pemeriksaan fisik Telinga hidung tenggorok bedah kepala leher.pptx
Studi kasus gangguan
1. BAB I
PENDAHULUAN
Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual,
bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksual-
homoseksual. Homoseksual yang diperuntukkan antara laki dengan laki biasa disebut
gay.
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau
perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi
seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk
pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara
eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada
pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan,
perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu." (Sexual
Orientation, Homosexuality dan Bisexuality, 2010).
Kaum gay memiliki ciri-ciri yang membantu mereka untuk mengenali dan
dikenali dengan sesama gay dan di dalam masyarakat. Gay lebih menyukai mengenakan
pakaian ketat, karena dapat memperlihatkan lekuk tubuh si pemakai. Bagi gay, lekukan
tubuh merupakan daya jual tersendiri. Gay lebih senang memakai warna mencolok.
Dalam berkomunikasi gaya bicaranya pun lebih feminim dan perhiasan yang
dikenakannya pun cenderung “ramai”. Bahkan itu merupakan alat komunikasi sesama
gay. Ciri lainnya adalah selalu tertarik pada aktivitas yang biasanya dilakukan wanita.
(Danis, 2011) Adanya gaya bicara yang khusus dalam berkomunikasi antar pelaku gay
juga ditemukan dalam penelitian David Sonenschein (1969) yang dilakukan pada
Komunitas homoseksual di salah satu kota di barat daya Amerika Serikat, memberikan
kesimpulan bahwa bahasa yang bersifat khusus adalah salah satu cara utama di mana
kelompok dapat membantu pola dan memberikan makna terhadap pengalaman
anggotanya.
Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia hingga Juni 2012 melaporkan
bahwa jumlah orang yang terinfeksi HIV dari Januari sampai Juni 2012 adalah 9.883
orang, sedangkan jumlah AIDS adalah 2.224 orang. Kasus kematian pada tahun 2012
1
2. karena HIV/AIDS dilaporkan 5623 orang. Di sisi lain, data dari KAP (Key Affected
Population), menunjukkan bahwa laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki
(LSL) yang terinfeksi HIV/AIDS meningkat menjadi 13% pada tahun 2008.
Tujuan dan manfaat
1. Tujuan
Untuk mengetahui gangguan yang dialami oleh homoseksual yaitu gay termasuk
dalam kategori mana sesuai dengan pedoman psikologi yaitu DSM.
2. Manfaat
Manfaatnya yaitu semoga dengan mengetahui penyebab dan gejala dan dampak yang
ditimbulkan kita dapat meminimalisir homoseksual terutama kaum gay yang ada di
Indonesia.
2
16. • Pandangan Psikolog Indonesia tentang kasus LGBT
Perilaku homoseksual pada dasarnya merupakan hal menyimpang. Pada kelompok ini
mereka biasanya ekslusif karena mereka menyadari kelompok LGBT seperti ini tidak
diterima oleh masyakarat.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta mengatakan, perilaku
homoseksual dan praktik seks ini adalah perilaku menyimpang. Pada kelompok ini
mereka biasanya ekslusif karena mereka menyadari kelompok LGBT seperti ini tidak
diterima oleh masyakarat. "Karena sifatnya itulah mereka memilih tempat sendiri," kata
Shinta kepada SINDOnews, Senin, 22 Mei 2017 malam tadi.
16
17. Saat bergabung dalam sebuah kelompok, mereka mendapatkan akses yang lebih 'mudah'
untuk memenuhi kebutuhan kebutuhannya terkait pemuasan hasrat seksual. Selain itu
mereka merasa 'diterima' dalam kelompok tersebut.
Sehingga mereka bisa melakukan aktivitas yang dapat 'dipahami' oleh kelompok mereka
sendiri. "Adanya kesamaan pandangan dan kebutuhan biasanya membuat kelompok ini
semakin kohesif dan eksklusif," ujarnya.
Shinta menuturkan, sebenarnya apa yang terjadi di Kelapa Gading bukan hal yang
mengagetkan. Karena hal seperti ini banyak terjadi di masyarakat, hanya saja
terselubung. "Jadi penangkapan ini sebenarnya hanya fenomena gunung es,"
ungkapnya.
Shinta mengungkapkan, hal ini banyak terjadi di masyakarat dengan tingkatan porno
aksi yang berbeda-beda. Hanya saja tampaknya kelompok ini cukup besar sehingga
banyak aktivitas yang mencurigakan bagi lingkungan sekitar. Kemudian penggunaan
media sosial yang dapat menyebarkan pesan berantai juga dapat mempermudah
kegiatan ini.
Pada kelompok seperti ini, biasanya ada yang benar-benar homoseksual ada pula yang
sebenarnya hanya 'terbawa' kebiasaan kelompok. "Jadi bukan gay tulen tapi karena gaya
hidup. Dan diperkirakan jumlah penganut homoseksual termasuk LGBT semakin
meningkat," bebernya.
ia menjelaskan, kaum ini ada yang memang terjadi karena genetik. Sehingga secara
hormonal lebih besar ke lawan jenis, misalnya laki-laki tapi hormon progesteronnya
besar dan sebaliknya. Shinta mengutip pada Kemenkes tahun 2012 bahwa ada sekitar
1.095.970 jiwa yang berperilaku menyimpang.
Jumlah ini naik 37% dari tahun 2009. "Karena adanya perubahan terhadap nilai nilai
seksual berkencan dengan sesama dianggap memiliki arti yang berbeda, anti
mainstream dan tentunya menjadi eksklusif," katanya.
Dengan demikian menjadi gay merupakan satu pilihan. Selain itu sekarang kaum gay ini
lebih membuka diri sehingga adanya peningkatan bisa jadi karena sekarang
mereka coming out (mengaku). "Mereka merasa berani mengaku karena gaya hidup gay
menjadi pilihan dan tidak mengganggu orang lain," ucapnya.
Psikolog Klinis dan Hipnoterapi, Liza Marielly Djaprie menerangkan, dalam ilmu
psikologi dan kamus besar kejiwaan, LGBT tidak masuk dalam gangguan jiwa yang
17
18. dialami seseorang. Kondisi yang mereka alami dianggap keunikan pada diri orang
tersebut.
“Sama halnya seperti kepribadian introvert atau ekstrovert. Masuk ke dalam karakter
bukan bentuk penyakit,” jelas Liza saat berbincang dengan Okezone, Selasa
(26/1/2016).
Terbentuknya mereka menjadi LGBT bisa karena pengaruh lingkungan, bawaan lahir,
atau memang karena trauma akibat pengalaman tertentu. Jika mereka ingin ‘norma’
maka itu semua bisa diperbaiki.
“Ada orang yang memang terlahir memiliki bawaan lesbian atau homoseksual, namun
karena lingkungan mereka tidak ada yang demikian, maka mereka menjadi
heteroseksual. Tapi ada pula yang sebaliknya, terlahir sebagai heteroseksual, namun
berada di lingkungan homoseksual, jadi mereka mencari pasangan sesama jenis,” lanjut
wanita lulusan Magister Psikologi Dewasa Universitas Indonesia ini.
Untuk itu, bagi mereka yang bisa dan ingin diarahkan ke budaya masyarakat normal
(pasangan berbeda jenis) maka dapat mengikuti terapi. “Terapi di sini bukan karena
LGBT sakit. Sama seperti orang introvert, mereka bisa diterapi untuk lebih mampu
membuka diri. LGBT bisa mengikuti terapi konseling, hipnoterapi, atau metode
belajar,” tutupnya.
18
19. BAB III
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Homoseksual
Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti “sama”.
Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang
menggambarkan laki-laki atau wanita yang memiliki daya tarik seksual khusus
untuk orang-orang yang berjenis kelamin sama dengan periode waktu yang
signifikan (Masters,W.H,dkk. 1992). Homoseksual adalah ketertarikan seksual
terhadap jenis kelamin yang sama (Feldmen, 1990, hal.359). Ketertarikan seksual
ini yang dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk
melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel dkk.,1998,
hal.489). Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan
orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang
memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang
dengan jenis kelamin yang sama (Kendall ,1998)
B. Penyebab homoseksual
1. Pendekatan Biologis
Penyebab homoseksual dalam pendekatan biologis dapat dikarenakan oleh
faktor genetik, hormon, dan fisiologi sebagai berikut :
- Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2010) merupakan pelopor penelitian yang
berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan melakukan
penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan kembar
fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
- Hormon
Ellis, dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama kehamilan dapat memicu
pembentukan janin homoseksual. Banyak penelitian yang membandingkan
tingkat androgen dalam darah pada homoseksual dewasa dengan pria
19
20. heteroseksual, dan umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan
(Green, 1987)
- Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak
pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman,
1990). Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan
penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu
pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil)
dengan pria heteroseksual.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual berfokus
pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal homoseksual.
Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual lebih
sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu
(Carroll, 2010).
- Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951 dalam Carroll, 2010) berpendapat bahwa bayi melihat segala
sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik
pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual
sebagai suatu penyakit. Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil
pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus
complex yang tidak terselesaikan. Freud melihat homoseksual sebagai autoerotis
yaitu pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal dan
narcisistik yaitu mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta
pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya
yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2010) yang
mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas
adalah keadaan psikopatologis – penyakit mental. Pandangan inilah (bukan
pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar bagi profesi psikiater hingga
tahun 1970-an.
- Ketidaknyamanan Peran Gender
20
21. Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminin daripada pria
heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995;
Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross
gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi
tidak memiliki hubungan sebab akibat. Green (1987) menemukan bahwa anak
laki-laki yang feminim atau sissy boy memakai pakaian lawan jenis, tertarik
pada busana wanita, bermain boneka, menghindari permainan kasar,
berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak
kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual,
sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi
biseksual. Menurut Zucker (1990, dalam Green 1987) sissy boy tersebut juga
cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah
daripada anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi.
- Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada
masa remaja, Storm (1981, dalam Caroll, 2010) berpendapat bahwa orangorang
yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka
mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya
dimulai pada usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12
tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis
kelamin yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul
berfokus pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa
homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat
dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria biasa muncul
lebih cepat daripada wanita.
- Pendekatan Behavioural
Teori behavioural tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku
homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual
yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian
hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh,
seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
21
22. orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan
kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria
dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual
yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2010)
C. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual
Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara
faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch &
Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,
Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam
hal homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan
homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang
ke orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara
pasti penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).
Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya
dapat dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme
berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir,
hasil dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa
homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa
perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya,
konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial
yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,
dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual
secara lahiriah (Carroll, 2005).
22
24. BAB IV
ANALISIS KASUS
Dalam laman resmi APA, Saul M Levin selaku direktur asosiasi tersebut,
menulis bahwa posisi PDSKJI yang mengategorikan homoseksualitas sebagai masalah
kejiwaan merupakan pelabelan yang salah dan telah dibantah oleh sejumlah bukti-bukti
ilmiah. ‘Ada komponen biologis yang kuat pada orientasi seksual dan itu bisa
dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. Singkatnya, tiada
bukti saintifik bahwa orientasi seksual, apakah itu heteroseksual, homoseksual, atau
lainnya, adalah suatu kehendak bebas,’ tulis Levin. Karena itu, lanjutnya, upaya untuk
mengubah orientasi seksual seseorang melalui ‘terapi konversi’ bisa dan kerap
membahayakan. Berbagai risiko yang terkait dengan ‘terapi konversi’ mencakup
depresi, kecenderungan bunuh diri, kecemasan, mengurung diri, dan penurunan
kemampuan akrab dengan orang lain.
Atas alasan-alasan itu, menurut Levin, pedoman diagnosa dan statistik untuk
masalah kejiwaan (DSM) yang dimiliki APA tidak mengategorikan kaum lesbian, gay,
biseksual, dan transgender sebagai orang yang bermasalah dengan kejiwaan.
“Berdasarkan itu, dan kekayaan bukti-bukti ilmiah yang ada perihal tersebut, kami
dengan tulus berharap anggota Asosiasi Psikiatri Indonesia mempertimbangkan ulang
keputusan mereka”, tulis Levin.
Masalah kejiwaan
Kepada BBC Indonesia, Dr Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K) selaku ketua
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), mengatakan
masih harus berdiskusi dengan rekan-rekannya mengenai isi surat yang dikirimkan
Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat. Namun, Danardi menegaskan sikap perhimpunan
yang dia pimpin sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa.
Dalam undang-undang tersebut, terdapat dua pengelompokan, yakni Orang
dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Perbedaannya, ODMK memiliki risiko mengalami gangguan jiwa, sedangkan ODGJ
sedang mengalami gangguan jiwa. “ODMK bukanlah diagnosis. Itu bisa juga, misalnya
24
25. orang sedang dalam bencana alam, orang sedang kebanjiran, orang sedang ujian,” kata
Dr Danardi.
“Secara profesi kami punya pedoman mengacu pada PPDGJ III (Pedoman dan
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa). Dalam buku pegangan kami, lesbian, gay,
biseksual masuk dalam kelompok ODMK, kalau transgender masuk ODGJ yang perlu
mendapat terapi,” kata Dr Danardi kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Masuknya kaum lesbian, gay, dan biseksual dalam kelompok ODMK bertujuan
mengklasifikasi gangguan psikologis macam apa yang dialami mereka, dan bukan
menangani orientasi seksual mereka.
Ahli Neurologi, dr. Ryu Hasan sebelumnya mengatakan lesbian, gay, dan
biseksual bukanlah penyakit dan bukanlah gangguan. "Kecuali jika orang tersebut
merasa tidak nyaman, itu bisa dibilang gangguan dan baru dilakukan terapi." Tetapi,
konseling yang dimaksud Ryu Hasan bukanlah untuk menghilangkan perilakunya
melainkan berfokus untuk menghilangkan rasa tidak nyaman. Dia menegaskan orientasi
seksual tidak bisa diubah.
Berdasarkan dalam kajian ilmu psikologi, homoseksual sudah bukan lagi
merupakan sebuah penyimpangan. Dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder / buku acuan diagnostik secara statistikal dalam menentukan
gangguan kejiwaan), tidak ditemukan lagi homoseksual sebagai gangguan kejiwaan
dengan alasan bahwa kaum homoseksual tidak merasa terganggu dengan orientasi
seksualnya, bahkan bisa merasa bahagia dengan orientasi seksualnya tersebut.
Oleh karena itu saya akan menganalisis gangguan yang dialami kaum LGBT
berdasarkan dari aspek-aspek yang menyimpang berdasarkan gangguan seksualnya.
Dalam DSM-IV ada delapan gangguan seksual yang tercakup dalam Paraphilia:
exhibitionism, fetishism, frotteurism, pedophilia, sexual masochism, sexual sadism,
transvestic fetishism, dan voyeurism. DSM-IV juga memperluas daftar paraphilia
dengan kategoori paraphilia yang tidak tergolongkan sevcara khusus mencakup
telephone scatologia, necrophilia, partialism, zoophilia, coprophilia, urophilia, dan
klismaphilia (hal. 532). Paraphilia merujuk pada semua kebutuhan yang tak terkendali
akan khayalan, tindakan atau objek yang tak lazim dengan tujuan memperoleh
kesenangan seksual. Di dalamnya termasuk juga kebiasaan menggunakan benda-benda
mati (pakaian, perhiasan dan benda-benda tertentu yang berkaitan dengan lawan jenis),
25
26. mendapatkan kenikmatan dari kesakitan dan rasa terhina (pada diri sendiri atau orang
lain), serta melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak mau melakukannya.
Gangguan paraphilia ditandai oleh empat langkah yang membentuk daur:
(1) preokupasi atau ketertarikan dan perhatian pada objek atau adegan seksual
yang intensif dan terus-menerus;
(2) ritualisasi dalam bentuk melakukan perilaku-perilaku tertentu yang berkaitan
dengan aktivitas seksual;
(3) Tingkah-laku kompulsif yang terwujud dalam bentu berulangnya perilaku
seksual menyimpang; dan
(4) perasan sedih, murung, hampa, menderita dan depresi yang kemudian
mengarahkannya kembali pada perilaku seksual menyimpang sebagai upaya untuk
menghilangkan perasan-perasan negatif yang ditanggungnya.
Berdasarkan dari sumber yang ditemukan bahwa kaum gay mengalami
gangguan seksual yaitu voyeurism, dikarenakan pesta seks yang diselenggarakan
terdapat tempat seperti jacuzzi, sel-sel seperti penjara, dan sebuah kolam besar dimana
para pria dapat berendam sambil menonton penampilan streapteas pria yang disediakan
oleh pengelola.
Voyeurism (voyeurisme) sebagai salah satu bentuk paraphilia mencakup
perilaku-perilaku melihat secara sembunyi-sembunyi orang lain yang telanjang,
melepas/mengganti pakaian, atau sedang berhubungan seksual, dengan tujuan utama
agar terangsang secara seksual. Keterangsangan secara seksual dan kenikmatan seksual
yang menyertainya merupaka hasil yang diharapkan diperoleh dalam perilaku mengintip
itu. Perilaku voyeurisme mencakup juga perilaku menonton film yang mengandung
objek dan adegan-adegan seksual, mengintip celana dalam dan beha, serta dalam derajat
yang lebih rendah terwujud dalam perilaku memandangi orang yang dianggap
berpotensi menjadi partner seksual. Perilaku curi-curi pandang pada saat ‘nongkrong’ di
tempat umum seperti kafe pun dapat disebut sebagai kecenderungan voyeurisme dalam
derajat yang rendah.
Voyeurisme adalah kondisi dimana seseorang memiliki prefensi tinggi untuk
mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang tanpa busana atau
sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa laki-laki voyeurism adalah satu-
satunya aktivitas seksual yang mereka lakukan; pada laki-laki lain, lebih diminati
26
27. namun tidak mutlak diperlukan untuk menimbulkan gairah seksual (Kaplan & kreuger,
1997). Orgasme seorang voyeur dicapai dengan melakukan masturbasi, baik sambil
tetap mengintip aatau setelahnya, sambil mengingat apa yang dilihatnya.kadang seorang
voyeur berfantasi melakukan hubungan seksual dengan orang yang diintipnya, namun
hal itu menjadi fantasi, dalam voyeurism jarang terjadi kontak antara orang yang diintip
dan yang mengintip.
Selain itu bisa disebut sebagai gangguan psikoseksual di mana seseorang berasal
kenikmatan seksual dan kepuasan dari melihat tubuh telanjang dan organ genital atau
mengamati tindakan seksual orang lain. Mengintip ini biasanya tersembunyi dari
pandangan orang lain. Voyeurisme adalah suatu bentuk paraphilia.
27
28. DAFTAR PUSTAKA
Christa Rohde-dachser. (1992). Male and female homosexuality, International Forum of
Psychoanalysis. Male and female homosexuality. 1 (2), 67–73.
Jameson K. Hirsch & Jon B. Ellis. (1998). Archieves of Suicide Research. Reasons For
Living in Homosexual And Heterosexual Young Adults. 4 (3) , 243-248.
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi.
Jakarta: Kreativ Media.
28