SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
Sejarah Perang Padri (1821-1837) – Sahabat Pustakers, pada kesempatan kali ini Pustaka 
Sekolah akan share informasi mengenai Sejarah Perang Padri (1821-1837). Istilah Padri 
berasal dari kata Padre yang berarti Ulama. Pada mulanya perang Padri merupakan Perang 
Saudara antara para Ulama berhadapan denegan Kaum Adat. Setelah Belanda ikut campur 
yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang Kolonial. 
Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat itu dapat dikemukankan sebab-sebabnya 
sebagai berikut : 
 Kaum Adat adalah kelompok masyarakat yang walaupun telah memeluk agama islam 
namun masih teguh memegang adat dan kebiasaankebiasaan lama yang bertentangan 
dengan ajaran Islam. 
 Kaum Padri adalah kelompok masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah 
menunaikan ibadah haji di Mekkah serta membawa pandangan baru. Terpengaruh 
oleh gerakan Wahabi mereka berusaha hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan 
Hadist, berusaha melakukan pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat 
yang menyimpang dari ajaran tersebut. Beberapa tokoh kaum Padri adalah Haji 
Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Tokoh lainnya adalah Malin Basa ( terkenal 
dengan nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan, tuanku Nan Renceh dan Datok 
Bandaharo. 
Dengan perbedaan yang cukup mendasar tersebut terjadilah perebutan pengaruh antara kaum 
adat dan kaum Padri di tengah-tengah masyarakat. Pernah diadakan pertemuan untuk 
mengakhiri perbedaan tadi di Koto Tengah namun tidak berhasil dan bahkan memicu 
pertikaian. Untuk menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada 
Belanda pada tahun 1821 yang dapat Anda perlajari pada uraiannya berikut ini.
Jalannya Perang Padri 
 Tahun 1821-1825. Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum 
Padri melawan Belanda dan kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak. Belanda 
mengirimkan tertaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil 
menduduki Batusangkar dekat Pagaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama 
Fort Van der Capellen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian 
antara Belanda dengan kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling 
menyerang. 
 Tahun 1825-1830. Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang 
Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian di atas sangat menguntungkan Belanda. 
Untuk menghadapi Kaum Padri, Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock ( 
nama panglima Belanda) di Bukittinggi. 
 Tahun 1831-1837. Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat 
memadamkan Perang Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah 
mendatangkan pasukan dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor 
Michaels dengan tugas pokok menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan 
dekat Tiku. Selain itu Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas 
panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian 
berpihak kepada kaum Padri. 
Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Pada 
tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan 
Plakat Panjang yang isinya sebagai berikut: 
 Belanda ingin menghentikan perang; 
 Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau; 
 Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran. 
 Masalah kopi, lada dan garam akan ditertibkan. 
Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi 
serangan sasaran utama serangan Belanda adalah benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada 
tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian 
ditangkap. Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864 
dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai yang dapat dikalahkan 
Belanda tahun 1838. 
perang Padri - Sobat Terlambat pernah dengar perang padri tahun 1803 di 
Sumatera barat? Mungkin akan banyak yang belum tahu atau lupa. Akan tetapi 
untuk sobat yang sedang sekolah mungkin akan menemui pelajaran ini pada kelas 1
Sma / SMK. Berikut ini terlambat.info share artikel mengenai sebab atau latar 
belakang terjadinya perang padri yang terlambat dapatkan dari Wikipedia. 
Ilustrasi Gambar Perang Padri 
Pengertian / apa itu perang padri 1803 1838 
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan 
sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. 
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam 
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. 
Latar Belakang Perang Padri 
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar 
tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin 
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat 
Minangkabau.Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut 
mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di 
Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. 
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang 
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk 
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan 
Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, 
puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman 
menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. 
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan 
melarikan diri dari ibu kota kerajaan. 
Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, 
menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang 
sudah terbakar.
Perang Padri 
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 
Langsung ke: navigasi, cari 
Perang Padri 
Perang Padri 
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya 
terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini 
merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama 
sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. 
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki 
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan 
masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. 
Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, 
minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, 
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya 
kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan 
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada 
tahun 1803. 
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan 
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau 
Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu 
Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada 
Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, 
sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama 
Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. 
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras 
harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan 
Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan 
memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. 
Latar belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 
1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat 
Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal 
tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang 
Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau 
Nan Salapan.[4] 
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan 
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa 
kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak 
ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam 
Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah 
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di 
Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan 
melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi 
Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana 
Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6] 
Keterlibatan Belanda 
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak 
pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan 
kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam 
Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan 
Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda 
penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat 
Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8] 
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan 
Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan 
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du 
Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin 
oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai 
tersebut. 
Fort van der Capellen 
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff 
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, 
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 
1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan 
Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam 
pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 
5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke 
Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku 
Nan Renceh. 
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang 
Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 
April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang 
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan 
Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir 
Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff 
sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah 
sebelumnya mengalami demam tinggi.[12] 
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans 
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo 
dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun 
karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di 
Padang.[13] 
Genjatan senjata 
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan 
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang 
mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol 
untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[2] 
Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana 
dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. 
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan 
juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi 
yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah 
Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi 
Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan 
agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14] 
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers pada 
tahun 1820. 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tuanku Imam Bonjol 
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin 
dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di 
Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan 
Renceh meninggal dunia.[16] 
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang 
dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam 
memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan 
cinta tanah air.[5] 
Peperangan jilid kedua 
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah 
Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari 
oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan 
pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi 
merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih 
kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat 
Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai 
timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11] 
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah 
dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu 
kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat 
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort 
de Kock. 
Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar 
berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan 
dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan 
berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan 
kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran 
Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai 
perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang 
ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi 
Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum 
Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot 
juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun 
juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di 
tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati 
sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali 
menjadi tentara Belanda. 
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper. 
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah 
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian 
peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo 
Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku 
Lintau.[17] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, 
namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah 
jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari 
kawasan luhak dan bertahan di Bonjol. 
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang 
masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun 
kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, 
kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang 
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air 
Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani 
peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas 
kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh 
tentara Belanda.[19]
Perlawanan bersama 
Kaum Adat 
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Di ujung 
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan 
masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803– 
1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan 
Batak. 
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang 
secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang 
tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang 
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan 
Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. 
Kemudian Belanda mengasingkannya ke Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan 
Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos 
Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak 
laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada 
Tuan Gadang di Batipuh.[7] 
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara 
keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 
mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa 
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, 
mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan 
tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. 
Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka 
sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan 
mesti menjualnya kepada Belanda. 
Serangan ke Bonjol
Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, didedikasikan oleh G. Kepper. Raaff meninggal dunia sebelum 
berakhirnya Perang Padri, 
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh G. Kepper. 
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda 
Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari 
dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di 
Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor 
Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat 
komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang 
baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan 
penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang 
pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan 
Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta 
tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833. 
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak 
laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua 
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. 
Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan 
badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia- 
Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa 
penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan 
selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang 
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk 
memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda 
juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan 
kubu pertahanannya. 
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan 
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 
tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah 
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur 
dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan 
terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna 
membuka jalur baru menuju Bonjol. 
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang 
Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu 
jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di 
Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. 
Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di 
kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri 
terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini 
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu 
pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23] 
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan 
waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan 
dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh 
Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah 
ini.[24] 
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah 
timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan 
Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya. 
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada 
tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. 
Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda 
menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan 
meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, 
pasukan Belanda banyak menjadi korban. 
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang 
yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan 
kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu 
Benteng Bonjol di Bukit Tajadi. 
Benteng Bonjol
Lukisan Bonjol pada tahun 1839. 
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama 
Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah 
sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng 
ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis 
setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan 
lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir 
sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang 
ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam 
kepada pasukan Belanda.[25] 
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu 
pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah 
yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang 
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26] 
Pengepungan Bonjol 
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper. 
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap 
Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. 
Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan 
pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri 
secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari 
daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di 
Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar 
Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah 
bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 
1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada 
di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam 
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit 
Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai 
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu 
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda 
yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera 
kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol. 
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo 
Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian 
pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda 
menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh 
Mayor Prager. 
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat 
keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga 
pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan 
menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi 
perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas 
pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi. 
Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol. 
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda 
kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir 
untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, 
sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga 
Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri 
kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa 
kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing 
pihak. 
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia- 
Belanda di Jakarta yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, 
kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama 
Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng 
Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang 
memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel. 
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar 
enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. 
Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis 
dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 
tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen 
(pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan 
Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor 
Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu 
Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein 
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro 
Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya. 
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari 
Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang 
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan 
infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh 
Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit 
menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, 
dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. 
Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan 
didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak. 
Perundingan 
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan 
konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena 
telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit 
saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. 
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang 
untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya 
melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. 
Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol 
diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu 
cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan 
Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke 
Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada 
tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali 
dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol 
kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan 
selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol 
menghembuskan nafas terakhirnya.[26] 
Akhir peperangan 
Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda 
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam 
Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya 
benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh
Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng tersebut memaksa 
Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di 
Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan 
Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse 
Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda. 
Warisan sejarah 
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing 
pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda 
membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak 
tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan 
dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[31] Begitu juga selepas kemerdekaan 
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan 
dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol. 
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia 
kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan 
Nasional. 
1. .

More Related Content

What's hot

perang bali
perang baliperang bali
perang baliDEDI3060
 
Perlawanan rakyat kaum paderi
Perlawanan rakyat kaum paderiPerlawanan rakyat kaum paderi
Perlawanan rakyat kaum paderiJoshua Raphael
 
Perang diponegoro
Perang diponegoroPerang diponegoro
Perang diponegoroHyuga Hm
 
Maluku angkat senjata (kelompok 2)
Maluku angkat senjata (kelompok 2)Maluku angkat senjata (kelompok 2)
Maluku angkat senjata (kelompok 2)Ulva Susanti
 
PPT Perlawanan Rakyat Terhadap Penjajah
PPT Perlawanan Rakyat Terhadap PenjajahPPT Perlawanan Rakyat Terhadap Penjajah
PPT Perlawanan Rakyat Terhadap PenjajahDewi_Sejarah
 
Perang diponegoro xi s 3
Perang diponegoro   xi s 3Perang diponegoro   xi s 3
Perang diponegoro xi s 3Famous3_
 
Perang tondano lengkap banget
Perang tondano lengkap bangetPerang tondano lengkap banget
Perang tondano lengkap bangetttanitaaprilia
 
Ppt Perang tondano dan pattimura
Ppt Perang tondano dan pattimuraPpt Perang tondano dan pattimura
Ppt Perang tondano dan pattimuraDoris Agusnita
 
Tabel singkat Perlawanan terhadap Imperialisme
Tabel singkat Perlawanan terhadap ImperialismeTabel singkat Perlawanan terhadap Imperialisme
Tabel singkat Perlawanan terhadap ImperialismeDwiqie Redza Ghanya
 
Jalur pelayaran belanda
Jalur pelayaran belandaJalur pelayaran belanda
Jalur pelayaran belandanurainiai
 
Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4
Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4
Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4SiscaDyta
 

What's hot (20)

Perang padri xi iis 1
Perang padri xi iis 1Perang padri xi iis 1
Perang padri xi iis 1
 
perang bali
perang baliperang bali
perang bali
 
Perang paderi
Perang paderiPerang paderi
Perang paderi
 
Perlawanan rakyat kaum paderi
Perlawanan rakyat kaum paderiPerlawanan rakyat kaum paderi
Perlawanan rakyat kaum paderi
 
Perang diponegoro
Perang diponegoroPerang diponegoro
Perang diponegoro
 
Perang diponegoro (kelompok 9)
Perang diponegoro (kelompok 9)Perang diponegoro (kelompok 9)
Perang diponegoro (kelompok 9)
 
16. perang banjar tahun 1859 1863
16. perang banjar tahun 1859 186316. perang banjar tahun 1859 1863
16. perang banjar tahun 1859 1863
 
Perang paderi
Perang paderi Perang paderi
Perang paderi
 
PERANG PATTIMURA
PERANG PATTIMURAPERANG PATTIMURA
PERANG PATTIMURA
 
Perang banjar
Perang banjarPerang banjar
Perang banjar
 
Maluku angkat senjata (kelompok 2)
Maluku angkat senjata (kelompok 2)Maluku angkat senjata (kelompok 2)
Maluku angkat senjata (kelompok 2)
 
PPT Perlawanan Rakyat Terhadap Penjajah
PPT Perlawanan Rakyat Terhadap PenjajahPPT Perlawanan Rakyat Terhadap Penjajah
PPT Perlawanan Rakyat Terhadap Penjajah
 
Perang diponegoro xi s 3
Perang diponegoro   xi s 3Perang diponegoro   xi s 3
Perang diponegoro xi s 3
 
Perang tondano lengkap banget
Perang tondano lengkap bangetPerang tondano lengkap banget
Perang tondano lengkap banget
 
Perlawanan Diponegoro
Perlawanan DiponegoroPerlawanan Diponegoro
Perlawanan Diponegoro
 
Ppt Perang tondano dan pattimura
Ppt Perang tondano dan pattimuraPpt Perang tondano dan pattimura
Ppt Perang tondano dan pattimura
 
Perlawanan maluku
Perlawanan malukuPerlawanan maluku
Perlawanan maluku
 
Tabel singkat Perlawanan terhadap Imperialisme
Tabel singkat Perlawanan terhadap ImperialismeTabel singkat Perlawanan terhadap Imperialisme
Tabel singkat Perlawanan terhadap Imperialisme
 
Jalur pelayaran belanda
Jalur pelayaran belandaJalur pelayaran belanda
Jalur pelayaran belanda
 
Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4
Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4
Perang Pattimura - Sisca Dyta XI MIPA 4 4
 

Similar to Sejarah perang padri

Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908
Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908
Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908YABES HULU
 
Tuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYAN
Tuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYANTuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYAN
Tuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYANBimaaaaa Mahendraaa
 
perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...
perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...
perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...MeinaLegista
 
Perjuangan bangsa indonesia melawan penjajah
Perjuangan bangsa indonesia melawan penjajahPerjuangan bangsa indonesia melawan penjajah
Perjuangan bangsa indonesia melawan penjajahRohman Efendi
 
Bab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptx
Bab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptxBab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptx
Bab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptxEdukasiSejarah
 
Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...
Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...
Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...Dikki Wahyu Afandi E.D
 
Pancasila makalah II
Pancasila makalah IIPancasila makalah II
Pancasila makalah IIPuRwa Kaning
 
PERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptx
PERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptxPERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptx
PERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptxDypthaHexanova
 
Dampak_Penjajahan_Eropa.pptx
Dampak_Penjajahan_Eropa.pptxDampak_Penjajahan_Eropa.pptx
Dampak_Penjajahan_Eropa.pptxpancaparhusip1
 
Perang banjar new
Perang banjar   newPerang banjar   new
Perang banjar newFachroel07
 

Similar to Sejarah perang padri (20)

Perang
PerangPerang
Perang
 
Kelompok 5.pdf
Kelompok 5.pdfKelompok 5.pdf
Kelompok 5.pdf
 
Perang Padri
Perang PadriPerang Padri
Perang Padri
 
Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908
Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908
Penggalian nilai nilai pancasila di masa sebelum 1908
 
Tuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYAN
Tuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYANTuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYAN
Tuanku imam bonjol_SMAN 1 KEJAYAN
 
Sejarah padri aceh
Sejarah padri acehSejarah padri aceh
Sejarah padri aceh
 
perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...
perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...
perlawananrakyatindonesiaterhadapkolonialbelanda-131224060633-phpapp02 (1) (1...
 
13. perang padri tahun 1821 1837
13. perang padri tahun 1821 183713. perang padri tahun 1821 1837
13. perang padri tahun 1821 1837
 
Padri aceh new
Padri aceh newPadri aceh new
Padri aceh new
 
Perlawanan terhadap kolonial belanda
Perlawanan terhadap kolonial belandaPerlawanan terhadap kolonial belanda
Perlawanan terhadap kolonial belanda
 
Kelompok 3.pptx
Kelompok 3.pptxKelompok 3.pptx
Kelompok 3.pptx
 
PERANG PADRI.pdf
PERANG PADRI.pdfPERANG PADRI.pdf
PERANG PADRI.pdf
 
Pangeran diponegoro
Pangeran diponegoroPangeran diponegoro
Pangeran diponegoro
 
Perjuangan bangsa indonesia melawan penjajah
Perjuangan bangsa indonesia melawan penjajahPerjuangan bangsa indonesia melawan penjajah
Perjuangan bangsa indonesia melawan penjajah
 
Bab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptx
Bab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptxBab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptx
Bab 2 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa Eropa.pptx
 
Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...
Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...
Pertentangan Raja Melawan Penguasa Pesisir, Konfrontasi Mataram Melawan voc, ...
 
Pancasila makalah II
Pancasila makalah IIPancasila makalah II
Pancasila makalah II
 
PERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptx
PERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptxPERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptx
PERANG_PADRI_DAN_PERANG_DIPONEGORO_pptx.pptx
 
Dampak_Penjajahan_Eropa.pptx
Dampak_Penjajahan_Eropa.pptxDampak_Penjajahan_Eropa.pptx
Dampak_Penjajahan_Eropa.pptx
 
Perang banjar new
Perang banjar   newPerang banjar   new
Perang banjar new
 

Sejarah perang padri

  • 1. Sejarah Perang Padri (1821-1837) – Sahabat Pustakers, pada kesempatan kali ini Pustaka Sekolah akan share informasi mengenai Sejarah Perang Padri (1821-1837). Istilah Padri berasal dari kata Padre yang berarti Ulama. Pada mulanya perang Padri merupakan Perang Saudara antara para Ulama berhadapan denegan Kaum Adat. Setelah Belanda ikut campur yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang Kolonial. Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat itu dapat dikemukankan sebab-sebabnya sebagai berikut :  Kaum Adat adalah kelompok masyarakat yang walaupun telah memeluk agama islam namun masih teguh memegang adat dan kebiasaankebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.  Kaum Padri adalah kelompok masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah serta membawa pandangan baru. Terpengaruh oleh gerakan Wahabi mereka berusaha hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan Hadist, berusaha melakukan pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang dari ajaran tersebut. Beberapa tokoh kaum Padri adalah Haji Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Tokoh lainnya adalah Malin Basa ( terkenal dengan nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan, tuanku Nan Renceh dan Datok Bandaharo. Dengan perbedaan yang cukup mendasar tersebut terjadilah perebutan pengaruh antara kaum adat dan kaum Padri di tengah-tengah masyarakat. Pernah diadakan pertemuan untuk mengakhiri perbedaan tadi di Koto Tengah namun tidak berhasil dan bahkan memicu pertikaian. Untuk menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang dapat Anda perlajari pada uraiannya berikut ini.
  • 2. Jalannya Perang Padri  Tahun 1821-1825. Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum Padri melawan Belanda dan kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak. Belanda mengirimkan tertaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil menduduki Batusangkar dekat Pagaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama Fort Van der Capellen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian antara Belanda dengan kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling menyerang.  Tahun 1825-1830. Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian di atas sangat menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi Kaum Padri, Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock ( nama panglima Belanda) di Bukittinggi.  Tahun 1831-1837. Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat memadamkan Perang Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah mendatangkan pasukan dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan dekat Tiku. Selain itu Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian berpihak kepada kaum Padri. Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Pada tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat Panjang yang isinya sebagai berikut:  Belanda ingin menghentikan perang;  Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau;  Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran.  Masalah kopi, lada dan garam akan ditertibkan. Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi serangan sasaran utama serangan Belanda adalah benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian ditangkap. Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864 dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai yang dapat dikalahkan Belanda tahun 1838. perang Padri - Sobat Terlambat pernah dengar perang padri tahun 1803 di Sumatera barat? Mungkin akan banyak yang belum tahu atau lupa. Akan tetapi untuk sobat yang sedang sekolah mungkin akan menemui pelajaran ini pada kelas 1
  • 3. Sma / SMK. Berikut ini terlambat.info share artikel mengenai sebab atau latar belakang terjadinya perang padri yang terlambat dapatkan dari Wikipedia. Ilustrasi Gambar Perang Padri Pengertian / apa itu perang padri 1803 1838 Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Latar Belakang Perang Padri Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
  • 4. Perang Padri Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Perang Padri Perang Padri Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803. Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. Latar belakang
  • 5. Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[4] Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6] Keterlibatan Belanda Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8] Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut. Fort van der Capellen Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
  • 6. membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12] Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13] Genjatan senjata Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[2] Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14] Tuanku Imam Bonjol
  • 7. Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers pada tahun 1820. Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[16] Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5] Peperangan jilid kedua Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11] Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock. Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
  • 8. Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda. Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper. Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol. Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[19]
  • 9. Perlawanan bersama Kaum Adat Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803– 1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak. Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7] Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda. Serangan ke Bonjol
  • 10. Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, didedikasikan oleh G. Kepper. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri, Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh G. Kepper. Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833. Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia- Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
  • 11. Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol. Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23] Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[24] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya. Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi. Benteng Bonjol
  • 12. Lukisan Bonjol pada tahun 1839. Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[25] Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26] Pengepungan Bonjol Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper. Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
  • 13. Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol. Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager. Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi. Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
  • 14. Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol. Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak. Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia- Belanda di Jakarta yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel. Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya. Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
  • 15. Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak. Perundingan Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.[26] Akhir peperangan Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh
  • 16. Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda. Warisan sejarah Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[31] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional. 1. .