SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Download to read offline
Suara Pers, Suara Siapa?
Oleh:
Wisnu Prasetya Utomo
Situsweb: pindai.org | Surel: redaksi@pindai.org
Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 2 | 8
Suara Pers, Suara Siapa?
Oleh : Wisnu Prasetya Utomo
Adakah pers yang netral, tidak partisan, dan objektif?
Pertanyaan semacam ini sungguh menggelisahkan terutama di masa-masa kritis pemilihan umum
2014 lalu. Berita-berita yang saling bertolak-belakang dan mengikuti garis politik pemilik media,
opini publik yang terbelah secara diametral yang sisa-sisanya masih terasa sampai saat ini,
sampai tuntutan kepada pers untuk bersikap netral dan tidak berpihak.
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan memulainya melalui pembahasan
ihwal berita sebagai laku konstruksi realitas yang diproduksi secara sadar oleh jurnalis dan
media. Selanjutnya akan melihat netralitas, objektifitas, serta partisan-tidak partisan sebuah pers
dalam konteks historis di Indonesia.
***
Istilah bahwa pers harus netral, objektif, berimbang, memberitakan dua sisi, dan tidak berpihak,
berangkat dari pandangan positivistik yang mengandaikan ada realitas objektif di luar diri media
dan wartawan. Karena ada realitas objektif, maka berita diposisikan sebagai cerminan dari
realitas yang ada. Tugas media adalah menampilkan realitas yang ada tersebut tanpa efek
dramatisasi atau semacamnya.
Dalam konteks ini, wartawan dianggap hanya sebagai pelapor peristiwa dengan asumsi media
merupakan saluran yang netral dan bebas kepentingan. Sehingga mereka harus mampu
menyederhanakan jalin-kelindan realitas yang rumit dan kompleks dalam bahasa sederhana yang
seterusnya dilanjutkan kepada khalayak.
Jika diperhatikan lebih jauh, pandangan semacam ini mengabaikan kondisi bahwa perilaku
media dan wartawan dalam memproduksi sebuah berita selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai,
norma-norma, sampai keyakinan-keyakinan tertentu. Artinya, mustahil bahwa berita adalah
sepenuhnya mirror of reality. Sebaliknya, berita adalah ikhtiar wartawan melakukan konstruksi
realitas.
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 3 | 8
Wartawan selalu sudah memiliki posisi, pertimbangan awal, maupun kepentingan sebelum ia
turun ke lapangan. Belakangan, inilah yang menjadi salah satu sumber bias berita. Pandangan-
pandangan subjektif malih rupa menjadi bias yang bisa dibaca dari berita-berita yang dihasilkan.
Dalam kajian komunikasi, ihwal objektifitas dan subjektifitas ini sebenarnya merupakan salah
satu perdebatan klasik. Kita bisa merujuk pada debat antara dua pakar media Everette E.Dennis
dan John C. Merril sebagaimana bisa dibaca dalam buku Basic Issues in Mass Communication
(1984).
Dennis mengajukan tesis bahwa objektifitas dalam jurnalisme adalah kondisi yang mungkin
dicapai. Menurutnya laku jurnalistik dari mulai pengumpulan sampai penulisan berita memiliki
standar-standar objektifnya sendiri. Standar-standar objektif yang dimaksud misalnya seperti
pemisahan antara fakta dengan opini, cover both sides, fairness, dan sebagainya.
Namun Merril membantahnya. Professor jurnalisme di Universitas Missouri ini, berpandangan
bahwa objektifitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin atau dengan kata lain, mustahil.
Dari mulai seleksi isu yang diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi
penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari subjektifitas wartawan dan
media.
Apalagi, realitas yang coba diangkat dan diterjemahkan wartawan ke dalam sebuah berita selalu
bersifat dinamis, plural dan dialektis. Proses penerjemahan ini berlangsung melalui mekanisme
yang disebut sebagai pembingkaian (framing) berita, yaitu proses menyeleksi dan menonjolkan
bagian tertentu dari sebuah peristiwa.
Mengacu pada Robert Entman dalam Framing : Toward Clarification of a Fractured Paradigm
(1993:52) ada empat fungsi pembingkaian yaitu untuk : i) defining problem (memetakan masalah
berdasarkan pertimbangan umum), ii) diagnosing causes (mendiagnosis akar masalah dengan
mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang terlibat), iii) making moral judgement (memberi
penilaian moral terhadap masalah), dan iv) suggesting remedies (menawarkan solusi dengan
menunjukkan apa yang seharusnya ada).
Jika kita menyimak kondisi media massa saat ini, pendapat yang dikemukakan Merril menjadi
semakin masuk akal dan sulit dibantah. Belum lagi jika kita menyaksikan betapa masifnya
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 4 | 8
perkembangan jurnalisme online seiring gegap-gempita teknologi internet. Objektifitas
jurnalisme serasa merupakan sesuatu yang berada di awang-awang.
Mesti diakui jurnalisme online telah meluluh-lantakkan apa yang kerap disebut sebagai standar
objektif jurnalisme seperti cover both sides, keberimbangan, memisahkan fakta dengan opini,
dan sebagainya. Cermati bahwa saat ini media online kerap menayangkan sebuah berita yang
bersumber dari satu narasumber saja yang menghasilkan apa yang disebut sebagai realitas
psikologis. Dalam era ini, sebuah berita tidak akan bisa dinilai tanpa melihat berita yang lain.
Demikian seterusnya.
***
Dari sisi historis, ide sebagai pilar keempat demokrasi yang objektif, netral dan nonpartisan tak
pernah berjejak dalam tradisi pers di Indonesia. Baik di era zaman bergerak yang penuh
pergulatan ideologi maupun era industri, pers senantiasa berada dalam posisi untuk menunjukkan
keberpihakan secara tegas baik atas dasar kesadaran kebangsaan, afiliasi partai politik, represi
negara, maupun tekanan pemiliknya.
Di era pergantian abad 19 ke 20, ketika sedang terjadi gelombang pasang kelahiran nasionalisme
di berbagai belahan dunia, berbagai surat kabar yang sebelumnya bersikap kritis terhadap
pemerintah kolonial Belanda kemudian menjelma menjadi pers perjuangan yang memiliki
komitmen partisan untuk lepas dari belenggu penjajahan. i
Pada era ini, kita bisa merujuk ke
koran Medan Prijaji yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo.
Dalam edisi perdana Medan Prijaji, Tirto merumuskan delapan pedoman bahwa surat kabar
(pers) harus: memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum,
menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan, menggerakkan
bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangun dan memajukan
bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha dan perdagangan. ii
Medan Prijaji menunjukkan secara gamblang ke mana keberpihakan pers serta jurnalis harus
diarahkan. Delapan pedoman tersebut tidak hanya menandai pembentukan imajinasi sebagai
sebuah bangsa tetapi juga menancapkan tonggak awal bagi jurnalisme politik di tanah air yang
mengurat akar sampai pascakemerdekaan.
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 5 | 8
Soekarno menyebut pers adalah alat revolusi yang bertugas untuk memobilisasi opini publik.
Karena itu wartawan memiliki tugas untuk membangkitkan kesadaran rakyat dalam melawan
kekuatan-kekuatan kontrarevolusioner. Bahkan pada tahun 1960-an, pemerintah memerintahkan
semua surat kabar untuk berafiliasi secara resmi dengan partai politik, kelompok fungsional, atau
organisasi massa.
Salah satu contoh yang baik untuk mendeskripsikan pers di era ini bisa kita lihat di Harian
Rakjat. Menurut Evi Mariani dalam tulisannya Vox Pers, Vox Partai (2001:39-42), redaktur
koran ini seperti tak pernah mendengar kata “objektif” saking kerasnya dalam menggunakan
bahasa. Sebagai contoh, modal asing disebut sebagai “gerakan jahat.” Lawan politik disebut
sebagai “kaum reaksioner,” dan lain sebagainya. Jurnalisme politik di era ini menempatkan
dirinya sebagai senjata yang ofensif dan destruktif. Jurnalis berdiri di antara dua kaki, sebagai
jurnalis itu sendiri, dan sebagai aktivis partai politik.
Kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto terhadap pemerintahan Soekarno menjadi tikungan
penting dalam perkembangan pers dan jurnalisme di Indonesia. Pasca peristiwa Oktober 1965,
semua koran kiri dibabat hingga tandas. Sistem politik otoritarian pasca 1965 menyebabkan
media tidak lagi mengandalkan partai politik sebagai sumber utama pendanaan. Ini juga
berakibat pada media yang semakin independen, dalam arti tidak terikat dengan kepentingan
politik partai sebagaimana di era Soekarno.
Media harus mencari sumber pendanaan sendiri agar bisa mandiri. Independensi ini yang
membawa media pada tahap yang lebih jauh untuk menentukan sikap politiknya sendiri. Arus
modal asing mengalir deras dan membawa pers memasuki fase industrialisasi.
Di tahap ini, Dhaniel Dhakidae menggunakan enam media sebagai contoh untuk melihat
bagaimana akumulasi modal terjadi.iii
Pertama, akumulasi modal yang terjadi di Sinar Harapan,
Kompas, dan Tempo. Ketiga media ini ditandai dengan karakteristiknya sebagai media
berorientasi pasar nasional dan terintegrasi dengan industrialisasi secara umum.
Kedua,akumulasi kapital di Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan Pos Kota dengan
karakteristiknya yang berorientasi pasar lokal dan integrasi yang rendah terhadap industrialisasi.
Fasa industrialisasi Orde Baru adalah pembabatan semua romantika dan retorika revolusioner
pers. Media kemudian dituntut untuk menjaga stabilitas ekonomi politik nasional. Doktrin pers
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 6 | 8
yang bebas dan bertanggungjawab diperkenalkan dengan bersandar pada Pancasila yang
tafsirnya sudah dibatasi oleh rezim. Di era ini, represi negara serta rendahnya jaminan terhadap
kebebasan pers memaksa pers untuk melakukan ekspansi dan diversifikasi produk. Regulasi
yang ketat melalui SIUPP juga telah membentuk struktur pasar dengan para pemain yang
terbatas.
Dengan begitu, pelan-pelan tercipta konsentrasi kepemilikan tidak hanya di media cetak tetapi
juga televisi swasta yang tumbuh di dekade akhir 1980-an. Independensi dari partai politik
sebagaimana yang terjadi sebelumnya kemudian bergeser kepada loyalitas kepada pemilik. Yang
patut diperhatikan, terjadi perubahan mendasar dalam diri seorang jurnalis. Industrialisasi yang
semakin masif memisahkan skill profesional atau ketrampilan jurnalistik seorang jurnalis dari
ideologi politik atau pengetahuan yang dimilikinya.
Jatuhnya Soeharto kerap dikatakan sebagai kebangkitan jurnalisme politik di Indonesia. Kondisi
ketiadaan sensor membuat media bisa membuat berita sevulgar apapun tanpa ketakutan dibredel.
Kebebasan bergerak ini memang dimiliki oleh pers namun yang perlu diperhatikan,
industrialisasi pers yang dipupuk dan dibesarkan selama Orde Baru – untuk penjelasan ini kita
patut berterima kasih kepada David T. Hill dengan bukunya Pers di Era Orde Baru (1994) –
berperan membuat pasar menjadi stagnan.
Bisnis media bergerak dalam persaingan pasar yang semu. Konsentrasi kepemilikan media
berada pada kelompok kepentingan lama di era Orde Baru. Jurnalisme politik hadir dengan
wajah yang sama sekali lain bila dibandingkan dengan yang pernah ada dulu. Jurnalis bekerja
dalam kondisi di mana berita-berita dijadikan pemilik media sebagai alat untuk meraih
keuntungan.
Dalam kondisi tersebut, wartawan tidak memiliki banyak wewenang dalam memutuskan
kebijakan media. Sifatnya yang profesional membuat posisinya rentan dan tidak memiliki daya
tawar yang kuat dalam hubungan produksi. Hasilnya, jurnalis teralienasi dari produk jurnalistik
yang mereka hasilkan.
***
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 7 | 8
Pemilihan umum 2014 menjadi ilustrasi yang tepat untuk melihat gaya jurnalisme politik
semacam apa yang tumbuh pasca-Orde Baru. Nada berita segendang-sepenarian dengan
pendulum politik pemilik media. Dari momen-momen kritis transisi kekuasaan kemarin juga
sekaligus mengonfirmasi bahwa tidak ada media yang tidak partisan. Istilah partisan di sini
memang tidak bisa disamakan dengan gaya partisan sebagaimana di dekade 1950-an atau
sebelumnya.
Ada gradasi yang tegas baik dari bentuk keberpihakan maupun produk jurnalistik yang
dihasilkan. Ini bisa dilihat dari media-media yang secara terbuka maupun malu-malu
menunjukkan dukungan politik. Dengan kondisi semacam itu, menuntut media untuk bersikap
netral dan objektif bisa jadi akan terasa naïf. Ia mengandaikan bahwa pers hanya sebagai
medium yang menghantarkan pesan atau informasi. Padahal, media adalah aktor politik di mana
di dalamnya juga terdapat berbagai kepentingan politik yang saling bertarung.
Dalam kondisi seperti itu, pembaca memiliki posisi yang kuat untuk menafsir pesan-pesan yang
setiap hari dipenuhi oleh berita media dan sesak dengan propaganda kepentingan baik yang
berada dalam level ideologi (nilai, kepercayaan, logika, pilihan politik) maupun berada pada
wilayah praktis ( fashion, gadget). Kajian-kajian baru tentang khalayak aktif (active audiens)
menunjukkan bahwa pembaca tidak hanya menerima pesan media secara pasif dan menelannya
mentah-mentah. Ia justru ikut secara aktif berinteraksi, menafsir, memilah, memilih, sampai
meyakini informasi yang ada. Kesadaran kritis ini yang dibutuhkan dalam rimba raya informasi
yang semakin hari semakin penuh kedangkalan.
Ihwal khalayak aktif ini sebenarnya sedikit paradoks jika kita berkaca pada pemilu umum 2014
yang lalu. Pembelahan opini yang terjadi secara masif membuat mereka yang berdiri di masing-
masing posisi politik lebih mempercayai media yang kebetulan mendukung pasangan yang juga
mereka dukung. Tidak peduli apakah sebuah berita diproduksi media itu benar atau tidak.
Kondisi taklid buta ini bisa kita rujuk salah satunya dari Brendan Nyhan dan Jason Reifler dalam
penelitiannya Misinformation and Fact-checking: Research Findings From Social Science
(2012). Kedua peneliti tersebut mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada informasi yang
bertentangan, seorang individu cenderung mencari cara untuk menolaknya sebagai sebuah
PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015
H a l a m a n 8 | 8
kebenaran. Nalar psikologis seseorang nyaris selalu mencari informasi yang mengonfirmasi
pandangan personal.
Penolakan terhadap informasi tersebut semakin kuat melanda orang-orang yang diikat dalam
institusi kolektif seperti partai politik. Tafsir atas pesan media diatur oleh emosi, bukan
argumentasi rasional. Ketika tafsir diatur oleh emosi secara otomatis akan memunculkan apa
yang disebut sebagai noise. Noise merupakan hambatan yang membuat sebuah pesan dari
komunikator (pengirim pesan/media) tidak akan sampai secara utuh ke komunikan (penerima
pesan/pembaca). Ini yang menjelaskan kenapa “bisnis kebencian” yang dijalankan oleh situs-
situs sensasional yang berlindung di balik nama kebebasan pers itu bisa laku dan layak dibaca.
Sebagai penutup, berteriak-teriak menuntut media netral dan nonpartisan ibarat berteriak di
tengah gurun pasir. Tidak terdengar jelas, dan lamat-lamat akan menghilang. Di titik ini,
konglomerasi media serta afiliasi politik media terhadap kekuatan politik tertentu bisa digunakan
sebagai alat untuk membantu kita mengukur ke mana bias berita-berita diarahkan. Dengan
begitu, kita bisa secara kritis membaca arus informasi dari berbagai media yang ada tanpa
terombang-ambing arus informasi dan agenda media. Bahkan kalau perlu, membuat satu media
alternatif yang lebih bisa memperjuangkan ideologi yang diyakini.
i
Hill, David dan Krishna Sen.2000.Media, Budaya dan Politik di Indonesia. ISAI:Jakarta halaman 61
ii
Toer, Pramoedya Ananta.1985.Sang Pemula.Hasta Mitra:Jakarta halaman 46
iii
Dhakidae, Dhaniel.1991.The State, TheRise of Capital, and The Fall of Political Journalism: PoliticalEconomy of
Indonesian News Industry. Tidak diterbitkan

More Related Content

What's hot

Kebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMAKebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMAatika rizki
 
Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)
Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)
Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)Princa Karim
 
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiPeranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiDita Fadhila
 
Peranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratisPeranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratisginanurulazhar
 
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat DemokrasiMengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat DemokrasiTia's Diary
 
Modul pkn kelas 12 sma pers
Modul pkn kelas 12 sma persModul pkn kelas 12 sma pers
Modul pkn kelas 12 sma persakhdi romli
 
Bab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakatBab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakatPutra Ivan
 
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan PersDampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan PersKiki Evi Wahyuliana
 
Sepuluh elemen jurnalisme
Sepuluh elemen jurnalismeSepuluh elemen jurnalisme
Sepuluh elemen jurnalismebahanamahasiswa
 
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)
Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)Nasyukha Apnapryka
 
Peranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam MasyarakatPeranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam MasyarakatRahmayani Astuti
 

What's hot (20)

Kebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMAKebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMA
 
Ppt pers
Ppt persPpt pers
Ppt pers
 
Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)
Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)
Peranan Pers (Kelompok 4 SMANSA KOTIM)
 
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiPeranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
 
Peranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratisPeranan pers dalam masyarakat demokratis
Peranan pers dalam masyarakat demokratis
 
PKN-Pers
PKN-PersPKN-Pers
PKN-Pers
 
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat DemokrasiMengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Mengevaluasi Peranan Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
 
Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasiMengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi
 
Modul pkn kelas 12 sma pers
Modul pkn kelas 12 sma persModul pkn kelas 12 sma pers
Modul pkn kelas 12 sma pers
 
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaran
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaranPeranan pers dalam peningkatan pembelajaran
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaran
 
Bab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakatBab iii-pers-dlm-masyarakat
Bab iii-pers-dlm-masyarakat
 
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan PersDampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
 
Ppt pkn PERS..
Ppt pkn PERS..Ppt pkn PERS..
Ppt pkn PERS..
 
Sepuluh elemen jurnalisme
Sepuluh elemen jurnalismeSepuluh elemen jurnalisme
Sepuluh elemen jurnalisme
 
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)
Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)Peranan  Pers ( P Kn  X I I  S M A)
Peranan Pers ( P Kn X I I S M A)
 
Pers di indonesia
Pers di indonesiaPers di indonesia
Pers di indonesia
 
Presentasi kelompok 3 pkn
Presentasi kelompok 3 pknPresentasi kelompok 3 pkn
Presentasi kelompok 3 pkn
 
Peranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam MasyarakatPeranan Pers dalam Masyarakat
Peranan Pers dalam Masyarakat
 
Bab 3 awal pers kls xii
Bab 3 awal pers kls xiiBab 3 awal pers kls xii
Bab 3 awal pers kls xii
 
Pers
PersPers
Pers
 

Viewers also liked

diffirences of chain-growth and step-growth polymerization
diffirences of chain-growth and step-growth polymerizationdiffirences of chain-growth and step-growth polymerization
diffirences of chain-growth and step-growth polymerizationmzyas2005
 
Song Byeok: North Korea's Warhol
Song Byeok: North Korea's WarholSong Byeok: North Korea's Warhol
Song Byeok: North Korea's Warholjtrocmelatter
 
ArmacellProductRangeEN
ArmacellProductRangeENArmacellProductRangeEN
ArmacellProductRangeENautranphilong
 
What’s New in Feathers 2.0?
What’s New in Feathers 2.0?What’s New in Feathers 2.0?
What’s New in Feathers 2.0?Josh Tynjala
 
Movie poster 001
Movie poster 001Movie poster 001
Movie poster 001Xin Yi Zyx
 
Functies ict
Functies ictFuncties ict
Functies ictMrDeFoer
 
Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"
Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"
Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"klasa6
 
prezentacjaAdrian
prezentacjaAdrianprezentacjaAdrian
prezentacjaAdrianklasa6
 
Arus Balik di Teluk Benoa
Arus Balik di Teluk BenoaArus Balik di Teluk Benoa
Arus Balik di Teluk BenoaPindai Media
 
Systematic investment-plan
Systematic investment-plan Systematic investment-plan
Systematic investment-plan eka rup
 
Super Agile Satchel
Super Agile SatchelSuper Agile Satchel
Super Agile SatchelAndy Bacon
 
광고가이드
광고가이드광고가이드
광고가이드장 용성
 

Viewers also liked (19)

diffirences of chain-growth and step-growth polymerization
diffirences of chain-growth and step-growth polymerizationdiffirences of chain-growth and step-growth polymerization
diffirences of chain-growth and step-growth polymerization
 
Song Byeok: North Korea's Warhol
Song Byeok: North Korea's WarholSong Byeok: North Korea's Warhol
Song Byeok: North Korea's Warhol
 
G2
G2G2
G2
 
Thermos pp
Thermos pp Thermos pp
Thermos pp
 
bab 4 kls x
bab 4 kls xbab 4 kls x
bab 4 kls x
 
ArmacellProductRangeEN
ArmacellProductRangeENArmacellProductRangeEN
ArmacellProductRangeEN
 
What’s New in Feathers 2.0?
What’s New in Feathers 2.0?What’s New in Feathers 2.0?
What’s New in Feathers 2.0?
 
Red social twitter
Red social twitterRed social twitter
Red social twitter
 
Movie poster 001
Movie poster 001Movie poster 001
Movie poster 001
 
Functies ict
Functies ictFuncties ict
Functies ict
 
Dracula d
Dracula dDracula d
Dracula d
 
Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"
Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"
Prezentacja Oliwii Żak "ZOO"
 
prezentacjaAdrian
prezentacjaAdrianprezentacjaAdrian
prezentacjaAdrian
 
Ejercicios down
Ejercicios downEjercicios down
Ejercicios down
 
Arus Balik di Teluk Benoa
Arus Balik di Teluk BenoaArus Balik di Teluk Benoa
Arus Balik di Teluk Benoa
 
Systematic investment-plan
Systematic investment-plan Systematic investment-plan
Systematic investment-plan
 
Super Agile Satchel
Super Agile SatchelSuper Agile Satchel
Super Agile Satchel
 
Diary novia
Diary noviaDiary novia
Diary novia
 
광고가이드
광고가이드광고가이드
광고가이드
 

Similar to Suara Pers, Suara Siapa?

Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/NasionalisMedia Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/NasionalisOppyOscarina
 
Media Sebagai Aktor Politik
Media Sebagai Aktor PolitikMedia Sebagai Aktor Politik
Media Sebagai Aktor PolitikPindai Media
 
Media: Pengaruh dan Penanganan Isu
Media: Pengaruh dan Penanganan IsuMedia: Pengaruh dan Penanganan Isu
Media: Pengaruh dan Penanganan IsuDamar Juniarto
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin Amq
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Kal Bu Lorca
 
UTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdf
UTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdfUTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdf
UTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdfYunisett
 
Sepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptx
Sepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptxSepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptx
Sepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptxAndreas Harsono
 
Uas penulisan opin sem 4
Uas penulisan opin sem 4Uas penulisan opin sem 4
Uas penulisan opin sem 4Tosawa Tosawa
 
Keberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publikKeberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publikWahyu Dhyatmika
 
Media dan Politik Indonesia
Media dan Politik IndonesiaMedia dan Politik Indonesia
Media dan Politik Indonesiawindari27
 

Similar to Suara Pers, Suara Siapa? (20)

Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/NasionalisMedia Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
 
Bab 3 kelas 3
Bab 3 kelas 3Bab 3 kelas 3
Bab 3 kelas 3
 
Taqiya m 12 ipa1 pers_pkn
Taqiya m 12 ipa1 pers_pknTaqiya m 12 ipa1 pers_pkn
Taqiya m 12 ipa1 pers_pkn
 
Media Sebagai Aktor Politik
Media Sebagai Aktor PolitikMedia Sebagai Aktor Politik
Media Sebagai Aktor Politik
 
Jurnalisme Warga 1
Jurnalisme Warga 1Jurnalisme Warga 1
Jurnalisme Warga 1
 
Dasar dasar jurnalistik
Dasar dasar jurnalistikDasar dasar jurnalistik
Dasar dasar jurnalistik
 
Media: Pengaruh dan Penanganan Isu
Media: Pengaruh dan Penanganan IsuMedia: Pengaruh dan Penanganan Isu
Media: Pengaruh dan Penanganan Isu
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
 
Pers di indonesia
Pers di indonesiaPers di indonesia
Pers di indonesia
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
 
Kliping
KlipingKliping
Kliping
 
Media massa atau pers
Media massa atau persMedia massa atau pers
Media massa atau pers
 
UTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdf
UTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdfUTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdf
UTS Pendidikan Kewarganegaraan Yuni Setia Wati-2302016-Akuntansi.pdf
 
Sepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptx
Sepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptxSepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptx
Sepuluh Elemen Jurnalisme 2022.pptx
 
Uas penulisan opin sem 4
Uas penulisan opin sem 4Uas penulisan opin sem 4
Uas penulisan opin sem 4
 
Keberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publikKeberpihakan media pada kepentingan publik
Keberpihakan media pada kepentingan publik
 
Media dan Politik Indonesia
Media dan Politik IndonesiaMedia dan Politik Indonesia
Media dan Politik Indonesia
 
Soalan
SoalanSoalan
Soalan
 
Isi
IsiIsi
Isi
 
Menjadi Jurnalis
Menjadi JurnalisMenjadi Jurnalis
Menjadi Jurnalis
 

More from Pindai Media

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiPindai Media
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehPindai Media
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPindai Media
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanPindai Media
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kinePindai Media
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam TerorismePindai Media
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoPindai Media
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhPindai Media
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakariaPindai Media
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPindai Media
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPindai Media
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankPindai Media
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakPindai Media
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaPindai Media
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaPindai Media
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri BukuPindai Media
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuPindai Media
 

More from Pindai Media (20)

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam Terorisme
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di Planet
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
 
Mario
MarioMario
Mario
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
 

Suara Pers, Suara Siapa?

  • 1. Suara Pers, Suara Siapa? Oleh: Wisnu Prasetya Utomo Situsweb: pindai.org | Surel: redaksi@pindai.org Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
  • 2. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 2 | 8 Suara Pers, Suara Siapa? Oleh : Wisnu Prasetya Utomo Adakah pers yang netral, tidak partisan, dan objektif? Pertanyaan semacam ini sungguh menggelisahkan terutama di masa-masa kritis pemilihan umum 2014 lalu. Berita-berita yang saling bertolak-belakang dan mengikuti garis politik pemilik media, opini publik yang terbelah secara diametral yang sisa-sisanya masih terasa sampai saat ini, sampai tuntutan kepada pers untuk bersikap netral dan tidak berpihak. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan memulainya melalui pembahasan ihwal berita sebagai laku konstruksi realitas yang diproduksi secara sadar oleh jurnalis dan media. Selanjutnya akan melihat netralitas, objektifitas, serta partisan-tidak partisan sebuah pers dalam konteks historis di Indonesia. *** Istilah bahwa pers harus netral, objektif, berimbang, memberitakan dua sisi, dan tidak berpihak, berangkat dari pandangan positivistik yang mengandaikan ada realitas objektif di luar diri media dan wartawan. Karena ada realitas objektif, maka berita diposisikan sebagai cerminan dari realitas yang ada. Tugas media adalah menampilkan realitas yang ada tersebut tanpa efek dramatisasi atau semacamnya. Dalam konteks ini, wartawan dianggap hanya sebagai pelapor peristiwa dengan asumsi media merupakan saluran yang netral dan bebas kepentingan. Sehingga mereka harus mampu menyederhanakan jalin-kelindan realitas yang rumit dan kompleks dalam bahasa sederhana yang seterusnya dilanjutkan kepada khalayak. Jika diperhatikan lebih jauh, pandangan semacam ini mengabaikan kondisi bahwa perilaku media dan wartawan dalam memproduksi sebuah berita selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma-norma, sampai keyakinan-keyakinan tertentu. Artinya, mustahil bahwa berita adalah sepenuhnya mirror of reality. Sebaliknya, berita adalah ikhtiar wartawan melakukan konstruksi realitas.
  • 3. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 3 | 8 Wartawan selalu sudah memiliki posisi, pertimbangan awal, maupun kepentingan sebelum ia turun ke lapangan. Belakangan, inilah yang menjadi salah satu sumber bias berita. Pandangan- pandangan subjektif malih rupa menjadi bias yang bisa dibaca dari berita-berita yang dihasilkan. Dalam kajian komunikasi, ihwal objektifitas dan subjektifitas ini sebenarnya merupakan salah satu perdebatan klasik. Kita bisa merujuk pada debat antara dua pakar media Everette E.Dennis dan John C. Merril sebagaimana bisa dibaca dalam buku Basic Issues in Mass Communication (1984). Dennis mengajukan tesis bahwa objektifitas dalam jurnalisme adalah kondisi yang mungkin dicapai. Menurutnya laku jurnalistik dari mulai pengumpulan sampai penulisan berita memiliki standar-standar objektifnya sendiri. Standar-standar objektif yang dimaksud misalnya seperti pemisahan antara fakta dengan opini, cover both sides, fairness, dan sebagainya. Namun Merril membantahnya. Professor jurnalisme di Universitas Missouri ini, berpandangan bahwa objektifitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin atau dengan kata lain, mustahil. Dari mulai seleksi isu yang diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari subjektifitas wartawan dan media. Apalagi, realitas yang coba diangkat dan diterjemahkan wartawan ke dalam sebuah berita selalu bersifat dinamis, plural dan dialektis. Proses penerjemahan ini berlangsung melalui mekanisme yang disebut sebagai pembingkaian (framing) berita, yaitu proses menyeleksi dan menonjolkan bagian tertentu dari sebuah peristiwa. Mengacu pada Robert Entman dalam Framing : Toward Clarification of a Fractured Paradigm (1993:52) ada empat fungsi pembingkaian yaitu untuk : i) defining problem (memetakan masalah berdasarkan pertimbangan umum), ii) diagnosing causes (mendiagnosis akar masalah dengan mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang terlibat), iii) making moral judgement (memberi penilaian moral terhadap masalah), dan iv) suggesting remedies (menawarkan solusi dengan menunjukkan apa yang seharusnya ada). Jika kita menyimak kondisi media massa saat ini, pendapat yang dikemukakan Merril menjadi semakin masuk akal dan sulit dibantah. Belum lagi jika kita menyaksikan betapa masifnya
  • 4. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 4 | 8 perkembangan jurnalisme online seiring gegap-gempita teknologi internet. Objektifitas jurnalisme serasa merupakan sesuatu yang berada di awang-awang. Mesti diakui jurnalisme online telah meluluh-lantakkan apa yang kerap disebut sebagai standar objektif jurnalisme seperti cover both sides, keberimbangan, memisahkan fakta dengan opini, dan sebagainya. Cermati bahwa saat ini media online kerap menayangkan sebuah berita yang bersumber dari satu narasumber saja yang menghasilkan apa yang disebut sebagai realitas psikologis. Dalam era ini, sebuah berita tidak akan bisa dinilai tanpa melihat berita yang lain. Demikian seterusnya. *** Dari sisi historis, ide sebagai pilar keempat demokrasi yang objektif, netral dan nonpartisan tak pernah berjejak dalam tradisi pers di Indonesia. Baik di era zaman bergerak yang penuh pergulatan ideologi maupun era industri, pers senantiasa berada dalam posisi untuk menunjukkan keberpihakan secara tegas baik atas dasar kesadaran kebangsaan, afiliasi partai politik, represi negara, maupun tekanan pemiliknya. Di era pergantian abad 19 ke 20, ketika sedang terjadi gelombang pasang kelahiran nasionalisme di berbagai belahan dunia, berbagai surat kabar yang sebelumnya bersikap kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda kemudian menjelma menjadi pers perjuangan yang memiliki komitmen partisan untuk lepas dari belenggu penjajahan. i Pada era ini, kita bisa merujuk ke koran Medan Prijaji yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo. Dalam edisi perdana Medan Prijaji, Tirto merumuskan delapan pedoman bahwa surat kabar (pers) harus: memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha dan perdagangan. ii Medan Prijaji menunjukkan secara gamblang ke mana keberpihakan pers serta jurnalis harus diarahkan. Delapan pedoman tersebut tidak hanya menandai pembentukan imajinasi sebagai sebuah bangsa tetapi juga menancapkan tonggak awal bagi jurnalisme politik di tanah air yang mengurat akar sampai pascakemerdekaan.
  • 5. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 5 | 8 Soekarno menyebut pers adalah alat revolusi yang bertugas untuk memobilisasi opini publik. Karena itu wartawan memiliki tugas untuk membangkitkan kesadaran rakyat dalam melawan kekuatan-kekuatan kontrarevolusioner. Bahkan pada tahun 1960-an, pemerintah memerintahkan semua surat kabar untuk berafiliasi secara resmi dengan partai politik, kelompok fungsional, atau organisasi massa. Salah satu contoh yang baik untuk mendeskripsikan pers di era ini bisa kita lihat di Harian Rakjat. Menurut Evi Mariani dalam tulisannya Vox Pers, Vox Partai (2001:39-42), redaktur koran ini seperti tak pernah mendengar kata “objektif” saking kerasnya dalam menggunakan bahasa. Sebagai contoh, modal asing disebut sebagai “gerakan jahat.” Lawan politik disebut sebagai “kaum reaksioner,” dan lain sebagainya. Jurnalisme politik di era ini menempatkan dirinya sebagai senjata yang ofensif dan destruktif. Jurnalis berdiri di antara dua kaki, sebagai jurnalis itu sendiri, dan sebagai aktivis partai politik. Kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto terhadap pemerintahan Soekarno menjadi tikungan penting dalam perkembangan pers dan jurnalisme di Indonesia. Pasca peristiwa Oktober 1965, semua koran kiri dibabat hingga tandas. Sistem politik otoritarian pasca 1965 menyebabkan media tidak lagi mengandalkan partai politik sebagai sumber utama pendanaan. Ini juga berakibat pada media yang semakin independen, dalam arti tidak terikat dengan kepentingan politik partai sebagaimana di era Soekarno. Media harus mencari sumber pendanaan sendiri agar bisa mandiri. Independensi ini yang membawa media pada tahap yang lebih jauh untuk menentukan sikap politiknya sendiri. Arus modal asing mengalir deras dan membawa pers memasuki fase industrialisasi. Di tahap ini, Dhaniel Dhakidae menggunakan enam media sebagai contoh untuk melihat bagaimana akumulasi modal terjadi.iii Pertama, akumulasi modal yang terjadi di Sinar Harapan, Kompas, dan Tempo. Ketiga media ini ditandai dengan karakteristiknya sebagai media berorientasi pasar nasional dan terintegrasi dengan industrialisasi secara umum. Kedua,akumulasi kapital di Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan Pos Kota dengan karakteristiknya yang berorientasi pasar lokal dan integrasi yang rendah terhadap industrialisasi. Fasa industrialisasi Orde Baru adalah pembabatan semua romantika dan retorika revolusioner pers. Media kemudian dituntut untuk menjaga stabilitas ekonomi politik nasional. Doktrin pers
  • 6. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 6 | 8 yang bebas dan bertanggungjawab diperkenalkan dengan bersandar pada Pancasila yang tafsirnya sudah dibatasi oleh rezim. Di era ini, represi negara serta rendahnya jaminan terhadap kebebasan pers memaksa pers untuk melakukan ekspansi dan diversifikasi produk. Regulasi yang ketat melalui SIUPP juga telah membentuk struktur pasar dengan para pemain yang terbatas. Dengan begitu, pelan-pelan tercipta konsentrasi kepemilikan tidak hanya di media cetak tetapi juga televisi swasta yang tumbuh di dekade akhir 1980-an. Independensi dari partai politik sebagaimana yang terjadi sebelumnya kemudian bergeser kepada loyalitas kepada pemilik. Yang patut diperhatikan, terjadi perubahan mendasar dalam diri seorang jurnalis. Industrialisasi yang semakin masif memisahkan skill profesional atau ketrampilan jurnalistik seorang jurnalis dari ideologi politik atau pengetahuan yang dimilikinya. Jatuhnya Soeharto kerap dikatakan sebagai kebangkitan jurnalisme politik di Indonesia. Kondisi ketiadaan sensor membuat media bisa membuat berita sevulgar apapun tanpa ketakutan dibredel. Kebebasan bergerak ini memang dimiliki oleh pers namun yang perlu diperhatikan, industrialisasi pers yang dipupuk dan dibesarkan selama Orde Baru – untuk penjelasan ini kita patut berterima kasih kepada David T. Hill dengan bukunya Pers di Era Orde Baru (1994) – berperan membuat pasar menjadi stagnan. Bisnis media bergerak dalam persaingan pasar yang semu. Konsentrasi kepemilikan media berada pada kelompok kepentingan lama di era Orde Baru. Jurnalisme politik hadir dengan wajah yang sama sekali lain bila dibandingkan dengan yang pernah ada dulu. Jurnalis bekerja dalam kondisi di mana berita-berita dijadikan pemilik media sebagai alat untuk meraih keuntungan. Dalam kondisi tersebut, wartawan tidak memiliki banyak wewenang dalam memutuskan kebijakan media. Sifatnya yang profesional membuat posisinya rentan dan tidak memiliki daya tawar yang kuat dalam hubungan produksi. Hasilnya, jurnalis teralienasi dari produk jurnalistik yang mereka hasilkan. ***
  • 7. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 7 | 8 Pemilihan umum 2014 menjadi ilustrasi yang tepat untuk melihat gaya jurnalisme politik semacam apa yang tumbuh pasca-Orde Baru. Nada berita segendang-sepenarian dengan pendulum politik pemilik media. Dari momen-momen kritis transisi kekuasaan kemarin juga sekaligus mengonfirmasi bahwa tidak ada media yang tidak partisan. Istilah partisan di sini memang tidak bisa disamakan dengan gaya partisan sebagaimana di dekade 1950-an atau sebelumnya. Ada gradasi yang tegas baik dari bentuk keberpihakan maupun produk jurnalistik yang dihasilkan. Ini bisa dilihat dari media-media yang secara terbuka maupun malu-malu menunjukkan dukungan politik. Dengan kondisi semacam itu, menuntut media untuk bersikap netral dan objektif bisa jadi akan terasa naïf. Ia mengandaikan bahwa pers hanya sebagai medium yang menghantarkan pesan atau informasi. Padahal, media adalah aktor politik di mana di dalamnya juga terdapat berbagai kepentingan politik yang saling bertarung. Dalam kondisi seperti itu, pembaca memiliki posisi yang kuat untuk menafsir pesan-pesan yang setiap hari dipenuhi oleh berita media dan sesak dengan propaganda kepentingan baik yang berada dalam level ideologi (nilai, kepercayaan, logika, pilihan politik) maupun berada pada wilayah praktis ( fashion, gadget). Kajian-kajian baru tentang khalayak aktif (active audiens) menunjukkan bahwa pembaca tidak hanya menerima pesan media secara pasif dan menelannya mentah-mentah. Ia justru ikut secara aktif berinteraksi, menafsir, memilah, memilih, sampai meyakini informasi yang ada. Kesadaran kritis ini yang dibutuhkan dalam rimba raya informasi yang semakin hari semakin penuh kedangkalan. Ihwal khalayak aktif ini sebenarnya sedikit paradoks jika kita berkaca pada pemilu umum 2014 yang lalu. Pembelahan opini yang terjadi secara masif membuat mereka yang berdiri di masing- masing posisi politik lebih mempercayai media yang kebetulan mendukung pasangan yang juga mereka dukung. Tidak peduli apakah sebuah berita diproduksi media itu benar atau tidak. Kondisi taklid buta ini bisa kita rujuk salah satunya dari Brendan Nyhan dan Jason Reifler dalam penelitiannya Misinformation and Fact-checking: Research Findings From Social Science (2012). Kedua peneliti tersebut mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada informasi yang bertentangan, seorang individu cenderung mencari cara untuk menolaknya sebagai sebuah
  • 8. PINDAI.ORG – Suara Pers, Suara Siapa? / 7 Januari 2015 H a l a m a n 8 | 8 kebenaran. Nalar psikologis seseorang nyaris selalu mencari informasi yang mengonfirmasi pandangan personal. Penolakan terhadap informasi tersebut semakin kuat melanda orang-orang yang diikat dalam institusi kolektif seperti partai politik. Tafsir atas pesan media diatur oleh emosi, bukan argumentasi rasional. Ketika tafsir diatur oleh emosi secara otomatis akan memunculkan apa yang disebut sebagai noise. Noise merupakan hambatan yang membuat sebuah pesan dari komunikator (pengirim pesan/media) tidak akan sampai secara utuh ke komunikan (penerima pesan/pembaca). Ini yang menjelaskan kenapa “bisnis kebencian” yang dijalankan oleh situs- situs sensasional yang berlindung di balik nama kebebasan pers itu bisa laku dan layak dibaca. Sebagai penutup, berteriak-teriak menuntut media netral dan nonpartisan ibarat berteriak di tengah gurun pasir. Tidak terdengar jelas, dan lamat-lamat akan menghilang. Di titik ini, konglomerasi media serta afiliasi politik media terhadap kekuatan politik tertentu bisa digunakan sebagai alat untuk membantu kita mengukur ke mana bias berita-berita diarahkan. Dengan begitu, kita bisa secara kritis membaca arus informasi dari berbagai media yang ada tanpa terombang-ambing arus informasi dan agenda media. Bahkan kalau perlu, membuat satu media alternatif yang lebih bisa memperjuangkan ideologi yang diyakini. i Hill, David dan Krishna Sen.2000.Media, Budaya dan Politik di Indonesia. ISAI:Jakarta halaman 61 ii Toer, Pramoedya Ananta.1985.Sang Pemula.Hasta Mitra:Jakarta halaman 46 iii Dhakidae, Dhaniel.1991.The State, TheRise of Capital, and The Fall of Political Journalism: PoliticalEconomy of Indonesian News Industry. Tidak diterbitkan