1. DAFTAR KEBUDAYAAN DI KABUPATEN MUNA
1. TARI NTIARASINO
Menurut bahasa sastra Muna, Ntiarasino artinya yang di puja. Ntiarasino merupakan
ungkapan bahasa sastra Muna kepada orang yang menjadi patriot sebagai pejuang pembela
tanah air dan juga ungkapan rasa haru mereka yang sangat mendalam. Karena gembiranya
para gadis-gadis menyambut dengan mempersembahkan tari yang dibawakan oleh 6 orang
putra putri dengan menggukan perisai dan tombak.
2. TARI LINDA
Menurut Etimologi penamaan Linda berasal dari bahasa Daerah Muna yang berarti menari
berkeliling, laksana burung yang terbang, berkeliling dengan sayap yang terkembang
indah. Tarian ini adalah salah satu tarian rakyat di daerah muna yang telah lama
berkembang di tengah-tengah masyarakat seiring dengan pertumbuhan tradisi adat di
daerah itu. Tarian Linda lahir di tengah-tengah masyarakat muna di sekitar abad ke-
16,yakni di masa pemerintahan Laposasu (kobang kuduno).
tarian ini di ciptakan sebagai suatu perwujudan tradisi masyarakat di daerah muna dalam
hal pemingitan anak-anak mereka di kala memasuki alam ke dewasaan. Pertumbuhan
tarian tersebut kemudian meluas sampai kedaearah buton,sehingga sekarang ini telah
menjadi tarian tradisional yang sangat popular di kea daerah tersebut. Pelakunya terdiri
dari wanita yang jumlahnya terbatas sampai enam atau delapan orang saja.pakaian mereka
terdiri dari baju kombo yang bahannya terdiri dari kain polos.leher dan pinggir bawah
dibis dengan warnah merah.seluruh pakain ini di hiasi dengan manik-manik yang tebuat
dari perunggu.sarungnya di buat empat lapis.dimana lapisan yang paling dalam berwarna
merah,kemudian menyusul warna hijau,putih,dan paling luar berwarna hitam. Kepala
mereka dihiasi dengan beberapa hiasan seperti tiga buah panto(gelang kepala)di pasang
pada bagian atas dari pada konde penari yang telah di lingkar dengan bandol konde dari
kain berwarna merah yang di hiasi pula dengan picing dan manik-manik pada bagian
belakang kepala di pasang kabunsale yang berwarna merah.mereka juga memakai kalung
leher dan beberapa gelang di kedua tangan mereka
Pakaian ini khusus di gunakan pada saat seorang gadis keluar dari pingitan (kagombo)
untuk melaksanakan tari Linda. cara memakainya yaitu penari-penari keluar dari dua
penjuru dengan gaya lego (berlengang)setelah menghadapi penonton,mulailah gerakan
2. pertama.kedua tangan mengambil selendang yang melilit di leher dan di bawa ke sebelah
kiri,laksana orang yang sedang memetik sesuatu bersamaan dengan gerak kaki yang di
gesekan ke kiri sambil mengayunkan kaki kanan ke arah kanan dengan perhitungan tiga
dan di balas dengan kaki kiri dengan perhitungan empat.selanjutnya kedua tangan di bawa
ke sebelah kanan seperti orang yang sedang memetik sesuatu secara bersamaan dengan
gerak kaki kiri ke samping kiri dengan perhitungan satu di balas dengan kaki kanan pada
perhitungan tiga dan di balas lagi dengan kaki kanan dalam perhitungan empat.
Beberapa fariasi terjadi pada saat pertukaran tempat,mempermainkan selendang dan
sebagainya.keseluruhan gerakan dalam tari ini terdiri dari empat belas macam
gerakan.pada gerakan penutup,kedua tangan di bawa ke sebelah kiri,seperti orang yang
sedang memetik buah.kaki kiri di gerakan ke kiri,kaki kanan di ayunkan ke kanan,dengan
perhitungan satu di balas dengan kiri pada perhitungan dua,kemudian di ganti dengan kaki
kanan dalam hitungan tiga dan seterusnya sampai mencapai perhitungan empat. Akhirnya
kedua tangan melepaskan lilitan selendang dan di sandang ke bahu sebelah kanan.tangan
kiri memengang sarung (bini-bini) tangan kanan berlengang ( lego-lego ) pengiring dari
tarian ini adalah alat musik gendang,gong,dan dengu-dengu.dengan cara di tabu di pukul.
Dahulunya sebelum alat-alat musik tersebut di kenal oleh masyarakat,orang-orang sering
menggunakan mata tou,dengan nama musik mata tou. Tarian Linda berfungsi sebagai
tarian adat dari daerah kabupaten muna yang selalu di laksanakan dalam upacara
karia,oleh gadis-gadis remaja yang di upacarakan.pemain tari Linda berjumlah 6 orang
putri,sedang di lagukan laggu kadandio syair lagu berbunyi :
YO LAKADANDIO
DANDIO LAKADANDIO
LADADIMAKA
RIMANA LAKADANDIO
KAMBOI NGKUKU
NERURU RONDANO UE
SILONO MATA
NEFOPATI LOSUA
3. KANTOLA
Berasal dari 2 kata yaitu KAN yang artinya perintah dan TOLA yang berarti panggil, jadi jika
diartikan secara utuh berarti perintah untuk memanggil. Kantola merupakan lagu jenis seriosa
fersi Muna berisi pantun yang dibawakan secara beregu yang biasanya dibawakan grup laki-
laki dan perempuan dengan berbahasa Muna namun saling berbalasan. Kantola lahir pada
zaman belanda kurang lebih 300 tahun silam pada masa kerajaan Muna yang dipimpin oleh
3. La Ode Husain yang digelar Omputo Sangia, kesenian ini biasa di lantunkan sebagai ajang
mencari jodoh pada perayaan pesta panen dengan menggunakan pakaian adat Muna.
4. HULE ( GASING )
Hule atau gasing lahir ditengah-tengah masyarakat Muna dan merupakan sebuah kesenian
tradisional dalam menuntun tanaman yang sudah menjadi bakal buah hingga masa panen.
Permainan Hule atau Gasing bagi orang Muna memiliki ciri khas tersendiri berbeda dengan
daerah lain baik dari segi bentuk, cara bermain dan sebagainya. Permainan Hule atau gasing
dimainkan oleh 4 orang masing-masing memiliki makna yang berhubungan dengan cara
hidup masyarakat Muna sebagai masyarakat Agraris, permainan ini bermaksud menandakan
umbian ( Ghofa ) Nofehulemu atau sudah berbentuk buah.
Hule atau Gasing mempunyai keterkaitan dengan beberapa kesenian tradisional lainnya
seperti: Dopodadara sejenis permainan kelereng ( gundu ) dan Kaghati ( layangan ) dengan
diikutinya Tradisi tersebut masyarakat dapat memastikan perkembangan umbian tersebut
hingga masa panen datang
5. KALEGO
Kalego
Kalego adalah salah satu permainan rakyat yang dikenal di Kabupaten Muna. Kalego adalah
permainan yang bahan/alat yang dipakai adalah belahan tempurung kelapa yang dimainkan
dengan cara diegos dengan kaki untuk mengenai tempurung lawan main. Kalego adalah salah
satu permainan rakyat Muna yang dimainkan pada malam bulan purnama dan pada umumnya
yang memainkan kalego adalah para muda mudi sekaligus permainan ini juga menjadi
jembatan silaturahmi agar keakraban antar muda mudi kampung setempat lebih erat
4. 6. KESENIAN TRADISIONAL KAGHATI (LAYANGAN)
Kota Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, tidaklah sepopuler Bali atau Yogyakarta.
Padahal, ada segudang potensi wisata di tempat itu. Demi mempromosikan dirinya kepada
dunia luar, pemerintah daerah setempat mengenalkan diri melalui layangan. Banyak
penggemar layangan dari mancanegara memburu festival ini dan rela pergi jauh demi bisa
main layangan di Muna.
Untuk ketiga kalinya festival layang-layang internasional digelar di Kota Raha. Acara yang
berlangsung pada 11-14 Agustus ini diikuti 22 peserta dari delapan negara yaitu Jepang,
Prancis, Taiwan, Malaysia, Jerman, India, Cina, dan Swedia. Acara ini juga dikuti 13 provinsi
di Tanah Air dengan peserta sebanyak 26 orang.
Wakil Gubernur Sultra, H.M. Saleh Lasatta ketika membuka acara Festival di Kota Raha,
Selasa (11/8), mengharapkan pelaksanaan festival ini selain dapat memberikan nilai tambah
bagi ekonomi masyarakat Kabupaten Muna, juga dapat menjadi momen yang tepat untuk
mempromosikan berbagai obyek wisata. Muna memiliki sejumlah obyek wisata menarik
seperti obyek wisata Liang Kabori, permandian Danau Napabale dan kegiatan perkelahian
kuda.
Berdasarkan hasil penelitian, kata Lasatta, Sultra memiliki situs sejarah terbesar kedua di
Tanah Air, setelah Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni salah satunya Benteng Keraton Buton
yang merupakan benteng terpanjang di dunia.
Tradisi
Lantas, kenapa layang-layang menjadi sarana promosi Muna? Lasatta yang juga mantan
Bupati Muna, menceritakan sejarah layang-layang tradisional di Kabupaten Muna. Layang-
layang tidak hanya sekadar permainan rakyat di zaman dahulu kala, akan tetapi juga memiliki
nilai historis dan ritual tersendiri bagi rakyat Muna. "Biasanya permainan layang-layang
tradisional di Muna dilakukan pada saat musim panen, dan masyarakat menaikan layang-
layang selama tujuh hari tujuh malam," kisahnya.
"Pada saat diturunkan layangan itu dilakukan melalui upacara ritual dengan menggantungkan
berbagai jenis makanan di tali layang-layang kemudian talinya diputuskan, sehingga
layangan itu terbang bersama makanan yang digantung. Itu dilakukan sebagai tanda tolak
bala atau membuang hal-hal yang buruk," kisahnya lagi.
Sementara itu, Dirjen Promosi dan Pemasaran Kementerian Kebudayaan Seni dan Pariwisata,
Syamsul Lalussa mengatakan, Festival Layang-Layang Internasional ini telah menjadi
kalender pariwisata sekaligus dapat menjadi media komunikasi antarnegara maupun
antardaerah di Tanah Air.
5. "Apalagi, fesival layanngan ini sudah terangkat ke dunia internasional karena adanya layang-
layang dari Kabupaten Muna yang terbuat dari daun ’kolope’ (sejenis ubi hutan-red). Dari
sinilah dunia internasional mulai tertarik dengan festival layangan," ujar Syamsul.
Hal senada juga dikemukakan Ketua Asosiasi Layang-layang Internasional (Legong), Sari
Madjid. Ia mengatakan, dirinya selama ini terus berusaha memperkenalkan layang-layang
hingga ke dunia internasional, oleh karena itu, salah satu jenis layangan dari Kabupaten
Muna yang terbuat dari daun ’kolope’ yang dinamakan "Kaghati" (bahasa lokal Muna) sudah
pernah tampil di Prancis dan Italia. "Negara-negara Eropa.
7. Silat Ewa Wuna
Ewa Wuna dalam bahasa Muna berarti Silat. Ewa Wuna dipentaskan sebagai tari
penyambutan dimainkan oleh 6 orang terdiri dari 2 orang pemain badik atau kris dan 3 orang
penari bermain parang, tombak dan bendera. Permainan ini diiringi oleh musik Rambi Wuna
juga dimainkan 5 orang pengiring musik. Seluruh pemain berusaha menyerang akan tetapi
terhalang oleh seorang pemain Petombi (pemegang bendera) sehingga seluruh pemain
terhindar dari bahaya. Hal ini berarti rasa kemanusiaan lebih berarti dari pada ketajaman
senjata demi kedamaian dan persatuan.
8. Musik Tradisional Muna
Misik tradisional Muna adalah perpaduan beberapa alat musik yang terdiri dari Mata Tou,
Gambus, Kusapi (kecapi), Dodoraba ( Biola), Kaganda-ganda mbite, Suli anabati (suling),
Paka-paka (belahan bamboo yang dipukul), Bhoka-bhoka (sopotong bambu yang dipotong),
Ganda ( gendang) dan Mbololo ( Gong).
Musik tradisonal ini pertama dimainkan pada saat masyarakat muna sedang bercocok tanam,
6. sebagai hiburan mereka memainkan alat musik tersebut. Pada abad ke 16 musik ini juga
dipakai untuk penyebaran agama islam dan pada abad ke 17 masa pemerintahan Raja
Omputo Sangia,, raja yang senang akan musik ini mengadakan barter dengan pedagang
rempah-rempah dari jawa dan menukarnya dengan gong kemudian dipakai pada saat pingitan
anak raja Wa Ode Komomono Kamba yang kemudian alat musik ini dikenal dengan nama
Rambi Wuna.
9. ATRAKSI KUDA
Atraksi perkelahian kuda yang hanya terdapat di Kecamatan Lawa, 15 Km dari pusat Kota
Raha, Ibukota Kab, Muna. Pertunjukan dimulai pada saat kedua kuda jantan dibuat marah
dengan cara menarik kuda betina didepan kuda jantan lainya. Pertunjukan ini biasanya
dipertontonkan pada acara Ulang Tahun Kabupaten Muna, pesta panen, penyambutan tamu
atau acara-acara lainnya
10. GAMBUS MUNA
1) Kabhanti kantola; yaitu kabhanti yang digunakan pada waktu bermain kantola. Kantola
adalah sejenis permainan tradisional, dimana para pemain berdiri berhadapan antara pemain
pria dan wanita. Mereka berbalas pantun dengan irama lagu ruuruunte atau ruuruuntete.
Irama ruuruunte ini menggunakan paling tinggi lima nada. Acara kantola biasanya
dilaksanakan pada malam hari di musim kemarau setelah selesai panen ubi kayu dan ubi
jalar. Adapun bentuk syair kabhanti seperti ini, sepintas lalu dapat kita katakan prosa liris
yakni prosa yang mementingkan irama. Akan tetapi bila kita teliti benar sebagian dapat
digolongkan bentuk pantun yang disebut talibun yakni pantun yang lebih dari empat baris
tetapi genap jumlahnya.
(2) Kabhanti watulea; adalah kabhanti yang menggunakan irama watulea. Kabhanti macam
ini biasanya dinyanyikan pada waktu menebas hutan atau berkebun. Sambil bekerja mereka
menyanyi bersama-sama atau sendirian. Kadang-kadang dinyanyikan agar tidak kesepian di
tempat kesunyian. Syair kabhanti watulea sebenarnya hanya dua baris dan masing-masing
baris terdiri dari tiga kata atau dua kata bila kata itu agak panjang. Karena pada waktu
mengulangi menyanyikannya diantarai dengan kalimat Eingka kotughu daano, sehingga
seolah olah pantun itu terdiri dari tiga baris.