SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
Download to read offline
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KRITIS
GAGAL NAFAS PADA ANAK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Keperawatan Anak Kritis
Disusun Oleh:
Komala Sari (NIM : 215115014)
Malisa Ariani (NIM : 215115015)
Paul Joae Brett Nito (NIM : 215115016)
Sastrayanti Sinaga (NIM : 215115016)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-2)
STIKES JENDERAL A. YANI CIMAHI
2016
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“Asuhan Keperawatan Kritis pada Anak dengan Gagal Nafas” tepat waktu. Tugas ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak Kritis.
Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat, tata bahasanya maupun isi materi yang disampaikan. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Semoga makalah dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.
Cimahi, 30 April 2016
KELOMPOK 4
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Tujuan ............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4
A. Konsep Penyakit ............................................................................................3
B. Konsep Asuhan Keperawatan........................................................................16
BAB III INTERVENSI BERDASARKAN EVIDENCE BASED PRACTICE..................22
BAB IV PENUTUP............................................................................................................25
A. Kesimpulan ....................................................................................................25
B. Saran ..............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................27
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan organ-organ pernafasan untuk
mempertahankan O2 yang adekuat, dengan atau tanpa retensi CO2 (Wong, 2009). Gagal
nafas merupakan tahap lanjutan dari gangguan pernafasan yang menyebabkan paru
mengalami kegagalan untuk memenuhi kebutuhan O2 dan mengeluarkan CO2 sehingga
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Hampir 50% anak yang masuk ruang pelayanan intensif
mengalami gagal nafas akut dan merupakan penyebab henti napas tersering pada anak.
Gagal nafas akut masih merupakan penyebab utama kematian atau kesakitan baik pada
anak maupun dewasa. Bayi dan anak-anak terutama anak usia kurang dari lima tahun
akan lebih mudah mengalami gagal nafas akut karena faktor - faktor anatomis dan system
fungsional pernafasan yang masih belum matang. Penyebab terjadinya gagal nafas akut
antara lain dikarenakan rusaknya sistem kontrol pernafasan oleh susunan saraf pusat,
penyakit neuromuskular, sumbatan jalan naafs, penyakit pada paru-paru dan sistem
kardiovaskular. Gejala klinis sangat bervariasi dan tergantung dari umur penderita,
penyakit primer dan tingkat kegagalan pertukaran gas.
Diagnosis gagal nafas dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang, termasuk pulse oximetry dan analisa gas darah. Pengenalan dini
dan tatalaksana yang tepat merupakan hal yang harus diperhatikan karena prognosisnya
buruk apabila telah mengalami henti jantung. Tatalaksana tersebut meliputi perbaikan
ventilasi dan pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab gagal nafas,
tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi.
Penatalaksanaan untuk anak yang mengalami gagal nafas memerlukan suatu keterampilan
dan pengetahuan khusus serta penafsiran dan perencanaan maupun melakukan tindakan
harus cepat dan sistematis. Oleh sebab itu diperlukannya peningkatan keterampilan dan
pengetahuan perawat terkait permasalahan gagal nafas pada anak agar dapat mencegah
terjadinya kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan.
2
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian gagal nafas pada anak.
2. Mahasiswa mampu menyebutkan penyebab gagal nafas pada anak.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi gagal nafas pada anak
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi gagal nafas pada anak.
5. Mahasiswa mampu menyebutkan tanda dan gejala gagal nafas pada anak.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis gagal nafas pada anak.
7. Mahasiswa mampu menyebutkan pemeriksaan penunjang gagal nafas pada anak.
8. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan gagal nafas pada anak.
9. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan serta
intervensi pada anak yang mengalami gagal nafas.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian gagal nafas
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan
diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk
melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory
distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat,
sedangkan respiratory failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan
mekanisme kompensasi dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya
aliran oksigen (Levi, 2005; Kumar & Bhatnagar; 2005).
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi
gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai
dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit
paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya.
Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan
neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat (Levi, 2005; Kumar & Bhatnagar;
2005).
Gagal nafas tipe hiperkapnia terjadi akibat CO2 tidak dapat dikeluarkan dengan
respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan
turunnya pH. Hiperkapnia dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau
bawah, kelemahan otot pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang
berlebihan. Gagal nafas tipe hipoksemia terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya
akibat pirau dari kanan ke kiri atau gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch) (Ranjit, 2001; Carlo, 2001).
4
2. Penyebab gagal nafas
Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1) ukuran
jalan nafas yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara, (2) compliance
paru yang lebih besar, (3) otot pernafasan dan diafragma cenderung yang lebih mudah
lelah, serta (4) predisposisi terjadinya apnea yang lebih besar.
Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus
Paru-paru Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the
newborn, persistent pulmonary hypertension,
pneumotoraks, perdarahan paru, edema paru,
displasia bronkopulmonal, hernia diafragma, tumor,
efusi pleura, emfisema lobaris kongenital
Jalan nafas Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis
choana, Pierre Robin Syndrome, tumor dan kista
Otot-otot respirasi Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis,
miasthenia gravis
Sistem saraf pusat (SSP) Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik,
magnesium; kejang, asfiksia, hipoksik ensefalopati,
perdarahan SSP
Lain-lain Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung
kongestif, anemia/polisitemia, tetanus neonatorum,
immaturitas, syok, sepsis
Sumber: Carlo (2001)
Pada umumnya, gagal nafas pada anak disebabkan oleh gangguan paru primer,
termasuk pneumonia, bronkiolitis, asma serangan akut, sumbatan benda asing, dan
sindrom croup. Penyebab di luar paru dapat berupa gangguan ventilasi akibat kelainan
sistem saraf, misalnya Sindrom Guillain Barre, Miastenia Gravis (Nitu & Elger,
2009).
Tabel 2 Etiologi gagal nafas pada anak
Kelainan Paru Primer Pneumonia, Bronkhiolitis, Asma, Fibrosis Kistik
Gangguan Mekanik Ventilasi Penyakit Neuromuskuler (myophaties, Sindrom
Guillain Barre), Efusi pleura luas, Penyakit paru
restriktif dengan keterlibatan otot-otot
pernafasan.
Sumbatan Saluran Nafas Trauma, Infeksi, Keracunan, Genetik
(congenital/ hypoventilation syndrome), Tumor
Kegagalan untuk memenuhi
kebutuhan Oksigen Jaringan
Syok septik
Sumber: Nitu dan Elger (2009)
5
Faktor predisposisi terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu:
a. Struktur anatomi
1) Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi (perubahan)
tulang iga yang kurang kokoh, letak iga lebih horizontal dan pertumbuhan otot
interkosta yang belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada
terbatas.
2) Saluran pernafasan
Pada bayi dan anak saluran pernafasannya relatif lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Besar trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½
dewasa, sedangkan ukuran tubuh orang dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi
bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan
menurunkan luas saluran pernafasan 75%.
3) Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan “elastic recoil” untuk
mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relative lebih
besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan
bertambah sehingga akan menambah “elastic recoil”.
b. Kerentanan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, sedangkan pada anak
kerentanan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi
gagal nafas.
c. Kelainan kongenital
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang
berhubungan dengan alat pernafasan.
d. Faktor fisiologis dan metabolik
Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada
dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolism akan meningkat sehingga mengakibatkan
kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut dicapai dengan
menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan
air. Kedua dibutuhkan kontraksi otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi
6
dan anak kadar glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan
asam organik sebagai hasil metabolism anaerob akibat terjadinya asidosis.
3. Klasifikasi gagal nafas
Kondisi gagal nafas akut dapat menyebabkan terjadinya ketidakmampuan sistem
pernafasan untuk mempertahankan pertukaran gas normal. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan
parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I
dan tipe II. Pada kedua tipe tersebut ditemukan gambaran tekanan parsial oksigen
arteri (PaO2) yang rendah. Sebaliknya, PaCO2 yang berbeda pada kedua tipe tersebut.
Terdapat mekanisme yang berbeda yang mendasari perubahan PaO2 dan PaCO2 baik
pada tipe I maupun II.
a. Gagal napas tipe I (hipoksemia, gangguan oksigenasi)
Pada tipe I dengan gangguan oksigenasi, didapatkan PaO2 rendah, PaCO2 normal
atau rendah terutama disebabkan abnormalitas ventilasi/ perfusi. Gagal napas tipe
I disebabkan karena terjadinya kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga
keadaan, meliputi:
1) Ventilasi/ perfusi yang tidak sepandan atau V/Q mismatch, yang terjadi bila
darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami ventilasi adekuat, atau
bila area ventilasi paru mendapat perfusi adekuat.
2) Defek difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau bertambahnya
cairan interstisial pada pertemuan alveolus-kapilar.
3) Pirau intrapulmunol, yang terjadi bila kelainan struktur paru menyebabkan
aliran darah melewati paru tanpa berpatisipasi dalam pertukaran gas.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sianosis, kebingungan, agitasi
(gelisah), sulit tidur, nafas pendek, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi dan
disritmia. Contoh penyakit yang dapat menimbulkan kegagalan napas tipe I yaitu
sindrom distress pernapasan akut (SDPA), atelektasis, pneumonia, emboli paru,
edema paru, dll.
b. Gagal napas tipe II (Hiperkapnia, gangguan ventilasi)
Pada tipe II dengan gangguan ventilasi, didapatkan PaO2 rendah (hipoksemia) dan
PaCO2 tinggi (hiperkapnia), umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar,
meningkatnya ventilasi ruang mati (dead space) atau meningkatnya produksi CO2.
7
Gagal napas tipe II ini biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti
disfungsi system saraf pusat, sedasi berlebihan atau gangguan neuromuskular.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain pusing, sakit kepala, keringat
yang banyak, takikardi, hipertensi, apnea, nafas pendek, terdapat stridor dan
wheezing serta gerakan paradoksikal dinding dada dan abdomen, udara yang
masuk sedikit. Contoh penyakit yang dapat menimbulkan kegagalan napas tipe II
yaitu penyakit neuromuscular (polio, sindrom Guillan Barre), trauma kepala,
disfungsi dinding dada (luka bakar), kifosis, hipereaktivitas, dll.
4. Patofisiologi gagal nafas
Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan
oksigenasi dan/ atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh ketidakmampuan
sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau membuang karbon dioksida.
Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2)
lebih besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60
mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkapnia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang
berbeda. Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila
sudah mencapai kadar ekstrim (> 90 mm Hg). Diatas kadar tersebut, hiperkapnia
dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti napas.
Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya adalah
terjadi gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila disertai
curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia jaringan dan risiko
henti jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas
yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi sampai 50%
akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaO2 akan turun
kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang, pasien yang
menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati
normal.
Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai penyakit paru
tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui peningkatan ventilasi. Anak
yang mengalami gangguan padanan ventilasi atau pirau biasanya dapat
mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru memburuk hanya melalui
8
penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila
pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan,
biasanya karena kelelahan otot.
5. Tanda dan gejala gagal nafas
Gejala klinis gagal nafas sangat bervariasi tergantung pada penyakit primer penyebab
gagal nafas, adanya penyakit penyerta serta derajat dari gagal nafas. Dalam
penelitiannya Karande et al (2003) mendapatkan gejala-gejala gagal nafas akut paling
banyak adalah perubahan pola dan dalam dangkalnya pernafasan (100%), retraksi
(88%), pernafasan cuping hidung (88%), tachypnea (84%), tachycardia (82%), gelisah
dan sianosis (50%), wheezing didapat pada 38 % penderita. Pada penderita-penderita
gagal nafas tipe hiperkapnia tanda-tanda distress nafas sangat jelas, penderita tampak
sangat sesak dengan tanda-tanda retraksi yang jelas. Tapi gejala klinis dari gagal nafas
akut tidak selalu harus didahului oleh tanda-tanda distress nafas.
Pada penderita-penderita dengan gangguan sistem saraf pusat dan penyakit-penyakit
neuromuskular sering terjadi hipoksia berat tanpa tanda-tanda distres nafas karena
pada penderita-penderita ini terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan. Oleh karena itu
untuk membuat diagnosis gagal nafas sangat sulit (bahkan tidak mungkin) dilakukan
hanya dengan gejala klinis tanpa pemeriksaan analisa gas darah. Selain dari gejala-
gejala yang terjadi karena gangguan pertukaran gas pernafasan penderita-penderita
gagal nafas akut juga menunjukkan tanda-tanda dari penyakit primer penyebab gagal
nafas akut.
Pada anamnesis dicari riwayat penyakit primer penyebab gagal nafas akut seperti
tanda-tanda sesak sebelumnya atau riwayat sesak berulang sesak pada saat olah raga,
riwayat minum obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pernafasan, riwayat
penyakit-penyakit neuromuskular, adanya trauma atau penyakit metabolik. Pada
pemeriksaan didapatkan anak yang lemah, kelelahan, cemas atau gelisah, berkeringat,
sianosis, kadang-kadang kejang bahkan sampai koma. Gangguan kesadaran ini sangat
tergantung pada tingginya PaCO2 atau rendahnya PaO2, somnolen terjadi bila PaCO2
> 45 mm Hg dan gelisah/irritable bila PaO2 < 75 mmHg.
9
Terdapat tanda-tanda distres nafas seperti tanda-tanda penarikan, pemakaian otot-otot
pernafasan sekunder. Pada auskultasi bisa didapatkan wheezing ekspiratoir, suara
nafas menurun atau suara nafas tidak terdengar, tachipneu/ bradipneu/ apnneu,
bradikardia/ tachikardia, pulsus paradoksus. Pada pemeriksaan gas darah didapatkan
hipoksia, hiperkapnia dan asidosis. Bradikardia atau bradipneu merupakan tanda
gawat dan lanjut dari gagal nafas akut.
6. Diagnosis gagal nafas
Seperti pada penyakit-penyakit lain untuk membuat diagnosis yang baik diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gagal nafas akut yang didahului gejala-
gejala panas, batuk dan pilek yang disertai sesak biasanya disebabkan oleh penyakit-
penyakit infeksi saluran nafas akut. Adanya riwayat sesak berulang dan sesak yang
sama dalam anggota keluarga mengarahkan kita pada kemungkinan asma sebagai
penyebab gagal nafas.
Penderita yang sering sesak nafas sejak kecil terutama bila minum, atau saat bermain
kemungkinan penyebabnya adalah penyakit jantung. Riwayat kecelakaan atau adanya
riwayat kebakaran akan mengarahkan diagnosis kita terhadap trauma atau keracunan
karbon monoksida sebagai penyebab. Sangat sulit membuat diagnosis gagal nafas
hanya berdasar pada pemeriksaan fisik saja, diagnosis klinis biasanya dibuat berdasar
hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan gas darah.
Periksaan fisik sangat bervariasi tergantung dari penyakit primer gagal nafas. Pada
pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda klinis dari penakit primer penyebab gagal nafas
seperti adanya penarikan-penarikan, ronki basah halus atau wheezing pada penyakit-
penyakit bronchopneumonia atau asma bronchiale. Suara nafas yang menurun dan
adanya keredupan pada perkusi menunjukkan adanya efusi pleura atau adanya suatu
massa di rongga dada, tetapi penurunan suara nafas tanpa keredupan bisa juga terjadi
pada stadium lanjut penyakit paru-paru dimana sudah terjadi kelelahan dari otot
pernafasan.
Pemeriksaan foto dada anterioposterior atau lateral sangat penting dilakukan untuk
mencari kelainan - kelainan penyebab gagal nafas. Pemeriksaan - pemeriksaan
penunjang lain yang perlu dilakukan tergantung pada dugaan kita terhadap
10
kemungkinan penyebab gagal nafas seperti ECG, Echocardiografi, kultur darah, darah
lengkap, USG, CT scan, pemeriksaan neurologis dan sebagainya. Pemeriksaan gas
darah sangat penting untuk menentukan diagnosis klinis gagal nafas akut. Kriteria dari
gagal nafas akut adalah PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 50 mmHg, saturasi oksigen <
90% atau PaO2/ FiO2 < 300. Indikator lain adalah penentuan perbedaan tekanan
oksigen alveolar (PAO2) dan arterial (PaO2).
7. Pemeriksaan penunjang gagal nafas
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala klinis
gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk
memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini
penting untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan
pemberian terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen
dan penilaian obyektif dari berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis yang
paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju
pernafasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan
respirasi akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.
Interpretasi hasil analisis gas darah meliputi dua bagian, yaitu gangguan
keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan.
2) Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditransmisikan melalui aliran darah
arteri yang berdenyut. Informasi yang didapatkan berupa saturasi oksigen yang
kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga
atau jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil,
tidak akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dan tekanan oksigen dapat
dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%,
dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan
saturasi oksigen.
3) Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk
11
konfirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan
fungsi paru.
4) Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang menunjukkan
terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas
kronik.
5) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil
pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya
gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat
dapat memperberat gejala gagal napas.
6) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin I dapat membedakan infark
miokard dengan gagal napas. Kadar kreatinin serum yang meningkat dengan
kadar troponin I yang normal menunjukkan terjadinya miositis yang dapat
menyebabkan gagal napas.
7) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu
diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan
gagal napas reversibel.
8) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran
kadar albumin serum, prealbumin, transferin, total iron-binding protein,
keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin dan jumlah limfosit total.
b. Pemeriksaaan Radiologi
1) Radiografi dada.
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas tetapi
kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner kardiogenik dan
nonkardiogenik.
2) Ekokardiografi .
Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan pada
pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung. Adanya
dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal atau regurgitasi
mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik. Ukuran jantung yang
normal, fungsi sistolik dan diastolic yang normal pada pasien dengan edema
pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan akut. Ekokardiografi
menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat untuk
pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik.
12
3) Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik
Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced vital capacity
(FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat kontrol napas.
Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan
penyakit paru restriktif. Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi
jika nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif
tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L.
8. Penatalaksanaan gagal nafas
Penatalaksanaan secara khusus bervariasi tergantung pada penyebab dari gagal nafas,
tapi secara umum terdapat kesamaan prinsip, meliputi:
a. Bebaskan jalan nafas
Bebaskan jalan nafas baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing
position), pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau dengan alat seperti
pemasangan pipa endotracheal atau tracheostomi.
b. Pemberian Oksigen
Oleh karena semua penderita dengan gagal nafas mengalami hipoksia maka
pemberian oksigen adalah suatu keharusan. Oksigen yang diberikan harus
dilembabkan dan hangat, sebab pemberian oksigen yang kering dan dingin akan
menyebabkan gangguan gerakan mukosilier saluran nafas dan pengentalan mukus
sehingga akan memperbesar tahanan saluran nafas dan memperburuk keadaan.
Mengingat bahaya keracunan oksigen yang bisa terjadi pada pemberian oksigen
dengan konsentrasi tinggi dan waktu lama maka pemberian oksigen sebaiknya
diberikan dalam konsentrasi minimal yang sudah dapat memberikan oksigenasi
jaringan yang cukup yaitu saturasi oksigen > 90% (keadaan ini sudah dapat
dicapai pada PaO2 60 mm Hg).
Oksigen dapat diberikan melalui :
1) Masker 6 - 10 l/menit.
2) Kanula hidung dapat memberikan O2 24 – 45% tergantung dari flow dan
frequensi nafas penderita. Kanula hidung biasanya diberikan dengan flow 2 –
4 1/menit, sebab flow yang lebih tinggi akan menyebabkan rasa yang tidak
enak, pusing, kekeringan dan luka pada selaput lendir hidung.
13
3) Inkubator dengan memasukkan oksigen ke dalam inkubator, tapi cara ini
sangat boros.
4) Head box bisa memberikan oksigen sampai 90% tergantung ada/ tidaknya
kebocoran headbox.
Sesudah pemberian oksigen akan segera tampak tanda-tanda perbaikan klinis
yaitu sianosis berkurang atau hilang, frekuensi pernafasan dan retraksi berkurang.
c. Kontrol Sekresi
Pederita-penderita gagal nafas banyak mengeluarkan lendir sehingga memperberat
beban pernafasan, oleh karena itu perawatan jalan nafas memegang peran penting
dalam tatalaksana gagal nafas.
1) Pengaturan posisi kepala
2) Pengisapan lendir
3) Humidifikasi udara pernafasan sangat perlu dilakukan untuk lebih
mengencerkan sekret yang kental. Bila sekret sangat kental atau purulent bisa
digunakan nebulizer. Seringkali dengan cara-cara ini sudah cukup berhasil
sehingga tidak perlu intubasi.
4) Fisioterapi dada, tindakan ini dilakukan untuk membantu pengeluaran lendir
dari saluran nafas dengan cara menepuk-nepuk dada (chest clapping), vibrasi,
hiperinflasi dan pengaturan posisi tubuh. Bila dilakukan dengan baik dapat
memperbaiki oksigenasi jaringan, tapi cara-cara fisioterapi yang tidak baik
justru dapat memperberat hipoksia. Karena itu untuk mencegah terjadinya
hipoksia sebelum dilakukan fisioterapi sebaiknya dilakukan oksigenasi dulu
dengan O2 100%.
5) Dapat diberikan mukolitik untuk menghancurkan sekret
6) Pemberian cairan yang cukup. Penderita-penderita gagal nafas akut biasanya
tidak bisa makan dan minum, selain itu terjadi kehilangan cairan karena panas,
hiperventilasi dan beban pemafasan yang berat (excessive work of breathing)
sehingga anak ini bisa mengalami dehidrasi dan pengentalan mukus, oleh
karena itu penting pemberian cairan yang cukup. Penderita yang mendapatkan
ventilator dengan O2 dan humidifikasi bisa terjadi kelebihan cairan dan terjadi
udem paru, karena itu pada penderita-penderita ini pemberian cairan dibatasi.
d. Pengobatan terhadap penyebab gagal nafas
Adapun obat-obatan yang dapat digunakan untuk penderita yang mengalami gagal
nafas meliputi: pemberian antibiotika, pemberian bronkodilator, aminofilin untuk
14
apnea of prematurity, naloxon pada keracunan narkotika, physostignin pada
blokade neuromuskular karena pemberian muscle relaxant.
e. Bantuan pernafasan
Bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung kondisi
penderita meliputi:
1) CPAP (Continous Positive Airway Pressure)
Diberikan pada anak yang masih bisa bernafas spontan dengan diberikan
tekanan positif (Positive End Expiratory Pressure = PEEP). Dengan memberi
tekanan positif pada akhir expirasi diharapkan alveoli tetap terbuka sehingga
pertukaran gas tetap berjalan dengan baik. CPAP dapat diberikan dengan
kanula nasal, masker sederhana atau dengan pipa endotracheal.
2) NPPV (Non invasive Positive Pressure Ventilation)
3) Ventilasi mekanik konvensional
4) Nonconventionan mechanical ventilation
 Inverse ratio ventilation: waktu inspirasi lebih panjang dari waktu
ekspirasi atau dengan rasio I : E terbalik. Berbeda dengan fisiologi
pernafasan dimana expirasi selalu lebih lama dari inspirasi,oleh karena itu
perlu sedasi dan paralisis otot-otot pernafasan. Cara ini dapat
meningkatkan mean airway pressure dan memperbaiki oksigenasi.
 Airway Pressure Release Ventilation (ARPV)
 High Frequency Ventilation/ High Frequency Oscilatory Ventilation
Disini prinsip yang dipakai adalah volume tidal yang lebih kecil dari dead
space tapi frekuensi pernafasan lebih tinggi yaitu 150 – 900/m (2 – 15 Hz),
sehingga memperkecil resiko kerusakan paru yang bisa terjadi (Ventilator
induce lung injury).
 Liquid ventilation
f. Terapi lain :
1) Prone Positioning
Penempatan penderita yang mendapat ventilator pada posisi tengkurap selama
waktu tertentu sudah diperkenalkan oleh Bryan sejak tahun 1974, dan terbukti
bisa memperbaiki oksigenasi. Mekanisme bagaimana posisi telungkup ini
dapat memperbaiki oksigenasi belum jelas, diduga cara ini dapat membuka
alveolus dibagian dorsal tubuh yang biasanya menutup sehingga akan
memperluas permukaan paru yang terlibat dalam pertukaran gas.
15
2) Pemberian Surfaktan
Surfaktan yang dibuat oleh sel pneumatosit tipe II sangat berkurang pada
gagal nafas akut dan penyakit-penyakit paru lainnya sehingga alveoli akan
mudah kollaps dan akan mengurangi luas permukaan paru untuk pertukaran
gas (Recidual functional capacity menurun). Pemberian surfaktan eksogen
diharapkan akan memperbaiki defisiensi surfaktan endogen. Pengalaman
penggunaan surfaktan pada anak dan dewasa masih kurang. Surfaktan eksogen
lebih banyak digunakan pada RDS pada bayi baru lahir dengan hasil yang
cukup baik. Surfaktan diberikan melalui pipa endotracheal dengan dosis 105
mg/kg BB atau 3 ml/kgBB, diberikan tiap 12 jam, dalam tiap pemberian tidak
boleh > 30 ml. Dalam penelitian metaanalisis Merritt mengatakan bahwa
pemberian surfaktan baik yang natural atau sintetik dapat menurunkan angka
kematian gagal nafas akut sampai 35-45%, baik bila diberikan sebagai terapi
profilaksis atau bila diberikan pada onset gagal nafas akut.
3) Nitric oxide (NO)
NO adalah free radical endogen yang dapat menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah. Pemberian nitric oxide secara inhalasi dapat mengurangi
vasokonstriksi pulmonal yang biasanya terjadi pada gagal nafas akut sehingga
pada akhirnya akan memperbaiki ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi
(V/Q mismatch) dan meningkatkan oksigenasi.
4) Extracorporal Life Support (ECLS)/ Extracorporal Membrane oxygenation
(ECMO)
Dengan pemakaian ECMO maka fungsi paru diganti oleh alat (artificial
membrane) diluar tubuh, darah vena dikeluarkan melalui kanula kemudian
dialirkan melalui oxygenator (artificial membrane) kemudian darah yang kaya
oksigen ini dimasukkan kembali kedalam tubuh dengan pompa masuk
kedalam aorta (Veno arterial/ VA) atau kedalam vena (VV). Penggunaan
ECMO ini memberikan hasil yang memuaskan pada neonatus dengan angka
keberhasilan 80%, tetapi pada anak dan dewasa tingkat keberhasilannya 52%.
Walaupun penggunaan ECMO pada penderita-penderita gagal nafas akut berat
dengan prediksi kemungkinan mati 80% memberi hasil yang baik, tapi
keberhasilan pemberian surfaktan dan pemakaian HFOV (High Frequency
Oscilatory Ventilation) menyebabkan pemakaian ECMO berkurang.
16
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Fokus
Pengkajian pada anak yang mengalami kegagalan nafas meliputi:
a. Riwayat keluarga
1) Riwayat keluarga tentang alergi dan penyakit keturunan.
2) Riwayat pasien tentang gangguan pernafasan yang baru diderita, terkena
infeksi, adanya alergi/iritasi, trauma.
b. Kaji keadaan dada
1) Kaji suara nafas dan suara nafas tambahan.
2) Kaji adanya pembesaran anterior/ posterior ukuran dada.
3) Kaji peningkatan dan penurunan taktil fremitus.
4) Kaji adanya retraksi otot supraklafikula, interkosta/ subkostal.
5) Kaji adanya hyperesonan (adanya distensi alveoli).
6) Kaji adanya ekspirasi yang memanjang.
c. Observasi pernafasan
1) Frekuensi: kaji adanya takipnue, normal, bradipnea
2) Kedalaman: normal, terlalu lambat (hypopnea), terlalu dalam (hyperpnea).
3) Kelancaran: kurang usaha, dypnea, ortopnea berhubungan dengan adanya
retraksi interkostal / substernal, adanya wheezing, pulsus paradoxus (tekanan
darah turun saat inspirasi dan tekanan darah naik dengan ekspirasi).
4) Labored breating: terus menerus, intermitten, secara tiba–tiba, kelelahan
dalam usaha pernafasan.
5) Tanda – tanda infeksi: peningkatan suhu tubuh, pembesaran nodus limfa,
inflamasi membran mukus, keluarnya cairan purulen dari hidung dan kuping,
adanya sputum yang purulen.
6) Batuk: kaji karakteristik batuk (produktif/ kering) kapan waktu terjadinya
batuk (hanya malam hari/ setiap waktu), frekuensi batuk yang berkaitan
dengan aktivitas dan suhu.
7) Wheezing: kapan terjadinya wheezing; saat inspirasi/ ekspirasi, apakah
memanjang, terjadi secara tiba-tiba/ berlahan-lahan.
8) Sianosis: catat distribusi sianosis (periperal, daerah bibir, wajah), derajat,
durasi, keterkaitan dengan aktivitas.
9) Nyeri dada: terjadi pada anak – anak catat lokasi, penyebaran ke leher/
abdomen, dalam/ dangkal.
17
10) Sputum: pasien anak – anak dapat mengeluarkan sputum pada bayi diperlukan
section untuk mendapatkan sempel, catat volume, warna, bau, viskositas.
11) Adanya pernafasan yang buruk berhubungan dengan infeksi pernafasan.
d. Kaji tanda terjadinya hipoksia
1) Hypotensi/ hypertensi
2) Dyspnea
3) Bradikardi
4) Sianosis : perifer / sentral
5) Kesadaran : Somnolen/ Stupor/ Koma
2. Diagnosa Keperawatan
a. Dx 1:
b. Dx 2:
c. Dx 3:
Faktor Resiko : Hipoksemia, hipoksia, CO2 dalam darah meningkat
Masalah Keperawatan : Resiko penurunan perfusi jaringan jantung
Diagnosa Keperawatan: Resiko penurunan perfusi jaringan jantung f.r
hipoksemia, hipoksia, CO2 dalam darah meningkat
DO : Dyspnea, penurunan: SaO2; PO2; tidal volume,
peningkatan: penggunaan otot-otot aksesoris; HR; PCO2
Masalah Keperawatan : Gangguan ventilasi spontan
Diagnosa Keperawatan: Gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme,
kelelahan otot-otot pernafasan ditandai dengan Dyspnea,
penurunan: SaO2; PO2; tidal volume, peningkatan:
penggunaan otot-otot aksesoris; HR; PCO2
DO : Abnormal; hasil AGD; pola nafas; warna kulit, penurunan
level CO2, sianosis, dyspnea, hyperkapnea, hipoksemia,
hipoksia, penurunan kesadaran, takikardi
Masalah Keperawatan : Gangguan pertukaran gas
Diagnosa Keperawatan: Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi-perfusi tidak
seimbang, perubahan membran alveoli-kapiler ditandai
dengan Abnormal; hasil AGD; pola nafas; warna kulit,
penurunan level CO2, sianosis, dyspnea, hyperkapnea,
hipoksemia, hipoksia, penurunan kesadaran, takikardi
18
d. Dx 4:
e. Dx 5:
f. Dx 6:
3. Intervensi Keperawatan
a. Intervensi Dx 1:
DO : Abnormal pola nafas, bradypnea, penurunan: expiratory
pressure; tekanan inspirasi; kapasitas vital; ventilasi
menit, dsypnea, fase ekspirasi memanjang, takipnea,
penggunaan otot bantu nafas
Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas
Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi, sindrome
hipoventilasi ditandai dengan Abnormal pola nafas,
bradypnea, penurunan: expiratory pressure; tekanan
inspirasi; kapasitas vital; ventilasi menit, dsypnea, fase
ekspirasi memanjang, takipnea, penggunaan otot bantu
nafas
DO : Batuk/ batuk tidak efektif , suara nafas tambahan, suara
nafas menjauh, dyspnea, sputum, sianosis
Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan
mukus, eksudat di alveoli, penumpukan sekret ditandai
dengan Batuk/ batuk tidak efektif , suara nafas tambahan,
suara nafas menjauh, dyspnea, sputum, sianosis
Faktor Resiko : Penurunan kesadaran,batuk tidak efektif, penurunan gag
refleks
Masalah Keperawatan : Resiko aspirasi
Diagnosa Keperawatan: Resiko aspirasi f.r penurunan kesadaran,batuk tidak
efektif, penurunan gag refleks
NOC : Tissue perfusion: Cardiac, Cardiac pump effectiveness, Respiratory status:
Gas Exchange, Risk control
NIC : Cardiac Care
 Monitor: ECG, vital sign, status kardiovaskular, cardiac dysrhytmia,
catat, tanda dan gejala penurunan cardiac output, status respirasi,
balance cairan, dyspnea, fatigue, takipnea.
 FCC (persiapan EOL, spiritual support)*
Resusitation
 Evaluasi respon pasien
 Kaji pernafasan dan nadi karotis/ brakial untuk neonatus
 Aktifkan code blue jika nafas tidak ada/ gasping, AED
19
b. Intervensi Dx 2:
c. Intervensi Dx 3:
 CPR
 Rescue breathing
 Evaluasi tindakan
NOC : Respiratory status: Ventilation, Gas Exchange; Electrolyte&Acid/ Base
balance
NIC : Respiratory monitoring*
 Monitor: rate, ritme, kedalaman pernafasan
 Catat adanya penggunaan alat bantu nafas
 Monitor suara nafas tambahan dan pola nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Auskultasi pernafasan
 Jika tersedia, monitor: maximal inspiratory force, FEV 1, PFT values
 Catat perubahan SaO2, SvO2, end tidal CO2, nilai ABG
 Monitor: sekresi respirasi, dyspnea
 Buka jalan nafas
 Resusitasi jika diperlukan
Ventilation assistance*
 Patenkan jalan nafas
 Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)
 Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)
 Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)
 Penggunaan ventilator jika diindikasikan (NPPV atau Invasif
Ventilator)*
Oxygen therapy*
 Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret/ suction*
 Buka jalan nafas, patenkan
 Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
 Monitor: aliran oksigen; hasil ABG, tanda dan gejala keracunan oksigen,
peralatan oksigenasi (apakah menghambat pasien bernafas), kulit
NOC : Respiratory status: Gas exchange
NIC : Respiratory monitoring*
 Monitor: rate, ritme, kedalaman pernafasan
 Catat adanya penggunaan alat bantu nafas
 Monitor suara nafas tambahan dan pola nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Auskultasi pernafasan
 Jika tersedia, monitor: maximal inspiratory force, FEV 1, PFT values
 Catat perubahan SaO2, SvO2, end tidal CO2, nilai ABG
 Monitor: sekresi respirasi, dyspnea
 Buka jalan nafas
20
d. Intervensi Dx 4:
e. Intervensi Dx 5:
 Resusitasi jika diperlukan
Oxygen therapy*
 Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret/ suction*
 Buka jalan nafas, patenkan
 Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
 Monitor: aliran oksigen; hasil ABG, tanda dan gejala keracunan oksigen,
peralatan oksigenasi (apakah menghambat pasien bernafas), kulit
NOC : Respiratory status: Ventilation; Airway patency; Energy conservation
NIC : Ventilation assistance*
 Patenkan jalan nafas
 Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)
 Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)
 Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)
Airway management*
 Buka jalan nafas
 Posisi memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi kebutuhan pasien menggunakan alat bantu paten jalan nafas
 Chest physical therapy jika diperlukan*
 Auskultasi suara nafas
 Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
Oxygen therapy*
 Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret*
 Buka jalan nafas, patenkan
 Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
 Monitor: aliran oksigen, tanda vital
NOC : Respiratory status: Airway patency; Ventilation; Gas exchange
NIC : Airway management*
 Buka jalan nafas
 Posisi memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi kebutuhan pasien menggunakan alat bantu paten jalan nafas
 Chest physical therapy jika diperlukan*
 Auskultasi suara nafas
 Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
Airway suctioning*
 Gunakan prinsip hygiene dan steril
 Gunakan universal precautions dan peralatan personal protektif
 Tentukan kebutuhan dilakukannya suction*
 Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction
 Monitor: SaO2 dan level SvO2
 Perhatikan tekanan suction
 Penuhi kebutuhan oksigen pasien
 Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
21
f. Intervensi Dx 6:
*Intervensi berdasarkan EBP (Kelompok)
Ventilation assistance*
 Patenkan jalan nafas
 Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)
 Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)
 Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)
Oxygen therapy*
 Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret*
 Buka jalan nafas, patenkan
 Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
 Monitor: aliran oksigen, tanda vital
NOC : Nausea & Vomiting control, Risk control, Aspiration prevention
NIC : Aspiration precautions*
 Monitor level kesadaran, reflek batuk, reflek gag, dan kemampuan
menelan
 Patenkan jalan nafas
 Monitor status pulmonal
 Posisikan bagian atas peralatan (NGT) 30-900
 Posisikan kepala 30-450
setelah feeding via NGT*
 Monitor posisi NGT dan kepala, sebelum dan sesudah feeding
 Miringkan bagian kepala jika diperlukan
22
BAB III
INTERVENSI BERDASARKAN EVIDENCE BASED PRACTICE
Intervensi Keperawatan berdasarkan evidence based practice menjadi sebuah keharusan yang
dilakukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dalam mencapai derajat kesehatan
yang lebih baik bagi pasien. Hal ini menjadi bentuk tanggungjawab perawat sebagai profesi
kesehatan yang professional.
Intervensi keperawatan berdasar evidence based practice terkait perawatan pasien anak
dengan gagal nafas antara lain sebagai berikut:
1. Hough JL, et al (2010) dalam “Chest physiotherapy for reducing respiratory morbidity in
infants requiring ventilatory support (Review)” menyimpulkan dari hasil penelitiannya
bahwa bayi dengan ventilasi mekanik dapat dilakukan fisioterapi dada untuk mengurangi
resiko kolaps paru karena adanya peningkatan sekresi. Fisioterapi dada (menepuk atau
menggetarkan dada) digunakan untuk meningkatkan pembersihan sekresi dari jalan nafas
untuk mencegah kolaps paru. Teknik fisioterapi dada (TFD) teknik yang banyak
digunakan di NICU untuk meningkatkan bersihan jalan napas dan mengatasi kolaps paru
pada bayi dengan ventilasi. TFD telah terbukti efektif dalam pengobatan baik anak-anak
non-ventilasi. TFD pada bayi prematur terdiri dari berbagai teknik yang mencakup
positioning, teknik aktif seperti perkusi dan getaran, dan suction. Perkusi melibatkan
tindakan cupping ritmis diterapkan pada dinding dada dilakukan dengan tangan
menangkup penuh, jari tenda, atau dengan menggunakan masker bayi resusitasi wajah
(bekam). Teknik getaran dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan jari untuk
menyebabkan gerakan gemetar halus dari dinding dada. Hasil klinis penting yang harus
dinilai/ monitor meliputi durasi ventilasi, durasi terapi oksigen, lamanya tinggal di rumah
sakit, dan adanya lesi intrakranial.
2. Cone S, et al (2013) dalam “Endotracheal Suctioning in Preterm Infants Using Four-
Handed versus Routine Care” menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan, kecuali pada saturasi oksigen, penggunaan teknik four hand
suction ETT dengan penggunaan teknik yang biasa dilakukan. Terlepas dari kenyataan
bahwa dua metode suctioning tersebut direkomendasikan oleh National Association of
Neonatal Nurses namun hal itu bukan praktik yang konsisten di semua NICU. Bayi
dengan ventilasi mekanik membutuhkan intubasi endotrakeal dan diulang penyedotan
untuk memindahkan sekresi berlebihan dan untuk mengurangi potensi jalan napas
23
terhambat. Penghisapan/ suctioning harus memperhatikan kondisi bayi saat prosedur
berlangsung, karena bayi rentan berada pada risiko untuk sejumlah komplikasi suction,
termasuk hipoksemia, bradikardia, takikardia, atelektasis, pneumonia, fluktuasi tekanan
darah dan tekanan intrakranial, trauma lokal untuk jalan napas, pneumothoraces, tabung
penyumbatan, dan ekstubasi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan respon fisiologis
(oksigenasi, denyut jantung, dan stres) dan respon perilaku (stres dan pertahanan perilaku,
perilaku self-regulatory) dan recovery (waktu tanda-tanda vital fisiologis kembali ke
baseline) dari suctioning endotrakeal.
3. Rafiee H, et al (2011) dalam “Comparison of the endotracheal tube suctioning with and
without normal saline solution on heart rate and oxygen saturation” menyimpulkan
bahwa penggunaan berangsur-angsur normal saline sebelum penyedotan endothracheal
dapat menyebabkan komplikasi seperti penurunan saturasi hemoglobin dengan oksigen,
dan pendekatan yang lebih tepat termasuk pelembab gas inhalasi, oleh karena itu,
dianjurkan untuk menipiskan sekresi untuk meminimalkan komplikasi pasca-suctioning.
Presuctioning menggunakan normal saline (NS) berangsur-angsur ke dalam trakea adalah
intervensi keperawatan tradisional yang telah menjadi bagian dari rutinitas bangsal di
sejumlah unit perawatan intensif. Sebelum penyedotan, perawat biasanya memasukkan 3-
10 ml NS ke dalam tabung endotrakeal; ini dilakukan dengan tujuan khusus, di antaranya
menipiskan cairan kental, merangsang refleks batuk, pelumas kateter suction, dan
memfasilitasi sekresi. Penelitian oleh Ridling et al., menunjukkan bahwa pre-penyedotan
NS berangsur-angsur dapat berkontribusi untuk penurunan saturasi oksigen dibandingkan
dengan penyedotan tanpa larutan garam normal. Sebuah penelitian di Korea Selatan oleh
Ji et al. mengungkapkan bahwa intra-penyedotan NS menyebabkan penurunan saturasi
oksigen; pasca-suctioning menyebabkan gejala asma, serta peningkatan risiko infeksi
pernapasan. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa penggunaan rutin larutan NS
selama ETT penyedotan tidak harus dilakukan.
4. Barbas, et al (2012) dalam “Respiratory evaluation of patients requiring ventilator
support due to acute respiratory failure” menyimpulkan bahwa pasien anak yang
mengalami gagal nafas harus diberi bantuan ventilator. Salah satu faktor utama yang
mempengaruhi oksigenasi adalah jumlah oksigen dalam darah. Tekanan gas darah tersebut
dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau melihat saturasi
hemoglobin melalui pulse oximetry, dan mengukur parameter system pernafasan.
Ventilasi mekanik ventilator merupakan suatu alat bantu mekanik yang berfungsi dan
bertujuan untuk memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara
24
positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan dan juga merupakan mesin bantu nafas
yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk
mempertahankan oksigenasi.
5. Tume, et al (2015) dalam “Pediatric Critical Care Nursing Research Priorities Initiating
International Dialogue” mengungkapkan bahwa dalam sembilan domain Critical Care
Nursing Practice (diagnosing and managing life-sustaining physiologic functions, skilled
know how of managing a crisis, providing comfort measures, caring for patient’s families,
preventing hazards in a technological environment, facing death: end-of-life care and
decision making, making a case: communicating clinical assessments and improving
teamwork, patient safety: monitoring quality and preventing and managing breakdown,
skilled know how of clinical and moral, leadership and the coaching and mentoring of
others), domain facing death: end-of-life care and decision making menjadi salah satu
prioritas utama dalam perawatan diruang intensif. Sebagian besar kematian pada anak-
anak dirawat di rumah sakit terjadi di ICU, kematian anak sangat berdampak pada anggota
keluarga dan dapat mengubah kehidupan. Failitas perawatan end-of-life dengan informasi
yang jelas dan bermanfaat berpotensi dapat meringankan penderitaan di anak dan
meningkatkan proses dying, memperkuat pengambilan keputusan dan komunikasi,
dampak positif kesehatan yang sedang berlangsung, kesejahteraan keluarga yang masih
hidup dan penyedia layanan kesehatan.
6. Abadesso, et al (2012) dalam “Non-invasive ventilation in acute respiratory failure in
children“ menunjukkan hasil penelitian bahwa pasien anak yang mengalamai gagal nafas
terpasang NIV mengalami peningkatan RR, HR, gas darah (Ph dan pCO2) dan SatO2 /
FiO2. Strategi ventilator menggunakan NIV dapat menurunkan insidensi pneumonia
terkait ventilator, dukungan oksigen kurang, dan penurunan lama perawatan di rumah
sakit. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa prediktor terbaik untuk suksesnya
pemasangan NIV adalah respon yang ditunjukan pada pemasangan NIV dalam jam
pertama (pengurangan RR, peningkatan pH, peningkatan oksigenasi, pengurangan
PaCO2. Harus diperhatikan dalam NIV adalah pentingnya pemantauan ketat pasien:
pemantauan cardio-respiratory, oksimetri pulsa, dan darah gas.
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi
gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai
dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit
paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya.
Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan
neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat.
Berdasarkan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2
tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Pada gagal napas tipe I dengan gangguan oksigenasi,
didapatkan PaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan abnormalitas
ventilasi/ perfusi. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sianosis,
kebingungan, agitasi, sulit tidur, nafas pendek, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi
dan disritmia. Sedangkan pada gagal nafas tipe II dengan gangguan ventilasi, didapatkan
PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiperkapnia), umumnya terjadi karena
hipoventilasi alveolar, meningkatnya ventilasi ruang mati (dead space) atau
meningkatnya produksi CO2. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain pusing,
sakit kepala, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi, apnea, nafas pendek, terdapat
stridor dan wheezing.
Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisis dan penunjang, termasuk
pulse oksimetry dan analisa gas darah arteri. Penatalaksanaan gagal napas secara khusus
bervariasi, tergantung pada penyebab dari gagal nafas meliputi pembebasan jalan nafas ,
pemberian oksigen, fisioterapi dada, pemberian mukolitik, pemberian cairan yang cukup,
pengisapan lendir, pengaturan posisi kepala, pengobatan terhadap penyebab gagal nafas,
bantuan pernafasan (ventilator mekanik), prone positioning, pemberian surfaktan, nitric
oxide (NO), dan extracorporal membrane oxygenation (ECMO).
26
B. Saran
Dalam melakukan penatalaksanaan pada anak yang mengalami gagal nafas memerlukan
suatu keterampilan dan pengetahuan khusus serta perencanaan maupun melakukan
tindakan harus cepat dan sistematis. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan perawat
terkait permasalahan gagal nafas pada anak sangat diperlukan sekali agar dapat mencegah
terjadinya kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan yang dilakukan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Abadesso C, Silvestre C, Loureiro. (2012). Non-invasive ventilation in acute respiratory
failure in children. Pediatric Reports. Vol. 4, Page 57-63.
Azis, A. L. (2005). Gagal Nafas Akut pada Anak. Simposium Nasional Perinatologi dan
Pediatri Gawat Darurat 2005 di Banjarmasin. Hal: 1 – 17.
Bakhtiar. (2013). Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. Hal: 173 – 178.
Barbas, C. S. V, et al. (2012). Respiratory evaluation of patients requiring ventilator support
due to acute respiratory failure. Open Jurnal of Nursing 2. Page: 336 – 340.
Bulechek, G. M, et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Ke-6. USA:
Mosby Elsevier.
Carlo, W. (2001). Assisted Ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the
high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders.
Cone S, Pickler RH, Grap MJ, McGrath J, Wiley PM. (2013). Endotracheal Suctioning in
Preterm Infants Using Four-Handed versus Routine Care. J Obstet Gynecol Neonatal
Nurs. Vol. 42(1), Page: 92–104.
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2014). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification
2015 – 2017 Edisi Ke-10. Oxford : Wiley Blackwell.
Hough JL, Flenady V, Johnston L, Woodgate PG. (2010). Chest physiotherapy for reducing
respiratory morbidity in infants requiring ventilatory support (Review). Evidence-Based
Child Health: A Cochrane Review Journal Evid.-Based Child Health. Vol 5, Page: 54–
79.
Kumar, A. & Bhatnagar, V. (2005). Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatric.
Page: 425-438.
Levy, M. M. (2005). Pathophysiology of Oxygen Delivery in Respiratory Failure. Chest.
Page: 547-553.
Moorhead, Sue, dkk. (2014). Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. USA:
Mosby Elsevier.
Nitu, M. E. & Elger, H. (2009). Respiratory Failure. Ped Rev. Page: 470-474.
Rafiee H, Iranmanesh S, Sabzevari S. (2011). Comparison of the endotracheal tube
suctioning with and without normal saline solution on heart rate and oxygen saturation.
Iranian Journal of Critical Care Nursing, Autumn . Vol 4, Page: 117 – 120.
28
Ranjit, S. (2001). Acute Respiratory Failure and Oxygen Therapy. Indian J Pediatric. Page:
249-255.
Somasetia, D. H. (2008). Tatalaksana Gagal Nafas Akut pada Anak. Dalam: Garna H,
Penatalaksanaan Terkini dalam Bidang Perinatologi, Hematologi-onkologi, dan
Pediatrik Gawat Darurat. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Hal: 52-65.
Stenklyft, P. H., Cataletto, M. E., & Lee, B. S. (2004). The Pediatric Airway in Health and
Disease. Dalam : Gausch-Hill M, Fuch S, Yamamoto L, penyunting. APLS The
pediatric emergency medicine resource, edisi ke-4. Boston : Jones and Barlett
Publishers.
Tume LN, Coetzee M, Dryden-Palmer K, Hickey PA, Kinney S, Latour JM, Pedreira MLG,
Sefton GR, Sorce L, Curley MAQ. (2015). Pediatric Critical Care Nursing Research
Priorities Initiating International Dialogue. Pediatr Crit Care Med. Page: 1 – 9.
Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. (2006). Disorders of the Lung Parenchyma.
Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

More Related Content

What's hot

Pengolahan dan penafsiran skor
Pengolahan dan penafsiran skorPengolahan dan penafsiran skor
Pengolahan dan penafsiran skorMut Mu3tiah
 
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantungPemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantungVerar Oka
 
Kb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anak
Kb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anakKb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anak
Kb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anakpjj_kemenkes
 
Makalah keterampilan bertanya
Makalah keterampilan bertanyaMakalah keterampilan bertanya
Makalah keterampilan bertanyaAbdul Rosid
 
161092743 case-sindroma-nefrotik-anak
161092743 case-sindroma-nefrotik-anak161092743 case-sindroma-nefrotik-anak
161092743 case-sindroma-nefrotik-anakhomeworkping7
 
Fisiologi sistem kardiovaskular
Fisiologi sistem kardiovaskularFisiologi sistem kardiovaskular
Fisiologi sistem kardiovaskularShiAddung
 
Kb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan
Kb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguanKb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan
Kb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguanpjj_kemenkes
 
7. askep-kgd-tenggelam
7. askep-kgd-tenggelam7. askep-kgd-tenggelam
7. askep-kgd-tenggelamEnggal Hadi
 
PEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptx
PEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptxPEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptx
PEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptxSintaNurhakiki1
 
Satuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anak
Satuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anakSatuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anak
Satuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anakFransiska Oktafiani
 
ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)Sulistia Rini
 
01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes- (1)
01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes-  (1)01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes-  (1)
01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes- (1)indramulyadi3
 
Pemeriksaan klinik neurologi
Pemeriksaan klinik neurologiPemeriksaan klinik neurologi
Pemeriksaan klinik neurologiNurul Sari
 

What's hot (20)

Askep osteoporosis pd lansia
Askep osteoporosis pd lansiaAskep osteoporosis pd lansia
Askep osteoporosis pd lansia
 
Logika bag-3-
Logika bag-3-Logika bag-3-
Logika bag-3-
 
Pengolahan dan penafsiran skor
Pengolahan dan penafsiran skorPengolahan dan penafsiran skor
Pengolahan dan penafsiran skor
 
Resusitasi Cairan Pada Pasien Kritis
Resusitasi Cairan Pada Pasien KritisResusitasi Cairan Pada Pasien Kritis
Resusitasi Cairan Pada Pasien Kritis
 
Pengelolaan Kelas
Pengelolaan KelasPengelolaan Kelas
Pengelolaan Kelas
 
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantungPemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
 
Kb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anak
Kb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anakKb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anak
Kb 1 konsep dasar pertumbuhan dan perkembangan anak
 
Makalah keterampilan bertanya
Makalah keterampilan bertanyaMakalah keterampilan bertanya
Makalah keterampilan bertanya
 
161092743 case-sindroma-nefrotik-anak
161092743 case-sindroma-nefrotik-anak161092743 case-sindroma-nefrotik-anak
161092743 case-sindroma-nefrotik-anak
 
Fisiologi sistem kardiovaskular
Fisiologi sistem kardiovaskularFisiologi sistem kardiovaskular
Fisiologi sistem kardiovaskular
 
Kb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan
Kb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguanKb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan
Kb 2 penerapan komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan
 
Latihan EKG Strip
Latihan EKG StripLatihan EKG Strip
Latihan EKG Strip
 
7. askep-kgd-tenggelam
7. askep-kgd-tenggelam7. askep-kgd-tenggelam
7. askep-kgd-tenggelam
 
PEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptx
PEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptxPEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptx
PEMBELAJARAN PKN DI SD MODUL 10.pptx
 
askep demam rematik
askep demam rematikaskep demam rematik
askep demam rematik
 
Satuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anak
Satuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anakSatuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anak
Satuan acara penyuluhan dan leaflet diare pada anak
 
ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
ASKEP VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
 
01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes- (1)
01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes-  (1)01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes-  (1)
01 gdl-ranggaajin-1470-1-diabetes- (1)
 
Pemeriksaan klinik neurologi
Pemeriksaan klinik neurologiPemeriksaan klinik neurologi
Pemeriksaan klinik neurologi
 
Askep faringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep faringitis AKPER PEMKAB MUNA Askep faringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep faringitis AKPER PEMKAB MUNA
 

Similar to ANAK KRITIS

Gagal nafas-final
Gagal nafas-final Gagal nafas-final
Gagal nafas-final Zaenal Arif
 
Makalah hubungan asfiksia dengan portus lama
Makalah hubungan asfiksia dengan portus lamaMakalah hubungan asfiksia dengan portus lama
Makalah hubungan asfiksia dengan portus lamaSeptian Muna Barakati
 
100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksiaWarnet Raha
 
Asuhan Keperawatan pneumuthorax
 Asuhan Keperawatan pneumuthorax Asuhan Keperawatan pneumuthorax
Asuhan Keperawatan pneumuthoraxSulistia Rini
 
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumMakalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumOperator Warnet Vast Raha
 
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumMakalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumSeptian Muna Barakati
 
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumMakalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumWarnet Raha
 
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan  post maturMakalah hubungan asfiksia dengan  post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan post maturSeptian Muna Barakati
 
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan  post maturMakalah hubungan asfiksia dengan  post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan post maturWarnet Raha
 
Makalah hubungan asfiksia dengan tbc
Makalah hubungan asfiksia dengan  tbcMakalah hubungan asfiksia dengan  tbc
Makalah hubungan asfiksia dengan tbcSeptian Muna Barakati
 

Similar to ANAK KRITIS (20)

Gagal nafas-final
Gagal nafas-final Gagal nafas-final
Gagal nafas-final
 
145599463 lp-asfiksia-pada-bayi
145599463 lp-asfiksia-pada-bayi145599463 lp-asfiksia-pada-bayi
145599463 lp-asfiksia-pada-bayi
 
Indry punyaa AKPER PEMKAB MUNA
Indry  punyaa AKPER PEMKAB MUNAIndry  punyaa AKPER PEMKAB MUNA
Indry punyaa AKPER PEMKAB MUNA
 
Asfeksia haidir AKPER PEMKAB MUNA
Asfeksia haidir AKPER PEMKAB MUNAAsfeksia haidir AKPER PEMKAB MUNA
Asfeksia haidir AKPER PEMKAB MUNA
 
Makalah rds
Makalah rdsMakalah rds
Makalah rds
 
Makalah hubungan asfiksia dengan portus lama
Makalah hubungan asfiksia dengan portus lamaMakalah hubungan asfiksia dengan portus lama
Makalah hubungan asfiksia dengan portus lama
 
100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia
 
100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia
 
100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia
 
100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia100103439 makalah-asfiksia
100103439 makalah-asfiksia
 
Asuhan Keperawatan pneumuthorax
 Asuhan Keperawatan pneumuthorax Asuhan Keperawatan pneumuthorax
Asuhan Keperawatan pneumuthorax
 
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumMakalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
 
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumMakalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
 
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekoniumMakalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
Makalah hubungan asfiksia dengan air ketuban bercampur dengan mekonium
 
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan  post maturMakalah hubungan asfiksia dengan  post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
 
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan  post maturMakalah hubungan asfiksia dengan  post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
 
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan  post maturMakalah hubungan asfiksia dengan  post matur
Makalah hubungan asfiksia dengan post matur
 
Bab i..
Bab i..Bab i..
Bab i..
 
Makalah hubungan asfiksia dengan tbc
Makalah hubungan asfiksia dengan  tbcMakalah hubungan asfiksia dengan  tbc
Makalah hubungan asfiksia dengan tbc
 
Makalah hubungan asfiksia dengan tbc
Makalah hubungan asfiksia dengan  tbcMakalah hubungan asfiksia dengan  tbc
Makalah hubungan asfiksia dengan tbc
 

Recently uploaded

MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdfMATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdfestidiyah35
 
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRBimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRJessieArini1
 
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUARmater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUARGregoryStevanusGulto
 
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxPENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxandibtv
 
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdfDiagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdfAlanRahmat
 
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.pptKEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.pptmutupkmbulu
 
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptxPPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptxnoviariansari
 
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.pptPENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.pptssuser940815
 
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docximplementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docxhurufd86
 
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxMETODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxika291990
 
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfPROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfMeiRianitaElfridaSin
 
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxDASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxNadiraShafa1
 

Recently uploaded (12)

MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdfMATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
 
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRBimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
 
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUARmater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
 
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxPENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
 
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdfDiagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
 
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.pptKEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
 
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptxPPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
 
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.pptPENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
 
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docximplementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
 
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxMETODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
 
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfPROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
 
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxDASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
 

ANAK KRITIS

  • 1. MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KRITIS GAGAL NAFAS PADA ANAK Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Anak Kritis Disusun Oleh: Komala Sari (NIM : 215115014) Malisa Ariani (NIM : 215115015) Paul Joae Brett Nito (NIM : 215115016) Sastrayanti Sinaga (NIM : 215115016) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-2) STIKES JENDERAL A. YANI CIMAHI 2016
  • 2. i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Asuhan Keperawatan Kritis pada Anak dengan Gagal Nafas” tepat waktu. Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak Kritis. Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat, tata bahasanya maupun isi materi yang disampaikan. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Semoga makalah dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca. Cimahi, 30 April 2016 KELOMPOK 4
  • 3. ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1 A. Latar Belakang...............................................................................................1 B. Tujuan ............................................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4 A. Konsep Penyakit ............................................................................................3 B. Konsep Asuhan Keperawatan........................................................................16 BAB III INTERVENSI BERDASARKAN EVIDENCE BASED PRACTICE..................22 BAB IV PENUTUP............................................................................................................25 A. Kesimpulan ....................................................................................................25 B. Saran ..............................................................................................................26 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................27
  • 4. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan organ-organ pernafasan untuk mempertahankan O2 yang adekuat, dengan atau tanpa retensi CO2 (Wong, 2009). Gagal nafas merupakan tahap lanjutan dari gangguan pernafasan yang menyebabkan paru mengalami kegagalan untuk memenuhi kebutuhan O2 dan mengeluarkan CO2 sehingga terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Hampir 50% anak yang masuk ruang pelayanan intensif mengalami gagal nafas akut dan merupakan penyebab henti napas tersering pada anak. Gagal nafas akut masih merupakan penyebab utama kematian atau kesakitan baik pada anak maupun dewasa. Bayi dan anak-anak terutama anak usia kurang dari lima tahun akan lebih mudah mengalami gagal nafas akut karena faktor - faktor anatomis dan system fungsional pernafasan yang masih belum matang. Penyebab terjadinya gagal nafas akut antara lain dikarenakan rusaknya sistem kontrol pernafasan oleh susunan saraf pusat, penyakit neuromuskular, sumbatan jalan naafs, penyakit pada paru-paru dan sistem kardiovaskular. Gejala klinis sangat bervariasi dan tergantung dari umur penderita, penyakit primer dan tingkat kegagalan pertukaran gas. Diagnosis gagal nafas dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang, termasuk pulse oximetry dan analisa gas darah. Pengenalan dini dan tatalaksana yang tepat merupakan hal yang harus diperhatikan karena prognosisnya buruk apabila telah mengalami henti jantung. Tatalaksana tersebut meliputi perbaikan ventilasi dan pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab gagal nafas, tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi. Penatalaksanaan untuk anak yang mengalami gagal nafas memerlukan suatu keterampilan dan pengetahuan khusus serta penafsiran dan perencanaan maupun melakukan tindakan harus cepat dan sistematis. Oleh sebab itu diperlukannya peningkatan keterampilan dan pengetahuan perawat terkait permasalahan gagal nafas pada anak agar dapat mencegah terjadinya kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan.
  • 5. 2 B. Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian gagal nafas pada anak. 2. Mahasiswa mampu menyebutkan penyebab gagal nafas pada anak. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi gagal nafas pada anak 4. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi gagal nafas pada anak. 5. Mahasiswa mampu menyebutkan tanda dan gejala gagal nafas pada anak. 6. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis gagal nafas pada anak. 7. Mahasiswa mampu menyebutkan pemeriksaan penunjang gagal nafas pada anak. 8. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan gagal nafas pada anak. 9. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan serta intervensi pada anak yang mengalami gagal nafas.
  • 6. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Penyakit 1. Pengertian gagal nafas Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen (Levi, 2005; Kumar & Bhatnagar; 2005). Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat (Levi, 2005; Kumar & Bhatnagar; 2005). Gagal nafas tipe hiperkapnia terjadi akibat CO2 tidak dapat dikeluarkan dengan respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan turunnya pH. Hiperkapnia dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau bawah, kelemahan otot pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang berlebihan. Gagal nafas tipe hipoksemia terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya akibat pirau dari kanan ke kiri atau gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi (ventilation-perfusion mismatch) (Ranjit, 2001; Carlo, 2001).
  • 7. 4 2. Penyebab gagal nafas Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1) ukuran jalan nafas yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara, (2) compliance paru yang lebih besar, (3) otot pernafasan dan diafragma cenderung yang lebih mudah lelah, serta (4) predisposisi terjadinya apnea yang lebih besar. Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus Paru-paru Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the newborn, persistent pulmonary hypertension, pneumotoraks, perdarahan paru, edema paru, displasia bronkopulmonal, hernia diafragma, tumor, efusi pleura, emfisema lobaris kongenital Jalan nafas Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis choana, Pierre Robin Syndrome, tumor dan kista Otot-otot respirasi Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis, miasthenia gravis Sistem saraf pusat (SSP) Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik, magnesium; kejang, asfiksia, hipoksik ensefalopati, perdarahan SSP Lain-lain Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung kongestif, anemia/polisitemia, tetanus neonatorum, immaturitas, syok, sepsis Sumber: Carlo (2001) Pada umumnya, gagal nafas pada anak disebabkan oleh gangguan paru primer, termasuk pneumonia, bronkiolitis, asma serangan akut, sumbatan benda asing, dan sindrom croup. Penyebab di luar paru dapat berupa gangguan ventilasi akibat kelainan sistem saraf, misalnya Sindrom Guillain Barre, Miastenia Gravis (Nitu & Elger, 2009). Tabel 2 Etiologi gagal nafas pada anak Kelainan Paru Primer Pneumonia, Bronkhiolitis, Asma, Fibrosis Kistik Gangguan Mekanik Ventilasi Penyakit Neuromuskuler (myophaties, Sindrom Guillain Barre), Efusi pleura luas, Penyakit paru restriktif dengan keterlibatan otot-otot pernafasan. Sumbatan Saluran Nafas Trauma, Infeksi, Keracunan, Genetik (congenital/ hypoventilation syndrome), Tumor Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan Oksigen Jaringan Syok septik Sumber: Nitu dan Elger (2009)
  • 8. 5 Faktor predisposisi terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu: a. Struktur anatomi 1) Dinding dada Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi (perubahan) tulang iga yang kurang kokoh, letak iga lebih horizontal dan pertumbuhan otot interkosta yang belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas. 2) Saluran pernafasan Pada bayi dan anak saluran pernafasannya relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Besar trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½ dewasa, sedangkan ukuran tubuh orang dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran pernafasan 75%. 3) Alveoli Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan “elastic recoil” untuk mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relative lebih besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan bertambah sehingga akan menambah “elastic recoil”. b. Kerentanan terhadap infeksi Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, sedangkan pada anak kerentanan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi gagal nafas. c. Kelainan kongenital Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang berhubungan dengan alat pernafasan. d. Faktor fisiologis dan metabolik Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolism akan meningkat sehingga mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut dicapai dengan menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan air. Kedua dibutuhkan kontraksi otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi
  • 9. 6 dan anak kadar glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan asam organik sebagai hasil metabolism anaerob akibat terjadinya asidosis. 3. Klasifikasi gagal nafas Kondisi gagal nafas akut dapat menyebabkan terjadinya ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran gas normal. Keadaan ini menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Pada kedua tipe tersebut ditemukan gambaran tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) yang rendah. Sebaliknya, PaCO2 yang berbeda pada kedua tipe tersebut. Terdapat mekanisme yang berbeda yang mendasari perubahan PaO2 dan PaCO2 baik pada tipe I maupun II. a. Gagal napas tipe I (hipoksemia, gangguan oksigenasi) Pada tipe I dengan gangguan oksigenasi, didapatkan PaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan abnormalitas ventilasi/ perfusi. Gagal napas tipe I disebabkan karena terjadinya kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga keadaan, meliputi: 1) Ventilasi/ perfusi yang tidak sepandan atau V/Q mismatch, yang terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami ventilasi adekuat, atau bila area ventilasi paru mendapat perfusi adekuat. 2) Defek difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau bertambahnya cairan interstisial pada pertemuan alveolus-kapilar. 3) Pirau intrapulmunol, yang terjadi bila kelainan struktur paru menyebabkan aliran darah melewati paru tanpa berpatisipasi dalam pertukaran gas. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sianosis, kebingungan, agitasi (gelisah), sulit tidur, nafas pendek, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi dan disritmia. Contoh penyakit yang dapat menimbulkan kegagalan napas tipe I yaitu sindrom distress pernapasan akut (SDPA), atelektasis, pneumonia, emboli paru, edema paru, dll. b. Gagal napas tipe II (Hiperkapnia, gangguan ventilasi) Pada tipe II dengan gangguan ventilasi, didapatkan PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiperkapnia), umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar, meningkatnya ventilasi ruang mati (dead space) atau meningkatnya produksi CO2.
  • 10. 7 Gagal napas tipe II ini biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti disfungsi system saraf pusat, sedasi berlebihan atau gangguan neuromuskular. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain pusing, sakit kepala, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi, apnea, nafas pendek, terdapat stridor dan wheezing serta gerakan paradoksikal dinding dada dan abdomen, udara yang masuk sedikit. Contoh penyakit yang dapat menimbulkan kegagalan napas tipe II yaitu penyakit neuromuscular (polio, sindrom Guillan Barre), trauma kepala, disfungsi dinding dada (luka bakar), kifosis, hipereaktivitas, dll. 4. Patofisiologi gagal nafas Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan oksigenasi dan/ atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkapnia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang berbeda. Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila sudah mencapai kadar ekstrim (> 90 mm Hg). Diatas kadar tersebut, hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti napas. Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya adalah terjadi gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia jaringan dan risiko henti jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaO2 akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang, pasien yang menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati normal. Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui peningkatan ventilasi. Anak yang mengalami gangguan padanan ventilasi atau pirau biasanya dapat mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru memburuk hanya melalui
  • 11. 8 penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan, biasanya karena kelelahan otot. 5. Tanda dan gejala gagal nafas Gejala klinis gagal nafas sangat bervariasi tergantung pada penyakit primer penyebab gagal nafas, adanya penyakit penyerta serta derajat dari gagal nafas. Dalam penelitiannya Karande et al (2003) mendapatkan gejala-gejala gagal nafas akut paling banyak adalah perubahan pola dan dalam dangkalnya pernafasan (100%), retraksi (88%), pernafasan cuping hidung (88%), tachypnea (84%), tachycardia (82%), gelisah dan sianosis (50%), wheezing didapat pada 38 % penderita. Pada penderita-penderita gagal nafas tipe hiperkapnia tanda-tanda distress nafas sangat jelas, penderita tampak sangat sesak dengan tanda-tanda retraksi yang jelas. Tapi gejala klinis dari gagal nafas akut tidak selalu harus didahului oleh tanda-tanda distress nafas. Pada penderita-penderita dengan gangguan sistem saraf pusat dan penyakit-penyakit neuromuskular sering terjadi hipoksia berat tanpa tanda-tanda distres nafas karena pada penderita-penderita ini terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan. Oleh karena itu untuk membuat diagnosis gagal nafas sangat sulit (bahkan tidak mungkin) dilakukan hanya dengan gejala klinis tanpa pemeriksaan analisa gas darah. Selain dari gejala- gejala yang terjadi karena gangguan pertukaran gas pernafasan penderita-penderita gagal nafas akut juga menunjukkan tanda-tanda dari penyakit primer penyebab gagal nafas akut. Pada anamnesis dicari riwayat penyakit primer penyebab gagal nafas akut seperti tanda-tanda sesak sebelumnya atau riwayat sesak berulang sesak pada saat olah raga, riwayat minum obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pernafasan, riwayat penyakit-penyakit neuromuskular, adanya trauma atau penyakit metabolik. Pada pemeriksaan didapatkan anak yang lemah, kelelahan, cemas atau gelisah, berkeringat, sianosis, kadang-kadang kejang bahkan sampai koma. Gangguan kesadaran ini sangat tergantung pada tingginya PaCO2 atau rendahnya PaO2, somnolen terjadi bila PaCO2 > 45 mm Hg dan gelisah/irritable bila PaO2 < 75 mmHg.
  • 12. 9 Terdapat tanda-tanda distres nafas seperti tanda-tanda penarikan, pemakaian otot-otot pernafasan sekunder. Pada auskultasi bisa didapatkan wheezing ekspiratoir, suara nafas menurun atau suara nafas tidak terdengar, tachipneu/ bradipneu/ apnneu, bradikardia/ tachikardia, pulsus paradoksus. Pada pemeriksaan gas darah didapatkan hipoksia, hiperkapnia dan asidosis. Bradikardia atau bradipneu merupakan tanda gawat dan lanjut dari gagal nafas akut. 6. Diagnosis gagal nafas Seperti pada penyakit-penyakit lain untuk membuat diagnosis yang baik diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gagal nafas akut yang didahului gejala- gejala panas, batuk dan pilek yang disertai sesak biasanya disebabkan oleh penyakit- penyakit infeksi saluran nafas akut. Adanya riwayat sesak berulang dan sesak yang sama dalam anggota keluarga mengarahkan kita pada kemungkinan asma sebagai penyebab gagal nafas. Penderita yang sering sesak nafas sejak kecil terutama bila minum, atau saat bermain kemungkinan penyebabnya adalah penyakit jantung. Riwayat kecelakaan atau adanya riwayat kebakaran akan mengarahkan diagnosis kita terhadap trauma atau keracunan karbon monoksida sebagai penyebab. Sangat sulit membuat diagnosis gagal nafas hanya berdasar pada pemeriksaan fisik saja, diagnosis klinis biasanya dibuat berdasar hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan gas darah. Periksaan fisik sangat bervariasi tergantung dari penyakit primer gagal nafas. Pada pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda klinis dari penakit primer penyebab gagal nafas seperti adanya penarikan-penarikan, ronki basah halus atau wheezing pada penyakit- penyakit bronchopneumonia atau asma bronchiale. Suara nafas yang menurun dan adanya keredupan pada perkusi menunjukkan adanya efusi pleura atau adanya suatu massa di rongga dada, tetapi penurunan suara nafas tanpa keredupan bisa juga terjadi pada stadium lanjut penyakit paru-paru dimana sudah terjadi kelelahan dari otot pernafasan. Pemeriksaan foto dada anterioposterior atau lateral sangat penting dilakukan untuk mencari kelainan - kelainan penyebab gagal nafas. Pemeriksaan - pemeriksaan penunjang lain yang perlu dilakukan tergantung pada dugaan kita terhadap
  • 13. 10 kemungkinan penyebab gagal nafas seperti ECG, Echocardiografi, kultur darah, darah lengkap, USG, CT scan, pemeriksaan neurologis dan sebagainya. Pemeriksaan gas darah sangat penting untuk menentukan diagnosis klinis gagal nafas akut. Kriteria dari gagal nafas akut adalah PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 50 mmHg, saturasi oksigen < 90% atau PaO2/ FiO2 < 300. Indikator lain adalah penentuan perbedaan tekanan oksigen alveolar (PAO2) dan arterial (PaO2). 7. Pemeriksaan penunjang gagal nafas a. Pemeriksaan Laboratorium 1) Analisis gas darah Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini penting untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan pemberian terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilaian obyektif dari berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernafasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre, dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisis gas darah meliputi dua bagian, yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan. 2) Pulse oximetry Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditransmisikan melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang didapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atau jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dan tekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen. 3) Capnography Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk
  • 14. 11 konfirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan fungsi paru. 4) Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas kronik. 5) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat gejala gagal napas. 6) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin I dapat membedakan infark miokard dengan gagal napas. Kadar kreatinin serum yang meningkat dengan kadar troponin I yang normal menunjukkan terjadinya miositis yang dapat menyebabkan gagal napas. 7) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal napas reversibel. 8) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran kadar albumin serum, prealbumin, transferin, total iron-binding protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin dan jumlah limfosit total. b. Pemeriksaaan Radiologi 1) Radiografi dada. Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik. 2) Ekokardiografi . Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik. Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolic yang normal pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan akut. Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik.
  • 15. 12 3) Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat kontrol napas. Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan penyakit paru restriktif. Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L. 8. Penatalaksanaan gagal nafas Penatalaksanaan secara khusus bervariasi tergantung pada penyebab dari gagal nafas, tapi secara umum terdapat kesamaan prinsip, meliputi: a. Bebaskan jalan nafas Bebaskan jalan nafas baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing position), pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau dengan alat seperti pemasangan pipa endotracheal atau tracheostomi. b. Pemberian Oksigen Oleh karena semua penderita dengan gagal nafas mengalami hipoksia maka pemberian oksigen adalah suatu keharusan. Oksigen yang diberikan harus dilembabkan dan hangat, sebab pemberian oksigen yang kering dan dingin akan menyebabkan gangguan gerakan mukosilier saluran nafas dan pengentalan mukus sehingga akan memperbesar tahanan saluran nafas dan memperburuk keadaan. Mengingat bahaya keracunan oksigen yang bisa terjadi pada pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi dan waktu lama maka pemberian oksigen sebaiknya diberikan dalam konsentrasi minimal yang sudah dapat memberikan oksigenasi jaringan yang cukup yaitu saturasi oksigen > 90% (keadaan ini sudah dapat dicapai pada PaO2 60 mm Hg). Oksigen dapat diberikan melalui : 1) Masker 6 - 10 l/menit. 2) Kanula hidung dapat memberikan O2 24 – 45% tergantung dari flow dan frequensi nafas penderita. Kanula hidung biasanya diberikan dengan flow 2 – 4 1/menit, sebab flow yang lebih tinggi akan menyebabkan rasa yang tidak enak, pusing, kekeringan dan luka pada selaput lendir hidung.
  • 16. 13 3) Inkubator dengan memasukkan oksigen ke dalam inkubator, tapi cara ini sangat boros. 4) Head box bisa memberikan oksigen sampai 90% tergantung ada/ tidaknya kebocoran headbox. Sesudah pemberian oksigen akan segera tampak tanda-tanda perbaikan klinis yaitu sianosis berkurang atau hilang, frekuensi pernafasan dan retraksi berkurang. c. Kontrol Sekresi Pederita-penderita gagal nafas banyak mengeluarkan lendir sehingga memperberat beban pernafasan, oleh karena itu perawatan jalan nafas memegang peran penting dalam tatalaksana gagal nafas. 1) Pengaturan posisi kepala 2) Pengisapan lendir 3) Humidifikasi udara pernafasan sangat perlu dilakukan untuk lebih mengencerkan sekret yang kental. Bila sekret sangat kental atau purulent bisa digunakan nebulizer. Seringkali dengan cara-cara ini sudah cukup berhasil sehingga tidak perlu intubasi. 4) Fisioterapi dada, tindakan ini dilakukan untuk membantu pengeluaran lendir dari saluran nafas dengan cara menepuk-nepuk dada (chest clapping), vibrasi, hiperinflasi dan pengaturan posisi tubuh. Bila dilakukan dengan baik dapat memperbaiki oksigenasi jaringan, tapi cara-cara fisioterapi yang tidak baik justru dapat memperberat hipoksia. Karena itu untuk mencegah terjadinya hipoksia sebelum dilakukan fisioterapi sebaiknya dilakukan oksigenasi dulu dengan O2 100%. 5) Dapat diberikan mukolitik untuk menghancurkan sekret 6) Pemberian cairan yang cukup. Penderita-penderita gagal nafas akut biasanya tidak bisa makan dan minum, selain itu terjadi kehilangan cairan karena panas, hiperventilasi dan beban pemafasan yang berat (excessive work of breathing) sehingga anak ini bisa mengalami dehidrasi dan pengentalan mukus, oleh karena itu penting pemberian cairan yang cukup. Penderita yang mendapatkan ventilator dengan O2 dan humidifikasi bisa terjadi kelebihan cairan dan terjadi udem paru, karena itu pada penderita-penderita ini pemberian cairan dibatasi. d. Pengobatan terhadap penyebab gagal nafas Adapun obat-obatan yang dapat digunakan untuk penderita yang mengalami gagal nafas meliputi: pemberian antibiotika, pemberian bronkodilator, aminofilin untuk
  • 17. 14 apnea of prematurity, naloxon pada keracunan narkotika, physostignin pada blokade neuromuskular karena pemberian muscle relaxant. e. Bantuan pernafasan Bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung kondisi penderita meliputi: 1) CPAP (Continous Positive Airway Pressure) Diberikan pada anak yang masih bisa bernafas spontan dengan diberikan tekanan positif (Positive End Expiratory Pressure = PEEP). Dengan memberi tekanan positif pada akhir expirasi diharapkan alveoli tetap terbuka sehingga pertukaran gas tetap berjalan dengan baik. CPAP dapat diberikan dengan kanula nasal, masker sederhana atau dengan pipa endotracheal. 2) NPPV (Non invasive Positive Pressure Ventilation) 3) Ventilasi mekanik konvensional 4) Nonconventionan mechanical ventilation  Inverse ratio ventilation: waktu inspirasi lebih panjang dari waktu ekspirasi atau dengan rasio I : E terbalik. Berbeda dengan fisiologi pernafasan dimana expirasi selalu lebih lama dari inspirasi,oleh karena itu perlu sedasi dan paralisis otot-otot pernafasan. Cara ini dapat meningkatkan mean airway pressure dan memperbaiki oksigenasi.  Airway Pressure Release Ventilation (ARPV)  High Frequency Ventilation/ High Frequency Oscilatory Ventilation Disini prinsip yang dipakai adalah volume tidal yang lebih kecil dari dead space tapi frekuensi pernafasan lebih tinggi yaitu 150 – 900/m (2 – 15 Hz), sehingga memperkecil resiko kerusakan paru yang bisa terjadi (Ventilator induce lung injury).  Liquid ventilation f. Terapi lain : 1) Prone Positioning Penempatan penderita yang mendapat ventilator pada posisi tengkurap selama waktu tertentu sudah diperkenalkan oleh Bryan sejak tahun 1974, dan terbukti bisa memperbaiki oksigenasi. Mekanisme bagaimana posisi telungkup ini dapat memperbaiki oksigenasi belum jelas, diduga cara ini dapat membuka alveolus dibagian dorsal tubuh yang biasanya menutup sehingga akan memperluas permukaan paru yang terlibat dalam pertukaran gas.
  • 18. 15 2) Pemberian Surfaktan Surfaktan yang dibuat oleh sel pneumatosit tipe II sangat berkurang pada gagal nafas akut dan penyakit-penyakit paru lainnya sehingga alveoli akan mudah kollaps dan akan mengurangi luas permukaan paru untuk pertukaran gas (Recidual functional capacity menurun). Pemberian surfaktan eksogen diharapkan akan memperbaiki defisiensi surfaktan endogen. Pengalaman penggunaan surfaktan pada anak dan dewasa masih kurang. Surfaktan eksogen lebih banyak digunakan pada RDS pada bayi baru lahir dengan hasil yang cukup baik. Surfaktan diberikan melalui pipa endotracheal dengan dosis 105 mg/kg BB atau 3 ml/kgBB, diberikan tiap 12 jam, dalam tiap pemberian tidak boleh > 30 ml. Dalam penelitian metaanalisis Merritt mengatakan bahwa pemberian surfaktan baik yang natural atau sintetik dapat menurunkan angka kematian gagal nafas akut sampai 35-45%, baik bila diberikan sebagai terapi profilaksis atau bila diberikan pada onset gagal nafas akut. 3) Nitric oxide (NO) NO adalah free radical endogen yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Pemberian nitric oxide secara inhalasi dapat mengurangi vasokonstriksi pulmonal yang biasanya terjadi pada gagal nafas akut sehingga pada akhirnya akan memperbaiki ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch) dan meningkatkan oksigenasi. 4) Extracorporal Life Support (ECLS)/ Extracorporal Membrane oxygenation (ECMO) Dengan pemakaian ECMO maka fungsi paru diganti oleh alat (artificial membrane) diluar tubuh, darah vena dikeluarkan melalui kanula kemudian dialirkan melalui oxygenator (artificial membrane) kemudian darah yang kaya oksigen ini dimasukkan kembali kedalam tubuh dengan pompa masuk kedalam aorta (Veno arterial/ VA) atau kedalam vena (VV). Penggunaan ECMO ini memberikan hasil yang memuaskan pada neonatus dengan angka keberhasilan 80%, tetapi pada anak dan dewasa tingkat keberhasilannya 52%. Walaupun penggunaan ECMO pada penderita-penderita gagal nafas akut berat dengan prediksi kemungkinan mati 80% memberi hasil yang baik, tapi keberhasilan pemberian surfaktan dan pemakaian HFOV (High Frequency Oscilatory Ventilation) menyebabkan pemakaian ECMO berkurang.
  • 19. 16 B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Fokus Pengkajian pada anak yang mengalami kegagalan nafas meliputi: a. Riwayat keluarga 1) Riwayat keluarga tentang alergi dan penyakit keturunan. 2) Riwayat pasien tentang gangguan pernafasan yang baru diderita, terkena infeksi, adanya alergi/iritasi, trauma. b. Kaji keadaan dada 1) Kaji suara nafas dan suara nafas tambahan. 2) Kaji adanya pembesaran anterior/ posterior ukuran dada. 3) Kaji peningkatan dan penurunan taktil fremitus. 4) Kaji adanya retraksi otot supraklafikula, interkosta/ subkostal. 5) Kaji adanya hyperesonan (adanya distensi alveoli). 6) Kaji adanya ekspirasi yang memanjang. c. Observasi pernafasan 1) Frekuensi: kaji adanya takipnue, normal, bradipnea 2) Kedalaman: normal, terlalu lambat (hypopnea), terlalu dalam (hyperpnea). 3) Kelancaran: kurang usaha, dypnea, ortopnea berhubungan dengan adanya retraksi interkostal / substernal, adanya wheezing, pulsus paradoxus (tekanan darah turun saat inspirasi dan tekanan darah naik dengan ekspirasi). 4) Labored breating: terus menerus, intermitten, secara tiba–tiba, kelelahan dalam usaha pernafasan. 5) Tanda – tanda infeksi: peningkatan suhu tubuh, pembesaran nodus limfa, inflamasi membran mukus, keluarnya cairan purulen dari hidung dan kuping, adanya sputum yang purulen. 6) Batuk: kaji karakteristik batuk (produktif/ kering) kapan waktu terjadinya batuk (hanya malam hari/ setiap waktu), frekuensi batuk yang berkaitan dengan aktivitas dan suhu. 7) Wheezing: kapan terjadinya wheezing; saat inspirasi/ ekspirasi, apakah memanjang, terjadi secara tiba-tiba/ berlahan-lahan. 8) Sianosis: catat distribusi sianosis (periperal, daerah bibir, wajah), derajat, durasi, keterkaitan dengan aktivitas. 9) Nyeri dada: terjadi pada anak – anak catat lokasi, penyebaran ke leher/ abdomen, dalam/ dangkal.
  • 20. 17 10) Sputum: pasien anak – anak dapat mengeluarkan sputum pada bayi diperlukan section untuk mendapatkan sempel, catat volume, warna, bau, viskositas. 11) Adanya pernafasan yang buruk berhubungan dengan infeksi pernafasan. d. Kaji tanda terjadinya hipoksia 1) Hypotensi/ hypertensi 2) Dyspnea 3) Bradikardi 4) Sianosis : perifer / sentral 5) Kesadaran : Somnolen/ Stupor/ Koma 2. Diagnosa Keperawatan a. Dx 1: b. Dx 2: c. Dx 3: Faktor Resiko : Hipoksemia, hipoksia, CO2 dalam darah meningkat Masalah Keperawatan : Resiko penurunan perfusi jaringan jantung Diagnosa Keperawatan: Resiko penurunan perfusi jaringan jantung f.r hipoksemia, hipoksia, CO2 dalam darah meningkat DO : Dyspnea, penurunan: SaO2; PO2; tidal volume, peningkatan: penggunaan otot-otot aksesoris; HR; PCO2 Masalah Keperawatan : Gangguan ventilasi spontan Diagnosa Keperawatan: Gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme, kelelahan otot-otot pernafasan ditandai dengan Dyspnea, penurunan: SaO2; PO2; tidal volume, peningkatan: penggunaan otot-otot aksesoris; HR; PCO2 DO : Abnormal; hasil AGD; pola nafas; warna kulit, penurunan level CO2, sianosis, dyspnea, hyperkapnea, hipoksemia, hipoksia, penurunan kesadaran, takikardi Masalah Keperawatan : Gangguan pertukaran gas Diagnosa Keperawatan: Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi-perfusi tidak seimbang, perubahan membran alveoli-kapiler ditandai dengan Abnormal; hasil AGD; pola nafas; warna kulit, penurunan level CO2, sianosis, dyspnea, hyperkapnea, hipoksemia, hipoksia, penurunan kesadaran, takikardi
  • 21. 18 d. Dx 4: e. Dx 5: f. Dx 6: 3. Intervensi Keperawatan a. Intervensi Dx 1: DO : Abnormal pola nafas, bradypnea, penurunan: expiratory pressure; tekanan inspirasi; kapasitas vital; ventilasi menit, dsypnea, fase ekspirasi memanjang, takipnea, penggunaan otot bantu nafas Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi, sindrome hipoventilasi ditandai dengan Abnormal pola nafas, bradypnea, penurunan: expiratory pressure; tekanan inspirasi; kapasitas vital; ventilasi menit, dsypnea, fase ekspirasi memanjang, takipnea, penggunaan otot bantu nafas DO : Batuk/ batuk tidak efektif , suara nafas tambahan, suara nafas menjauh, dyspnea, sputum, sianosis Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan mukus, eksudat di alveoli, penumpukan sekret ditandai dengan Batuk/ batuk tidak efektif , suara nafas tambahan, suara nafas menjauh, dyspnea, sputum, sianosis Faktor Resiko : Penurunan kesadaran,batuk tidak efektif, penurunan gag refleks Masalah Keperawatan : Resiko aspirasi Diagnosa Keperawatan: Resiko aspirasi f.r penurunan kesadaran,batuk tidak efektif, penurunan gag refleks NOC : Tissue perfusion: Cardiac, Cardiac pump effectiveness, Respiratory status: Gas Exchange, Risk control NIC : Cardiac Care  Monitor: ECG, vital sign, status kardiovaskular, cardiac dysrhytmia, catat, tanda dan gejala penurunan cardiac output, status respirasi, balance cairan, dyspnea, fatigue, takipnea.  FCC (persiapan EOL, spiritual support)* Resusitation  Evaluasi respon pasien  Kaji pernafasan dan nadi karotis/ brakial untuk neonatus  Aktifkan code blue jika nafas tidak ada/ gasping, AED
  • 22. 19 b. Intervensi Dx 2: c. Intervensi Dx 3:  CPR  Rescue breathing  Evaluasi tindakan NOC : Respiratory status: Ventilation, Gas Exchange; Electrolyte&Acid/ Base balance NIC : Respiratory monitoring*  Monitor: rate, ritme, kedalaman pernafasan  Catat adanya penggunaan alat bantu nafas  Monitor suara nafas tambahan dan pola nafas  Monitor saturasi oksigen  Auskultasi pernafasan  Jika tersedia, monitor: maximal inspiratory force, FEV 1, PFT values  Catat perubahan SaO2, SvO2, end tidal CO2, nilai ABG  Monitor: sekresi respirasi, dyspnea  Buka jalan nafas  Resusitasi jika diperlukan Ventilation assistance*  Patenkan jalan nafas  Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)  Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)  Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)  Penggunaan ventilator jika diindikasikan (NPPV atau Invasif Ventilator)* Oxygen therapy*  Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret/ suction*  Buka jalan nafas, patenkan  Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan  Monitor: aliran oksigen; hasil ABG, tanda dan gejala keracunan oksigen, peralatan oksigenasi (apakah menghambat pasien bernafas), kulit NOC : Respiratory status: Gas exchange NIC : Respiratory monitoring*  Monitor: rate, ritme, kedalaman pernafasan  Catat adanya penggunaan alat bantu nafas  Monitor suara nafas tambahan dan pola nafas  Monitor saturasi oksigen  Auskultasi pernafasan  Jika tersedia, monitor: maximal inspiratory force, FEV 1, PFT values  Catat perubahan SaO2, SvO2, end tidal CO2, nilai ABG  Monitor: sekresi respirasi, dyspnea  Buka jalan nafas
  • 23. 20 d. Intervensi Dx 4: e. Intervensi Dx 5:  Resusitasi jika diperlukan Oxygen therapy*  Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret/ suction*  Buka jalan nafas, patenkan  Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan  Monitor: aliran oksigen; hasil ABG, tanda dan gejala keracunan oksigen, peralatan oksigenasi (apakah menghambat pasien bernafas), kulit NOC : Respiratory status: Ventilation; Airway patency; Energy conservation NIC : Ventilation assistance*  Patenkan jalan nafas  Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)  Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)  Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2) Airway management*  Buka jalan nafas  Posisi memaksimalkan ventilasi  Identifikasi kebutuhan pasien menggunakan alat bantu paten jalan nafas  Chest physical therapy jika diperlukan*  Auskultasi suara nafas  Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan Oxygen therapy*  Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret*  Buka jalan nafas, patenkan  Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan  Monitor: aliran oksigen, tanda vital NOC : Respiratory status: Airway patency; Ventilation; Gas exchange NIC : Airway management*  Buka jalan nafas  Posisi memaksimalkan ventilasi  Identifikasi kebutuhan pasien menggunakan alat bantu paten jalan nafas  Chest physical therapy jika diperlukan*  Auskultasi suara nafas  Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan Airway suctioning*  Gunakan prinsip hygiene dan steril  Gunakan universal precautions dan peralatan personal protektif  Tentukan kebutuhan dilakukannya suction*  Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction  Monitor: SaO2 dan level SvO2  Perhatikan tekanan suction  Penuhi kebutuhan oksigen pasien  Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
  • 24. 21 f. Intervensi Dx 6: *Intervensi berdasarkan EBP (Kelompok) Ventilation assistance*  Patenkan jalan nafas  Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)  Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)  Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2) Oxygen therapy*  Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret*  Buka jalan nafas, patenkan  Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan  Monitor: aliran oksigen, tanda vital NOC : Nausea & Vomiting control, Risk control, Aspiration prevention NIC : Aspiration precautions*  Monitor level kesadaran, reflek batuk, reflek gag, dan kemampuan menelan  Patenkan jalan nafas  Monitor status pulmonal  Posisikan bagian atas peralatan (NGT) 30-900  Posisikan kepala 30-450 setelah feeding via NGT*  Monitor posisi NGT dan kepala, sebelum dan sesudah feeding  Miringkan bagian kepala jika diperlukan
  • 25. 22 BAB III INTERVENSI BERDASARKAN EVIDENCE BASED PRACTICE Intervensi Keperawatan berdasarkan evidence based practice menjadi sebuah keharusan yang dilakukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dalam mencapai derajat kesehatan yang lebih baik bagi pasien. Hal ini menjadi bentuk tanggungjawab perawat sebagai profesi kesehatan yang professional. Intervensi keperawatan berdasar evidence based practice terkait perawatan pasien anak dengan gagal nafas antara lain sebagai berikut: 1. Hough JL, et al (2010) dalam “Chest physiotherapy for reducing respiratory morbidity in infants requiring ventilatory support (Review)” menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa bayi dengan ventilasi mekanik dapat dilakukan fisioterapi dada untuk mengurangi resiko kolaps paru karena adanya peningkatan sekresi. Fisioterapi dada (menepuk atau menggetarkan dada) digunakan untuk meningkatkan pembersihan sekresi dari jalan nafas untuk mencegah kolaps paru. Teknik fisioterapi dada (TFD) teknik yang banyak digunakan di NICU untuk meningkatkan bersihan jalan napas dan mengatasi kolaps paru pada bayi dengan ventilasi. TFD telah terbukti efektif dalam pengobatan baik anak-anak non-ventilasi. TFD pada bayi prematur terdiri dari berbagai teknik yang mencakup positioning, teknik aktif seperti perkusi dan getaran, dan suction. Perkusi melibatkan tindakan cupping ritmis diterapkan pada dinding dada dilakukan dengan tangan menangkup penuh, jari tenda, atau dengan menggunakan masker bayi resusitasi wajah (bekam). Teknik getaran dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan jari untuk menyebabkan gerakan gemetar halus dari dinding dada. Hasil klinis penting yang harus dinilai/ monitor meliputi durasi ventilasi, durasi terapi oksigen, lamanya tinggal di rumah sakit, dan adanya lesi intrakranial. 2. Cone S, et al (2013) dalam “Endotracheal Suctioning in Preterm Infants Using Four- Handed versus Routine Care” menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan, kecuali pada saturasi oksigen, penggunaan teknik four hand suction ETT dengan penggunaan teknik yang biasa dilakukan. Terlepas dari kenyataan bahwa dua metode suctioning tersebut direkomendasikan oleh National Association of Neonatal Nurses namun hal itu bukan praktik yang konsisten di semua NICU. Bayi dengan ventilasi mekanik membutuhkan intubasi endotrakeal dan diulang penyedotan untuk memindahkan sekresi berlebihan dan untuk mengurangi potensi jalan napas
  • 26. 23 terhambat. Penghisapan/ suctioning harus memperhatikan kondisi bayi saat prosedur berlangsung, karena bayi rentan berada pada risiko untuk sejumlah komplikasi suction, termasuk hipoksemia, bradikardia, takikardia, atelektasis, pneumonia, fluktuasi tekanan darah dan tekanan intrakranial, trauma lokal untuk jalan napas, pneumothoraces, tabung penyumbatan, dan ekstubasi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan respon fisiologis (oksigenasi, denyut jantung, dan stres) dan respon perilaku (stres dan pertahanan perilaku, perilaku self-regulatory) dan recovery (waktu tanda-tanda vital fisiologis kembali ke baseline) dari suctioning endotrakeal. 3. Rafiee H, et al (2011) dalam “Comparison of the endotracheal tube suctioning with and without normal saline solution on heart rate and oxygen saturation” menyimpulkan bahwa penggunaan berangsur-angsur normal saline sebelum penyedotan endothracheal dapat menyebabkan komplikasi seperti penurunan saturasi hemoglobin dengan oksigen, dan pendekatan yang lebih tepat termasuk pelembab gas inhalasi, oleh karena itu, dianjurkan untuk menipiskan sekresi untuk meminimalkan komplikasi pasca-suctioning. Presuctioning menggunakan normal saline (NS) berangsur-angsur ke dalam trakea adalah intervensi keperawatan tradisional yang telah menjadi bagian dari rutinitas bangsal di sejumlah unit perawatan intensif. Sebelum penyedotan, perawat biasanya memasukkan 3- 10 ml NS ke dalam tabung endotrakeal; ini dilakukan dengan tujuan khusus, di antaranya menipiskan cairan kental, merangsang refleks batuk, pelumas kateter suction, dan memfasilitasi sekresi. Penelitian oleh Ridling et al., menunjukkan bahwa pre-penyedotan NS berangsur-angsur dapat berkontribusi untuk penurunan saturasi oksigen dibandingkan dengan penyedotan tanpa larutan garam normal. Sebuah penelitian di Korea Selatan oleh Ji et al. mengungkapkan bahwa intra-penyedotan NS menyebabkan penurunan saturasi oksigen; pasca-suctioning menyebabkan gejala asma, serta peningkatan risiko infeksi pernapasan. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa penggunaan rutin larutan NS selama ETT penyedotan tidak harus dilakukan. 4. Barbas, et al (2012) dalam “Respiratory evaluation of patients requiring ventilator support due to acute respiratory failure” menyimpulkan bahwa pasien anak yang mengalami gagal nafas harus diberi bantuan ventilator. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi adalah jumlah oksigen dalam darah. Tekanan gas darah tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau melihat saturasi hemoglobin melalui pulse oximetry, dan mengukur parameter system pernafasan. Ventilasi mekanik ventilator merupakan suatu alat bantu mekanik yang berfungsi dan bertujuan untuk memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara
  • 27. 24 positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan dan juga merupakan mesin bantu nafas yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. 5. Tume, et al (2015) dalam “Pediatric Critical Care Nursing Research Priorities Initiating International Dialogue” mengungkapkan bahwa dalam sembilan domain Critical Care Nursing Practice (diagnosing and managing life-sustaining physiologic functions, skilled know how of managing a crisis, providing comfort measures, caring for patient’s families, preventing hazards in a technological environment, facing death: end-of-life care and decision making, making a case: communicating clinical assessments and improving teamwork, patient safety: monitoring quality and preventing and managing breakdown, skilled know how of clinical and moral, leadership and the coaching and mentoring of others), domain facing death: end-of-life care and decision making menjadi salah satu prioritas utama dalam perawatan diruang intensif. Sebagian besar kematian pada anak- anak dirawat di rumah sakit terjadi di ICU, kematian anak sangat berdampak pada anggota keluarga dan dapat mengubah kehidupan. Failitas perawatan end-of-life dengan informasi yang jelas dan bermanfaat berpotensi dapat meringankan penderitaan di anak dan meningkatkan proses dying, memperkuat pengambilan keputusan dan komunikasi, dampak positif kesehatan yang sedang berlangsung, kesejahteraan keluarga yang masih hidup dan penyedia layanan kesehatan. 6. Abadesso, et al (2012) dalam “Non-invasive ventilation in acute respiratory failure in children“ menunjukkan hasil penelitian bahwa pasien anak yang mengalamai gagal nafas terpasang NIV mengalami peningkatan RR, HR, gas darah (Ph dan pCO2) dan SatO2 / FiO2. Strategi ventilator menggunakan NIV dapat menurunkan insidensi pneumonia terkait ventilator, dukungan oksigen kurang, dan penurunan lama perawatan di rumah sakit. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa prediktor terbaik untuk suksesnya pemasangan NIV adalah respon yang ditunjukan pada pemasangan NIV dalam jam pertama (pengurangan RR, peningkatan pH, peningkatan oksigenasi, pengurangan PaCO2. Harus diperhatikan dalam NIV adalah pentingnya pemantauan ketat pasien: pemantauan cardio-respiratory, oksimetri pulsa, dan darah gas.
  • 28. 25 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat. Berdasarkan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Pada gagal napas tipe I dengan gangguan oksigenasi, didapatkan PaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan abnormalitas ventilasi/ perfusi. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sianosis, kebingungan, agitasi, sulit tidur, nafas pendek, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi dan disritmia. Sedangkan pada gagal nafas tipe II dengan gangguan ventilasi, didapatkan PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiperkapnia), umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar, meningkatnya ventilasi ruang mati (dead space) atau meningkatnya produksi CO2. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain pusing, sakit kepala, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi, apnea, nafas pendek, terdapat stridor dan wheezing. Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisis dan penunjang, termasuk pulse oksimetry dan analisa gas darah arteri. Penatalaksanaan gagal napas secara khusus bervariasi, tergantung pada penyebab dari gagal nafas meliputi pembebasan jalan nafas , pemberian oksigen, fisioterapi dada, pemberian mukolitik, pemberian cairan yang cukup, pengisapan lendir, pengaturan posisi kepala, pengobatan terhadap penyebab gagal nafas, bantuan pernafasan (ventilator mekanik), prone positioning, pemberian surfaktan, nitric oxide (NO), dan extracorporal membrane oxygenation (ECMO).
  • 29. 26 B. Saran Dalam melakukan penatalaksanaan pada anak yang mengalami gagal nafas memerlukan suatu keterampilan dan pengetahuan khusus serta perencanaan maupun melakukan tindakan harus cepat dan sistematis. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan perawat terkait permasalahan gagal nafas pada anak sangat diperlukan sekali agar dapat mencegah terjadinya kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan yang dilakukan.
  • 30. 27 DAFTAR PUSTAKA Abadesso C, Silvestre C, Loureiro. (2012). Non-invasive ventilation in acute respiratory failure in children. Pediatric Reports. Vol. 4, Page 57-63. Azis, A. L. (2005). Gagal Nafas Akut pada Anak. Simposium Nasional Perinatologi dan Pediatri Gawat Darurat 2005 di Banjarmasin. Hal: 1 – 17. Bakhtiar. (2013). Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Hal: 173 – 178. Barbas, C. S. V, et al. (2012). Respiratory evaluation of patients requiring ventilator support due to acute respiratory failure. Open Jurnal of Nursing 2. Page: 336 – 340. Bulechek, G. M, et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Ke-6. USA: Mosby Elsevier. Carlo, W. (2001). Assisted Ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders. Cone S, Pickler RH, Grap MJ, McGrath J, Wiley PM. (2013). Endotracheal Suctioning in Preterm Infants Using Four-Handed versus Routine Care. J Obstet Gynecol Neonatal Nurs. Vol. 42(1), Page: 92–104. Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2014). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2015 – 2017 Edisi Ke-10. Oxford : Wiley Blackwell. Hough JL, Flenady V, Johnston L, Woodgate PG. (2010). Chest physiotherapy for reducing respiratory morbidity in infants requiring ventilatory support (Review). Evidence-Based Child Health: A Cochrane Review Journal Evid.-Based Child Health. Vol 5, Page: 54– 79. Kumar, A. & Bhatnagar, V. (2005). Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatric. Page: 425-438. Levy, M. M. (2005). Pathophysiology of Oxygen Delivery in Respiratory Failure. Chest. Page: 547-553. Moorhead, Sue, dkk. (2014). Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. USA: Mosby Elsevier. Nitu, M. E. & Elger, H. (2009). Respiratory Failure. Ped Rev. Page: 470-474. Rafiee H, Iranmanesh S, Sabzevari S. (2011). Comparison of the endotracheal tube suctioning with and without normal saline solution on heart rate and oxygen saturation. Iranian Journal of Critical Care Nursing, Autumn . Vol 4, Page: 117 – 120.
  • 31. 28 Ranjit, S. (2001). Acute Respiratory Failure and Oxygen Therapy. Indian J Pediatric. Page: 249-255. Somasetia, D. H. (2008). Tatalaksana Gagal Nafas Akut pada Anak. Dalam: Garna H, Penatalaksanaan Terkini dalam Bidang Perinatologi, Hematologi-onkologi, dan Pediatrik Gawat Darurat. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Hal: 52-65. Stenklyft, P. H., Cataletto, M. E., & Lee, B. S. (2004). The Pediatric Airway in Health and Disease. Dalam : Gausch-Hill M, Fuch S, Yamamoto L, penyunting. APLS The pediatric emergency medicine resource, edisi ke-4. Boston : Jones and Barlett Publishers. Tume LN, Coetzee M, Dryden-Palmer K, Hickey PA, Kinney S, Latour JM, Pedreira MLG, Sefton GR, Sorce L, Curley MAQ. (2015). Pediatric Critical Care Nursing Research Priorities Initiating International Dialogue. Pediatr Crit Care Med. Page: 1 – 9. Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. (2006). Disorders of the Lung Parenchyma. Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.