THONGIN FANGIN THJITJHONG UNGKAPAN PEMERSATU TIONGHOA DAN MELAYU BANGKA.docx
1. TONGIN FANGIN TJITJONG UNGKAPAN PEMERSATU MASYARAKAT
DI PULAU BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah kepulauan di Nusantara yang dihuni oleh ratusan suku
bangsa dengan ragam adat istiadat, budaya, bahasa dan sejarahnya masing-masing.
Kepulauan Indonesia terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia yang
merupakan salahsatu jalur pelayaran dunia yang paling ramai dilayari. Ditambah lagi
dengan tanah dan lautnya yang kaya akan hasil alam mendorong kedatangan banyak
bangsa yang tertarik untuk datang, membuat bangsa Indonesia terbiasa berinteraksi
dengan bangsa asing yang datang kewilayahnya. dampak langsung dari interaksi
dengan bangsa luar ini yang paling pertama adalah masuknya arus kebudayaan dari
daerah lain ke wilayah Indonesia yang menambah khazanah budaya bangsa Indonesia.
Keberagaman ini telah ada sejak dahulu kala, mengingat bangsa Indonesia telah
melakukan kontak dengan bangsa lain sejak permulaan tarikh masehi, terutama dengan
bangsa India dan Tiongkok. Sejak saat itu interaksi terus dilakukan membuat budaya
bangsa Indonesia kian berwarna, namun yang patut di bangakan adalah meskipun
hidup di dalam perbedaan gesekan antar budaya dan etnis jarang terdengar. Contohnya
adalah kemaharajaan Sriwijaya yang berorientasi kepada ajaran agama Buddha bahkan
Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Buddha di Asia Tenggara, namun dari
sisa kebudayaannya justru ditemukan daerah-daerah bawahannya yang
mengembangkan kebudayaan Hindu seperti di situs Bumi Ayu di Kabupaten Pali
2. provinsi Sumatera Selatan dan situs Kotakapur di Kualamendu provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Ini berarti bahwa Sriwijaya telah memaknai sebuah perbedaan
sebagai sebuah kekayaan sehingga mampu menciptakan harmoni diantara berbagai
macam budaya dan agama yang ada menjadi tunduk kepada satu payung hukum
kerajaan Sriwijaya.
Keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia ini merupakan kekayan dan harta
pusaka peninggalan nenek moyang kita dulu yang jarang dimiliki oleh bangsa lain. Ini
merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Namun menciptakan kerukunan didalam
sebuah perbedaan memang bukan hal yang mudah. Perbedaan yang ada dapat menjadi
sumber konflik dan perpecahan didalam masyarakat apalagi bila perbedaan yang ada
itu sangat kentara, dengan kata lain dua etnis dengan budaya yang sangat bertolak
belakang namun harus hidup berdampingan.
Pulau Bangka di provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah salah satu daerah
di Indonesia yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk karena terdiri atas banyak
suku bangsa seperti Melayu, Tionghoa, Jawa, Palembang, Bugis, Buton dan Arab.
Namun walaupun demikian budaya paling terasa adalah kebudayaan Melayu dan
Tionghoa karena orang-orang pendatang yang beragama Islam akan membaur dan
masuk lingkup Melayu. hal ini menjadi unik dimana biasanya suatu daerah hanya akan
di dominasi oleh satu kebudayaan saja yang biasanya di pegang oleh suku atau etnis
mayoritas. Namun untuk kasus Bangka terdapat pengecualian dimana ada dua suku
bangsa yang sama-sama mendominasi.
3. Keharmonisan antara suku Melayu dan etnis Tionghoa di Bangka bahkan telah
menghasilkan sebuah ungkapan yang menggambarkan kerukunan kedua bangsa ini,
ungkapan tersebut berbunyi “Thongin Fangin Tjitjong” yang bermakna “Tionghoa
ataupun Melayu, sama saja”. Ungkapan ini menggambarkan dengan jelas bagaimana
rukunnya hubungan kedua etnis ini di Bangka. ada banyak faktor yang menjadi faktor
pendorong terciptanya keharmonisan ini, biasanya berawal dari kepentingan masing-
masing etnis seperti kepentingan ekonomi, politik, sosial dan budaya hingga perjalanan
sejarah yang dialami bersama.
Berdasarkan hal tersebut kemudian membuat penulis merasa tertarik untuk
membuat tulisan mengenai Bagaimana jalannya sejarah dan wujud ungkapan Thongin
Fangin Tjitjong di dalam tingkatant akulturasi kehidupan masyarakat di pulau Bangka
provinsi Kepulauan Bangka Belitung?. Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk awal interaksi antara suku Melayu dengan
etnis Tionghoa di Bangka dan bagaimana bentuk wujud asimilasi dan akulturasi yang
terjadi hingga memunculkan ungkapan Thongin Fangin Tjitjong yang merupakan
wujud kearifan lokal dari pulau Bangka bagi Penguatan Multikulturalisme Indonesia.
Manfaat yang diharapkan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah menjadikan
Bangka sebagai wilayah bahan perbandingan dan daerah percontohan yang dapat
dipakai oleh pemerintah dalam upaya mensosialisasikan upaya revitalisasi kearifan
lokal bagi penguatan multikulturalisme Indonesia
4. 2. Metodologi Penulisan
Dalam karya tulis ilmiah yang berjudul ‘‘Thongin Fangin Tjitjong Ungkapan
Pemersatu Masyarakat di Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”, metode
penulisan yang digunakan adalah metode sejarah atau metode Historis. Metode
penelitian Historis adalah sebuah metode penelitian dan penulisan sejarah dengan
menggunakan cara, prosedur atau tekhnik yang sistematik sesuai dengan asas-asas dan
aturan ilmu sejarah (Daliman, 2012: 27).
Penulisan sejarah dimulai dengan sebuah teknik yang disebut heuristik dimana
pada tahap awal ini penulis berusaha mengumpulkan data-data berupa buku-buku dan
sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah yang akan penulis bahas
dalam penulisan karya ilmiah ini. Setelah selesai dilaksanakannya langkah
pengumpulan sumber-sumber sejarah dalam bentuk dokumen-dokumen, maka yang
harus dilaksanakan berikutnya adalah mengadakan kritik (verifikasi) sumber, terutama
terhadap sumber-sumber yang pertama, langkah ini disebut sebagai kritik sumber baik
terhadap materi sumber maupun terhadap substansi sumber (Sair dan Dedi, 2014: 55;
Daliman, 2012: 51, 64-65).
Setelah melakukan pengumpulan dan kritik pada data sejarah maka langkah
selanjutnya adalah masuk kepada tahap auffasung atau tahap eksplanasi dalam sejarah.
Pada tahap ini memaknai semua fakta-fakta dan data-data yang telah dipilih dan
dianggap layak untuk kemudian di sintesiskan atau di padukan hingga mendapatkan
5. sebuah kesimpulan sejarah. Setelah didapati sebuah kesimpulan pada tahap akhir
kemudian penulis memasuki tahap akhir penulisan yakni, darstellung atau tahap
penyajian hasil penulisan kedalam bentuk sebuah tulisan ilmiah (Sair dan Dedi, 2014:
89)
3. Pembahasan
Nama Bangka telah lama dikenali para pelaut. Berita tertua mengenai Bangka
telah ada sebelum masa Sriwijaya yang didapatkan dari India, yakni dari sebuah karya
sastra Buddha yang ditulis pada adab ke-3 masehi yakni Mahaniddesa. Kitab tersebut
menyebutkan nama-nama tempat di Asia, antara lain Swarnabhumi yang
diidentifikasikan sebagai Sumatera yang juga disebutkan dalam kitab Milindapanca,
yang kedua adalah Jawa, dan yang ketiga adalah Wangka yang diidentifikasikan
sebagai Bangka (Damais dalam Prajodko dan Bambang, 2013: 153; Sujitno, 2011: 31-
32).
Secara geografis Bangka merupakan gugusan kepulauan di sebelah selatan
kepulauan Riau dan disebelah pesisir timur Sumatera bagian selatan dengan letak
geografis 1° 30’ - 3°7’ lintang selatan dan 105° 45’ - 108° 18’ bujur timur. Luas wilayah
Bangka ± 11.703,65 𝐾𝑚2
. Posisi geografis Bangka terletak dibagian barat kepulauan
Indonesia, dengan perairan yang telah sejak lama mempunyai frequensi pelayaran yang
sangat tinggi. Meskipun terletak di daerah yang strategis namun pulau Bangka tidak
dianggap sebagai daerah yang penting bahkan menjadi tempat persembunyian bajak
laut atau dalam bahasa Melayu disebut sebagai Lanon karena geografis muka pantai
6. yang berkelok membentuk banyak tanjung dan teluk. (Heidhues, 2008:1; Obedeyn
dalam Sujitno, 2011:21).
Penduduk Bangka yang beragam mulai terbentuk setelah dimulainya
penambangan timah pada tahun 1710. Sejak penambangan timah menjadi marak
seketika itu pula pulau Bangka menjadi ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa,
terutama sejak Sultan Mahmud Badaruddin I menempatkan keluarga mertua dari
istrinya yang bernama Zamnah yang bergelar Melayu Yang Mariam dan gelar
Palembang Mas Ayu Ratu Zamnah yang merupakan bangsawan Johor dari pulau
Siantan Riau ke kota Muntok yang diikuti oleh orang-orang dari Johor dan Siantan
untuk menambang dan menetap di Bangka (Balai Arkeologi Palembang, 2016; Hikmat,
2002: 30; Novita, 2008; Sari, 2014; Heidhues, 2008:87)
kelompok migrasi ini diketuai Dato’ Akub yang merupakan paman dari
Zamnah diikuti oleh sekitar 500an orang dari Siantan yang kemudian menyebar ke
seluruh penjuru pulau terutama diwilayah konsentrasi timah berbaur. Hal ini
berdasarkan laporan VOC ke Batavia dalam VOC 2315 tertanggal 31 Oktober dan
VOC 22345 tertanggal 1 Desember yang berbunyi:
“in September 1734 he announced that because of his love for Mas Ayu he
was sending a fleet of ships back to Siantan to bring to Palembang more
than thousand of her relatives, good friends, and servantas. Five hundreds
were settled in the Mentok area of Bangka, with spesifics aim of increasing
tin deliveries by stabling close links producers and buyers.”
7. Orang-orang inilah yang kemudian berkembang menjadi orang Bangka dan
mengembangkan kebudayaan Melayu di pulau Bangka (Sujitno, 2011:101: Hanafiah,
2009 ).
Dalam waktu hampir bersamaan pada waktu itu juga dimulailah migrasi orang-
orang Tionghoa dan Siam yang awalnya dipekerjakan sebagai penambang di daerah-
daerah konsentrasi timah diseluruh penjuru pulau untuk meningkatkan hasil produksi
timah. Mereka didatangkan lansung dari Tiongkok Selatan, Semenanjung Melayu dan
Thailand Selatan karena dianggap telah piawai dalam proses penambangan dan
pengelolaan biji timah di daerah asalnya. Sejak migrasi yang dimulai sejak masa
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I migrasi orang-orang Tionghoa terus
berlanjut bahkan pada masa pendudukan Inggris di pulau Bangka jumlah orang
Tionghoa Bangka semangkin banyak di beberapa kota sampai ada yang mendominasi
dalam jumlah populasi dengan profesi yang beragam terutama pada sektor
perdagangan dan pertambangan (Erman, 1995: ;Hikmat, 2002: 32; Troki, 2004;
Machmud, 1986:73)
Interaksi yang membuat antara Melayu dan Tionghoa hidup rukun dimulai dari
kebiasaan orang-orang Melayu mengangkat anak perempuan Tionghoa menjadi anak.
Hal ini pertama terjadi karena kepercayaan orang Tionghoa yang menganggap bahwa
melahirkan anak perempuan dianggap tidak membawa keuntungan anak perempuan
dianggap tidak berguna karena tidak bisa diajak bekerja keras nantinya. Sehingga
banyak anak perempuan yang di telantarkan. Melihat hal ini kemudian memicu
8. timbulnya simpati dari etnis Melayu yang kemudian berinisiatif untuk menjadi anak
perempuan menjadi anak angkat. Anak ini akan tinggal bersama keluarga Melayunya
dan pindah keyakinan ke agama Islam atau dikenal dengan istilah “masuk Melayu”.
Hal ini juga berarti banyak orang Melayu Bangka yang memiliki darah Tionghoa,
hingga pada saat ini di Bangka akan sering tampak orang Melayu nampak seperti orang
Tionghoa, sedangkan orang Tionghoa nampak berwajah Melayu (Evawarni, 2009: 19;
Hikmat, 2002: 198; wawanara dengan Achmad Bamban bin Bamban; wawanara
dengan pak Amri)
Bukti bahwa banyak orang Melayu yang mengangkat anak perempuan
Tionghoa menjadi anak termuat dalam kutipan berikut surat kabar terbitan Belanda,
Indishe Gids:
“Sering (kuli Tionghoa) menjual (anak perempuannya) saat masih kecil
kepada orang Eropa atau orang Bangka. Seorang bayi yang baru lahir
dapat dijual dengan harga lima gulden atau seorang anak perempuan
berumur tiga tahun dijual dengan arga f150...(dalam hal ini) anak
perempuannya...menjadi sama dengan pribumi.”
Pengadopsian anak ini umumnya terjadi di keluarga Tionghoa yang miskin, orang-
orang Tiongoa yang kaya biasanya akan melindungi anak dan istrinya. Sedangkan
orang Melayu yang mapan meskipun telah memiliki anak, mereka tidak sungkan untuk
mengangkat anak dari etnis Tionghoa. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak
perempuan adalah pembentuk ikatan antara Melayu dan Tionghoa ( wawancara dengan
pak Amri; Heidhues, 2008: 156-158).
9. Proses penting selanjutnya dalam interaksi antara Melayu dan Tionghoa di
Bangka adala adanya asimilasi yang terjadi dari dua kebudayaan ini. setidaknya ada
lima tingkatan asimilasi yang terjadi, yakni asimilasi kultural, asimilasi struktural,
asimilasi perkawinan, asimilasi identifikasi, dan asimilasi perilaku tanpa prasangka.
Hasil dari proses asimilasi ini masih dapat dirasakan hingga sekarang baik itu di
Bangka sendiri bahkan di daerah luar Bangka.
Asimilasi kultural dapat dilihat dari perubahan penggunaan bahasa, nilai-nilai,
pakaian dan makanan. Pada penggunaan bahasa, Bahasa kedua etnis ini pun saling
mempengaruhi. Bahasa melayu Bangka yang merupakan turunan bahasa Melayu Riau
namun telah tercampur dengan banyak bahas sehingga memiliki dialek tersendiri juga
banyak mengadopsi kosakata Tionghoa, sedangkan bahasa Tionghoa telah banyak
dipengaruhi bahasa Melayu. Pengaruh kosakata Tionghoa pada bahasa melayu di
Bangka banyak ditemukan pada istilah-istilah penambangan. Pada bidang kuliner juga
mengalami asimilasi, salah satunya adalah kue Hak lo Pan atau yang di luar disebut
dengan Martabak Bangka atau kue Terang Bulan, ada juga Mie Ayam yang awlanya
menggunakan daging babi, namun karena menyesuaikan dengan etnis Melayu maka di
pakailah daging ayam. Pada bagian nilai-nilai lebih kepada peraturan untuk
kenyamanan kedua etnis (Idi, 2009 :72-73; Heidhues, 2008: 225; Kurniawan dkk,
2013; Sujitno, 2007: 208-209; Kurniati dan Zalfika, 2012: 2-3).
Bentuk asimilasi yang kedua adalah asimilasi struktural masuknya sub etnik
dalam hal ini etnik yang lebih minoritas yakni etnis Tionghoa kedalam struktur sosial
10. ekonomi etnis Melayu tanpa menghilangkan jati diri sebagai seorang Tionghoa. Pada
bidang ekonomi etnis Tionghoa mayoritas bekerja sebagai pedangang dengan
membangun ruko-ruko pertokoan di kota-kota di pulau Bangka umumnya dimiliki oleh
pedagang Tionghoa (Trocki, 2004; Idi, 2009: 109-113).
Peralihan dari penambang menjadi pedagang ini dimulai pada masa
pendudukan Inggris di Bangka, dimana Raffles ingin menjadikan Bangka sebagai pusat
seluruh kegiatannya untuk Timur Jauh, mulai dari perekonomian hingga basis
pertahanan. Untuk membangun perekonomian kemudian Inggris mulai mendatangkan
orang-orang Tionghoa dengan beragam profesi, dan mayoritas yang didatangkan
adalah para pedagang yang awalnya di tempatkan di kota Muntok sebagai ibukota
Keresidenan Bangka di bawah Inggris. Pada bagian sosial-kemasyarakatan asimilasi
antara Melayu dan Tionghoa dapat dilihat dari partisipasi kedua atnis pada saat
kegiatan sosial-kemayarakatan. Di Bangka adalah hal yang sangat lumrah apabila
melihat persahabatan antara seorang dari etnis Melayu dengan orang Tionghoa tanpa
lagi membahas SARA, hal ini juga bisa dilihat pada saat perayaan hari besar masing-
masing agama, biasanya kedua etnis ini akan saling mengunjungi. Bakan di Kota
Muntok terdapat Masjid dan Kelenteng yang bersebelahan sejak abad ke 19 yakni
masjid Jami’ Muntok dan klenteng Kung Fuk Miaw, dan pada saat proses renovasi
masjid pada tahun 1873 masa pemerintahan Tumenggung Kertanegara II orang
Tionghoa bakan turut membantu proses renovasi (Sujitno, 2011: 188; Kurniawan,
2013: 266; wawancara dengan pak Amri).
11. Asimilasi yang ketiga yang terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka
adalag asimilasi pernikahan (Marital Assimilation). Berdasarkan deskripsi van den
Boogard yang mengunjungi Bangka pada tahun 1803, bentuk awal interaksi antara
orang Melayu dan etnis Tiongoa di Bangka terjadi langsung dilokasi pertambangan
timah, dimana para lelaki Melayu ikut terlibat didalam proses menambang sedangkan
kaum perempuan berjualan alat-alat perlengkapan dan makanan untuk para penambang
(Idi, 2009: 130-136; Erwiza, 2009: 105 )
Laporan yang hampir sama juga datang dari Horsfield yang datang ke Bangka
pada tahun 1813, ia mendeskripsikan bahwa orang Melayu memakai pakaian Melayu,
berbahasa Melayu dengan pekerjaan kebanyakan adalah berladang. Dari sini kemudian
dimulailah pernikahan silang antara lelaki Tionghoa dan perempuan melayu, karena
pada waktu itu para kuli tambang Tionghoa tidak membawa serta isterinya, bahkan
tidak ada satu pun perempuan yang ikut berlayar ke Bangka. Dari pernikahan-
pernikahan ini kemudian lahirlah anak-anak yang berdarah campuran (Heidhues, 2008:
87-88)
Lebih jauh lagi pada masa era bangsawan Melayu Johor di Muntok, Zamnah
atau yang di Palembang disebut dengan Mas ayu Ratu Zamnah atau dalam kronik Siak
disebut Yang Mariam yang merupakan istri Sultan Mahmud Badaruddin I adalah cucu
dari seorang Tionghoa bernama Lim Tauw Kian yang kemudian menjadi mualaf atau
dalam adat disebut “masuk Melayu” dan menikahi putri Melayu dan berganti nama
12. menjadi Encik wan Abdul Hayat (Hikmat, 2002: 29-30; Sujitno, 2011: 142; Mahmud,
1986: 57).
Pernikahan campur merupakan hal yang lumrah di Bangka, pada masa
kesultanan Palembang, di Bangka bahkan dibuat suatu peraturan khusus mengenai
pernikahan campur dan Undang-undang Hukum Adat Tanah Bangka. Pada masa
sekarang pernikahan campuran ini bukan merupakan hal yang aneh lagi bahkan bisa
dikatakan sebagai hal yang biasa, jumlah pernikahan silang antara etnis Melayu dan
Tionghoa di Bangka cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari catatan Kantor Urusan
Agama kota Sungailiat yang mencatat pada periode 1997-2004 telah terjadi pernikahan
campuran antara etnis Melayu dan Tionghoa sebanyak 169 pasangan. Pernikahan
silang biasanya menggunakan prosesi adat Melayu, hal ini dikarenakan biasanya
seorang Tionghoa akan menjadi mualla sebelum menikah dengan pasangan Melayunya
(Idi, 2009: 130-136; Amin, 2001:17; wawanara dengan pak Amri ketua MHC).
Bentuk asimilasi keempat yang terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa di
Bangka adalah asimilasi identifikasi yang berasal dari rasa kebangsaan dan cinta akan
daerah. Di bangka kita akan sangat jarang mendengar seseorang menyebut dirinya
sebagai orang Melayu atau orang Cina, meskipun memang benar mereka berasal dari
suku dan etnis tersebut. Sebagai gantinya mereka akan menyebut dirinya sebagai orang
Bangka karena menganggap pulau Bangka sebagai tempat asalnya meskipun
leluhurnya berasal dari luar. Wujud nyata dari bentuk asimilasi identifikasi seorang
Tionghoa dapat dilihat pada saat orang ritual sembahyang kubur yang dilakukan di
13. pemakaman Sentosa kota Pangkalpinang, pada saat akan menjalankan ritual ini maka
seluruh orang Tionghoa Bangka akan pulang ke Bangka meskipun ia berada jauh dari
Bangka, ada yang pulang dari kota-kota di Indonesia bahkan ada yang sengaja
menyempatkan diri untuk pulang ke Bangka padahal mereka telah menetap di luar
negeri dan menjadi warga negara tersebut seperti Singapura, Hongkong dan Makau
(idi, 2009: 19-151; Evawarni, 2009:42-43; wawanara dengan pak Amri).
Bentuk asimilasi terakhir yang terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa di
Bangka adalah Asimilasi Perilaku tanpa Prasangka dapat dilihat dari penggunaan
panggilan dari satu etnis ke etnis yang lain tanpa ada rasa tersinggung sedikitpun dari
etnis yang di tuju, di Bangka orang Melayu biasa menyebut orang Tionghoa dengan
sebutan “Orang Cen” sedangkan orang Tionghoa memakai kata “Fangin” untuk
menyebut orang Melayu walaupun sudah jarang di pakai. Penggunaan kedua kata ini
tidak ada sedikit pun maksud untuk merendakan salah satunya, hanya panggilan belaka,
dan tidak mendapatkan sambutan negatif dari yang mendapatkan nama (idi, 2009: 161;
Hikmat, 2002: 95).
Ragam wujud asimilasi yang berlaku menunjukan bahwa masyarakat Melayu
Bangka memiliki struktur sosial masyarakat Melayu terbuka yang menerima semua
hal-hal yang baru selama itu tidak mengusik bahkan merusak nilai-nilai adat istiadat
marwah Melayu yang bernafaskan Islam. Sehingga budaya lain dapat tumbuh bahkah
berkembang karena masih banyak ritual asli Tionghoa yang tetap dilakukan hingga
sekarang hidup berdampingan dan kebudayaan Melayu tetap kekal walaupun sedikit
14. saling mempengaruhi. Semangat orang Melayu Bangka dalam mempertehankan
kebudayaan Melayu ini sesuai sebagaimana ungkapan yang pernah diikrarkan oleh
Laksamana Hang Tuah yang sangat terkenal, yaitu :“ Tuah sakti hamba negeri, Esa
hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, takkan Melayu hilang di bumi.”
(Elvian, 2008: 12; Fahrozi, 2015).
Ragam bentuk asimilasi dan sifat keterbukaan inilah yang kemudian melahirkan
ungkapan Thongin Fangin Tjitjong sebagai ungkapan bentuk persatuan masyarakat
Bangka yang multikultural. Bersatunya etnis-etnis yang ada dengan tanpa memandang
perbedaan sebagai penghalang ataupun merasa menjadi superior atas yang lainnya
telah menjadikan Bangka sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi etnis-etnis yang
bermukim disana. Perpaduan dari berbagai kebudayaan yang mewarnai kehidupan
sehari-hari membuat masyarakat Bangka memiliki sifat terbuka terhadap berbagai
macam budaya yang datang dan menjadi terampil dalam memilah dan mengolahnya
menjadi sebuah kesatuan yang merupakan kekuatan. Hal ini sesuai dengan salah satu
cita-cita luhur bangsa Indonesia yang termuat di dalam Pancasila pada butir sila ke tiga
Pancasila “Persatuan Indonesia”.
4. Penutup
Kesimpulan
Keberagaman etnis yang menghuni pulau Bangka dimulai ketika penambangan
timah dalam skala besar mulai marak dilakukan pada era kepemimpinan Sultan
Mahmud Badaruddin I. Sejak saat itu berbondong-bondonglah beragam etnis datang
15. dan bermukim hidup berdampingan serta melakukan interaksi antara satu dengan yang
lainnya. Interaksi antar etnis ini melahirkan sebuah ungkapan dalam bahasa Tinghoa
berbunyi “thongin fangin tjitjong” yang bermakna antara Tionghoa dan Melayu adalah
sama tidak ada yang superior dan tidak ada yang berada pada level yang lebih rendah.
Ungkapan ini lahir dari hasil interaksi panjang selama ratusan tahun setelah terjadinya
proses akulturasi di berbagai bidang sehingga antar etnis dapat saling menerima etnis
yang lain. Hal ini membuat terciptanya keharmonisan di hampir setiap sendi kehidupan
masyarakat Bangka yang multietnis dan multikultur.
Ungkapan ini juga secara langsung menunjukan bahwa masyarakat Bangka adalah
masyarakat yang tak hanya terbuka yang menerima perbedaan dan hal-hal yang baru
namun juga pandai mengolah hal tersebut dengan merangkumnya menjadi sebuah
kesatuan yang merupakan kekuatan bangsa. Menjadikan perbedaan sebagai sebuah
kekuatan modal kemajuan daerah bukan sebagai sumber perpecahan yang membawa
pada keterpurukan sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang pada
sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”.
Rekomendasi
Mengingat bahwa persatuan dalam keberagaman adalah kekuatan dan aset bangsa,
maka penulis merekomendasikan tulisan ini untuk dapat dibahas lebih lanjut pada
sebuah seminar. Hal ini dikarenakan masih banyak daerah di Indonesia yang akhir—
akhir ini menjadi sorotan berita nasional karena bentrokan antar etnis yang mendiami
daerah tersebut, daerah-daerah tersebut gagal mewujudkan sila ketiga Pancasila yakni
16. “Persatuan Indonesia”. Namun pulau Bangka di proinsi Kepulauan Bangka Belitung
tampil menjadi salah satu daerah yang berhasil mengikat keberagaman menjadi sebuah
kekuatan dengan tanpa menghilangkan jati diri beragam etnis yang bermukim disana.
Ungkapan “Thongin Fangin Tjitjong” merupakan bentuk kejeniusan lokal masyarakat
Bangka dalam menghadapi perbedaan dan sebagai bentuk pertahan dari kemungkinan
akan terjadinya gesekan antar etnis yang ada. Dengan membahas kearifan lokal dalam
bentuk ungkapan tradisional ini pada forum yang lebih besar di harapkan bisa
memberikan contoh peranan kearifan lokal bagi pengelolaan kemajemukan dalam
upaya penguatan multikulturalisme di Indonesia.
Lampiran
Biodata narasumber
Foto waktu wawancara
Gambar bentuk ungkapan baju setting masjid