”. Penggunaan kata yang sama untuk kejahatan dalam perkara
pidana dan hukumannya menunjukkan bahwa hukuman itu sendiri meskipun
dibenarkan berdasarkan keadaannya, tetapi sesungguhnya ia tidak lain daripada
kejahatan yang diperlukan.
Maka dari itu kaum muslimin diminta agar memperoleh hak – haknya baik
dalam urusan pribadi maupun kemasyarakatan melalui proses penetapan hukum atas
masalah itu oleh hakim yang berwenang, bukan dengan main hakim sendiri. Apabila
tidak demikian, mereka akan termasuk pada para pelaku penganiayaan (zhalimun).
Dalam pertahanan pribadi juga demikian, mereka harus berlaku adil dalam
menggunakan jumlah pertahanan yang diperlukan. Tetapi dalam semua kasus mereka,
mereka tidak boleh menuntut ganti rugi yang lebih besar dari pada luka yang
dideritanya. Paling banyak yang dapat mereka lakukan yaitu menuntut balas/ganti rugi
yang sama, yaitu kerugian yang sama dengan kerugian yang telah mereka timbulkan,
tidak lebih dari itu.
Namun bentuk yang ideal yaitu tidak menuntut balas sama sekali melainkan
berdamai dan memaafkan sehingga membuat si pelanggar/pelaku menjadi sadar dengan
sesungguhnya atas akibat dari serangan itu sepanjang hal tersebut tidak bertentangan
dengan kepentingan masyarakat umum dan tidak mencederai masyarakat itu secara
keseluruhan. Sedangkan dalam kasus yang terakhir ini, maka hukuman yang
menjerakan harus dikenakan. Al-Qur’an menganjurkan jalan kebaikan: “Dan tidaklah
9. 9
sama kebaikkan dengan kejahatan. Tidaklah kejahatan itu dengan cara lebih baik,
maka dengan demikian orang yang antaramu dan dia (tadinya) ada permusnahan
seoalah – olah telah menjadi teman yang sangat setia”.7
Namun kebaikan semacam ini hanya akan diberikan oleh orang yang melatih
kesabaran, penyantun dan mengekang dirinya sendiri, orang yang benar – benar
memiliki jiwa besar. (QS. 41:34). Maka mereka akan memperoleh ganjaran dua kali
dari Allah, penciptanya, sebab mereka telah menghindari serta berusaha mencegah
kejahatan dengan kebaikan (QS. 28:54). Dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun (23)
ayat 96, kaum muslimin secara khusus diperintahkan agar menolah kejahatan dengan
cara yang terbaik (QS. 23:96).
Dengan demikian kaum muslimin diajarkan agar menjadi orang yang sabar
(Shabirun), namun juga mereka diperintahkan untuk mencegah terulangnya tindak
pidana tersebut dengan mengambil Langkah pencegahan dan kewajiban usaha baik
secara fisik maupun moral. Bentuk akhlak yang terbaik yaitu mengubah kebencian
menjadi persahabatan dengan maaf dan cinta kasih, sebab Al-Quran menyartakan:
“Maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang – orang yang zalim”.
(QS. 42:40).
Pada saat menafsirkan ayat tersebut, Yusuf Ali berkata dengan tepat bahwa
“perbaikkan kesalahan yang aktif ini, baik dengan cara fisik, moral ataupu spiritual
yang diperintahkan sebagai yang lebih baik yaitu suatu antithese terhadap ajaran yang
hewani, ketika engkau terpengaruh atas kelancangan tersebut, dan membalas juga
kepada yang lain. Cara ini tidak akan menindak melainkan meningkatkan pelanggaran.
Hal tersebut tidak akan dilaksanakan kecuali oleh orang – orang pengecut dan hanya
dijejali oleh kemunafikan, atau orang yang ingin memperbudak yang lainnya
menghilangkan haknya untuk mempertahankan diri. Ajaran menawarkan kelancangan
yang lain Ketika seseorang diserang oleh orang lain terdapat dalam Matius (5:30) dan
Lukas (6:29) meskipun tidak harus dipercaya bahwa ketentuan yang melawan hakikat
serta tidak dapat dipraktikkan ini (konon) diajarkan oleh Nabi Isa.
Hukuman atas Tindakan pidana dapat dibagi menjadi empat yaitu sebagai
berikut:
7
QS. 41/Fushshilat: 34
10. 10
1. Hukuman Fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, dicambuk, dan
dirajam sampai mati.
2. Membatasi kebebasan, meliputi hukuman penjara, atau mengrim si terhukum
ke pembuangan/diasingkan.
3. Membayar denda.
4. Pengiriman yang diberikan oleh Qodhi (hakim).
Selain hukuman yang ditetapkan bagi berbagai tindak pidana tersebut, terdapa
beberapa cara lain yang membuat pelaku criminal tersebut merasa bahwa dia telah
melakukan suatu kesalahan yang besar. Misalnya seorang laki – laki yang telah
dinyatakan salah karena tuduhan zina yang palsu (Qadzaf) akan dicabut haknya untuk
memberikan kesaksian (syahadah) (tidak boleh menjadi saksi).
C. Pencegahan Hukuman Hadd dalam Kasus yang Meragukan
Nabi Muhammad SAW telah memberikan ketentuan dasar dalam sebuah hadist:
“Hindarkanlah memberikan hukuman Hadd sejauh yang dapat engkau lakukan, bila
terdapat adanya keraguan”.8
Apabila ketentuan tersebut ditetapkan, niscaya ia akan mengurangi jumlah
hukuman Hadd di negeri – negeri muslim seperti Saudi Arabia. Apabila terdapat unsur
yang meragukan untuk memperkuat dakwaan yang dituduhkan dalam kasus pencurian
(sariqah), maka ditetapkanlah hukuman yang lebih ringan dengan Ta’dzir karena
keraguan tersebut berhubungan dengan kriteria/persyaratan (hukuman Hadd) bukan
diyakinkan sepenuhnya. Sedangkan dalam kasus perzinahan, kalau terdapat sedikit
keraguan, maka bahkan tak akan dijatuhkan hukuman Hadd sama sekali.
Dalam kasus tersebut, si tertuduh tak akan dikenakan hukuman Hadd secara
serta-merta. Dalam suatu negara Islam, setiap pribadi berhak mendapatkan jaminan
sosial melalui perbendaharaan negara yang disebut “Bait Al-Mal” ditempat
dikumpulkannya dana sosial dari berbagai sumber termasuk kewajiban mengumpulkan
zakat. Jika seseorang warga negara didorong oleh keadaan yang memaksa karena tidak
dapat memperoleh nafkah untuk diri dan keluarga karena tiadanya kesempatan atau
tidak mendapatkan santunan dari dana bait Al-Mal, maka masyarakat tersebut akan
dianggap bersalah dan tidak akan dijatuhkan hukuman Hadd kepada si tertuduh. Hal
8
H.R. Bukhari
11. 11
tersebut sesuai dengan keputusan khalifah Umar bin Khattab yang tidak mengenakan
hukuman Hadd kepada tertuduh pencurian pada masa paceklik di Madinah.
Bahkan proses hukuman semata dalam Syari’at sebenarnya membatasi jumlah
hukuman Hadd. Menurut Mazhab Maliki, tertuduh dalam kasus pencurian, harus
dibawa kehadapan Qodhi. Dalam Mazhab Hanafi, diisyaratkan bahwa si pengadu yang
hartanya dicuri menuntut bahwa Qodhi harus menjatuhkan hukuman Hadd potong
tangan kepada tertuduh. Tetapi apabila si pengadu memaafkan tertuduh dan merelakan
hartanya, maka hukuman Hadd tidak dapat dijatuhkan, tetapi hukuman Ta’dzir dapat
dikenakan padanya.
Paling tidak, tertuduh akan diperlakukan melalui hukuman cambuk yang lebih
ringan, denda, penjara atau hanya peringatan apabila Qodhi merasa cukup memadai.
Dalam Mazhab Hanafi, jika orang yang hartanya meminta Qodhi agar menganggap
hartanya yang dicuri itu sebagai pemberian kepada si tertuduh, maka hukuman had
potong tangan tidak bisa diterapkan. Sedangkan Mazhab Maliki dan Syafi’I berbeda
pendapat dalam hal tersebut dan berkata saling setelah hakim pengadilan diminta oleh
si pengadu agar mempertimbangkan dijatuhkannya hukuman hadd, maka ia tidak lagi
merupakan pertimbangan si pengadu dan dia tidak bisa campur tangan lagi pada tahap
berikutnya. Mereka mendasarkan alasannya pada kasus yang diputuskan oleh
Rasuluallah SAW sendiri.
Faktor lain dalam menetapkan hukuman Hadd yaitu dituntut adanya dua orang
saksi yang sudah dewasa, jujur dan berakhlak mulia. Tidak selalu mudah mendapatkan
saksi semacam itu yang ada pada peristiwa criminal. Tetapi apabila tertuduh mengakui
perbuatannya, maka hukuman akan dijatuhkan setimpal. Bahkan dalam hal tersebut,
Imam Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal berkata bahwa
diperlakukan dua atau tiga kali pengakuan sebelum diyakini (kebenaran
pengakuannya).
Dalam kasus tidak terpenuhinya persyaratan semacam ini namun ada beberapa
bukti yang meyakinkan, maka hukum ta’dzir yang diterapkan, bukan hukuman Hadd.
Selain itu kalau barang yang dicuri itu berupa makanan, buah – buahan, rumput, atau
pepohonan hutan, maka hukuman Hadd juga tidak dapat diterapkan sama sekali.
Hukuman Hadd dijatuhkan dalam tujuh perkara berikut ini:
1. Hukuman yang dituntut karena malakukan pembunuhan (dengan sengaja),
penganiayaan sampai mati, atau mengakibatkan cacat tubuh.
2. Hukuman bagi pencuri dengan potong tangan.
12. 12
3. Hukuman bagi pezina: dirajam sampai mati, bagi orang yang telah menikah ;
dan dicambuk seratus kali bagi orang yang belum pernah menikah.
4. Hukuman bagi orang memfutnah (menuduh tanpa bukti) berupa delapan kali
cambukan.
5. Hukuman mati bagi yang murtad (keluar dari islam).
6. Hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali karena mabuk (minum –
minuman keras).
7. Hukuman bagi perampok atau pembegal (Qata’ Al-Thaliq), dengan dibunuh
(hukuman mati), potong tangan dari kaki bersilang, atau dibuang atau dipenjara,
berdasarkan beratnya tindak pidana yang dilakukannya.
Selain dari kasus – kasus tersebut, maka diterapkannya hukuman ta’dzir.
D. Ta’dzir: Pengertian dan Aplikasinya
Ta’dzir secara harfiah berarti menghinakan pelaku criminal karena tindak
pidananya yang memalukan.
Dalam Ta’dzir, hukuman tersebut tidak diterapkan dengan ketentuan (dari Allah
dari Rasul-Nya), dan Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk
hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Bentuk hukuman dengan
kebijaksanaan untuk dipertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan dikenakan
maupun kadarnya. Bentuk hukuman dengan kebijaksanaan tersebut diberikan dengan
pertimbangan khusus tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial
dalam peradaban manusia dan bervariasi berdasarkan pada keanekaragaman metode
yang dipergunakan pengadilan ataupun jenis tindak pidana yang dapat ditunjukkan
dalam undang – undang. Pelanggaran yang dapat dihukum dengan metode ini yaitu
yang mengganggu kehidupan dan harta orang serta kedamaian dan ketentraman
masyarakat.
Tatanan umum hukum pidana kaum muslim (Al-Siyasati Al-Shara’i) masa kini
didasarkan pada prinsip – prinsip Ta’dzirani. Dengan kata lain, Ta’dzirat membentuk
pertimbangan hukuman yang dikenakan oleh hakim itu sendiri. Baik untuk pelanggaran
yang hukumannya tidak ditentukan, ataupun bagi prasangka yang dilakukan terhadap
tetangga seseorang. Hukuman tersebut dapat berupa cambukan, kurungan penjara,
denda, peringatan. Ringkasnya, “Ta’dzir” dapat didefinisikan sebagai berikut:
13. 13
“Hukuman yang mendidik karena pelanggaran (dosa yang dilakukan) (namun) tidak
ada ketetapan Hadd ataupun Kaffarah didalamnya”.9
E. Pengecualian Dalam Tanggung Jawab Hukuman
Ali bin Abi Thalib pernah berkata Umar bin Khatab: “Apakah engkau tahu
bahwa tidaklah dicatat perbutan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab
atas apa yang dilakukan, karena hal berikut:
1. Orang yang gila sampai tidak sadar.
2. Anak – anak sampai dia mencapai usia puber.
3. Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam Bukhari)
Berdasarkan riwayat diatas kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum atau
tindak pidana dalam syariat.
Tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan dibebankan kepada pelaku
kejahatan itu sendiri. Ayah, ibu saudara atau kerabatnya yang lain tidak dapat
mengambil alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana
yang telah terjadi pada masa jahiliyah, sebelum islam. Al-Quranulkarim menjelaskan
bahwa tidak seorangpun yang akan memiliki beban orang lain (QS. 6: 124).
Tanggung jawab Bersama itu hanya akan dapat dipikul oleh keluarga tersebut
dalam hal pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu kejahatan.
Dalam hal ini, si pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah, secara Bersama
akan bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang darah) atau kerusakan fisik
yang diakibatkan oleh kejahatannya.
Ali bin Abi Thalib telah meninggalkan “wasiyyah” terkenal yang menjelaskan
tentang hal ini lebih lanjut. Ketika Ali bin Abi Thalib mengalami luka – luka karena
Tindakan Abd Ali-Rahman bin Muljim (yang ingin membunuhnya), Ali lalu
memanggil putranya ke pembaringannya menjelang ajalnya dan berkata kepada
mereka: “Jangan bunuh siapapun kecuali orang yang membunuhku. Tetapi tunggu:
seanfainya aku mati karena pukulannya, maka balaskanlah satu pukulan dengan satu
pukulan. Dan jangan mengundangi kejahatan, karena aku pernah mendengar
Rasuluallah SAW bersabda: “Berhati – hatilah atas pengudungan sekalipun andaikan
ia adalah seekor anjing yang berpenyakitan”..10
9
M.J. Syethna, Socity and the Criminal, op. cit., merupakan motto yang ditempatkan pada halaman pertama
buku tersebut.
10
Ibid, hlm. 190.
14. 14
F. Pertanggungjawaban Kejahatan
Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman Hadd karena kejahatan yang
dilakukakannya. Karena tidak ada tanggung jawab hukum atas seorang anak yang
berusia berapapun sampai dia mencapai umur puber. Qodhi hanya akan tetap berhak
untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang
akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan lagi
dimasa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al-Qayrawani, seorang Ulama Mazhab
Maliki, tetap tidak akan ada hukuman Hadd bagi anak – anak kecil bahkan juga dalam
hal tuduhan zina yang palsu (Qadzaf) atau justru si anak sendiri yang melakukannya.
Kalau seseorang melakukan Tindakan pidana dalam keadaan sakit saraf (gila),
maka dia tidak akan dihukum. Imam Abu Yusuf berkata bahwa “Hukuman Hadd dapat
dikenakan kepada tertuduh setelah dia mengakuinya, jika tidak perjelaslah bahwa dia
tidak gila, atau mengalami gangguan mental. Apabila ternyata dia bebas dari
kekurangan semacam itu, maka dia harus menjalankan hukuman yang berlaku”. Oleh
karena itu, Hakim sangat perlu meyakinkan dirinya sendiri dengan pikiran yang jernih
atas perkara kriminal itu sebelumnya dia menyatakan keputusannya.
Prinsip yang sama juga diterapkan kalau seseorang mengigau, bejalan dalam
keadaan sedang tidur. Meskipun dia tampaknya awas, namun dia tetap tertidur dan
berjalan. Jika seseorang melakukan suatu perkara pidana dalam keadaan itu, maka
secara hukum dia tidak bertanggung jawab.
Seandainya suatu kejahatan dilakukan dalam keadaan dipaksa. Tidak aka nada
tuntutan hukum atas hak tersebut asalkan terbukti benarnya, sesuai dengan sebuah
hadist yang menyatakan bahwa Nabi SAW telah bersabda: “Ummatku akan dimaafkan
atas kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, keliru, atau karena lupa”. Tidak
ada hukuman yang akan dikenakan atas kejahatan yang dilakukan dalam keadaan
pikiran yang sedemikian itu.11
11
Ibid, hlm. 192
15. 15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Piadana Islam, cet. 6., (Bulan Bnitang: Jakarta, 2005), hlm.
268- 270.
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Gramedia, Jakarta,1997).hal.34
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni,
thn 1994), hal. 101.
Ibn Hazam, Al-Muhalla, jil. VI, hlm. 159
QS. 49 / Al-Hujarat: 9
QS. 42/Asy-Syura: 40
QS. 41/Fushshilat: 34
H.R. Bukhari
M.J. Syethna, Socity and the Criminal, op. cit., merupakan motto yang ditempatkan pada
halaman pertama buku tersebut.