Di era internet kemampuan literasi digital memang penting, tapi lebih penting lagi upaya menanamkan akhlak terlebih dahulu pada anak-anak kita. Mulai dari akhlak yang baik, kemampuan teknis literasi digital mumpuni, maka hasil perilaku pencarian informasi akan berdampak positif.
1. 1
Tanamkan Akhlak Sebelum Literasi Digital
Oleh: Murad Maulana*
Dalam dua bulan terakhir ini1
, saya mengamati perilaku warganet mulai di blog, media
sosial seperti Facebook, Youtube, hingga media daring seperti Merdeka, Kompas dan Detik. Fokus
saya adalah pada pembuat konten, komentator dan yang rajin membagikan konten tersebut. Sering
kali saya memantau setiap warganet tersebut secara berkala.
Untuk pembuat konten bisa seorang bloger (baik anonim maupun terbuka) dan Youtuber,
personal yang update status di Facebook, dan juga komentator baik di forum maupun berita-berita
di media daring seperti yang saya sebutkan diatas. Mereka yang saya amati setiap hari ini, tentu
tidak bisa saya sebutkan satu-persatu di blog ini.
Saya penasaran, karena fokus kajian saya adalah perilaku informasi dan literasi digital,
maka yang ada dalam benak pikiran saya adalah pertama, untuk oknum pembuat konten di blog
dan Youtube serta pembuat berita (sengaja saya pakai istilah oknum), mengapa mereka membuat
konten tanpa memperhitungkan sisi manfaatnya dan seringkali membuat judul yang heboh, tanpa
menghiraukan efek negatif yang akan terjadi. Saya berasumsi hal tersebut dilakukan hanya untuk
mengejar sensasi dan kata kunci sehingga diharapkan akan ada banyak pengunjung. Apa motifnya?
Tentunya kembali lagi persoalan ekonomi, yakni uang.
Kedua, dari konten-konten yang hanya mengejar sensasi itu, maka efeknya adalah bagi
mereka para pengunjung selaku komentator yang tidak bisa menahan perasaan, maka yang terjadi
adalah membuat komentar-komentar yang tidak terkontrol. Lepas kendali. Ini tentu sangat
disayangkan. Walaupun saya mengamati dari beberapa personal ada yang berkomentar secara
sopan dan halus. Tetapi, faktanya adalah kebanyakan dari mereka berkomentar negatif, kadang-
kadang bahasa yang digunakan begitu kasar.
Ketiga, Selain dari pembuat konten, komentator, dan yang satu lagi adalah mereka oknum
warganet yang gemar membagikan informasi berupa tulisan atau video yang sekali lagi tanpa
berpikir panjang bahwa konten yang di bagikannya itu akan bisa berakibat negatif. Saya melihat
disini tidak lagi menghiraukan, apakah konten tersebut merupakan hoax, fitnah dan sejenisnya.
1
Tulisan ini dipublikasikan di blog www.muradmaulana.com pada tanggal 31 Oktober 2017
2. 2
Nah, dari permasalahan yang muncul dipermukaan tersebut, maka saya berpikir, satu hal
yang harus menjadi pondasi atau perhatian baik dalam kehidupan nyata bahkan hingga dalam era
digital ini adalah akhlak atau budi pekerti. Akhlak disini menyangkut bagaimana seseorang harus
perilaku terpuji untuk semua orang tanpa memandang ras, suku dan agama apapun.
Tanamkan Akhlak Sebelum Literasi Digital
Dahulu ketika saya kecil, akhlak terpuji ini menjadi perbuatan yang harus dipraktikan
misalnya bagaimana berjalan melintas didepan orang tua harus membungkukan badan, berbicara
dengan orang tua harus menjaga tata krama, tidak boleh berbohong harus jujur, dan lain sebagainya
yang kesemuanya bermuara pada perbuatan atau tindakan terpuji kepada orang lain. Sekarang, era
digital ini tentu telah muncul struktur tatanan baru dimana proses komunikasi telah berubah. Pada
akhirnya cara berperilakupun tentu berubah.
Jika anak-anak yang lahir sekarang ini tidak ditanamkan akhlak sejak dini, maka yang
terjadi adalah dehumanisasi, mulai lunturnya nilai-nilai luhur yang mencerminkan perbuatan
terpuji. Saya kira, jika dimaknai secara luas terjadinya korupsi diberbagai lini adalah karena akhlak
yang hanya dijadikan retorika belaka, bukan di praktikan. Bahkan, kasus bullying terjadi adalah
karena krisis akhlak.
Oknum pembuat konten, komentator dan juga oknum yang membagikan informasi tanpa
berpikir panjang apakah informasi tersebut benar atau tidak adalah dikarenakan akhlak yang belum
tertanam dengan baik. Pada dasarnya ada juga mereka yang sudah tahu bahwa perbuatannya itu
salah, akan tetapi tetap dilanggarnya dengan berbagai macam dalih. Oleh karena itu, disinilah letak
pentingya akhlak yang dipraktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Saya mengamati, biasanya mereka yang membuat konten pandai bermain psikologis
pembaca atau penonton yang bisa saja membuat pembaca/penonton berkomentar negatif akibat
kurang bisa menahan emosi yang sudah sampai ubun-ubun. Oleh sebab itu, sekali lagi saya katakan
disinilah pentingnya akhlak agar tingkah laku yang baik dan tidak baik dapat terkontrol.
Setelah mempraktikan akhlak, di era digital ini, keterampilan apa lagi yang kira-kira perlu
dikuasai? Literasi digital. Ya, literasi digital. Apa itu literasi digital? Silakan baca tulisan saya
terdahulu tentang Definisi, Manfaat dan Elemen Penting Literasi Digital.
Mengapa saya menganjurkan tanamkan akhlak sebelum literasi digital? Berikut gambar
kerangka yang saya buat:
Murad Maulana (2017)
3. 3
Era digital, dimana internet sebagai tumpuan lingkungan sosial yang begitu besar tanpa ada
pembatas apapun. Jika diibaratkan internet itu bagaikan hutan belantara yang apabila orang masuk
ke dalamnya tanpa membawa kompas, maka yang terjadi adalah tersesat. Kompas diibaratkan
sebagai agama, pegangan untuk selalu menuju ke arah jalan yang benar. Sementara agama akan
selalu mengajarkan kebaikan, perbuatan terpuji.
Menyoal akhlak pada dasarnya memang akan terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang
memang tahu dan kedua, mereka yang memang benar-benar tidak tahu. Permasalahannya adalah
bagi mereka yang tahu, tentunya akan terbagi lagi menjadi dua, yakni mereka yang mempraktikan
dan mereka yang hanya sekedar retorika belaka. Akhlak yang hanya sebagai retorika, maka yang
terjadi adalah mereka para oknum akan membuat konten dan komentar negatif, mereka akan
membagikan informasi tanpa memverifikasi terlebih dahulu.
Berbeda dengan mereka yang sudah tertanam dengan baik akhlaknya dan dipraktikan
dalam kehidupan sehari-hari, maka ketika ia membuat konten akan selalu mawas diri. Ketika
berkomentar akan selalu berhati-hati, dan ketika akan membagikan informasi, akan selalu melihat
baik dan buruknya. Pendek kata, semua dapat terkontrol dengan baik.
Pada tahap ini, maka keterampilan literasi digital dalam proses pencarian informasi
tentunya sangat diperlukan. Keterampilan teknis misalnya seperti bagaimana cara membuat konten
yang baik dan tidak melanggar UU ITE, bagaimana memverifikasi kebenaran informasi,
mengetahui fungsi-fungsi utama media sosial, memahami pemanfaatan mesin pencari dengan
kombinasi syntax yang digunakan, mengetahui sumber-sumber informasi ilmiah, mahir
memanfaatkan aplikasi di internet dan semuanya terkait kemampuan teknis di era digital.
Pada gilirannya, pondasi dasar akhlak yang dipraktikkan, kemampuan literasi digital yang
dapat dikuasai sehingga dalam proses pencarian tidak ada kendala, maka hasil yang positif sesuai
harapan akan tercapai.
Jika dirumuskan adalah akhlak sebagai pondasi dasarnya, kemampuan literasi digital yang
mumpuni sebagai kemampuan teknisnya, perilaku pencarian informasi sebagai proses pembuktian
kebenaran dan hasil yang positif sebagai hasil akhir dalam lingkungan sosial yang begitu besar
dijagat maya tanpa batas ini atau dengan apa yang kita sebut internet.
Kerangka diatas, tentu saja merujuk pada kasus yang terjadi dengan apa yang saya amati
selama dua bulan terakhir ini. Menurut hemat saya, ini bisa menjadi kerangka penelitian khususnya
pada warganet yang telah saya sebutkan diawal tadi, yakni pembuat konten, komentator, dan yang
membagikan informasi. Idealnya, bagi mereka yang sudah mantap dengan praktik akhlak dan
kemampuan literasi digitalnya, saya yakin yang terjadi adalah hasil yang positif. Pertanyaan
selanjutnya adalah siapa yang berperan dalam penanaman akhlak sejak dini? Saya kira jawabannya
sudah tahu. Bagamana menurut teman-teman?
*Pustakawan