Dokumen tersebut membahas tentang etimologi dan terminologi nikah menurut beberapa mazhab, serta hukum pernikahan antara muslim dengan non-muslim seperti musyrik, majusi, shabi'ah, dan penyembah berhala. Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang pernikahan dengan wanita-wanita tertentu.
Makalah Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berjalannya waktu, fenomena dan segala permasalahan yang timbul dalam kehidupan social manusia semakin kompleks. Banayak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan tidak terjadi sama sekali pada zaman Rasulullah dan para ulama ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi silang pendapat untuk menyelesaikannya. Dalam kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, namun terkadang juga keinginan untuk mendapat anak keturunannya, ataupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia. Tujuannya untuk menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, menikah dengan lawan jenis semaunya. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya dan hadits rasul-Nya dengan hukum-hukum pernikahan. Pernikahan adalah sunnatullah, hukum alam dunia dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Namun, dewasa ini mulai popular adanya kawin kontrak, atau dalam istilah fiqh disebut dengan nikah mut’ah. Bagaimanakah Islam menanggapi fenomena tersebut? Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kawin kontrak menurut sudut pandang Islam.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di rumuskan beberapa rumusan masalah tentang Nikah Mut’ah dalam Perspektif, diantaranya :
1. Apa itu Nikah Mut’ah?
2. Bagaimana Islam memandang status hokum Nikah Mut’ah?
3. Apa saja faktor dilarangnya Nikah Mut’ah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah mempelajari tentang Nikah Mut’ah dalam Perpektif Hukum Islam) serta pembahasan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya seperti Dalil-dalil dan hikmah atas pelarangannya.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan metode pustaka (Library research) yaitu mencari dan mengumpulkan data-data ilmiah yang relevan dengan tema yang akan dibahas, terutama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh yang mempelajari tentang Bab Bentuk Pernikahan yang dilarang syariat Islam.
PESAN: Jangan langsung di-copy tanpa cross-check dan meng-update informasi baru ya. PLUS, jangan lupa ubah template-nya. :)
Sumber: Siswa biasa.
Bila ada informasi yang kurang, dapat ditambahkan. Kritik dan pesan dapat langsung menghubungi saya. :) Semoga bermanfaat!
Makalah Masail Fiqhiyyah - Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berjalannya waktu, fenomena dan segala permasalahan yang timbul dalam kehidupan social manusia semakin kompleks. Banayak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan tidak terjadi sama sekali pada zaman Rasulullah dan para ulama ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi silang pendapat untuk menyelesaikannya. Dalam kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, namun terkadang juga keinginan untuk mendapat anak keturunannya, ataupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia. Tujuannya untuk menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, menikah dengan lawan jenis semaunya. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya dan hadits rasul-Nya dengan hukum-hukum pernikahan. Pernikahan adalah sunnatullah, hukum alam dunia dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Namun, dewasa ini mulai popular adanya kawin kontrak, atau dalam istilah fiqh disebut dengan nikah mut’ah. Bagaimanakah Islam menanggapi fenomena tersebut? Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kawin kontrak menurut sudut pandang Islam.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di rumuskan beberapa rumusan masalah tentang Nikah Mut’ah dalam Perspektif, diantaranya :
1. Apa itu Nikah Mut’ah?
2. Bagaimana Islam memandang status hokum Nikah Mut’ah?
3. Apa saja faktor dilarangnya Nikah Mut’ah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah mempelajari tentang Nikah Mut’ah dalam Perpektif Hukum Islam) serta pembahasan yang mencakup ruang lingkup di dalamnya seperti Dalil-dalil dan hikmah atas pelarangannya.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan metode pustaka (Library research) yaitu mencari dan mengumpulkan data-data ilmiah yang relevan dengan tema yang akan dibahas, terutama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh yang mempelajari tentang Bab Bentuk Pernikahan yang dilarang syariat Islam.
PESAN: Jangan langsung di-copy tanpa cross-check dan meng-update informasi baru ya. PLUS, jangan lupa ubah template-nya. :)
Sumber: Siswa biasa.
Bila ada informasi yang kurang, dapat ditambahkan. Kritik dan pesan dapat langsung menghubungi saya. :) Semoga bermanfaat!
Sebagai negara hukum, yang telah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sudah menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi dan menjamin kebebasan warga negaranya untuk memilik pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga melalui ikatan perkawinan. Tanggungjawab negara tersebut telah dituangkan ke dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, yang menyebutkan : “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”
tidak terlalu maksimal, karena sebenarnya ini bukan tugas yang dikumpulkan ke dosen. tapi, aku sudah berusaha sampai pusing kepala.. haha
catatan ini untuk keperluan ujian hukum perdata ku di kampus
telah dikemas dan dianimasikan dengan cinta dan kasih sayang demi sebuah nilai pai yang rupanya tidak masuk nilai rapot.
tay.
dengan senang hati dipublikasikan daripada membusuk di laptop, siapatau bermanfaat, inshaallah.
Ah tapi ini 1/2 bab, ditambah sumber luar sedikit.
Tafsir Al azhar 109 al kaafirun
Tafsir Al azhar 109 al kaafirun
Tafsir Al azhar 109 al kaafirun
Tafsir Al azhar 109 al kaafirun
Tafsir Al azhar 109 al kaafirun
02 perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
1.
2.
3. Etimologi : nikah dlm B. Arab mashdar
dari ( - - ) yang berarti :
persetubuhan, akad.
Terminologi :
Madzhab Hanafi : akad yang dikukuhkan
untuk memperoleh kenikmatan dari seorang
wanita, yang dilakukan dengan sengaja.
4. Madzhab Maliki : akad yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan wanita secara
halal.
Madzhab Syafi’I : akad yang menjamin
diperbolehkan pesetubuhan.
Madzhab Hanbali : akad yang di dalamnya
terdapat lafadz pernikahan secara jelas,
agar diperbolehkan bercampur.
5. 1. Perkawinan dengan Wanita Musyrik
Para ulama sepakat bahwa seorang pria
muslim tidak boleh nikah dengan wanita
musyrik. Dalilnya : QS. 2:221:[
/Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman]
6. 2. Perkawinan dengan Wanita Majusi
Jumhur Ulama : tidak boleh nikah dengan
wanita Majusi, sebab mereka penyembah api
dan tidak termasuk ahli kitab. Allah berfirman
:[
/Kami turunkan al-
Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan:
"Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada
dua golongan saja sebelum kami, dan
sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa
yang mereka baca (QS. 6:156)]
7. Zhahiriyah, Abu Tsaur dan lainnya : boleh
nikah dengan wanita Majusi. Dalilnya :
Mereka dikelompokkan ahli kitab, dan
kepada mereka ditetapkan jizyah
sebagaimana kepada Yahudi dan Nasrani
sesuai dg hadits ( )
Riwayat bahwa Hudzaifah pernah kawin
dengan wanita Majusi.
8. Bantahan :
Dalam QS. 6:156 jelas mereka bukan
termasuk ahli kitab.
Hadits itu menguatkan bahwa mereka
bukan ahli kitab.
Riwayat Hudzaifah nikah dg wanita Majusi
adalah lemah, karena menurut Abu Wail,
Hudzaifah pernah nikah dg wanita Yahudi.
9. 3. Perkawinan dg wanita Shabi’ah
Shabi’ah adalah kaum antara Majusi,
Yahudi dan Nasrani.
Mujahid : Shabi’ah adalah golongan ahli
kitab yang membaca Zabur.
Al-Hasan : kaum yang menyembah
Malaikat.
10. Abd. Rahman bin Zaid : mereka penganut
suatu agama, berada di pulau Mawshil yang
mengucapkan la ilaha illallah, tidak punya
amal, kitab dan nabi kecuali perkataan laa
ilaha illallah, mereka tidak beriman kepada
seorang rasulpun. Oleh karena itu orang-orang
musyrik mengatakan kepada sahabat Nabi
saw. “ Shabi’un” karena diserupakan dg
mereka.
11. Al-Qurthubiy : sebagian ulama mengatakan
bahwa mereka bertauhid, dan meyakini bahwa
bintang berpengaruh terhadap peristiwa bumi.
Ar-Roziy : mereka kaum yang menyembah
bintang-bintang, dalam arti bahwa bintang-
bintang dijadikan kiblat dalam beribadah dan
berdo’a; atau dalam arti bahwa Allah
menyerahkan urusan alam ini kepada bintang-
bintang itu.
Atas dasar ini para ulama fiqh berbeda pendapat
tentang hukum nikah dengan wanita Shabi’ah :
12. Abu Hanifah dan kedua Sahabtnya : mereka adalah
pemilik kitab yang telah mengalamai perbuhan dan
penyimpangan, sehingga hukumnya sama dengan
Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu boleh nikah dg
wanita mereka, sesuai dg QS. 5:5 [
/Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik]
13. Riwayat dari Syafi’iyyah dan Hanabilah : jika
mereka menyerupai Yahudi dan Nasrani
dalam prinsip-prinsip agamanya , maka
wanita Shabi’ah boleh dikawini. Tetapi bila
berbeda dalam hal-hal prinsip, berarti
mereka tidak termasuk golongan Yahudi
dan Nasrani, dan berarti pula wanita
Shabi’ah tidak boleh dikawini oleh pria
Muslim.
14. 4. Perkawinan dg Wanita Penyembah
Berhala
Para Ulama sepakat bahwa pria muslim
tidak boleh kawin dengan wanita
penyembah berhala dan penyembah
benda-benda lainnya, karena mereka
termasuk orang-orang kafir
sebagaimana dalam QS. 60:10, dan
wanita-wanita musyrik sebagaimana
dalam QS. 2:221.
15. Perbedaan Ulama :
1. Jumhur Ulama : pria muslim boleh kawin
dengan wanita ahli kitab yang berada
dalam lindungan (kekuasaan) negara
Islam (Ahlu Dzimmah).
2. Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah :
pria muslim tidak boleh kawin dengan
wanita ahli kitab.
16. Dalil Jumhur Ulama :
1. QS. 5:5
2. Di antara sahabat ada yg kawin dg ahli kitab,
spt. Usman bin Affan yg mengawini Nailah bt
al-Gharamidah wanita Nasrani yg kemudian
masuk Islam; Hudzaifah mengawini wanita
Yahudi dari penduduk Madain.
3. Jabir pernah ditanya ttg perkawinan pria
muslim dg wanita Yahudi dan Nasrani, beliau
menjawab : Kami pun pernah menikah dg
mereka pd waktu penaklukan Kufah
bersama-sama Sa’ad bin Abi Waqash.
17. Dalil kedua Syi’ah :
1. QS. 2:221, wanita ahli kitab termasuk musyrik
sesuai dg riwayat Ibnu Umar ketika ditanya
ttg seorang pria muslim menikahi wanita
Nasrani atau Yahudi : Sesungguhnya Allah
megharamkan wanita-wanita musyrik bagi
orang-orang mukmin, saya tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar
dari pada anggapan seorang wanita
(Nasrani) bahwa Tuhannya adalah Isa,
padahal Isa hanya seorang manusia dan
hamba Allah.
19. /Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar.
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana], ahli kitab
termasuk orang-orang kafir.
20. Bantahan terhadap kedua Syi’ah :
1. Al-Qur’an membedakan antara ahli kitab dan
musyrik.
2. Perkataan Ibnu Umar keluar dari kebanyakan
sahabat dan Tabiin yang bisa dijadikan hujjah.
Perbedaan pendapat Jumhur Ulama :
1. Sebagian madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hanbali : hukum perkawinan itu makruh.
2. Sebagian madzhab Maliki, Ibnul Qasim : Khalil :
perkawinan itu dibolehkan secara mutlak.
3. Az-Zarkasyi (madzhab Syafi’i) : perkawinan
hukumnya sunnah jika wanita ahli kitab itu
diharapkan dapat masuk islam.
21. Walaupun menurut Jumhur ulama
perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab hukumnya boleh,
namun perlu direnungkan dampak
positif dan negatif perkawinan itu
terhadap pembinaan keluarga
sakinah, mawaddah wa rohmah.
22. Para Ulama sepakat bahwa wanita muslimah
tidak boleh menikah dengan pria non muslim,
baik pria itu musyrik atau ahli kitab. Dalilnya
adalah QS. 60:10.
Hikmahnya adalah bahwa suami mempunyai
hak qawam (kepemimpinan) thd isterinya, dan
si isteri wajib mentaati kebaikan yang
diperintahkan suaminya. Inilah makna
kekuasaan dan kepemimpinan thd isteri.
Sedangkan seorang kafir tidak punya hak
kekuasaan terhadap seorang muslim, laki-laki
maupun perempuan.