SlideShare a Scribd company logo
1 of 119
Download to read offline
1
Kiki Alhadiida
KOMA
Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Administrasi
[Prinsip Dasar Berorganisasi]
PENGANTAR
1. Berorganisasi juga perlu “Ilmu” {3-6}
2. Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Adminstrasi [KOMA] {7}
KEPEMIMPINAN
1. Kepemimpinan Rasulullah SAW {8-10}
2. Kepemimpinan, Pemimpin, dan Pimpinan {11-12}
3. Memanajemen Pikiran {13-15}
4. Pemimpin dan Pemikir {16-17}
5. Pemimpin KIR = PemiKIR ?! {18-21}
6. Pemimpin ⇌ Pengikut {22-25}
7. Sikap Pimpinan ditinjau dari filosofi: 2 tangan, 1 mulut, dan 2 telinga {26-27}
8. Otoritas dan Otoriter {28}
9. Lokomotif dan Gerbong {29-31}
10. BOS = “Bukan Orang Sembarangan ?” {32}
11. Sistem Kepemimpinan Dalang-Wayang {33-34}
12. Berbagai Tipe Pengurus Organisasi {35-36}
13. 4 Tipe Pengikut (Anggota Organisasi) {37-38}
14. Kepepet Makes Power {39}
15. Pemimpin, menyelami kenikmatan atau menikmati penderitaan? {40-41}
16. Berbuat ”lebih” dari yang Seharusnya {42-44}
2
ORGANISASI
1. Organisasi dalam Eksistensi dan Strukturisasi {45-46}
2. Tiga Fungsi Dasar (Utama) Organisasi {47-48}
3. Heterogenisasi yang Tak Dapat Dihindari {49-50}
4. Kaderisasi dan Regenerasi dalam Organisasi {51-53}
5. SDM: Sumber Daya Manusia atau Selamatkan Diri Masing-masing? {54-55}
6. Tua Berpengalaman dan Muda Berilmu {56-59}
7. Antara keMAUan dan keMAMPUan {60-62}
8. Karyawan vs Pegawai {63-65}
9. Serikat Buruh dan Serikat Pekerja dalam konteks Strukturisasi Manajerial {66-69}
10. Buruh - Majikan atau Pekerja – Pengusaha {70-73}
MANAJEMEN
1. Tim {74-76}
2. Project Officer, Consultant, dan Master Plan {77-78}
3. TEKNIK dan MANAJEMEN, dua kata yang sering jadi ”kambing hitam” {79-81}
4. Ketika Manusia Pekerja dituntut menjadi Manusia Pembelajar {82-83}
5. Lingkar dan Lingkaran dalam Organisasi {84-85}
6. Prosedur vs Kebijakan {86-87}
7. Program dan Target {88}
8. Terencana dan Spontan {89}
9. Manajemen “dagelan” & Manajemen “kadal” {90-91}
10. 3X1 = 1X3 ? {92}
11. Peran ”Manajer” ala Juragan Angkot {93-95}
12. Memanajemen Organisasi versi Mengelola Klub Sepak Bola {96-99}
13. Manajemen ala “bandar judi” {100-103}
ADMINISTRASI
1. Sedikit tentang ADMINISTRASI dan MANAJEMEN {104-106}
2. Sistem Pelaporan dari Bottom Management ke Middle Management,
Sebenarnya untuk Siapa dan untuk Apa? {107-109}
3. Yang Benar atau Yang Bagus? {110-111}
PENUTUP
1. Antara pemimpin, sistem, dan budaya (kultur) organisasi {112}
2. Figur dan atau Sistem? {113-114}
3. Kepemimpinan vs Budaya Organisasi {115-116}
4. Menyikapi Organisasi Tanpa Visi {117-119}
3
Berorganisasi juga perlu “Ilmu”
Setelah kepengurusan terbentuk melalui proses suksesi yang (kadang) cukup panjang dan
melelahkan, maka secara definitif kepemimpinan organisasi sudah terlegitimasi dengan
sendirinya. Meskipun, ada organisasi yang memiliki “organisasi atasnya” (garis strukturisasi
vertikalnya) yang ikut mensyahkan kepengurusan dan melantiknya. Bahkan terkadang
organisasi pembina, pengawas, atau legislator (misal dari pemerintahan) yang memberi
legitimasi dan setiap suksesi kehadirannya dinantikan sebagai prasyarat.
Ketua, sekretaris, dan bendahara serta anggota pengurus lainnya (departemen, bidang, biro,
seksi) ditunggu kesiapannya bekerja mengemban amanah anggota. Setelah beberapa waktu
kemudian belum juga kelihatan geliat dan sepak terjang aktivitas yang akan dikerjakan.
Ternyata, ketua mengalami kesulitan membuat program kerja. Sekretaris tidak mampu
membuat surat. Bendahara tidak bisa menyusun anggaran. Anggota pengurus lainnya
menyerah tidak sanggup berbuat apa-apa, hanya terpaku dan bengong mau mengerjakan apa
dan bagaimana. Paling banter jawabannya ketika ditanya sedang nungguin instruksi dari
pimpinan. Bekerja hanya menunggu apa yang disuruh dan dikomando oleh atasan. Atas
petuah dan petunjuk “bapak pimpinan” menjadi alasan yang ditunggu untuk bergerak.
Persitiwa ini bukan lagi pernah ditemui dalam sebuah organisasi yang masih balita (baru),
tetapi sering dijumpai dalam suatu organisasi yang berusia kolot (sudah lama).
Nyatanya, pengalaman tidak selalu menambah ilmu dan keterampilan seseorang, tetapi hanya
memperpanjang umur dan merasakan suka duka perjalanan hidup melalui proses kegiatan
rutin dan berulang-ulang tanpa ada peningkatan kapasitas dan kapabilitas, apalagi wawasan.
Pengalaman adalah guru yang baik, sebuah pernyataan yang perlu penjelasan karena ada
korelasi yang tidak selalu linear.
Bila kejadian di atas terus dialami oleh setiap “kabinet kepengurusan” , maka sungguh ironis
bahkan sangat memalukan. Bukan hal yang mustahil kalau peristiwa seperti itu terjadi seperti
sejarah yang berulang dalam setiap periodisasi kepengurusan. Oleh karena itu, bagi setiap
insan yang terlanjur menceburkan diri dalam organisasi, sekalipun sebagai anggota bahkan
simpatisanpun wajib mencari tahu jeroannya organisasi bersangkutan. Mulai membaca buku
tentang dasar-dasar KOMA (kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan administrasi),
mengikuti pelatihan kaderisasi, dan yang terpenting terlibat langsung dalam setiap kegiatan
4
organisasi itu. Kesempatan menjadi panitia kegiatan jangan disia-siakan untuk memperoleh
ilmu terapan KOMA melalui praktik langsung berorganisasi yang sesungguhnya walaupun
dalam skala minor dan sesaat. Interaksi dengan para senior baik melalui forum formal
ataupun situasi santai dapat digunakan untuk memetik “ilmu berorganisasi”, sehingga
minimal dapat mengetahui fungsi, tugas, tanggung jawab dan wewenang setiap jabatan yang
ada. [26/8/2012]
Dalam berorganisasi yang harus diketahui oleh para aktivisnya sangat banyak. Karena
pengetahuan dan ilmu dalam berorganisasi, merupakan kumpulan dari berbagai disiplin ilmu
dan senantiasa berkembang. Namun, seiring dengan masa aktif mengikuti kegiatan akan
terus bertambah pengetahuan, ilmu, keterampilan, dan wawasan sedikit demi sedikit. Tentang
dasar-dasar KOMA saja dapat dilihat dari pengertian umum dan khusus. Pengertian khusus
disesuaikan dengan jenis, sifat, dan karakteristik organisasi itu sendiri. Demikian juga dengan
program kerja. Yang jelas, ketika dipercayakan untuk memegang jabatan tertentu sudah harus
mengetahui fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewenangannya. Begitu naik peringkat,
tentunya harus memiliki nilai lebih dari sebelumnya terutama dalam sikap dan wawasan.
Semakin ke atas, keterampilan teknis semakin berkurang, sedangkan keterampilan manajerial
kian bertambah.
Nah, sebagai bahan untuk mengantisipasi agar dalam satu periode kepengurusan tidak diisi
oleh orang-orang yang tak memiliki “ilmu berorganisasi”, sehingga organisasi laksana perahu
yang sedang oleng oleh hempasan ombak laut, maka perlu dilakukan terapi berikut. Semoga
langkah ini menjadi panasea (obat mujarab) dalam melakukan tindakan preventif bagi
kelangsungan hidup organisasi.
Terapi tersebut adalah:
1. Proses regenerasi melalui kaderisasi harus selalu ada dalam setiap periode kepengurusan,
melalui pelatihan KOMA dan program “jenjang karir”.
2. Menyusun kurikulum materi DIKLAT (pendidikan & pelatihan) KOMA yang tepat sesuai
kebutuhan.
Misalnya, seperti berikut:
5
TINGKAT DASAR:
a. Sejarah Organisasi Pelajar/Kemahasiswaan
b. Pengantar Leadership
c. Kemandirian & Kepeloporan
d. Motivator & Dinamisator
e. Kreativitas
f. Pengetahuan Organisasi
g. Dasar Dasar Manajemen
h. Kesekretariatan
i. Teknik Pembuatan Proposal & Pertanggungjawaban
j. Schedulling
k. Komunikasi
l. Public Speaking
m. Memimpin Diskusi & Rapat
n. Problem Solving
o. Mengerti Kedudukan & Peranserta Pelajar/Kemahasiswaan dalam Pembangunan
TINGKAT MENENGAH:
a. Sejarah Organisasi Pelajar/Kemahasiswaan
b. Dinamisator & Motivator
c. Kemandirian & Kepeloporan
d. Kreativitas
e. Manajemen Sumber Daya
f. Planning
g. Controlling
h. Manajemen Personalia
i. Sistem Pengembangan Organisasi
j. Kesekretariatan
k. Budgeting & Dasar Manajemen Akuntansi
l. Problem Solving
m. Pembuatan Konsep
n. Network Planning Analysis
o. Penguasaan Massa
p. Negosiasi
q. Memimpin & Mengarahkan Sidang
r. Mengerti Peranserta Pelajar/Kemahasiswaan dalam Pembangunan
3. Antara satu pengurus ke pengurus berikutnya tidak terjadi “tebang habis”. Artinya,
beberapa orang yang pernah menjabat pengurus di periode sebelumnya dapat duduk
kembali di periode berikutnya dengan jabatan yang lebih tinggi. Tentu saja, orang yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi. Sangat berisiko sebuah kepengurusan baru hanya
diisi muka-muka baru saja bagi organisasi yang belum memiliki sistem kaderisasi yang
tertata baik.
4. Menumbuhkembangkan sense of belonging terhadap organisasi bagi anggota apalagi
pengurus termasuk mantan anggota juga mantan pengurus (terutama). Hal ini dilakukan
untuk menepis kepentingan individu atau kelompok (geng) di atas kepentingan bersama
6
(organisasi), sekaligus menyingkirkan ego demi pencapaian tujuan organisasi. Gunakan
moto: “jangan tanya apa yang dapat organisasi berikan kepada saya, tanyakan apa yang
dapat saya berikan buat organisasi”
5. Tetap menjalin komunikasi antar komponen organisasi (anggota-anggota, anggota-
pengurus, pengurus-pengurus). Juga antara pengurus yang sedang menjabat dengan
pengurus yang baru meletakan jabatan. Lebih luasnya antara dan antar aktivis (anggota,
pengurus), mantan pengurus, dan alumni (mantan aktivis).
Semoga terapi di atas dapat menjadi jalan terang dalam berorganisasi. Bahwa aktif
berorganisasi itu bukan hal yang membebankan tetapi menyenangkan. Ingat dengan ilmu,
hidup ini akan lebih mudah. Dengan seni hidup ini akan lebih indah. Dengan cinta hidup ini
akan bergairah. Dan, dengan iman hidup ini akan terarah. Bagaimana kalau ilmu, seni, cinta,
dan iman kita gunakan dalam berorganisasi? Bukankah akan nikmat rasanya menjalankan
aktivitas? Kalau kagak percaya, tunggu nanti setelah “pensiun” dari pengurus, pasti ketagihan
ingin menjabat lagi dan merasa tidak kapok. [2/9/2012]
7
Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Adminstrasi [KOMA]
Sebuah organisasi akan maju kalau semua komponen sumber daya yang ada di dalamnya
berpikir dan berbuat hanya untuk kepentingan bersama menuju visi organisasi tersebut. Hal
ini berlaku dari sebuah institusi yang bernama keluarga, masyarakat, organisasi formal,
sampai sebuah negara bahkan organisasi globalpun membutuhkan komitmen kebersamaan
komponennya. Sang pemimpin laksana seorang pilot sebuah pesawat, dimana pesawat
tersebut adalah organisasinya. Sedangkan sebagai penggerak organisasi, maka mesin pesawat
itu adalah sistem manajemennya. Keteraturan komponen antar perangkat dan sistem kerjanya
adalah sistem administrasinya. Pesawat akan diarahkan ketujuan manapun akan sangat
tergantung sang pemimpin. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan kalau sebuah organisasi
membutuhkan Visi yang tegas dan Misi yang jelas.
Visi dan Misi adalah konsep yang selanjutnya diuraikan dalam tujuan organisasi dan
diimplementasikan dalam program kerja. Namun, unsur kepemimpinan sang pemimpin
menjadi hal strategis, yang didukung oleh sistem yang solid dan kultur yang kuat. Sehingga
dasar-dasar kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan administrasi menjadi hal pokok yang
harus dimiliki oleh calon organisatoris agar benar-benar menjadi fungsionaris organisasi.
Bukan sekedar numpang nama dan cari popularitas, tetapi tidak berbuat apa-apa buat
kemajuan organisasi. [22/1/2012]
8
Kepemimpinan Rasulullah SAW
Selain sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa. Bahkan sosok
beliau sangat manusiawi banget ketika berada dalam kehidupan kesehariannya. Diantara sifat
manusia biasanya, adalah nilai-nilai kepemimpinan beliau yang meliputi : SHIDDIQ (rule
comply), TABLIGH (openness, transparant), AMANAH (trustable), dan FATHANAH
(learning & growth).
Inti dari kepemimpinan diukur dari pengaruh pemimpin terhadap siapa, kapan dan dimana
imbasnya terasa dan “membekas” sepanjang sejarah. Untuk hal ini Nabi Muhammad tidak
memiliki tandingan dengan satupun manusia di muka bumi ini. Michael H. Hart dalam
bukunya The 100, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 100 Tokoh Paling
Berpengaruh Sepanjang Masa, menempatkan Nabi Muhammad pada posisi pertama.
Menurut teori kepemimpinan Stephen Covey, empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of
leadership) adalah perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering),
dan panutan (modeling). Keempat fungsi di atas dapat ditemukan pada diri Muhammad SAW
yang diungkap dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah) yang menceritakan kecakapan
beliau dalam hal kepemimpinan.
Muhammad Syafii Antonio, dalam bukunya Muhammad SAW the Super Leader Super
Manager, menempatkan Muhammad SAW sebagai pemilik traits of leadership dan models of
management dengan membagi sifat kepemimpinan beliau dalam 8 bidang utama, yaitu
1. Self development atau personal leadership
2. Bisnis dan kewirausahaan
3. Kepemimpinan keluarga
4. Dakwah
5. Sosial dan politik
6. Pendidikan
7. Sistem hukum
8. Strategi militer
9
Nabi Muhammad diberi Allah usia 63 tahun yang diisi dengan aktvitas hidup yang padat
dengan dakwah dan sarat dengan kiprah kegiatan hidup manusia biasa lainnya. Prestasi
gemilang yang beliau ukir selama kurun waktu tersebut telah menginspirasi banyak manusia
baik muslim dan non muslim untuk menggali inti pelajaran dari beliau. Namun, sayangnya
sebagian umat memandang sosok beliau masih secara parsial dan dengan mata yang “rabun”.
Sekelumit dari perjalanan hidup beliau sebagai seorang nabi, dengan masa kenabian selama
23 tahun, yakni 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Beliau harus menerima,
menghafal, menyampaikan dan menjelaskan tak kurang dari 6.666 ayat Alquran. Beliau juga
menyampaikan arahan, kebijakan aksi dan bimbingan lisan dalam bentuk hadits yang
jumlahnya lebih dari satu juta buah (menurut Imam Ahmad Ibn Hambal).
Dalam rentang usia 12 hingga 37 tahun, selama 25 tahun itu beliau menjalankan profesi
sebagai pebisnis yang akrab dengan pasar, sehingga tak asing dengan peran sebagai manager,
entrepreneur, dan investor. Kebijkan dengan luar negeri, sebagai ajakan dakwah, upaya
menjalin kerja sama dan persahabatan telah belasan surat yang beliau kirimkan. Apapun
jawaban surat sudah beliau antisipasi dengan langkah-langkah yang harus diambil.
Sebagai pemimpin masyarakat dan bangsa, Rasulullah menciptakan rule of low yang
mengintegrasikan Muslim, Nasrani, dan Yahudi dalam hal perbedaan agama, budaya, klan,
dan bahasa. Beliau juga adalah hakim yang memutuskan segala pernik perselisihan dan
perseteruan diantara umatnya, dengan menegakan hukum Allah. Muhammad SAW juga
berperang untuk menegakan kebenaran dan menahan serangan musuh terutama Kafir Quraish
lebih dari 28 kali dengan semua hiruk pikuk persenjataan, makanan, kesehatan, transportasi,
dan segenap sarana logistik lainnya. Beliau sendiri pernah memimpin langsung lebih dari 9
perang besar dan mengorganisir lebih dari 53 ekspedisi militer.
Sebagai kepala keluarga Rasulullah memiliki keluarga besar dengan 11 orang istri dengan 7
anak. Namun, dalam kesibukannya Rasulullah tetap menunjukan seorang Bapak yang penuh
perhatian terhadap anak-anaknya. Kakek yang masih sempat bercengkrama dengan cucu-
cucunya. Suami yang penuh cinta kasih dan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Beliau senantiasa berbagi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian, memerah susu
kambing, dan memperbaiki perabotan rumah. Beliau masih sempat menjahit pakaian sendiri,
menyapu di rumah dan memotong sayur mayor untuk membantu istrinya.
10
Bagaimana beliau mengatur waktunya? Bagaimana beliau mencapainya dengan hasil yang
maksimal? Lebih penting bagaimana kita bisa mencontohnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan
strategis yang harus kita ajukan dalam meneladani Rasulullah.
Sebagai seorang pemimpin beliau berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di hadapan
hukum, memperoleh kemenangan dan kekuasaan, serta merasakan kekalahan dan kesedihan.
Tubuhnya tidak terdiri dari besi tetapi daging dan tulang biasa. Beliau tidak memiliki ilmu
kebal atau jimat tertentu. Kulitnya pernah robek, pelipisnya pernah terluka parah dan 2
giginya tanggal terkena pukulan di Perang Uhud. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa
beliau diamanati wahyu (plus mukjizat sebagai alat pembuktiannya) dan senantiasa
dibimbing Allah jika melakukan satu tindakan atau pilihan yang tidak tepat. Selebihnya
Muhammad SAW adalah manusia biasa di samping sebagai seorang Rasul pilihan dan
kekasih Allah. [12/8/2012]
11
Kepemimpinan, Pemimpin, dan Pimpinan
Membicarakan dan membicangkan ketiga hal di atas (sebagai judul artikel ini) tidak akan
pernah habis dan selesai, karena perkembangan yang dialami organisasi terikat dan terkait
persoalan masalah leader dan leadership disamping sistem manajemen dan administrasi.
Kepemimpijan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi orang agar berkeinginan dan
berantusias bersama mencapai tujuan. Kepemimpinan juga dapat dimanai sebagai peran dari
seseorang dengan seperangkat kemampuan untuk memimpin dan mengelola suatu unit.
Dalam kepemimpinan ada nilai-nilai, seperti: ambisi (kerja keras, cita-cita tinggi), periang
(penggembira), bersih (rapi, apik), berpandangan luas (luas, terbuka), berani
(mempertahankan pendapat, berprinsip), mudah memaafkan (mau memaafkan orang lain,
suka menolong (bekerja untuk kebaikan orang lain), berkemampuan (kompeten, efektif), dan
jujur (tulus hati). Dalam tataran praktis dan praksisnya, kepemimpinan ditinjau dalam hal
perilaku kepemimpinan (leadership behavior) dan gaya kepemimpinan (leadership style).
Perilaku kepemimpinan lebih pada tindakan tertentu dan spesifik yang diambil pemimpin saat
memimpin, sedangkan gaya kepemimpinan dikaitkan dengan struktur kebutuhan dan pola
yang ditampilkan saat berinteraksi dengan berpegang pada nilai dan asumsi yang dijadikan
dasar. Ada 4 gaya kepemimpinan, diantaranya adalah: otoriter, demokratis, santai, dan
kondisional.
Pemimpin, juga berhubungan dengan mempengaruhi orang dan mengemban atau membawa
grup. Pemimpin ditentukan oleh bakat dan usaha. Ada 3 hal yang menyangkut pemimpin,
yaitu: reputasi, moral (kredibilitas), dan karismatik. Reputasi dapat berupa ilmu, prestasi, dan
keahlian. Moral terdiri dari jujur, adil, mudah ditemui, dan tepat janji. Sementara karismatik
diartikan sebagai sumber inspirasi, sumber harapan, dan komunikator. Pemimpin membentuk
dirinya dan lingkungan yang menumbuhkan kepercayaan. Pemimpin harus memiliki power,
yang terdiri dari pengaruh (influence), kewenangan (authority), dan alat paksa (force).
Power akan membuat orang lain (follower) merasa lebih kecil dari leader. Jenis power
berdasarkan kualitasnya dibedakan atas:
a). power expert, power karena keahlian yang ada pada leader.
b). legitimate power (power formal), power yang timbul karena status (atasan),
ada surat pengangkatan.
12
c). power hubungan, power yang timbul karena ada hubungan dengan orang
yang disegani.
d). reward power, power yang timbul sebagai imbalan orang lain terhadap
sang leader.
e). coarship power, power yang bersumber pada ketakutan yang dapat
ditimbulkan oleh leader.
Pimpinan dimaknai sebagai orang menempati posisi, status, jabatan (formal) dalam sebuah
organisasi, sedangkan pemimpin dapat saja berkonotasi sebagai mindset, sikap, karakter dan
kepribadian. Pemimpin bisa saja tidak menjadi pimpinan, tetapi dapat menciptakan
pemimpin-pemimpin lain dan juga pimpinan baru. Pimpinan merupakan hasil kombinasi
antara leader (pemimpin) dan manager (manajer) dalam organisasi. Pimpinan dapat saja
menjadi leader yang baik dan manager yang buruk atau sebaliknya. Terkadang dalam sebuah
organisasi dalam situasi dan kondisi tertentu, yang dibutuhkan bukan pimpinan yang baik,
tetapi pimpinan yang dapat menyelamatkan lingkungan (organisasi)nya. [23/6/2012]
13
Memanajemen Pikiran
Sekarang ini banyak orang yang berprofesi sebagai motivator. Sebut saja, motivator
internasional berkelas dunia, Anthony Robbins. Dari dalam negeri dapat dijumpai seperti
Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar Agustian, Reza Syarief, dan lainnya.
Selain dari luncuran kata-kata motivasi yang dikeluarkan sang motivator, buku-buku
pengembangan diri juga menjadi alternatif dalam memberi motivasi dan inspirasi dalam
kehidupan. Buku yang masih layak dijadikan referensi adalah “Cashflow Quadrant” dan
“Rich Dad Poor Dad” karya Robert Kiyosaki, serta “The 7 Habits of Highly Effective
People” dan “Living the 7 Habits” karya Stephen R. Covey.
Di kala penulis masih duduk di kelas akhir SMA bersama dengan rekan dalam organisasi
kesiswaan selalu membahas masalah motivasi dalam kehidupan ketika bertemu. Sang rekan
sangat doyan melahap beberapa buku dan mengkoleksinya, seperti “The Power of Positive
Thinking” karangan Norman Vincent Peale, “The Magic of Thinking Big” karya David J.
Schwartz (diterjemahkan menjadi: “Berfikir dan Berjiwa Besar”), “How to Win Friends and
Influence People”, ditulis Dale Carnegie, serta “Keberanian Hiasan Pribadi” karya Sumantri
Mertodipuro.
Penulis sempat dipinjamkan keempat buku tersebut secara bergantian. Seolah seperti kejar
tayang (mengingat sedang duduk di kelas akhir yang membutuhkan persiapan menghadapi
ujian akhir sekolah), maka penulis membacanya dengan cepat dan dipindai (scanning) saja.
Sesungguhnya, saat itu juga waktu yang tepat membaca buku tersebut, karena penulis dengan
rekan sedang mengalami persoalan organisasi dari pemberi kebijakan yang tidak bijak. Dari
membaca buku-buku tersebut hidup menjadi lebih bersemangat. Apalagi sang rekan selalu
mengajak diskusi setelah membaca satu buku. Jelang ujian akhir sampai pengumuman
kelulusan membaca buku-buku itu ditunda sementara, dan dilanjutkan sampai satu tahun
sejak kelulusan. Setelah itu tidak lagi. Ada kalimat yang sampai hari ini masih penulis ingat
dan selalu menjadi rujukan ketika ada masalah yang penulis hadapi. Kalimat tersebut adalah:
“janganlah berputar-putar di dalam masalah yang sedang dihadapi, tetapi angkatlah jiwamu
di atas masalah itu.”
14
Kalimat yang entah dari buku yang mana dari keempat buku tersebut juga menjadi kalimat
yang kerap kali diucapkan rekan penulis tersebut. Kini, sang rekan sudah tidak ada. Namun,
mendiang rekan penulis itu sangat berarti bagi penulis dan banyak warisan ‘bahan
diskusi’nya yang membekas dan memberi kontribusi dalam menambah warna pengetahuan.
Kalimat di atas itu, juga membuka pikiran penulis untuk memahaminya bahwa ketika kita
ditimpa persoalan dan ditempa masalah harus menyikapinya secara proporsional. Sekedarnya
atau sewajarnya. Tidak berlebihan apalagi sampai over estimate. Persoalan masalah adalah
sebagian kecil dari persoalan kehidupan yang sesungguhnya. Membuat generalisasi sebuah
masalah menjadi masalah kehidupan adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar dan akan
membutuhkan energi yang besar dan waktu yang panjang untuk menyelesaikannya.
Pertanyaan harus dijawab. Masalah harus diselesaikan. Bukan dipecahkan. Kalau dipecahkan
menjadi kecil-kecil masalah baru yang membutuhkan penyelesaian yang sendiri-sendiri.
Ketika menyelesaikan masalah tentunya dibutuhkan pikiran. Nah, persoalannya pikiran kita
adalah di dalam masalah atau di atas masalah itu sendiri. Logikanya, sekalipun masalah
menghantam dari 8 penjuru mata angin masih dapat dideteksi jika posisi pikiran ada di
atasnya layaknya sebuah helikopter [helicopter view]. Pikiran kita sedang ada di bagian dari
masalah atau berada di bagian dari solusi. Jika hanya tetap ada di masalah, maka masalah
tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu tariklah pikiran kita berada di dalam bagian dari
solusi. Orang sering merasa pusing, mengalami stres atau sakit dengan
mengkambinghitamkan pikiran. Lebih tepatnya, banyak pikiran. Bila kita menyadari, selama
kita hidup dengan normal/waras/sehat selama itu pula kita selalu dan akan berpikir. Pikiran
adalah proses, aktivitas, dan produk berpikir. Seorang dokter jantung pernah ditanya,
mengapa orang mudah stres. Jawaban yang diluar dugaan dari seorang dokter. Yang mungkin
seharusnya menjawab dengan tepat adalah rohaniawan, ustaz atau kyai. Karena jawaban sang
dokter jantung, adalah: orang kurang iman.
Jika demikian, ketika persoalan hidup dan kehidupan menghadapi masalah dibutuhkan kedua
alat canggih yakni iman dan ilmu. Keduanya dapat diraih dengan belajar. Akan tetapi untuk
iman juga membutuhkan spiritualitas tidak sekedar religiusitas. Di sini tidak penulis bahas.
Ilmu, tentunya adalah ilmu manajemen. Memanajemen kehidupan, yang menitikberatkan
pada prioritas adalah manajemen waktu dan manajemen pikiran. Memanajemen pikiran
adalah mengatur, mengelola, dan mengendalikan pikiran kita sendiri. Ingat, ‘otak’ kita yang
sesungguhnya adalah bukan di otak dalam rongga kepala, tetapi di ‘qolb’ dalam rongga dada.
15
Hal ini masih dapat diperdebatkan. Silakan saja. Fisik ‘qolb’ sendiri saja, orang juga belum
tahu sampai hari ini jantung (cardio vascular) atau hati (hepar, lever).
Bukankah lebih baik kita yang memanajemen pikiran kita sendiri daripada pikiran kita
dimanajemen orang lain. Lebih luasnya, sebelum orang lain mengatur kehidupan kita akan
lebih baik kita yang mengatur kehidupan kita sendiri.
Semoga bermanfaat. [24/3/2013]
16
Pemimpin dan Pemikir
Sehebat apapun seorang pemimpin tidak akan berhasil membawa kemajuan bagi
organisasinya tanpa orang-orang di sekitarnya. Sudah saatnya pemimpin yang ”otoriter”
mengubah perilakunya dari seorang yang merasa ”superman” menjadi pemimpin yang
memimpin dan memanajemen ”supertim” nya. Pemimpin yang memiliki tim manajemen
yang baik dalam bekerja dan loyal terhadap organisasi serta berdedikasi dengan kemajuan.
Setiap orang pasti memilki kelebihan dan kekurangan. Melalui organisasi inilah kelebihan
seseorang menambal kekurangan orang lain. Saling melengkapi, bersinergi, giving and
sharing sumber daya, dan mengisi satu sama lain, sehingga idealnya sebuah organisasi
laksana perwujudan dari sejumlah kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang
potensial. Integrasi ini tidak hanya terjadi antara sesama anggota tim manajemen, juga antara
pimpinan dengan setiap dan semua anggota tim.
Dalam mengorganisasi tim, tentu saja berbeda cara bekerjanya pimpinan dengan anggota tim.
Masalahnya, apakah seorang pemimpin wajib, harus, mesti, kudu menjadi pemikir juga? Atau
pemimpin seharusnya tetap bertengger di atas awan saja, tidak harus turun gunung.
Sebaliknya, semua persoalan dari yang berskala gajah sampai semut seorang pemimpin mesti
mengetahuinya. Dari masalah yang serius dan strategis sampai persoalan yang sepele dan
remeh.
Istilah ”pemikir” di sini yang penulis maksudkan adalah, seorang visioner, penggagas,
konseptor, perencana, dan bertindak seperti pemain catur yang sudah menyiapkan segala
keputusan kini dengan 2, 3, dan 4 langkah ke depan. Seorang pemikir tidak hanya bergerak
sigap secara spontan. Apalagi bertindak cepat secara gegabah. Juga bukan berbuat untuk
kebutuhan dan kepentingan sesaat. Tidak juga sekedar untuk pemenuhan hasrat biologis
pribadinya, melainkan demi membangun chemistry dengan anggota tim dan menjalin nilai
manfaat sosial. Intinya, sang pemikir memiliki program jangka panjang dan program jangka
pendek bekerja dalam organisasi. Baik pemimpin maupun anggota tim harus menjadi pemikir
dengan kapasitasnya masing-masing.
17
Negara kita sudah memilki visi yang bagus dan jelas, yakni Pancasila. Sebuah contoh, tanpa
bermaksud apa-apa, hanya berbaik sangka saja (khusnudzon) dan positive thinking tentang
pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru selama 32 tahun (1966-1998). Selain memilki
banyak kekurangan dan meninggalkan ”warisan” hingga kini, terdapat beberapa kelebihan,
terutama yang berikaitan dengan masalah: tim manajemen, pemikir, konsep, dan program.
Kita mengetahui orang-orang di sekitar Presiden RI kedua itu adalah orang-orang pintar.
Tentunya, bukan ”orang pintar” yang dicari oleh pasien (penyakit medis, gangguan
psikologis, atau kekosongan spiritual) sebagai pengobatan alternatif. Kalau yang ini mah,
lawannya ”orang pintar” yakni ”orang bodoh” dung,..eh dong! Bukan begitu?
Kembali mengenai Orde baru, kita juga mengenal: GBHN (garis-garis besar haluan negara);
Bapenas (badan perencanaan pembangunan nasional); Program Pembangunan Jangka
Panjang (25 tahun); Program Pembangunan Jangka Pendek, dikenal sebagi Pelita
(pembangunan lima tahun) yang disusun dalam bentuk Repelita setelah Kabinet terbentuk,
serta Delapan Jalur Pemerataan.
Oleh karena itu, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya antara Soekarno dan Soeharto,
keduanya sudah berjasa bagi bangsa, negara, dan tanah air ini. Jika fungsi PIMPINAN terbagi
secara ekstrim dan rigid antara LEADER dan MANAGER, maka Presiden pertama kita lebih
sebagai Leader sementara Presiden kedua kita, lebih sebagai Manager. Pendapat ini akan
membuka perdebatan dan memancing persepsi tentunya. Yang jelas, kedua mantan pemimpin
kita itu adalah pemikir pada zamannya yang pemikirannya jauh ke depan melewati masanya
berkuasa. Biarlah masa lalu lewat dengan putaran waktu, yang penting sekarang menyikapi
persoalan hari ini sambil menyongsong masa depan. Kata seorang teman, sejarah adalah
persoalan masa lalu, sedangkan politik adalah masalah hari ini. Entahlah, apakah ekonomi
dan bidang yang lain bukan persoalan hari ini? Sampai hari ini pun saya belum pernah minta
penjelasan darinya.
Pemimpin selayaknya built-in sebagai pemikir. Sejatinya, pemimpin itu visioner dan
konseptor. Bukan lebih banyak bertindak dalam tataran implementasi, teknis, taktis, dan
aplikatif. Proporsionalitas diperlukan dan disesuaikan dengan kapasitasnya.
Sekali lagi, keberhasilan sebuah organisasi mencapai tujuan adalah hasil kerja bareng dan
kompak pemimpin dan timnya.
So, jika Anda jadi Pemimpin sekarang? siap jadi Pemikir! [2/12/2012]
18
Pemimpin KIR = PemiKIR ?!
Referensi tentang pemimpin, pimpinan dan kepemimpinan ada dalam Alquran dan Hadits.
Dalam Alquran terdapat pada surat Al Baqarah (2) ayat 30 dan surat An Nisa (4) ayat 59.
Sedangkan dalam Hadits yang diriwayatkan Mutafaqun’Alaih dari Ibnu Umar yang berbunyi
kullukum rhaain wakullukum mas uulun an rhaiyyatihi........[”setiap kalian adalah pemimpin
dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya....”].
Dari nash tersebut jelas bahwa setiap kita adalah pemimpin apapun status, profesi, predikat
yang disandang, jabatan yang diemban, posisi yang ditempati, atau kedudukan yang
dikuasainya. Demikian pula halnya pada pelajar dan mahasiswa. Kedua peserta didik ini
adalah pemimpin yang harus mempertanggung jawabkan hasil yang diperoleh dari proses
belajar mengajar dalam bentuk jati diri kaum terdidik dan kaum terpelajar, mengaplikasikan
keilmuan yang didapatkan minimal dalam kehidupan sehari-hari, juga menerapkan bekal
pendidikan dalam bersilkap terhadap masalah hidup yang dijumpainya dengan berlandaskan
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Adapun pemimpin KIR adalah seluruh komponen personal KIR atau elemen SDM KIR itu
sendiri. Mulai dari anggota sampai ketua KIR. Jadi semua aktivis KIR, baik anggota maupun
pengurus adalah pemimpin KIR secara umum, yang memilki otoritas, tugas, fungsi, dan
tanggung jawab masing-masing sesuai kapasitasnya.
Sementara pemikir yang penulis maksudkan, adalah orang yang segala tindakannya selalu
diawali dengan pemikiran lebih dahulu sebelum mengambil keputusan atau tindakan
perbuatan. Awalnya, penulis menilai pemikir itu adalah orang pintar, yang kalau sekolah
selalu mendapat ranking 1-5, atau kalau kuliah selalu mendapat indeks prestasi (IP)=3,5-4,0.
Pemikir pasti berwajah culun, berkaca mata minus sekian, berkepribadian introvert, pasif
dalam persoalan sosial, kagak gaul, cenderung selfish dan egoist, suka bertingkah aneh,
senang caper (cari perhatian), dan sedikit jutek (judes).
Mengenai hubungan antara pemimpin dan pemikir untuk skala KIR, penulis menerawang
sesaat ketika masih menjadi pelajar dan pengurus KIR pada tahun 1985. Ketika itu penulis
19
masih manjadi Ketua KIR dan sebagai siswa kelas III IPA 3. Kelas ini merupakan kelas
percobaan (info yang penulis dapatkan menurut isu yang beredar dan gosip yang berkembang
saat itu, tetapi tujuan percobaan untuk apa tidak jelas sampai penulis lulus), karena kelas 3
paspal 3 itu memilki siswa yang berasal dari pilihan siswa-siswa ranking 1-10 di kelas II-nya.
Penulis menyadari sebagai mantan siswa dari sebuah SMP pinggiran yang berstatus ”sekolah
buangan”, karena SMP filial (kelas jauh) yang halaman sekolahnya bekas kubangan kerbau
dengan prestasi biasa-biasa saja (menurut penulis, karena masih jago kandang belum teruji di
kancah luar) berhadapan dengan teman-teman yang berasal dari SMP favorit di Kebayoran
Lama dan SMP top di Kebayoran Baru, tentu akan bermasalah dalam pergaulan dan proses
belajar 1 tahun ke depan. Waktu 2 tahun (saat di kelas I dan II) penulis belum sepenuhnya
mengenal semua teman-teman yang kini duduk di kelas III itu, meskipun sebagian sudah
kenal saat satu kelas (kelas I dan atau kelas II) juga dalam kegiatan OSIS dan KIR. Makanya,
ketika hari pertama masuk ada perasaan sedikit kaku juga walaupun penulis berusaha tak
acuh (cuek) menyikapinya. Duduk sebangku dengan siswi yang juga pengurus KIR adalah
langkah awalnya. Ada seorang teman merasa minder minta ganti kelas saja, dengan alasan
kelas ini diisi orang pinter semua. Namun, permintaan itu ditolak Wakil Kepala Sekolah
bidang Kurikulum. Penulis sendiri dengan pengalaman di organisasi menjadi modal untuk
gaul dan mencairkan suasana, bahkan proses pemilihan pengurus kelas penulis yang
memimpinnya. Ketika dicalonkan menjadi ketua kelaspun, penulis berasalan bahwa pengurus
OSIS tidak boleh menjadi ketua kelas, karena ketua kelas adalah anggota MPK. Kelihatan
teman-teman ada yang kecewa, meskipun menerima alasan tersebut. Sikap gaul dan cuek
walau tetap sopan dan santun tetap penulis jaga. Selama duduk di kelas itu hanya penulis saja
yang duduk dengan cewek (siswi) dan penulis berganti-ganti pasangan duduk dengan siswi
yang berbeda. Ingat, sekedar pasangan duduk! Bukan macam-macam ya? Kadang penulis
duduk sendirian, karena jumlah siswa kelas itu tidak berimbang antara siswa dan siswi.
Jumlah siswa 24 orang (pertengahan tahun ada siswa pindahan masuk) dan siswi 23 orang.
Posisi duduk penulis lebih banyak di barisan depan, dekat pintu keluar atau depan meja guru.
Hanya sesekali di belakang ketika bangku belakang ada yang kosong dan tetap aktif
menjawab pertanyaan guru bukan menghindar dan bersembunyi. Saat itu memang yang lagi
mengajar termasuk guru killer, dimana suasana kelas seperti kuburan, sunyi dan senyap.
Paradigma kelas 3 exacta 3 itu kelas anak-anak pintar yang serius dan kaku terbantahkan dan
penilaian tentang anak pintar berputar 180o
. Suasana keceriaan tetap ada di kelas itu. Kalau
ada yang ulang tahun dirayakan. Rujak party sudah jadi kebiasaan. Pernah kena marah wali
20
kelas, habis rujakan ketika jam pelajaran beliau meja masih berserakan sisa-sisa buah dan
bumbu rujak. Beberapa siswa saat istirahat, bukan hanya ke kantin tetapi mampir dulu ke
mushola (shalat dhuha dan baca Hadits). Kebiasaan ini juga dilakukan saat pergantian jam
pelajaran atau guru tidak masuk (tak ada pengganti atau tugas). Di kelas itu terdapat pengurus
OSIS, pentolan Pramuka, dedengkot KIR dengan 10 orang aktivis dan simpatisan KIR-nya,
sebagian siswa doyan camping, kerja sama dan gotong royong dalam memajukan kelas
sangat kental dan saling mengingatkan. Kerja bakti membersihkan kelas dan
merapikan/memperindah taman kelas sangat antusias dan kompak. Penulis pernah di tegur,
saat kelas menjadi giliran bertugas upacara bendera. Saat itu penulis menolak menjadi
petugas. Teguran seorang teman yang manis dan imut itu, ”Ki, kamu kalo untuk OSIS sama
KIR dibela-belain, masa untuk 3 IPA 3 aja kamu gak mau !” Penulis beralasan sebelum tiap
kelas mendapat jatah giliran, pengurus OSIS sudah lebih dulu bertugas dan penulis menjadi
komandan upacaranya saat itu. Akhirnya, penulis mengalah untuk tetap berpartsipasi untuk
kelas tercinta. Bercanda di kelas itu juga agak kelewatan, saling main tembak pintol air dari
sudut depan dan belakang tempat duduk, sehingga yang jadi korban adalah siswi-siswi yang
duduk di bagian tengah mendapat berkah hujan lokal.
Di kelas tak ada pengelompokan (gang). Pergaulan baik antar siswa, antar siswi, maupun
antara siswa dengan siswi sangat baik dan sehat. Tidak ada yang menonjolkan status sosial
ekonomi. Membicarakan hal tabu sekalipun saat itu dengan terbuka, rasional, serta dasar
ilmiah dan etika. Sigap menjalankan tugas observasi dari guru mata pelajaran di kehidupan
sehari-hari (penerapan mata pelajaran di lapangan). Dalam masalah pelajaran sangat peduli
satu sama lain, saling membantu dan berbagi ilmu. Tidak ada kesan bersaing. Lucunya, tidak
pernah saling bertanya tentang ranking. Sampai penulis luluspun, tidak memperhatikan
ranking berapa di kelas itu. Seolah semua masa bodo dengan ranking. Yang penting belajar
menguasai ilmu untuk masa depan. Kerja sama untuk menguasai pelajaran dengan cara
berdiskusi atau yang lebih tahu maju ke depan papan tulis menjelaskan setelah jam sekolah
berakhir. Kejujuran dalam ulangan (tes) sangat dipegang. Menjadi siswa bimbel (bimbingan
belajar) saat itu masih langka. Namun, ketika membahas soal-soal dibuka saja, tidak menutup
diri dengan teman yang tidak ikut bimbel. Soal-soal dari modul bimbel dibahas bersama-
sama.
21
Sebagian siswa yang aktif di ekskul pulang sekolah langsung main-main ke Bogor sambil
survey untuk lokasi camping atau sekedar refreshing. Pulang hari dan sore harinya sudah di
Jakarta. Kadang dalam perjalanan masih suka nyetop truk untuk menikmati tumpangan gratis.
Di akhir masa sekolah juga demikian. Berfoto ria setelah pengumuman ujian tiba tak
terkendalikan apalagi dengan aksi corat-coret baju. Muncul provokasi untuk
memandikan/mengguyur ibu wali kelas, tetapi rencana aksi gila tersebut dibatalkan. Entah
kenapa, yang jadi sasaran tembak ke arah penulis. Yah sudah, penulis menjadi korban
pelampiasan kepuasan dan pengungkapan keceriaan hari itu. Para eksekutorpun berantusias
menyiram tubuh penulis dengan ember-ember yang berisi air sampai puas, tinggalah penulis
basah kuyup dan kedinginan. Setelah acara kelulusan itu, teman sekelas masih memiliki 2
acara, sehingga sampai sore hari baru pulang ke rumah dengan baju dan celana yang
mengering di badan. Apalagi dalam perjalanan menuju acara pertama sempat naik tumpangan
truk gratis yang berangin-angin ria. Hasilnya, sakit seminggu. Alhamdulillah, berniat
memboikot untuk tidak hadir acara perpisahan di sekolah kesampaian juga (karena sakit tidak
hadir). Sebagai bentuk protes. Ketika menjadi Pengurus OSIS memperjuangkan
penyelenggaraan perpisahan kakak kelas (alumni 1984) di Granada. Seolah air susu dibalas
air tuba, ketika menjadi kakak kelas justru acara perpisahan dilakukan di sekolah dengan
model tenda seperti acara pernikahan ala kampung(an). Apakah itu sebagai bentuk ganjaran
atau model hukuman bagi personal atau mantan pengurus organisasi? Tetapi, mengapa harus
mengorbankan satu angkatan, 1985 (angkatan ke-4 SMA 32). Entahlah, apa yang tersirat di
benak para ”penguasa” saat itu? Penulis tidak tahu.
Nah, dari narasi tentang kelas III IPA 3 di atas dimana di dalamnya terdapat calon ” kaum
pemikir” baik sebagai siswa yang berprestasi, aktif di OSIS dan ekskul lain, maupun aktivis
dan simpatisan KIR. Dari siswa ini kemudian beberapa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) baik melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) ataupun Sipenmaru
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Semoga dengan menyorot kelas 3 itu bisa
merepresentasikan perihal hubungan antara pemimpin dan pemikir (terutama untuk skala
KIR) dalam organisasi. Bahwa pemikir itu adalah orang biasa, bukan luar biasa. Pemikir
adalah makhluk normal, bukan abnormal apalagi paranormal. Kira-kira juga, bukan
supernormal kan? [9/12/2012]
22
Pemimpin ⇌ Pengikut
Sebuah mesin organisasi memerlukan kontrol kepemimpinan atas pengikut dan sebaliknya
juga demikian. Seorang dikatakan memimpin suatu organisasi karena ada yang dipimpin,
yakni pengikut. Bahkan dalam suatu level struktur organisasi, jabatan tertentu memegang dua
peran sekaligus yaitu sebagai pemimpin juga sebagai pengikut. Seorang manajer adalah
pemimpin bagi supervisor, sekaligus pengikut direktur. Atasan dan bawahan bisa jadi terletak
pada orang yang sama.
Pemimpin yang berhasil dalam suatu organisasi adalah pemimpin berkarakter kuat dengan
pengikut yang efektif. Peran pemimpin dan pengikut adalah masalah SDM organisasi.
Masalah SDM ialah persoalan dengan segudang disiplin ilmu. Ilmu yang berkaitan dengan
SDM bisa bermula dari antropologi, budaya, sosiologi, psikologi, manajemen, hukum,
organisasi dan administrasi. Namun, hubungan antara keduanya, pemimpin-pengikut lebih
banyak ditinjau dari sudut pandang psikologi. Pemimpin tidak ada tanpa pengikut. Bersama-
sama mereka membentuk hubungan timbal balik dalam suatu kelompok dan keberhasilan
kelompok tergantung pada tindakan kedua orang yang memimpin dan mereka yang
mengikuti.
Robert E. Kelley, dari Carnegie Mellon University, dalam artikelnya di Harvard Bussiness
Review (1988) yang berjudul “In Praise of Follower” menyebutkan:
Bosses are not necessarily good leaders; subordinates are not necessarily effective followers.
Many bosses couldn’t lead a horse to water. Many subordinates couldn’t follow a parade.
Some people avoid either role. Others accept the role thrust upon them and perform it badly.
Four steps that can develop good followers are: 1) redefining followership and leadership
roles as equal but different activities, 2) teaching the skills that make effective followers, 3)
carrying out performance evaluation on the basis of followership capacities, and 4) building
organizational structures (like leaderless groups and rotating leadership assignments) that
encourage followership.
Dari Muhammad Zainul Majdi (2013) dan sumber lain, Kelley mengklasifikasi pengikut
menjadi lima tipe dasar pengikut, diantaranya:
23
1. Pasif (Passive) atau tipe domba (sheep)
Pengikut yang masuk kategori ini memiliki sejumlah ciri: pasif, tidak kritis, sangat
tergantung, kurang memiliki inisiatif, tidak berkomitmen, tidak antusias, tak mempunyai
rasa tanggung jawab. Hanya melakukan apa yang diberitahu dan tidak lebih. Menjalankan
peran apa adanya. Sudah merasa puas dengan hanya mengikuti jejak orang lain.
2. Konformis (Conformist) atau tipe serba setuju (yes people)
Tipe pengikut ini lebih bebas, lincah, dan aktif dibanding tipe pertama. Namun, masih
kurang suka berusaha dan sangat bergantung pada pemimpin, suka menghormat
berlebihan dan bersikap merendah di hadapan pemimpinnya. Pengabdiannya kepada
pemimpin tidak disangsikan dan teguh dalam memberi dukungan kepada pemimpinnya.
Banyak pemimpin lemah dan kurang percaya diri suka dengan tipe pengikut semacam ini.
3. Terasing (Alienated) atau tipe pengikut penyendiri (alienated followers)
Pengikut terasing adalah tipe yang independen, pasif, tidak memilki komitmen terhadap
pemimpin, tujuan kelompok, dan anggota kelompok. Namun, pengikut bertipe ini sangat
kritis yang enggan tampil untuk memperjuangkan sikap dan pikirannya. Selalu bersikap
sinis dengan menyetujui opini publik dan terjerumus dalam ketidakpuasan, tetapi diam
atau tak bersuara. Mereka tidak mau tampil sebagai ”oposan” bagi langkah dan kebijakan
pimpinannya.
4. Pencari Selamat (Pragmatic) atau tipe pragmatis (survivors)
Pengikut semacam ini terletak di tengah dari semua tipe dan tidak memiliki karakteristik
yang jelas, bebas atau bergantung dan aktif atau pasif. Mereka tidak bersifat negatif
konformis, pasif atau terasing dan bukan teladan yang baik. Mereka memiliki latar
belakang yang berkontribusi dari apa yang didapat dan kapan mendapatkannya. Kategori
ini adalah tipe orang (anggota) kebanyakan (rakyat jelata) dari sebuah kelompok.
Tipe pengikut jenis ini mengikuti ke mana arah mata angin berhembus. Mereka menganut
prinsip mencari selamat daripada menyesal. Agar tetap eksis, mereka bisa`menjadi
kelompok yang pasif jika kondisi tidak kondusif untuk kritis dan di saat lain bisa secara
agresif menyerang.
5. Teladan (Exemplary) atau tipe Pengikut Efektif (effective followers)
Tipe terbaik dan paling ideal dari pengikut yang dimiliki pemimpin dan tugas pemimpin
adalah mengubah semua tipe di atas menjadi tipe terakhir ini. Pengikut teladan ini
memiliki inisiatif, berani mengambil risiko, dan mempunyai kemampuan menyelesaikan
masalahnya sendiri. Mereka mampu menjalankan tugas dan kewajiban yang didelegasikan
secara tegas dan bersemangat serta memperjuangkan kemajuan diri. Sikap independen dan
24
aktif serta dapat konstruktif ketika berbeda pendapat dengan pimpinan atau kelompok lain.
Mereka adalah bintangnya pengikut.
Dengan demikian nampak bahwa pengikut juga penting untuk diperhitungkan dalam
implementasi kepemimpinan sebuah organisasi. Pemimpin akan mengalami kesulitan
menjalankan roda organisasi bahkan bisa frustasi, jika mendapatkan pengikut pasif.
Pemimpin juga bisa terlena, mabuk, dan terjebak ilusi dari realitas jika di belakangnya
terdapat pengikut konformis. Pemimpin tidak boleh buta dan tuli dengan ketidakpuasan
pengikut apalagi jika yang terjadi ’keheningan’ yang suatu saat bisa meledak layaknya bom
waktu. Oleh karena itu pengikut terasing harus difasilitasi buah pikiran, gagasan, dan sikap
kritisnya untuk disuarakan. Menghadapi pengikut pencari selamat yang selalu berorientasi
pada strategi politis dan kalkulasi ekonomis, akan membuat pemimpin mencurahkan energi
yang besar. Energi akan habis hanya untuk mendeteksi dan mengenali siapa kawan dan siapa
lawan.
Asma Nadia dalam Pemimpin Terbaik dengan Pasukan Terbaik (2013), menuturkan
Muhammad al-Fatih semasa kecil diajak memandangi benteng Konstantinopel oleh Gurunya
sambil berkata, ”Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu
akan ditaklukan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan
tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu.” Usia 19
tahun Fatih menjadi Sultan dan usia 21 tahun membebaskan Konstantinopel dengan hasil
gemilang.
Ada kisah menarik ketika pasukan akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel. Saat itu hari
Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam shalat, sang
Sultan bertanya, ”Siapakah yang sejak akhir baligh hingga hari ini pernah meninggalkan
shalat wajib lima waktu, silakan duduk!” Tak seorangpun duduk. Lalu Muhammad al-Fatih
kembali bertanya, ”Siapa yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah
rawatib? Silakan duduk!” Sebagian pasukan ada yang mulai duduk. Muhammad al-Fatih
kembali bertanya, ”Siapa yang sejak baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat
Tahajud di kesunyian malam? Silakan duduk!” Satu persatu tentara duduk, hingga akhirnya
hanya tinggal seorang yang tetap tegak berdiri. Dialah Sultan Muhammad al-Fatih. Wajar jika
Rasulullah menggambarkannya sebagai pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik.
25
Keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi tidak saja merupakan buah dari efektivitas
pemimpin, tetapi juga gambaran sejauh mana kualitas pengikutnya. Para pemimpin
hendaknya membuka mata, sukses kepemimpinannya sangat tergantung pada komunitas yang
dipimpinnya.[17/2/2013]
26
Sikap Pimpinan ditinjau dari filosofi: 2 tangan, 1 mulut, dan 2 telinga
Setiap yang dianugerahi Allah kepada manusia pasti memiliki kegunaan sesuai fungsinya
serta makna jika ditinjau dari sudut filosofis. Misal adanya dua buah tangan pada tubuh serta
adanya satu mulut dan dua telinga. Tangan atau lengan yang ada sepasang ini memiliki posisi
yang simetris dan saling melengkapi satu dengan lainnya (antara tangan kanan dengan lengan
kiri). Selain berfungsi memegang, tangan juga dipergunakan untuk mengangkat, mendorong,
menekan, melambaikan, dan banyak sekali untuk disebutkan satu persatu. Inilah salah satu
bentuk “nikmat” kehidupan yang patut untuk disyukuri oleh seorang manusia.
Selain memiliki arti yang tersurat (harfiah, konotatif), tangan juga memiliki arti yang tersirat
(denotatif). Tangan bisa berarti “power”, “otoritas”, bagi orang yang berkuasa. Sang
pimpinan menggunakan tangan kanannya (sebagai manager) dan tangan kirinya (sebagai
leader). Sikap yang selalu tunduk pada aturan organisasi, selalu berpoisisi di depan atau di
atas, kerap mengandalkan rasionalitas, terus memikirkan tujuan, sebagai alasan untuk
bergerak, dan cenderung melihat ke atas, adalah cermin dari sikap “tangan kanan”.
Sedangkan “tangan kiri” tidak selalu tunduk pada aturan organisasi, posisi bisa di depan,
tengah, atau di belakang, pendekatan dengan sentuhan emosional, menerobos ke dalam hati
sebagai pencerminan diri, serta cenderung melihat ke bawah. Kedua tangan ini harus ada,
saling bantu dan bersinergi. Jikalau berjalan (menggerakan organisasi) harus saling
bergantian posisinya dan berirama melantunkan lagu aktivitas organisasi. Kadang tangan
kanan harus memberi punishment, sementara tangan kiri yang memberi reward. Kalau tangan
kanan terpaksa harus memukul, maka tangan kirinya yang harus merangkul.
Nikmat yang lainnya, adalah satu mulut dan dua telinga. Kiranya tidak perlu membahas
fungsi kedua organ ini. Yang terpenting, kedua organ ini pada seorang pimpinan sangat
berarti. Allah memberikan satu mulut, supaya seorang manusia tidak perlu banyak bicara.
Kalaupun berbicara hanya sesuai keperluan dan yang baik-baik saja yang diucapkan. Lebih
baik diam daripada berbicara yang ngawur, kagak karuan, atau tidak bermanfaat. Adanya dua
buah telinga, mengajarkan manusia untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Seorang pimpinan harus lebih banyak menerima “curhat” anggotanya dengan tekun
mendengarkannya tanpa merasa bosan dan jenuh. Bukan sebaliknya, si pimpinan yang
27
“curhat’ kepada rakyatnya. Pusinglah memimpin, merasa tidak disukai, banyak dimusuhi,
program tidak didukung, mendapat warisan kesalahan pemimpin sebelumnya, dan segudang
keluh kesah, yang semuanya ini akan meneguhkan “pimpinan bermental cengeng”.
Nah, dengan demikian jika merasa menjadi pimpinan, ingat saja dengan kedua tangan yang
dimiliki. Juga bagaimana menggunakan mulut dan telinga secara proporsional. [15/7/2012]
28
Otoritas dan Otoriter
Pengurus organisasi sering disebut sebagai fungsionaris, orang yang seharusnya berfungsi
dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen organisasi. Berorganisasi juga belajar istiqomah
(komitmen, konsisten, kontinuitas) terhadap aturan dan peraturan yang telah dibuat dan
disepakati bersama. Namun, tidak semua aktivitas berorganisasi dapat dijalankan sesuai
aturan dan peraturan tertulis yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan otoritas sang pemimpin
mengambil kebijakan (policy). Penerapan otoritas ini bukan meniadakan azas demokratisasi,
tetapi sebagai jalan keluar dari kebuntuan sementara keputusan harus dikeluarkan. Memang
tampak beda tipis antara otoritas dan otoriter, antara kewenangan dan sewenang-wenang. Di
sini perlunya leadership dan kearifan sang ketua, memadukan unsur leader dan manager
pada dirinya. [4/3/2012]
29
Lokomotif dan Gerbong
Pemimpin dan pengikut dapat dianalogikan sebagai lokomotif dan gerbong, sedangkan
anggota organisasi sebagai penumpangnya. Pimpinan organisasi dapat ditetapkan melalui
proses pemilihan (suara terbanyak/voting) atau penunjukan (pengangkatan). Pimpinan juga
dipilih secara tunggal (misal ketua saja) atau bersama-sama dengan wakilnya. Jika proses
pemilihan hanya menetapkan ketua saja, maka sang ketua dapat menunjuk wakil atau
pembantunya.
Ketika pimpinan sudah ada, maka pekerjaan berikutnya adalah mencari gerbong yang sesuai
dengan kualifikasi yang diminta dan dipersyaratkan pimpinan itu sendiri. Pimpinan tidak mau
memimpin orang-orang berkualifikasi rendah, yang kelak akan menghambat kinerja dalam
menjalankan organisasi. Dia tidak mau “kabinet” yang dipimpinnya tidak berjalan dan tidak
produktif. Di sinilah penting sistem adminitrasi organisasi. Bio data atau curriculum vitae
(CV) seluruh anggota harus tersimpan dengan baik, agar dapat dengan mudah ketika mencari
bakal calon pengurus jika diperlukan.
Kriteria calon anggota pengurus, tidak saja dapat diukur dari CV-nya saja, juga dapat diamati
dari kesehariannya aktif dalam organisasi. Kontribusinya dalam kepanitiaan, keikutsertaan
dalam pelatihan kader, intensitas dalam penyampaian gagasan segar dan ide cemerlang dalam
diskusi, dan komitmennya dalam tugas, kepercayaan dan hubungan baik dengan sesama
anggota dapat menjadi referensi tambahan.
Lokomotif harus tepat memilih orang dan tepat pula menempatkannya pada jabatan teknis
yang sesuai keterampilan yang dimiliki. Salah menempatkan orang pada posisi yang tidak
tepat akan memperburuk kerja tim. Lokomotif juga harus berjalan sesuai irama gerbong.
Jangan terlalu cepat atau terlalu lambat. Lokomotif yang terlalu cepat akan meninggalkan
gerbong jauh di belakang, sehingga yang terjadi adalah show off atau single fighter. Bukan
lagi supertim tapi superman. Kan superman hanya ada pada dunia fiksi.
Lokomotif yang berjalan terlalu lambat juga akan menurunkan motivasi gerbong dalam
menjalankan aktivitas. Lambannya pengambilan keputusan, sikap ragu-ragu, dan terlambat
30
menerima informasi serta rendahnya sensitivitas isu hangat dan kabar aktual kehidupan
organisasi akan menjadi gregetan siapapun apalagi anggota tim.
Memang terkadang ada lokomotif yang lebih besar nama dan kapasitasnya dibandingkan
dengan organisasi yang dipimpinnya sendiri. Namun, tetap harus dapat memposisikan diri
kapan harus berada dalam organisasi dan kapan berada di luar organisasi. Kapan menjadi
bagian dari organisasi dan kapan organisasi itu bagian dari dirinya. Yang jelas, lokomotif
seperti ini juga harus tetap amanah memimpin organisasi dan ingat kapan harus meletakan
jabatan. Godaan untuk terus memimpin dan memanfaatkan organisasi sebagai kepentingan
pribadi yang lebih besar kerap terjadi di organisasi manapun dan apapun. Sang lokomotif,
merasa lebih punya kekuatan kepemimpinannya dibanding sistem yang ada. Ada rumus yang
berlaku, semakin panjang masa berkuasa, kepemimpinan akan cenderung korupsi. Oleh
karena itu, penting mensinergikan kepemimpinan yang kuat dengan kesolidasian sistem.
Menciptakan kepemimpian yang kuat, di samping faktor internal individu juga ditunjang oleh
sistem pengkaderan organisasi. Sedangkan sistem yang solid ditentukan oleh pewarisan dan
pendelegasian satu angkatan dengan angkatan berikutnya dengan mengawal supaya sistem itu
tetap berjalan sesuai visi misi. Bukan tiap periode pengurus seenaknya saja merubah semua
hal mendasar dan prinsip. Bahkan celakanya tidak bisa membedakan antara pedoman dan
program, antara konsep dan teknis, dan antara mendesak dan penting.
Oh ya, lokomotif dan gerbong harus tetap berjalan sesuai rel organisasi dan koridor aturan
dan peraturan organisasi. Artinya taat dan patuh pada visi misi, tujuan dan AD/ART
organisasi serta GBPK organisasi. Hanya kewenangan atau otoritas pengurus di tiap periode
adalah membuat program kerja yang sesuai dengan GBPK. Program kerja dapat terbagi
menjadi 3 bagian: 1) program kerja melanjutkan program kerja pengurus sebelumnya, 2)
program kerja baru yang terjadwal dan berkala, dan 3) program kerja baru yang sifat
insidental dan temporer.
Hubungan antara pengurus baru dengan pengurus lama seharusnya tetap terjalin baik. Bukan
lagi melihat setuju atau tidak sejutu siapa yang sudah terpilih, tetapi demi kemajuan
organisasi dan kepentingan anggota yang lebih besar. Kadangkala yang terjadi, setelah
pengurus baru terbentuk seolah pengurus lama merasa “habis manis sepah dibuang”.
Pengurus lama juga tidak sekalipun memberi perhatian dan mengkontribusikan “warisan”
31
kepada pengurus baru. Sementar pengurus baru merasa “lebih pintar” enggan berkomunikasi
dengan seniornya, sehingga terjadilah gap. Yang ada, anggota curhat ke pengurus lama.
Kalau pengurus lama (mantan pengurus) kurang bijak, maka akan memperuncing masalah.
Oleh karena itu, pertemuan antara pengurus dengan mantan pengurus perlu dilakukan secara
berkala, untuk membahas kelanjutan program kerja dan kemajuan serta kelangsungan hidup
organisasi.
Kok, sama-sama lokomotif dan gerbong ribut?[17/8/2012]
32
BOS = “Bukan Orang Sembarangan ?”
Perbedaan antara pimpinan dan bos, ialah pimpinan adalah bos, tetapi bos belum tentu
pimpinan. Salah satu karakter dan tabiat orang bermental ngebos adalah “sok kuasa dan ingin
selalu dianggap”. Oleh karena itu, ada adagium yang telah berkembang bahwa: bos tidak
pernah salah. Sehingga bukan rahasia umum lagi (kalau sudah diketahui umum kenapa ya
pakai “rahasia” segala?), ada anekdot tentang UU tentang Bos. Yaitu: Pasal 1 (pertama)
berbunyi Bos selalu benar. Pasal 2 (kedua) berbunyi jika bos salah, peraturan kembali ke
pasal 1 (pertama).
Oleh karena bos bukan orang sembarangan, maka anggota (pengikut) nya selalu “menikmati
penderitaan”. Beda antara tampilan dengan isi hati, tidak sama antara aktivitas di depan bos
dengan di belakang bos, dan berlainan antara idealisme dengan aktivitas keseharian.
Akhirnya muncul “mental blankon” di kalangan pengikut.
Dalam organisasi seperti ini terdapat lagu ratapan anggota (bawahan) terhadap bos (atasan)
yang selalu diputar ulang. Jika bawahan lambat bekerja, maka dikatakan lelet/lemot.
Sedangkan jika bos lambat bekerja, maka bos selalu berhati-hati. Bila bawahan salah
mengerjakan sesuatu, maka bawahan itu ceroboh. Sementara bila bos salah mengerjakan
sesuatu, maka hal itu adalah manusiawi. Jika bawahan mempertahankan pendapatnya, maka
dikatakan sebagai keras kepala. Sedangkan jika bos mempertahankan pendapatnya itu dalah
sikap tegas.
Jadi, mana yang dipilih pimpinan bermental bos atau bos bermental pimpinan? [21/7/2012]
33
Sistem Kepemimpinan Dalang-Wayang
Dalam kepemimpinan ada pemimpin dan ada pengikut, ada atasan dan ada bawahan. Namun,
pada strata yang lebih dari satu level posisi tertentu dapat menjadi bawahan dari level di
atasnya, tetapi juga merupakan atasan bagi level di bawahnya. Misalnya, level manajer
merupakan bawahan dari level direktur, dan menjadi atasan dari level supervisor. Sesuai
tugas pokok seseorang yang berada dalam level manajerial adalah mengambil keputusan,
maka kewenangan ini seharusnya diberikan keleluasaan. Keputusan yang diambil oleh setiap
pimpinan di masing-masing level memiliki keterbatasan dan masih dalam kendali pimpinan
atasnya dengan tingkat risiko yang sudah diukur seminim mungkin dengan segala
antisipasinya.
Begitu pun pada organisasi massa atau partai politik, yang terdiri dari dewan pimpinan pusat,
pimpinan daerah, pimpinan wilayah, pimpinan cabang, sampai pimpinan ranting. Atau pada
organisasi kecil yang hanya terdiri dari badan pengurus harian, departemen, bidang, bagian,
biro, sampai seksi. Semua yang berada di level-level menengah akan mempunyai posisi
ganda. Sebagai pimpinan sekaligus bawahan juga.
Jika organisasi sudah memiliki kepemimpinan yang visioner dan menyiapkan adanya
regenerasi yang ditunjang oleh sistem manajemen yang dapat menjawab kebutuhan akan
perubahan di setiap masa, maka setiap levelisasi diberi kewenangan dalam mengambil
keputusan. Akan tetapi, masih banyak organisasi yang sangat membatasi kewenangan ini.
Kalau organisasi itu baru berdiri, mungkin harap dimaklumi karena pengurusnya masih hijau
dalam berorganisasi dan belum memiliki jam terbang yang banyak. Bila organisasi tersebut
hanya sekelas kumpulan beberapa orang teman ngopi di warung yang tidak memiliki aset
untuk dikelola, masih dikatakan wajar dikelola dengan cara demikian.
Kenyataan yang ditemui adalah, pada organisasi yang sudah lama, yang mengelola sejumlah
aset yang sangat besar, yang terdiri dari banyak orang anggota dan pendukungnya, masih
menerapkan sistem kepemimpinan yang sangat terpusat dan amat teratas. Semua pejabat di
level menengah sampai bawahnya tidak memiliki otoritas dalam bertindak strategis dan tidak
memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan. Layaknya, semua pejabat di level ini
34
bekerja sesuai perintah remote control dari pimpinan tertinggi. Susunan kepengurusan
organisasi memang dibuat stratifikasi, tetapi otoritas dan informasi tidak berjalan sesuai strata
yang teratur. Setiap ada pertanyaan yang memerlukan jawaban, harus menunggu suara dari
atas. Setiap ada masalah yang memerlukan solusi, harus menantikan kicauan dari pusat.
Semua pejabat hanya berada pada posisinya tanpa makna. Kendali sepenuhnya dipegang oleh
orang yang tidak tampak, yang selalu dikatakan berada di atas atau di pusat.
Orang-orang yang berada di level-level tersebut dapat diibaratkan berada pada kondisi seperti
kepala dilepas ekor selalu dipegang. Nah, yang timbul adalah sikap mencari selamat atau
untung, walaupun temannya yang bernama Slamet dan Untung setiap hari sudah ketemu.
Seolah-olah dalam level-level itu antara ada dan tidak adanya sistem. Mengambang dan tidak
jelas. Selain itu, dampaknya adalah inisiatif tunggu nanti, kreativitas mati, dan inovasi hanya
mimpi.
Jika organisasi terus mempertahankan sistem kepemimpinan seperti ini tak ada prosfek yang
diharapkan ke depannya, hanya tinggal menghitung waktu saja sambil menyiapkan keranda
kematian. Ketergantungan berlebihan pada seseorang, kekurangpercayaan pada bawahan,
tidak menyiapkan sistem manajemen yang mengacu pada perubahan, serta tidak memperbaiki
kultur organisasi, adalah cara-cara mengelola organisasi bukan saja tradisional, tetapi lebih
tepatnya primitif. Semoga saja bukan sekelas zaman barbar yang menihilkan sifat dan sikap
manusiawi dalam berorganisasi. Kini, sudah zamannya modern, bahkan ada yang bilang post
modern. Selayaknya, organisasi apapun dan dimanapun, beradaptasilah sesuai zamannya.
[14/10/2012]
35
Berbagai Tipe Pengurus Organisasi
Menjadi pengurus organisasi semestinya sadar akan menambah kesibukan dan pengorbanan.
Waktu, tenaga, dan pikiran harus dialokasikan atau disempatkan. Disisihkan dan bukan
disisakan. Kadangkala juga, perlu pengorbanan uang pada organisasi sosial. Seharusnya,
setelah memegang tampuk kepengurusan konsekuensi di atas harus diterima. Beberapa
pengurus menyikapinya dengan berbagai cara, sehingga nampak bermacam tipe yang dimiliki
pengurus. Diantaranya, adalah:
a. Pengurus yang hanya namanya saja dicantumkan dalam daftar susunan
kepengurusan organisasi, tidak melakukan apa-apa. Rapat pengurus tidak pernah hadir
apalagi acara kegiatan organisasi.
b. Pengurus yang hanya hadir dalam rapat pengurus dan biasanya banyak ide dan usul,
tetapi ketika diminta untuk menjadi penanggung jawab kegiatan akan menolak dengan
berbagai alasan. Pada saat acara kegiatan tidak hadir.
c. Pengurus yang tidak pernah mau ikut rapat pengurus, tetapi setiap ada acara kegiatan
selalu hadir. Acaranya adalah kegiatan yang dilakukan oleh seksi (bidang) lain.
d. Pengurus yang tidak mau menjalankan tugas dan fungsinya sesuai seksi (bidang) yang
menjadi tanggung jawabnya, tetapi suka mengerjakan tugas seksi (bidang) orang lain.
e. Pengurus yang hanya mau menjadi pengurus, tidak mau tahu dengan tugas dan
fungsinya, tetapi rapat selalu hadir, dan ketika acara kegiatan juga hadir sebagai objek
pelengkap.
f. Pengurus yang tidak pernah mau hadir dalam rapat pengurus, tetapi ketika diingatkan
tugas dan fungsinya mau mengerjakannya sampai tuntas selesai (dari konsep sampai
operasionalnya).
g. Pengurus yang hanya mau bertanggung jawab dan terlibat dalam acara kegiatan yang
menjadi tanggung jawab seksi (bidang)nya. Kalau ada acara kegiatan seksi (bidang) lain,
tidak mau membantu sekalipun sebagai anggota dan bahkan tidak pernah hadir (datang)
sebagai peserta.
h. Pengurus yang mau mengerjakan tugasnya (dalam konsep), tetapi pada saat acara
kegiatan dilangsungkan tidak pernah datang.
i. Pengurus yang tidak mau datang saat membahas konsep kegiatan seksi (bidang) nya,
tetapi saat acara kegiatan berlangsung selalu hadir mengerjakan tugasnya.
36
j. Pengurus yang rajin hadir dalam rapat pengurus, mengerti tugas dan fungsinya, serta
menyediakan waktu buat hadir dalam acara kegiatan organisasi.
Munculnya, berbagai tipe pengurus di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain: niat
menjadi pengurus (keterpaksaan atau berminat), karakter pribadi, sistem rekruitmen
pengurus, sistem kaderisasi organisasi, hubungan antar pengurus, sifat kepemimpinan sang
ketua, dan budaya organisasi yang menaunginya. Nah, jika anda seorang pengurus organisasi,
jujur saja anda termasuk tipe pengurus yang mana……..? [26/5/2012]
37
4 Tipe Pengikut (Anggota Organisasi)
Dalam pelajaran dasar administrasi, disebutkan syarat berdirinya organisasi adalah: adanya
anggota, adanya pengurus, dan ada AD/ART. Kalau pengurus disebut leader (pemimpin),
maka anggota disebut follower (pengikut). Menjadi pemimpin harus mengerti siapa yang
dipimpinnya, disamping tentu saja dapat memimpin dirinya sendiri.
Berdasarkan kemauan dan kemampuan yang dimiiliki dalam berperan serta dan melibatkan
diri aktivitas organisasi, pengikut (anggota) dibedakan menjadi 4 tipe, sebagai berikut:
1. Anggota yang RAJIN dan PINTAR
2. Anggota yang RAJIN dan BODOH
3. Anggota yang MALAS dan PINTAR
4. Anggota yang MALAS dan BODOH
Semua pimpinan pasti akan mau memiliki anggota tipe 1, tetapi kenyataannya tidak akan ada.
Seandainya semua anggota organisasi bertipe 1 ditambah dengan loyalitas dan dedikasinya
tinggi pada organisasi, maka pengurus (sang ketua) tidak punya amal. Justru adanya amal
karena jumlah tipe ini sangat sedikit, sehingga harus berkerja keras dengan belajar cerdas
membina tipe lainnya.
Anggota bertipe 2, harus dilakukan pembinaan dengan pengetahuan dasar berorganisasi dan
spesialisasi aktivitas organisasi serta manfaat yang akan diperolehnya kelak. Melibatkannya
dengan kegiatan dan mengajarinya dengan penuh kesabaran. Dengan modal rajinnya,
melakukan hal yang berulang melebihi orang lain akan menjadi pintar. Terapkan ilmu 3 X 1,
bukan 1 X 3.
Anggota tipe 3 hanya memerlukan motivasi, dengan menyampaikannya manfaat
berorganisasi secara rasional, menghubungkan dengan hobinya, serta berikan pemahaman
bahwa organisasi dapat menjadi sarana dan fasilitas pengembangan diri. Orang yang pintar
membutuhkan tantangan dan mau melukakan sesuatu yang baru, menarik, sesuai
kesenangannya, dan pemacunya. Pemicunya sudah ada pada dirinya sendiri. Jangan lupa test
case dengan memberi kepercayaan menjadi project officer sebuah kepanitiaan.
38
Sedangkan untuk anggota tipe k-4, pengurus harus berusaha dan bekerja ekstra keras
menghadapinya dengan memberi motivasi sekaligus mengajarinya. Dimulai dengan mencari
tahu alasan bergabung dalam organisasi, memberi perhatian keterlibatannya dalam kegiatan,
membimbingnya dalam keterampilan teknis, serta memberi apresiasi walaupun sekedar
ucapan atas prestasinya (meskipun menurut ukuran orang lain itu biasa).
Dengan berbagai tipe anggota yang dimiliki, maka pendekatan dalam melakukan
implementasi kepemimpinan, pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan motivasi terhadap
anggota, dilakukan secara umum dan khusus. Yang umum menyangkut dasar-dasar
berorganisasi dan spesfikasi aktivitas, sementara yang khusus berkaitan keterampilan teknis,
bimbingan peran, pengelompokan peminatan yang disesuaikan dengan minat dan
kemampuan masing-masing. [3/6/2012]
39
Kepepet Makes Power
Dalam keadaan biasa, wajar, atau lazim maka hal-hal yang menyangkut kekuatan dan
ketangguhan tidak nampak dipermukaan. Walaupun faktor eksternal memberikan segudang
antusias dan setumpuk motivasi, sementara faktor internal tetap dalam status quo dan
kejumudan, maka tidak akan ada perubahan yang berarti. Niat akan tetap tinggal niat. Mimpi
hanya sebatas bunga tidur yang tetap berada dalam angan dan khayalan, tanpa follow up-nya.
Seolah situasi dan kondisi begitu tegar dan terlalu kuat untuk ditembus. Usaha dan ikhtiar
yang dilakukan serasa tak mampu melewati batas itu. Seakan terjadi deadlock dan kuldesak
setiap upaya. Namun, keadaan akan berubah ketika situasi dan kondisi dalam keadaan
terdesak, tersudut, terkekang dan kepepet bagai telur di ujung tanduk. Segenap kekuatan
keluar seolah dibangunkan dari tidurnya dalam alam bawah sadar. Kekuatan dari situasi
kepepet ini tidak dapat terduga besarnya bahkan tak terukur bila dibandingkan ketika dalam
situasi biasa dan wajar.
Banyak orang yang berhasil menggapai keinginannya dan sukses menggapai cita-citanya
setelah mengalami situasi kepepet. Mereka melakukan quantum leap dalam situasi demikian
hingga mencapai harapannya. Mereka pantas ber-victory laps layaknya seorang atlit yang
telah memenangkan pertandingan. Ah, ternyata kepepet dapat membuat kekuatan besar yang
tak terduga sebelumnya. Kalau begitu, bagaimana kalau membuat setiap waktu seolah dalam
keadaan kepepet? [24/3/2012]
40
Pemimpin, menyelami kenikmatan atau menikmati penderitaan?
Mungkin kalau kita merujuk pemimpin pada pribadi Rasulullah sangat normatif dan kurang
terukur. Alasan yang selalu dikemukakan terang saja beliau Nabi apalagi Rasul. Walaupun
dipakai argumentasi bahwa beliau sangat manusiawi banget dalam kesehariannya, tetap saja
sebagian orang tidak mau menerima alasan tersebut. Kalau begitu, jika dipakai
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, selalu saja ada alasan. Mereka dididik oleh Rasulullah
langsung dan ditempa dalam tarbiyah selama 23 tahun dalam teori dan praktik dari seorang
guru terhebat sepanjang sejarah umat manusia. Atau diambil dari salah satu Dinasti
Umayyah, yakni Umar bin Abdul Azis (cicit dari Umar bin Khatab) yang sukses memimpin
selama 2 tahun dengan mensejahterakan rakyatnya sampai sulitnya amil zakat menemui
orang miskin di negeri itu.
Namun, yang tampak dewasa ini di negeri yang makmur dengan kekayaan alamnya ini
sebaliknya. Sulit menemukan pemimpin sejati, yang ada penguasa. Sukar menjumpai tokoh
sekaliber negarawan, yang ada hanya berhenti pada profesi politikus. Pekerjaannya hanya
memperebutkan kekuasaan dan memupuk kekayaan. Jika dalam pendirian bangsa dan negara
ini perseteruan antar tokoh seputar konsep negara atau sekitar ideologi negara, tetapi dalam
elit politik sekarang ini hanya berkutat masalah kursi dan duit.
Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan Syafrudin Prawiranegara berkonflik pada masalah
konsep dasar negara. Sukarno dan Mohammad Natsir berseteru dalam masalah ideologi
negara. Semua pemimpin negara dan bangsa ini yang menjadi founding fathers, adalah orang
yang tidak selalu sejalan sepemikiran. Akan tetapi pemikiran mereka bukan untuk tujuan
jangka pendek hanya mengurus tahta dan harta, tetapi tentang organisasi negara ini ke depan,
jangka panjang.
Agus Salim mempunyai kredo, “leiden is`lijden (memimpin adalah menderita). Kita
terbayang bagaimana penderitaan Jenderal Sudirman, yang memimpin perang gerilya di atas
tandu. Dengan tabahnya, beliau berpesan, “jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita
(prajurit, pemimpin) yang menderita.”
41
Dari Irfan Junaidi, dalam buku Mengenang Bung Hatta yang ditulis Iding Wangsa Widjaya
(mantan sekretaris Bung Hatta), dikisahkan pada tahun 1952 Bung Hatta akan berangkat
menunaikan ibada haji ke Arab Saudi bersama istri dan dua orang saudara. Waktu itu, Bung
Karno sebagai presiden menawarkan untuk memberikan fasilitas penerbangan kepada Bung
Hatta. Dengan tegas, beliau menolak tawaran tersebut. Bung Hatta ingin berangkat haji
sebagai rakyat biasa. Bung Hatta berangkat haji dengan biaya yang seluruhnya berasal dari
kantong pribadi. “Saya masih ingat benar bahwa kami semua diberangkatkan Bung Hatta ke
Mekkah dengan uang hasil honorarium buku beliau yang terbit di Belanda dan Berbahasa
Belanda, judulnya Verspreide Geschriften, “tulis Iding. Bung Hatta adalah penulis ulung
yang melahirkan sederet karya literatur.
Kelihatannya sulit menemukan hal yang telah dicontohkan Bung Hatta pada perikehidupan
pemimpin pusat dan pemimpin daerah di Indonesia saat ini. Bahkan mereka lebih sadis
menggunakan dana pemerintah dan uang negara ibarat perlombaan. Anggaran negara dipakai
untuk keperluan pribadi atau keluarga termasuk haji, yang mengikutsertakan kerabatnya
sekaligus. Memimpin laksana mencapai kenikmatan dengan hidup bersenang-senang dan
bermewah-mewah ria, yang memanfaatkan anggaran publik.
Pemimpin yang tidak mau menderita demi organisasi, adalah pemimpin yang tidak hanya
mencari makan dari organisasi, bahkan sedang menjadi predator bagi organisasinya.
Sedangkan pemimpin yang mau menderita demi organisasinya, adalah pemimpin yang
memberi makan dan menghidupkan organisasi. [17/3/2013]
42
Berbuat ”lebih” dari yang Seharusnya
Tersebutlah kisah (sebenarnya) dua orang siswa yang berada dalam satu kelas di sebuah
SLTP di pinggiran Jakarta. Ketika itu mereka duduk dalam kelas III. Salah seorang dari
mereka tidak memiliki buku ’cetak’ (atau buku pegangan/panduan, saat itu buku terbitan
Departemen P & K), sehingga untuk mengerjakan soal atau ’PR’ harus menyalin cepat dari
buku temannya. Jika harus meminjam tidak mungkin, karena temannya juga butuh buku
tersebut pada saat yang sama. Kejadian itu berulang terus sampai gurunya mengetahui bahwa
si murid tidak mempunyai buku itu. Sang guru yang bijak menyuruh si murid datang ke
rumah dan meminjamkan buku ’cetak’ tersebut selama satu semester.
Kedua siswa yang berlainan etnis dan berbeda agama tersebut bergaul akrab, bersinergi
dalam memahami pelajaran sekolah terutama Matematika, kadang saling menantang untuk
berkompetisi, tetapi tetap dalam pertemanan yang erat dan persahabatan yang kental.
Diantara mereka tidak pernah berseteru apalagi berkonflik. Berdiskusi dan berdebat selalu
diakhiri kedamaian, karena lebih menghargai argumentasi logis ketimbang egoisme emosi.
Saling menghargai pendapat dan mau menerima kebenaran walaupun datang lewat orang
lain.
Saat pelajaran Matematika seperti biasa guru menjelaskan teori, aksioma, dan memberi
contoh soal, kemudian menyelesaikannya. Pelajaran akan diakhiri dengan latihan sejumlah
soal yang terdapat dalam buku. Siswa yang dapat menyelesaikan lebih dulu diminta tidak
menunggu siswa lain tetapi terus melanjutkan nomor berikutnya yang tertera dalam latihan
bab tersebut. Jika tidak ada siswa yang bertanya karena menemui kesulitan, guru hanya
mengawasi satu-persatu siswa dalam mengotak-ngatik angka tersebut. Guru akan menyuruh
siswa lain maju ke depan untuk menyelesaikan soal yang ditanyakan siswa. Guru hanya
menambahkan dasar teori dan aksioma yang dipakai jika diperlukan.
Kedua ’tokoh’ siswa dalam cerita ini melaju dengan cepat dalam menyelesaikan soal, bahkan
tanpa disuruh guru semua bab berikutnya dipelajari sendiri dan soal-soalnya dilalap habis.
Maksudnya, jika guru baru menerangkan pelajaran Bab 5 dan memberikan soal latihan di
Latihan 5A, kedua siswa itu sedang menyelesaikan Latihan 7B dan saling berkejaran dan
43
berlomba sejauh mungkin mencapai akhir buku. Perlu diketahui setiap bab memiliki teori dan
soal latihan. Untuk soal latihan ada yang terdiri A dan B. Artinya Bab 5 memiliki teori dan
ada Latihan 5A (biasanya guru hanya menyuruh mengerjakan soal-soal ini saja), sedangkan
Latihan 5B (ada keterangan ”Untuk Penggemar Matematika”, bila disimak soal-soalnya
memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi).
Belajar dengan didikan guru yang baik, metode yang tepat, sarana yang cukup, membuat
semangat menuntut ilmu bergelora, apalagi ditambah suasana ’akademis’ sekolah itu yang
mendukung. Ulangan dan ujian di dua semester dilalui dengan mudahnya oleh kedua siswa
tersebut dalam pelajaran Matematika. Hasil yang diperoleh dari setiap tes selalu tidak pernah
ada nomor yang salah dalam penyelesaiannya. Kedua siswa itu dalam pelajaran Matematika
memilki nilai yang homogen, selalu 100 (seratus). Makanya, sang guru tidak ragu
mengapresiasinya dengan nilai 10 pada semester V dan VI dalam buku Rapor mereka.
Kisah yang terjadi di tahun 1981-1982 tersebut memberi pelajaran betapa berbuat yang
”lebih” dari seharusnya akan mendatangkan hasil yang berbeda dari orang kebanyakan.
Kebanyakan kita terjebak dalam perilaku manusia ekonomis, manusia politis, atau manusia
industrialis. Manusia ekonomis, yang lebih dari hemat (pelit atau kikir) dan semua serba
dihitung-hitung serta dikalkulasi untung ruginya. Seolah semua aktivitas dapat diukur dengan
metode kuantitatif. Berpegangan pada standarisasi menjadi alasan, walaupun sebenarnya
karena ’tidak mau rugi’ dalam pikirnya. Menjadi karyawan, dengan jam kerja yang sesuai
setoran saja. Hanya terkonsentrasi pada bidangnya saja tanpa berkeinginan mengetahui
bidang lainnya, apalagi mempelajarinya. Menjadi spesialis buta yang picik pandangan dan
naif wawasan. Sehingga bukan tidak mungkin pengalaman kerja selama 30 tahun hanya
memiliki satu ’kebisaan’ (bukan keahlian lagi) yang dipegang.
Manusia politis, laksana orang yang salah masuk sarang. Seharusnya menjadi politisi (dalam
partai politik), tetapi masuk ke lingkungan kerja (profesional). Akibatnya, tabiat politiknya
dibawa dalam pekerjaan. Dalam pekerjaan bukannya serius untuk menjalankan sistem,
melainkan mengutak-ngatik, mengakal-ngakalin, memain-mainkan, dan mensiasati sistem
yang ada demi kepentingan pribadinya. Sebagai ’politisi gagal’, maka akan gagal juga segala
usahanya meskipun sistem organisasi (perusahaan) belum solid dan masih lemah dalam
pengontrolan. Namun, masih ada sedikit peluang jika kultur organisasi masih
44
mengedepankan ukuran ’untung-rugi’, like-dislike, dikenal-tidak dikenal, atau dekat-tidak
dekat.
Manusia industrialis, sangat kaku memegang SOP (standar operating prosedure) abai pada
kreativitas. Menganggap semua manusia terutama yang dipimpinnya adalah mesin (robot)
yang tidak memiliki naluri, nurani, hati, perasaan, emosi, dan keinginan. Senyum yang
dipaksakan, tanpa keikhlasan. Keramahan yang diatur bukan apa adanya. Penampilan yang
kamuflase, bukan aslinya.Yang ada, imitasi bukan sejati. Artifisial bukan original.
Masalahnya, ketika menyadari dan memahami tentang ’kita’. Kita terjebak dalam profesi,
status, atribut, pangkat, atau jabatan. Bukan manusia seutuhnya. Akibatnya, pola pikirpun
mengikuti kemana kesadaran dan pemahaman tentang ’kita’ yang seharusnya menyeluruh
menjadi parsial. Pola pikir akan menggiring sikap dan perilaku dalam beraktivitas dan
berbuat.
Betapa banyak dalam sejarah orang hebat atau orang berpengaruh yang mengukir peradaban,
karena mereka berbuat ’lebih’ dari orang kebanyakan. Mereka melakukan yang ’berbeda’
dari apa yang orang banyak biasa melakukan.
Mari kita berbuat ’lebih’ dari yang seharusnya! Mau? [24/3/2013]
45
Organisasi dalam Eksistensi dan Strukturisasi
Kala pertama kali mengenal organisasi sebagai siswa SMP adalah OSIS (Organisasi Siswa
Intra Sekolah). Dalam kata “OSIS” jelas termaktub kata “intra”, bahwa OSIS adalah
organisasi intra (berada di dalam) sekolah, bukan organisasi ekstra sekolah (di luar sekolah).
Untuk organisasi ekstra sekolah setingkat SLTP dan SLTA nampaknya tidak begitu dikenal,
kecuali yang berada di bawah ormas (organisasi massa) terutama ormas islam. Sedangkan
organisasi di level mahasiswa (di perguruan tinggi), jelas terbagi menjadi 2 bagian, yakni
organisasi intra universiter dan organisasi ekstra universiter.
Eksistensi organisasi yang berada di dalam sekolah/universitas berada dalam ruang lingkup
terbatas, yakni sepanjang masa studi pelajar/mahasiswa di institusi pendidikan tersebut.
Setelah merampungkan studinya, otomatis si pelajar/mahasiswa tidak lagi menjadi
anggotanya. Pelajar atau mahasiswa memiliki peran ganda, sebagai anggota (peserta didik)
dari lembaga pendidikan yang bersangkutan juga sebagai anggota dari keluarga organisasi
kesiswaan (OSIS) atau organisasi kemahasiswaan intra universiter (baik tingkat program
studi/jurusan, fakultas, atau universitas). Hal yang mirip juga terjadi pada
karyawan/pekerja/buruh dalam organisasi (perusahaan) tempat kerja. Setiap pekerja (non
level manajerial) memiliki dualisme peran sebagai anggota (pekerja) dari perusahaan dan
juga sebagai anggota serikat karyawan/pekerja/buruh. Organisasi serikat
karyawan/pekerja/buruh memiliki garis struktural menembus batas lingkup perusahaan
tempat kerja (yang hanya setingkat unit), sedangkan ke atasnya terdapat dewan pimpinan
(cabang, daerah, dan pusat), bahkan ditambah lagi terdapat pengelompokan dalam sektor-
sektor industri.
Organisasi bisnis (perusahaan) lebih variatif dalam membuat strukturnya apalagi setelah
membentuk grup atau holding company, dimana perusahaan sudah beranak pinak bahkan
beranak cucu sampai cicit. Kompleksitasnya akan lebih lagi ketika membuat pilihan dalam
beroperasi di tingkat global (perusahaan internasional dan multinasional). Diantara
pilihannya, adalah strategi internasional, strategi multidomestik, strategi global, atau strategi
transnasional.
46
Organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi massa (ormas), dan organisasi politik (partai
politik) eksistensinya disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai serta
kepentingan yang akan diperoleh para pendirinya. Strukturisasinya hanya berbeda tipis satu
sama lain. Di tingkat terkecil ada unit/satuan, kemudian ranting/anak cabang, cabang, daerah,
wilayah sampai pusat.
Nah, bagaimana dengan organisasi alumni sebuah sekolah/perguruan tinggi? Jelas, secara
struktur tidak ada kaitannya dengan organisasi almamaternya terdahulu.
Dengan demikian, para aktivis organisasi baik ekskul di sekolah, aktivis kemahasiswaan,
aktivis ketenagakerjaan (sebagai pekerja), dan aktivis organisasi apapun dan manapun harus,
mesti, kudu, dan wajib mengetahui eksistensi dan garis strukturisasi (vertikal & horisontal)
organisasi yang menaunginya. Sehingga sebagai aktivis tidak salah memilih, tak salah
bergerak, dan tidak salah melangkah. Sadar atau tidak ketika ikut berorganisasi orang sudah
berada dalam komunitas dan ini akan menambah peran sebagai individu. Semakin banyak
ikut organisasi akan semakin banyak peran yang harus dimainkan dalam “panggung
sandiwara sejati” ini. [8/7/2012]
47
Tiga Fungsi Dasar (Utama) Organisasi
Setiap organisasi, baik organisasi kecil ataupun organisasi besar, baik organisasi sosial
maupun organisasi bisnis, akan melakukan fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Diantara manajemen fungsional, ada 3
fungsi yang menjadi dasar dalam berorganisasi atau menjadi fungsi utama berjalannya
organisasi. Ketiga fungsi dasar (utama) tersebut adalah pemasaran, operasi/produksi, dan
keuangan/akuntansi.
Semua organisasi seperti organisasi yang berada di sekolah seperti kegiatan ektrakurikuler,
organisasi masjid (DKM), sekolah, universitas, rumah sakit, yayasan, sosial, massa, LSM,
organisasi relawan, dan bisnis, memerlukan ketiga fungsi di atas.
1. Fungsi Pemasaran
Setiap organisasi prinsipnya adalah mengumpulkan kekuatan. Oleh karena itu, sebelum orang
memasuki suatu organisasi, bergabung atau bekerja sama tentunya akan mencari tahu tentang
jati diri organisasi tersebut. Tanpa organisasi itu memasarkan jati dirinya akan sulit dikenal
oleh orang luar. Dengan 4p-nya marketing mix (bauran pemasaran), yakni product, price,
place, dan promotion, setiap organisasi perlu untuk memasarkan apa yang menjadi aktivitas
atau “core business”-nya.
Dalam konteks organisasi ekskul KIR, yang menjadi produk adalah anggota KIR yang
mampu berkarya dan berprestasi dan alumni KIR yang dapat berkiprah di masyarakat sesuai
profesinya. Iuran keanggotaan sebagai harga yang harus dibayarkan oleh anggota yang ingin
terbina, terlatih, terdidik dan terbimbing dalam kegiatan ilmiah. Sekretariat, perpustakaan,
laboratorium, organisasi antar KIR, museum, universitas, lembaga peneltian, dan industri,
adalah tempat aktivitasnya atau jalur distribusi kegiatannya. Promosi yang dilakukan sebelum
perekrutan anggota baru ketika penerimaan siswa baru setiap tahun ajaran baru. Promosi juga
bisa dlakukan dengan semaraknya aktvitas ilmiah dan bertaburnya prestasi anggota yang
disosialisasikan terus menerus. Mengadakan kegiatan terbuka yang dihadiri semua siswa,
seperti seminar studi lanjut dan pilihan profesi setelah lulus.
48
2. Fungsi Operasi/Produksi
Organisasi laksana sebuah mesin, yang memproses input menjadi output. Dalam operasinya,
organisasi mendapatkan masukan berupa raw material, sumber daya, dana, SDM, metode,
mesin, infrastruktur, yang masuk dalam proses organisasi sehingga menjadi produk jadi, yang
berupa barang (komoditas) atau jasa (layanan). Dalam memproses, tentu saja ada
perencanaan produk, mutu, rancangan proses, lokasi, tata letak, SDM, pasokan, persediaan,
penjadwalan, dan pemeliharaan.
Dalam konteks KIR, sebagai inputnya adalah seluruh anggota. Proses operasi atau
produksinya, adalah diklat, kegiatan percobaan/penelitian (riset), presentasi, penulisan karya
ilmiah, dan semua aktvitas ilmiah (seperti yang pernah penulis paparkan tempo hari).
Infrastruktur operasi: Visi Misi KIR, AD/ART, GBPK, Susunan Pengurus, Struktur
Organisasi, Program Kerja, Surat Keputusan (SK), dan Kurikulum Pembinaan Anggota.
Termasuk urusan administrasi yang dikerjakan konsepnya oleh Sekretaris. Aktivitas operasi
KIR terbagi 2 bagian internal dan eksternal. Internal berupa ruang kelas, aula, perpustakaan
laboratorium, dan halaman sekolah. Eksternal, digunakan bila bekerja sama dengan
organisasi/institusi/lembaga lain.
3. Fungsi Keuangan/Akuntansi
Sebagai organisasi yang masih kecil dan sederhana, KIR cukup membuat RAPB, yakni
rancangan anggaran pendapatan dan belanja. Bendahara membuat konsep prediksi anggaran
yang masuk sebagai pendapatan selama 1 tahun. Mengkonsep sumber-sumber dana
organisasi, baik yang tetap (dana taktis) atau temporer. Dengan prediksi tersebut, kemudian
dapat dibuat estimasi alokasi (jatah) tiap bidang atau perwaktu tertentu yang harus
dikeluarkan. Intinya tetap harus ada “cadangan devisa” sekitar 60-70%, sehingga yang keluar
antara 30-40% saja tiap kegiatan. Yang selebihnya dicari melalui usaha panitia.
Sesungguhnya mengurus keuangan tidak sulit, asal catatan dengan uang yang ada selalu sama
(tak berbeda nilainya). Dan jumlah uang selalu “pas” saja. Mau belanja ini, mau ngadain
kegiatan itu, uangnya pas ada. Ya, kan?
Demikian fungsi manajemen yang mendasar bagi setiap organisasi, sedangkan fungsi lainnya
adalah manajemen SDM, manajemen investasi, dan manajemen strategik. Dalam praktiknya,
ketiga jenis manajemen yang disebut belakangan tersebut juga sudah diterapkan walaupun
dalam skala yang kecil dan tak terprioritas. [5/8/2012]
49
Heterogenisasi yang Tak Dapat Dihindari
Kecenderungan setiap orang memiliki persamaan dan kesamaan dalam segala hal dengan
orang lain, terutama dengan pasangan hidupnya. Perasaan yang sama, berpola pikir yang tak
berbeda, cara mangambil sikap yang tak berlainan, dan semuanya serba sama, sejalan, se-
kepribadian sehingga tercipta keharmonisan, keselarasan, keserasian yang terus menerus. Tak
pernah ada ritme gelombang perbedaan, tak pernah ada gejolak emosional, semua berjalan
datar, horisontal, selalu steady state, dan tak pernah ada turbulence condition. Memiliki
kesenangan yang sama, mempunyai ketidaksukaan yang sama, senantiasa sependapat dalam
segala hal, serta tak ada yang diselisihkan. Laksana dua buah bangun dalam logika
matematika, yang disebut kongruen. Sama dan sebangun.
Kecenderungan ini semakin meluas ketika orang memiliki komunitas, berorganisasi, atau
bermasyarakat. Adanya persamaan hobi, kebutuhan, dan kepentingan terbentuklah
komunitas. Demikian pula halnya, dalam berorganisasi. Bahkan organisasi lebih mengikat
lagi kesamaan yang harus dipenuhi dengan pencanangan visi dan doktrin ideologi, misalnya.
Semua anggota harus sevisi dan seideologi. Anggota yang tak seivisi dan seideologi minggir
dari mainstream dan tak ada tempat, apalagi bagi kritikus, si mbalelo, si penyeleneh, dan
pengganggu kestabilan status quo. Organisasi harus berjalan aman dan nyaman, tanpa riak
gelombang apalagi “guncangan gempa bumi”.
Dalam masyarakat yang tidak semua hubungan antar anggota diatur dalam aturan formal,
maka keharmonisan hubungan terjadi justru pada ketidakformal, karena lebih luwes,
fleksibel, cair, tidak rigid, dan tak kaku. Adanya persamaan dan perbedaan adalah sebuah
sunatullah. Sikap yang hanya mau menerima persamaan, dan tak mau menyadari adanya
perbedaan adalah sikap yang menerima sunatullah tak seutuhnya. Menyadari bahwa dua
orang anak kembar sekalipun yang dilahirkan seorang ibu, pasti memiliki sejumlah
perbedaan. Apalagi dengan yang bukan kembarannya. Sepasang suami istri yang masing-
masing berasal dari orang tua yang berbeda jelas akan memiliki perbedaan. Sesama antar
anggota organisasi (hubungan kerja, bisnis, atau sosial) semakin tampak perbedaan yang ada.
Perbedaan semakin banyak lagi ketika telah memasuki kancah yang semakin luas. Perbedaan
50
yang semula hanya faktor genetika, bertambah dengan faktor lain seperti pergaulan,
pendidikan, dan lingkungan.
Dalam konteks negara ini, keindahan yang terbentuk berasal dari sejumlah perbedaan yang
dimiliki. Berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa daerah, adat istiadat, tradisi, dan
sebagainya memberi konfigurasi warna sehingga membentuk mozaik yang namanya
Indonesia. Oleh karena itu, patutlah bersyukur menjadi orang Indonesia. Mulai bersikap
menjadi “penduduk yang dewasa” yakni mau menerima perbedaan yang ada dan mengakui
adanya perbedaan orang lain. Kebhinekaan atau keragaman adalah sebuah kenyataan.
Pluralitas atau kemajemukan adalah sebuah keadaan. Sehingga menginginkan homogenitas
dalam masyarakat hanya sebuah utopia. Yang jelas kini hidup dalam heterogenitas yang tak
dapat dihindari. Sekali lagi, ini sebuah sunatullah. [23/6/2012]
51
Kaderisasi dan Regenerasi dalam Organisasi
Seorang pemimpin yang berhasil, bukanlah pemimpin yang hanya dapat mengukir prestasi
gemilang di masa periode kepemimpinannya dengan berbagai macam karya monumental,
tetapi pemimpin yang dapat mewariskan nilai kepemimpinannya kepada generasi berikut
dengan lebih baik dalam mengelola organisasi. Jelasnya, seorang pemimpin harus dapat
menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Hal inilah yang menjadi persoalan pentingnya
kaderisasi dan regenerasi dalam organisasi.
Harus diakui masalah terbesar setiap organisasi justru kedua hal ini, kalau organisasi ini mau
tetap eksis sepanjang sejarah dan menciptakan produk bermanfaat yang dapat dinikmati oleh
seluruh umat di dunia. Masalah kaderisasi dan regenerasi terkait banyak faktor terutama
karakterisitik organisasi itu sendiri. Visi dan misi, tujuan, eksistensi dan strukturisasi, para
pendiri, kepemilikan, AD/ART, sistem suksesi, dan kepentingan-kepentingan (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan) serta strategi organisasi yang
bersangkutan.
Oleh karena itu begitu kompleksnya faktor terkait di atas, maka dibatasi dan disederhakan
dengan satu faktor saja, yakni sistem suksesi. Sistem suksesi dapat diprogramkan dalam satu
periode, yang tentunya tidak bertentangan dengan peraturan lebih atasnya, seperti Surat
Keputusan (SK), Garis Garis Besar Program Kerja (GBPK), dan AD/ART organisasi.
Sistem suksesi dalam organisasi kecil dan sedehana (yang mana para pengurus & anggotanya
baru mulai belajar berorganisasi), dapat dilakukan dengan 2 jalur pembinaan pengkaderan,
yakni:
1. Pembinaan teori lewat DIKLAT (pendidikan & pelatihan)
Diklat dilakukan setiap tahun, dan dibagi menjadi 2 tingkat: tingkat dasar dan tingkat
menengah. Tingkat dasar diikuti oleh anggota baru, sedang tingkat menengah diikuti
oleh pengurus setingkat kepala bidang, anggota yang pernah menjadi panitia sebuah
kepanitiaan dan atau anggota yang pernah ikut diklat tingkat dasar.
Materi diklat adalah Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Administrasi. Ada
materi umum (20%) dan materi khusus (80%), dengan pembekalan 40% teori dan 60%
praktik. Untuk materi umum dapat diikuti oleh kedua tingkat. Namun, materi khusus
52
hanya diikuti oleh masing-masing tingkat, karena antara materi tingkat dasar dengan
materi tingkat menengah berbeda substansi yang disesuaikan dengan tujuan dari output
yang diharapkan.
2. Pembinaan praktik lewat Kepanitiaan
Apabila ada kegiatan yang akan diselenggrakan, pimpinan harian (BPH) yang terdiri dari
ketua, sekretaris, bendahara, beserta wakilnya mengadakan rapat. Hasil rapat memutuskan:
a. untuk mengadakan acara kegiatan dengan membentuk kepanitiaan,
b. menunjuk panitia pengarah atau steering committee (SC) yang terdiri dari 3-5 orang
berasal dari orang yang pernah jadi panitia sebelumnya dan atau kepada bidang yang
terkait,
c. menunjuk ketua panitia atau project officer (PO) yang berasal dari wakil kepala bidang,
anggota (staf) bidang terkait, orang yang telah lulus diklat tingkat dasar, dan atau orang
yang pernah menjadi anggota kepanitiaan sebelumnya.
d. mengeluarkan SK tentang SC dan PO,
e. memerintahkan PO melengkapi susunan personalia panitia,
f. mengeluarkan SK tentang Panitia Pelaksana atau Organizing Committee (OC).
Setelah pimpinan organisasi mengeluarkan SK kepada ketiga mandataris itu, yakni SC, PO,
OC, maka kegiatan kepantiaan dapat dilangsungkan sampai pelaksanaan hari “H” nya.
Pimpinan organisasi terus melakukan pembinaan dengan melakukan monitoring dan
pengawasan terhadap jalannya kepanitiaan sesuai program kerja panitia.
Dengan memberi tugas seperti ini, akan kelihatan karakter kepemimpinan seseorang,
kemampuan mengorganisasi personal dan sumber daya, kelihaian memanajemen waktu,
aktivitas, sumber daya, serta keteraturan dan kerapihan dalam administrasi kepanitiaan.
Kepanitian adalah bentuk miniatur organisasi, sehingga keberhasilan memimpin kepanitiaan
diharapkan menjadi referensi sebagai calon pemimpin organisasi periode selanjutnya.
Melalui 2 jalur pembinaan di atas, proses kaderisasi masih harus dibuat ketentuan levelisasi
dan metode pemilihan. Ketentuan levelisasi, misalnya untuk duduk menjadi ketua, sekretaris,
dan bendaha harus telah lulus diklat tingkat menengah; atau pernah menjadi wakil ketua,
wakil sekretaris, atau wakil bendahara; dan atau pernah menjabat kepala bidang. Sedangkan
untuk meduduki jabatan kepala bidang, harus sudah lulus diklat tingkat menengah; pernah
menjadi PO kepanitiaan; dan atau pernah menjadi wakil (staf) kepala bidang.
Sedangkan metode pemilihan yang digunakan, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
53
pendaftaran, seleksi, kampanye, dan pemilihan dengan suara terbanyak secara terbuka. Atau
dilakukan di ruang, dengan sistem aklamasi, formatur, atau voting.
Semoga, dengan “wacana” ini bagi pegiat organisasi atau aktivis perkumpulan tidak galau
lagi bagaimana melakukan kaderisasi dan mempersiapkan regenerasi. Sebagus sistem apapun
kembali tergantung orang yang menjalankannya. Minimal kita yang membuat kitapula yang
lebih dulu memulainya, demikian halnya komitmen seorang pemimpin. Dengan sistem yang
memadukan teori dan praktik, jenjang atau levelisasi yang jelas, dan monitoring yang ketat
menjadi rujukan yang lengkap sebagai latihan “berkarir” untuk tahap pemula.
Insya Allah, (masih mimpi) ketika berada dalam organisasi yang besar kelak untuk
menempuh jalur karir tidak gelap sama sekali. Pengalaman berorganisasi akan sangat
disayangkan kalau hilang begitu saja, tidak membekas dalam pribadi. Semoga banyak
pengalaman tidak sekedar hanya memperpanjang umur saja, tetapi juga menambah ilmu,
keterampilan, keahlian, dan wawasan dalam hidup ini. [29/7/2012]
54
SDM: Sumber Daya Manusia atau Selamatkan Diri Masing-masing?
Peranan sumber daya manusia (SDM) sangat vital, strategis, dan menentukan dalam aktivitas
organisasi. SDM merupakan faktor yang sangat penting dari seluruh aktvitas usaha dalam
perusahaan. Hal tersebut karena bagaimanapun besarnya sumber daya non SDM tak akan ada
artinya jika SDM tidak terkelola dengan baik. Usaha meningkatkan kualitas SDM harus
paralel dengan peningkatan sumber daya lain yang dimiliki organisasi, seperti modal dan
teknologi. Teknologi yang tinggi, sistem yang canggih, jumlah kapital yang berlimpah akan
sia-sia dan terbuang percuma, serta akan menjadi pemborosan dan kemubaziran terhadap
pemanfaatan berbagai sumber daya tersebut bila tidak didukung oleh SDM yang handal dan
mumpuni. Oleh karena itu pengembangan SDM bagi suatu organisasi menjnadi suatu
kebutuhan dan keharusan yang mutlak.
Begitu pentingnya nilai sebuah SDM, maka penyiapannya harus serius dan sarananya adalah
pendidikan dan pelatihan. Salah satu pilar pendidikan adalah sekolah. Sekolah tempat
menyemai bibit-bibit SDM di negara ini untuk kebutuhan pembangunan bangsa dan negara.
Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab
III Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab."
Kalimat yang penulis perhatikan adalah.... mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak.....dan ......... manusia yang beriman dan bertakwa........, yang merupakan pendidikan
karakter. Menurut Adian Husaini (2012) dalam “Pendidikan Islam Membentuk Manusia
Berkarakter dan Beradab”, nilai kejujuran, kebersihan, keberanian, dan kerja keras adalah
nilai mulia yang sifatnya universal dan inklusif. Semua sifat ini Islam sangat menghargai.
Sifat-sifat tersebut harus diletakan dalam bingkai dan dasar keimanan. Bukan sekedar “rasa
kemanusiaan” yang lepas dari nilai Islam. Itulah adab. Pendidikan karakter membentuk
manusia yang cerdas, jujur, bersemangat kerja keras, tidak malas, berani, kreatif, cinta
55
kebersihan, dan toleran. Perspektif Islam menggabungkan pendidikan karakter dengan
pendidikan adab. Sehingga diharapkan dapat mencetak SDM yang memiliki pribadi mulia,
yakni pribadi yang takwa dan hidup dalam kebahagiaan.
Namun, dalam realisasinya penyelenggara pendidikan mengabaikan tujuan pendidikan di
atas. Pengelola pendidikan hanya mementingkan reputasi agar sekolahnya dinilai berprestasi
dengan selalu dapat meluluskan siswanya 100% setiap tahunnya. Celakanya, ada pendidik
yang ikut menciderai nilai luhur pendidikan itu sendiri. Mulai dari etika moral sang pendidik
yang tidak dapat dicontoh sampai perilakunya melakukan sistematisasi ketidakjujuran atau
kecurangan dalam proses pendidikan, utamanya dalam ujian. Sebuah perilaku insan pendidik
yang tidak mendidik dan bahkan telah menghancurkan benih-benih karakter siswanya sendiri
yang telah dirintis selama KBM berlangsung.
Penulis mambayangkan, apakah ada sebuah sekolah yang siswanya ujian tidak perlu diawasi?
Menyontek menjadi tindakan yang tidak terpuji sekaligus memalukan, sehingga semua siswa
merasa berdosa dan terhina jika menyontek. Bahkan jika ketahuan oleh teman-temannya yang
lain akan mendapat cemoohan dan celaan. Para siswa memahami adanya “waskat”. Bukan
‘pengawasan melekat’ dari pengawas ujian, tetapi ‘pengawasan malaikat’. Walaupun
menurut informasi dari seorang pendidik, sudah ada sekolah seperti yang penulis bayangkan.
Seorang pendidik yang lain berujar, tindakan menyontek adalah embrio menjadi koruptor.
Penulis percaya bahwa perilaku semasa sekolah akan menjadi cermin perilaku setelah
menjadi bekerja.
Sedangkan ketika sudah menjadi profesional dalam lapangan pekerjaan, output sekolah
memasuki dunia profesi menjadi SDM bagi perusahaan. Jika berada dalam perusahaan yang
menghargai SDM sebagai aset bukan sebagai komoditas industri atau komponen mesin, maka
perusahaan tersebut dapat menjadi pilihan dalam meniti karir. Sebaliknya, jika tidak
demikian bersiap untuk angkat kaki mencari tempat kerja idaman. Karena, istilah “SDM”
telah berubah menjadi upaya untuk melakukan “Selamatkan Diri Masing-masing”.
[12/5/2013]
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar
KOMA Dasar

More Related Content

What's hot (20)

makalah Organisasi manajemen
makalah Organisasi manajemenmakalah Organisasi manajemen
makalah Organisasi manajemen
 
Kaderisasi
KaderisasiKaderisasi
Kaderisasi
 
Fungsi Pengorganisasian Dalam Manajemen Pendidikan
Fungsi Pengorganisasian Dalam Manajemen PendidikanFungsi Pengorganisasian Dalam Manajemen Pendidikan
Fungsi Pengorganisasian Dalam Manajemen Pendidikan
 
Prinsip Manajemen
Prinsip ManajemenPrinsip Manajemen
Prinsip Manajemen
 
Materi manajemen organisasi
Materi manajemen organisasiMateri manajemen organisasi
Materi manajemen organisasi
 
Mawardi
MawardiMawardi
Mawardi
 
Baba 1 Baru
Baba 1 BaruBaba 1 Baru
Baba 1 Baru
 
Bab 5-kepimpinan-motivasi
Bab 5-kepimpinan-motivasiBab 5-kepimpinan-motivasi
Bab 5-kepimpinan-motivasi
 
Organisasi belajar
Organisasi belajarOrganisasi belajar
Organisasi belajar
 
Materi 3-kaderisasi-mentoring-dan-kekeluargaan
Materi 3-kaderisasi-mentoring-dan-kekeluargaanMateri 3-kaderisasi-mentoring-dan-kekeluargaan
Materi 3-kaderisasi-mentoring-dan-kekeluargaan
 
Kepimpinan berkesan
Kepimpinan berkesanKepimpinan berkesan
Kepimpinan berkesan
 
Manajemen dalam Dakwah
Manajemen dalam DakwahManajemen dalam Dakwah
Manajemen dalam Dakwah
 
Tajuk 6 done
Tajuk 6 doneTajuk 6 done
Tajuk 6 done
 
UTS MIFTAHUL JANNAH. HADIS TEMATIK. SM V MD-D FDK UINSU 2019
UTS MIFTAHUL JANNAH. HADIS TEMATIK. SM V MD-D FDK UINSU 2019UTS MIFTAHUL JANNAH. HADIS TEMATIK. SM V MD-D FDK UINSU 2019
UTS MIFTAHUL JANNAH. HADIS TEMATIK. SM V MD-D FDK UINSU 2019
 
Perbandingan pengurusan
Perbandingan pengurusanPerbandingan pengurusan
Perbandingan pengurusan
 
makalah-organisasi
makalah-organisasimakalah-organisasi
makalah-organisasi
 
Makalah organisasi
Makalah organisasiMakalah organisasi
Makalah organisasi
 
Konflik
KonflikKonflik
Konflik
 
Presentation2.pptx
Presentation2.pptxPresentation2.pptx
Presentation2.pptx
 
Makalah organisasi
Makalah organisasiMakalah organisasi
Makalah organisasi
 

Similar to KOMA Dasar

Modul 1. peng.org.unit1
Modul 1. peng.org.unit1Modul 1. peng.org.unit1
Modul 1. peng.org.unit1elearningPPM
 
Organisasi bsi zen
Organisasi bsi zenOrganisasi bsi zen
Organisasi bsi zenMuhammad Zen
 
Afi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islam
Afi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islamAfi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islam
Afi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islamDr. Afi Parnawi, M.Pd
 
Pengorganisasian dalam manajemen
Pengorganisasian dalam manajemenPengorganisasian dalam manajemen
Pengorganisasian dalam manajemenRudi Laksono
 
Organisasi perusahaan pt. telkom
Organisasi perusahaan pt. telkomOrganisasi perusahaan pt. telkom
Organisasi perusahaan pt. telkomMuhamad Yusup
 
PPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptx
PPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptxPPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptx
PPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptxHerdiNanda
 
Gambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasiGambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasiIrgi Mpa
 
Makalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 Tangerang
Makalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 TangerangMakalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 Tangerang
Makalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 TangerangRisalma Agnia
 
Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...
Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...
Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...Abiyyu faruq ikbar
 
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasiKepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasiKiki Alhadiida
 
Leadership versus management
Leadership versus managementLeadership versus management
Leadership versus managementDarwin Kadarisman
 
21 kelemahan gerakan dakwah masa kini
21 kelemahan gerakan dakwah masa kini21 kelemahan gerakan dakwah masa kini
21 kelemahan gerakan dakwah masa kiniMas Wardoyo
 

Similar to KOMA Dasar (20)

Modul 1. peng.org.unit1
Modul 1. peng.org.unit1Modul 1. peng.org.unit1
Modul 1. peng.org.unit1
 
Organisasi bsi zen
Organisasi bsi zenOrganisasi bsi zen
Organisasi bsi zen
 
Afi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islam
Afi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islamAfi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islam
Afi parnawi. makalah . kultur lembaga pend. islam
 
Pengorganisasian dalam manajemen
Pengorganisasian dalam manajemenPengorganisasian dalam manajemen
Pengorganisasian dalam manajemen
 
Teori organisasi
Teori organisasiTeori organisasi
Teori organisasi
 
Organisasi perusahaan pt. telkom
Organisasi perusahaan pt. telkomOrganisasi perusahaan pt. telkom
Organisasi perusahaan pt. telkom
 
BERORGANISASI.pptx
BERORGANISASI.pptxBERORGANISASI.pptx
BERORGANISASI.pptx
 
PPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptx
PPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptxPPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptx
PPT_Manajemen Pendidikan_Emawati.pptx
 
tugas ekonomi
tugas ekonomitugas ekonomi
tugas ekonomi
 
Gambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasiGambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasi
 
tugas stradik
tugas stradiktugas stradik
tugas stradik
 
Makalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 Tangerang
Makalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 TangerangMakalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 Tangerang
Makalah Ekonomi Manajemen X MIPA 1 SMAN 12 Tangerang
 
Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...
Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...
Tugas eko12,Abiyyu faruq ikbar,bu ranti pusriana,materi Ekonomi Manajemen Sma...
 
Makalah ekonomi (2)
Makalah ekonomi (2)Makalah ekonomi (2)
Makalah ekonomi (2)
 
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNAManajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
 
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
 
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNAManajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
Manajemen kep chachang AKPER PEMKAB MUNA
 
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasiKepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
 
Leadership versus management
Leadership versus managementLeadership versus management
Leadership versus management
 
21 kelemahan gerakan dakwah masa kini
21 kelemahan gerakan dakwah masa kini21 kelemahan gerakan dakwah masa kini
21 kelemahan gerakan dakwah masa kini
 

More from Kiki Alhadiida

Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasIstiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasKiki Alhadiida
 
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media SosialBunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media SosialKiki Alhadiida
 
Aktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiAktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiKiki Alhadiida
 
Kisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKiki Alhadiida
 
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaLambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaKiki Alhadiida
 
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanPedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanKiki Alhadiida
 

More from Kiki Alhadiida (9)

Keseimbangan
KeseimbanganKeseimbangan
Keseimbangan
 
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasIstiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
 
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media SosialBunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
 
KIR
KIRKIR
KIR
 
Aktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiAktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasi
 
Kisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahan
 
We are Activists
We are ActivistsWe are Activists
We are Activists
 
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaLambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
 
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanPedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
 

KOMA Dasar

  • 1. 1 Kiki Alhadiida KOMA Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Administrasi [Prinsip Dasar Berorganisasi] PENGANTAR 1. Berorganisasi juga perlu “Ilmu” {3-6} 2. Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Adminstrasi [KOMA] {7} KEPEMIMPINAN 1. Kepemimpinan Rasulullah SAW {8-10} 2. Kepemimpinan, Pemimpin, dan Pimpinan {11-12} 3. Memanajemen Pikiran {13-15} 4. Pemimpin dan Pemikir {16-17} 5. Pemimpin KIR = PemiKIR ?! {18-21} 6. Pemimpin ⇌ Pengikut {22-25} 7. Sikap Pimpinan ditinjau dari filosofi: 2 tangan, 1 mulut, dan 2 telinga {26-27} 8. Otoritas dan Otoriter {28} 9. Lokomotif dan Gerbong {29-31} 10. BOS = “Bukan Orang Sembarangan ?” {32} 11. Sistem Kepemimpinan Dalang-Wayang {33-34} 12. Berbagai Tipe Pengurus Organisasi {35-36} 13. 4 Tipe Pengikut (Anggota Organisasi) {37-38} 14. Kepepet Makes Power {39} 15. Pemimpin, menyelami kenikmatan atau menikmati penderitaan? {40-41} 16. Berbuat ”lebih” dari yang Seharusnya {42-44}
  • 2. 2 ORGANISASI 1. Organisasi dalam Eksistensi dan Strukturisasi {45-46} 2. Tiga Fungsi Dasar (Utama) Organisasi {47-48} 3. Heterogenisasi yang Tak Dapat Dihindari {49-50} 4. Kaderisasi dan Regenerasi dalam Organisasi {51-53} 5. SDM: Sumber Daya Manusia atau Selamatkan Diri Masing-masing? {54-55} 6. Tua Berpengalaman dan Muda Berilmu {56-59} 7. Antara keMAUan dan keMAMPUan {60-62} 8. Karyawan vs Pegawai {63-65} 9. Serikat Buruh dan Serikat Pekerja dalam konteks Strukturisasi Manajerial {66-69} 10. Buruh - Majikan atau Pekerja – Pengusaha {70-73} MANAJEMEN 1. Tim {74-76} 2. Project Officer, Consultant, dan Master Plan {77-78} 3. TEKNIK dan MANAJEMEN, dua kata yang sering jadi ”kambing hitam” {79-81} 4. Ketika Manusia Pekerja dituntut menjadi Manusia Pembelajar {82-83} 5. Lingkar dan Lingkaran dalam Organisasi {84-85} 6. Prosedur vs Kebijakan {86-87} 7. Program dan Target {88} 8. Terencana dan Spontan {89} 9. Manajemen “dagelan” & Manajemen “kadal” {90-91} 10. 3X1 = 1X3 ? {92} 11. Peran ”Manajer” ala Juragan Angkot {93-95} 12. Memanajemen Organisasi versi Mengelola Klub Sepak Bola {96-99} 13. Manajemen ala “bandar judi” {100-103} ADMINISTRASI 1. Sedikit tentang ADMINISTRASI dan MANAJEMEN {104-106} 2. Sistem Pelaporan dari Bottom Management ke Middle Management, Sebenarnya untuk Siapa dan untuk Apa? {107-109} 3. Yang Benar atau Yang Bagus? {110-111} PENUTUP 1. Antara pemimpin, sistem, dan budaya (kultur) organisasi {112} 2. Figur dan atau Sistem? {113-114} 3. Kepemimpinan vs Budaya Organisasi {115-116} 4. Menyikapi Organisasi Tanpa Visi {117-119}
  • 3. 3 Berorganisasi juga perlu “Ilmu” Setelah kepengurusan terbentuk melalui proses suksesi yang (kadang) cukup panjang dan melelahkan, maka secara definitif kepemimpinan organisasi sudah terlegitimasi dengan sendirinya. Meskipun, ada organisasi yang memiliki “organisasi atasnya” (garis strukturisasi vertikalnya) yang ikut mensyahkan kepengurusan dan melantiknya. Bahkan terkadang organisasi pembina, pengawas, atau legislator (misal dari pemerintahan) yang memberi legitimasi dan setiap suksesi kehadirannya dinantikan sebagai prasyarat. Ketua, sekretaris, dan bendahara serta anggota pengurus lainnya (departemen, bidang, biro, seksi) ditunggu kesiapannya bekerja mengemban amanah anggota. Setelah beberapa waktu kemudian belum juga kelihatan geliat dan sepak terjang aktivitas yang akan dikerjakan. Ternyata, ketua mengalami kesulitan membuat program kerja. Sekretaris tidak mampu membuat surat. Bendahara tidak bisa menyusun anggaran. Anggota pengurus lainnya menyerah tidak sanggup berbuat apa-apa, hanya terpaku dan bengong mau mengerjakan apa dan bagaimana. Paling banter jawabannya ketika ditanya sedang nungguin instruksi dari pimpinan. Bekerja hanya menunggu apa yang disuruh dan dikomando oleh atasan. Atas petuah dan petunjuk “bapak pimpinan” menjadi alasan yang ditunggu untuk bergerak. Persitiwa ini bukan lagi pernah ditemui dalam sebuah organisasi yang masih balita (baru), tetapi sering dijumpai dalam suatu organisasi yang berusia kolot (sudah lama). Nyatanya, pengalaman tidak selalu menambah ilmu dan keterampilan seseorang, tetapi hanya memperpanjang umur dan merasakan suka duka perjalanan hidup melalui proses kegiatan rutin dan berulang-ulang tanpa ada peningkatan kapasitas dan kapabilitas, apalagi wawasan. Pengalaman adalah guru yang baik, sebuah pernyataan yang perlu penjelasan karena ada korelasi yang tidak selalu linear. Bila kejadian di atas terus dialami oleh setiap “kabinet kepengurusan” , maka sungguh ironis bahkan sangat memalukan. Bukan hal yang mustahil kalau peristiwa seperti itu terjadi seperti sejarah yang berulang dalam setiap periodisasi kepengurusan. Oleh karena itu, bagi setiap insan yang terlanjur menceburkan diri dalam organisasi, sekalipun sebagai anggota bahkan simpatisanpun wajib mencari tahu jeroannya organisasi bersangkutan. Mulai membaca buku tentang dasar-dasar KOMA (kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan administrasi), mengikuti pelatihan kaderisasi, dan yang terpenting terlibat langsung dalam setiap kegiatan
  • 4. 4 organisasi itu. Kesempatan menjadi panitia kegiatan jangan disia-siakan untuk memperoleh ilmu terapan KOMA melalui praktik langsung berorganisasi yang sesungguhnya walaupun dalam skala minor dan sesaat. Interaksi dengan para senior baik melalui forum formal ataupun situasi santai dapat digunakan untuk memetik “ilmu berorganisasi”, sehingga minimal dapat mengetahui fungsi, tugas, tanggung jawab dan wewenang setiap jabatan yang ada. [26/8/2012] Dalam berorganisasi yang harus diketahui oleh para aktivisnya sangat banyak. Karena pengetahuan dan ilmu dalam berorganisasi, merupakan kumpulan dari berbagai disiplin ilmu dan senantiasa berkembang. Namun, seiring dengan masa aktif mengikuti kegiatan akan terus bertambah pengetahuan, ilmu, keterampilan, dan wawasan sedikit demi sedikit. Tentang dasar-dasar KOMA saja dapat dilihat dari pengertian umum dan khusus. Pengertian khusus disesuaikan dengan jenis, sifat, dan karakteristik organisasi itu sendiri. Demikian juga dengan program kerja. Yang jelas, ketika dipercayakan untuk memegang jabatan tertentu sudah harus mengetahui fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewenangannya. Begitu naik peringkat, tentunya harus memiliki nilai lebih dari sebelumnya terutama dalam sikap dan wawasan. Semakin ke atas, keterampilan teknis semakin berkurang, sedangkan keterampilan manajerial kian bertambah. Nah, sebagai bahan untuk mengantisipasi agar dalam satu periode kepengurusan tidak diisi oleh orang-orang yang tak memiliki “ilmu berorganisasi”, sehingga organisasi laksana perahu yang sedang oleng oleh hempasan ombak laut, maka perlu dilakukan terapi berikut. Semoga langkah ini menjadi panasea (obat mujarab) dalam melakukan tindakan preventif bagi kelangsungan hidup organisasi. Terapi tersebut adalah: 1. Proses regenerasi melalui kaderisasi harus selalu ada dalam setiap periode kepengurusan, melalui pelatihan KOMA dan program “jenjang karir”. 2. Menyusun kurikulum materi DIKLAT (pendidikan & pelatihan) KOMA yang tepat sesuai kebutuhan. Misalnya, seperti berikut:
  • 5. 5 TINGKAT DASAR: a. Sejarah Organisasi Pelajar/Kemahasiswaan b. Pengantar Leadership c. Kemandirian & Kepeloporan d. Motivator & Dinamisator e. Kreativitas f. Pengetahuan Organisasi g. Dasar Dasar Manajemen h. Kesekretariatan i. Teknik Pembuatan Proposal & Pertanggungjawaban j. Schedulling k. Komunikasi l. Public Speaking m. Memimpin Diskusi & Rapat n. Problem Solving o. Mengerti Kedudukan & Peranserta Pelajar/Kemahasiswaan dalam Pembangunan TINGKAT MENENGAH: a. Sejarah Organisasi Pelajar/Kemahasiswaan b. Dinamisator & Motivator c. Kemandirian & Kepeloporan d. Kreativitas e. Manajemen Sumber Daya f. Planning g. Controlling h. Manajemen Personalia i. Sistem Pengembangan Organisasi j. Kesekretariatan k. Budgeting & Dasar Manajemen Akuntansi l. Problem Solving m. Pembuatan Konsep n. Network Planning Analysis o. Penguasaan Massa p. Negosiasi q. Memimpin & Mengarahkan Sidang r. Mengerti Peranserta Pelajar/Kemahasiswaan dalam Pembangunan 3. Antara satu pengurus ke pengurus berikutnya tidak terjadi “tebang habis”. Artinya, beberapa orang yang pernah menjabat pengurus di periode sebelumnya dapat duduk kembali di periode berikutnya dengan jabatan yang lebih tinggi. Tentu saja, orang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi. Sangat berisiko sebuah kepengurusan baru hanya diisi muka-muka baru saja bagi organisasi yang belum memiliki sistem kaderisasi yang tertata baik. 4. Menumbuhkembangkan sense of belonging terhadap organisasi bagi anggota apalagi pengurus termasuk mantan anggota juga mantan pengurus (terutama). Hal ini dilakukan untuk menepis kepentingan individu atau kelompok (geng) di atas kepentingan bersama
  • 6. 6 (organisasi), sekaligus menyingkirkan ego demi pencapaian tujuan organisasi. Gunakan moto: “jangan tanya apa yang dapat organisasi berikan kepada saya, tanyakan apa yang dapat saya berikan buat organisasi” 5. Tetap menjalin komunikasi antar komponen organisasi (anggota-anggota, anggota- pengurus, pengurus-pengurus). Juga antara pengurus yang sedang menjabat dengan pengurus yang baru meletakan jabatan. Lebih luasnya antara dan antar aktivis (anggota, pengurus), mantan pengurus, dan alumni (mantan aktivis). Semoga terapi di atas dapat menjadi jalan terang dalam berorganisasi. Bahwa aktif berorganisasi itu bukan hal yang membebankan tetapi menyenangkan. Ingat dengan ilmu, hidup ini akan lebih mudah. Dengan seni hidup ini akan lebih indah. Dengan cinta hidup ini akan bergairah. Dan, dengan iman hidup ini akan terarah. Bagaimana kalau ilmu, seni, cinta, dan iman kita gunakan dalam berorganisasi? Bukankah akan nikmat rasanya menjalankan aktivitas? Kalau kagak percaya, tunggu nanti setelah “pensiun” dari pengurus, pasti ketagihan ingin menjabat lagi dan merasa tidak kapok. [2/9/2012]
  • 7. 7 Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Adminstrasi [KOMA] Sebuah organisasi akan maju kalau semua komponen sumber daya yang ada di dalamnya berpikir dan berbuat hanya untuk kepentingan bersama menuju visi organisasi tersebut. Hal ini berlaku dari sebuah institusi yang bernama keluarga, masyarakat, organisasi formal, sampai sebuah negara bahkan organisasi globalpun membutuhkan komitmen kebersamaan komponennya. Sang pemimpin laksana seorang pilot sebuah pesawat, dimana pesawat tersebut adalah organisasinya. Sedangkan sebagai penggerak organisasi, maka mesin pesawat itu adalah sistem manajemennya. Keteraturan komponen antar perangkat dan sistem kerjanya adalah sistem administrasinya. Pesawat akan diarahkan ketujuan manapun akan sangat tergantung sang pemimpin. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan kalau sebuah organisasi membutuhkan Visi yang tegas dan Misi yang jelas. Visi dan Misi adalah konsep yang selanjutnya diuraikan dalam tujuan organisasi dan diimplementasikan dalam program kerja. Namun, unsur kepemimpinan sang pemimpin menjadi hal strategis, yang didukung oleh sistem yang solid dan kultur yang kuat. Sehingga dasar-dasar kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan administrasi menjadi hal pokok yang harus dimiliki oleh calon organisatoris agar benar-benar menjadi fungsionaris organisasi. Bukan sekedar numpang nama dan cari popularitas, tetapi tidak berbuat apa-apa buat kemajuan organisasi. [22/1/2012]
  • 8. 8 Kepemimpinan Rasulullah SAW Selain sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa. Bahkan sosok beliau sangat manusiawi banget ketika berada dalam kehidupan kesehariannya. Diantara sifat manusia biasanya, adalah nilai-nilai kepemimpinan beliau yang meliputi : SHIDDIQ (rule comply), TABLIGH (openness, transparant), AMANAH (trustable), dan FATHANAH (learning & growth). Inti dari kepemimpinan diukur dari pengaruh pemimpin terhadap siapa, kapan dan dimana imbasnya terasa dan “membekas” sepanjang sejarah. Untuk hal ini Nabi Muhammad tidak memiliki tandingan dengan satupun manusia di muka bumi ini. Michael H. Hart dalam bukunya The 100, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, menempatkan Nabi Muhammad pada posisi pertama. Menurut teori kepemimpinan Stephen Covey, empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of leadership) adalah perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering), dan panutan (modeling). Keempat fungsi di atas dapat ditemukan pada diri Muhammad SAW yang diungkap dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah) yang menceritakan kecakapan beliau dalam hal kepemimpinan. Muhammad Syafii Antonio, dalam bukunya Muhammad SAW the Super Leader Super Manager, menempatkan Muhammad SAW sebagai pemilik traits of leadership dan models of management dengan membagi sifat kepemimpinan beliau dalam 8 bidang utama, yaitu 1. Self development atau personal leadership 2. Bisnis dan kewirausahaan 3. Kepemimpinan keluarga 4. Dakwah 5. Sosial dan politik 6. Pendidikan 7. Sistem hukum 8. Strategi militer
  • 9. 9 Nabi Muhammad diberi Allah usia 63 tahun yang diisi dengan aktvitas hidup yang padat dengan dakwah dan sarat dengan kiprah kegiatan hidup manusia biasa lainnya. Prestasi gemilang yang beliau ukir selama kurun waktu tersebut telah menginspirasi banyak manusia baik muslim dan non muslim untuk menggali inti pelajaran dari beliau. Namun, sayangnya sebagian umat memandang sosok beliau masih secara parsial dan dengan mata yang “rabun”. Sekelumit dari perjalanan hidup beliau sebagai seorang nabi, dengan masa kenabian selama 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Beliau harus menerima, menghafal, menyampaikan dan menjelaskan tak kurang dari 6.666 ayat Alquran. Beliau juga menyampaikan arahan, kebijakan aksi dan bimbingan lisan dalam bentuk hadits yang jumlahnya lebih dari satu juta buah (menurut Imam Ahmad Ibn Hambal). Dalam rentang usia 12 hingga 37 tahun, selama 25 tahun itu beliau menjalankan profesi sebagai pebisnis yang akrab dengan pasar, sehingga tak asing dengan peran sebagai manager, entrepreneur, dan investor. Kebijkan dengan luar negeri, sebagai ajakan dakwah, upaya menjalin kerja sama dan persahabatan telah belasan surat yang beliau kirimkan. Apapun jawaban surat sudah beliau antisipasi dengan langkah-langkah yang harus diambil. Sebagai pemimpin masyarakat dan bangsa, Rasulullah menciptakan rule of low yang mengintegrasikan Muslim, Nasrani, dan Yahudi dalam hal perbedaan agama, budaya, klan, dan bahasa. Beliau juga adalah hakim yang memutuskan segala pernik perselisihan dan perseteruan diantara umatnya, dengan menegakan hukum Allah. Muhammad SAW juga berperang untuk menegakan kebenaran dan menahan serangan musuh terutama Kafir Quraish lebih dari 28 kali dengan semua hiruk pikuk persenjataan, makanan, kesehatan, transportasi, dan segenap sarana logistik lainnya. Beliau sendiri pernah memimpin langsung lebih dari 9 perang besar dan mengorganisir lebih dari 53 ekspedisi militer. Sebagai kepala keluarga Rasulullah memiliki keluarga besar dengan 11 orang istri dengan 7 anak. Namun, dalam kesibukannya Rasulullah tetap menunjukan seorang Bapak yang penuh perhatian terhadap anak-anaknya. Kakek yang masih sempat bercengkrama dengan cucu- cucunya. Suami yang penuh cinta kasih dan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Beliau senantiasa berbagi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian, memerah susu kambing, dan memperbaiki perabotan rumah. Beliau masih sempat menjahit pakaian sendiri, menyapu di rumah dan memotong sayur mayor untuk membantu istrinya.
  • 10. 10 Bagaimana beliau mengatur waktunya? Bagaimana beliau mencapainya dengan hasil yang maksimal? Lebih penting bagaimana kita bisa mencontohnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan strategis yang harus kita ajukan dalam meneladani Rasulullah. Sebagai seorang pemimpin beliau berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di hadapan hukum, memperoleh kemenangan dan kekuasaan, serta merasakan kekalahan dan kesedihan. Tubuhnya tidak terdiri dari besi tetapi daging dan tulang biasa. Beliau tidak memiliki ilmu kebal atau jimat tertentu. Kulitnya pernah robek, pelipisnya pernah terluka parah dan 2 giginya tanggal terkena pukulan di Perang Uhud. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa beliau diamanati wahyu (plus mukjizat sebagai alat pembuktiannya) dan senantiasa dibimbing Allah jika melakukan satu tindakan atau pilihan yang tidak tepat. Selebihnya Muhammad SAW adalah manusia biasa di samping sebagai seorang Rasul pilihan dan kekasih Allah. [12/8/2012]
  • 11. 11 Kepemimpinan, Pemimpin, dan Pimpinan Membicarakan dan membicangkan ketiga hal di atas (sebagai judul artikel ini) tidak akan pernah habis dan selesai, karena perkembangan yang dialami organisasi terikat dan terkait persoalan masalah leader dan leadership disamping sistem manajemen dan administrasi. Kepemimpijan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi orang agar berkeinginan dan berantusias bersama mencapai tujuan. Kepemimpinan juga dapat dimanai sebagai peran dari seseorang dengan seperangkat kemampuan untuk memimpin dan mengelola suatu unit. Dalam kepemimpinan ada nilai-nilai, seperti: ambisi (kerja keras, cita-cita tinggi), periang (penggembira), bersih (rapi, apik), berpandangan luas (luas, terbuka), berani (mempertahankan pendapat, berprinsip), mudah memaafkan (mau memaafkan orang lain, suka menolong (bekerja untuk kebaikan orang lain), berkemampuan (kompeten, efektif), dan jujur (tulus hati). Dalam tataran praktis dan praksisnya, kepemimpinan ditinjau dalam hal perilaku kepemimpinan (leadership behavior) dan gaya kepemimpinan (leadership style). Perilaku kepemimpinan lebih pada tindakan tertentu dan spesifik yang diambil pemimpin saat memimpin, sedangkan gaya kepemimpinan dikaitkan dengan struktur kebutuhan dan pola yang ditampilkan saat berinteraksi dengan berpegang pada nilai dan asumsi yang dijadikan dasar. Ada 4 gaya kepemimpinan, diantaranya adalah: otoriter, demokratis, santai, dan kondisional. Pemimpin, juga berhubungan dengan mempengaruhi orang dan mengemban atau membawa grup. Pemimpin ditentukan oleh bakat dan usaha. Ada 3 hal yang menyangkut pemimpin, yaitu: reputasi, moral (kredibilitas), dan karismatik. Reputasi dapat berupa ilmu, prestasi, dan keahlian. Moral terdiri dari jujur, adil, mudah ditemui, dan tepat janji. Sementara karismatik diartikan sebagai sumber inspirasi, sumber harapan, dan komunikator. Pemimpin membentuk dirinya dan lingkungan yang menumbuhkan kepercayaan. Pemimpin harus memiliki power, yang terdiri dari pengaruh (influence), kewenangan (authority), dan alat paksa (force). Power akan membuat orang lain (follower) merasa lebih kecil dari leader. Jenis power berdasarkan kualitasnya dibedakan atas: a). power expert, power karena keahlian yang ada pada leader. b). legitimate power (power formal), power yang timbul karena status (atasan), ada surat pengangkatan.
  • 12. 12 c). power hubungan, power yang timbul karena ada hubungan dengan orang yang disegani. d). reward power, power yang timbul sebagai imbalan orang lain terhadap sang leader. e). coarship power, power yang bersumber pada ketakutan yang dapat ditimbulkan oleh leader. Pimpinan dimaknai sebagai orang menempati posisi, status, jabatan (formal) dalam sebuah organisasi, sedangkan pemimpin dapat saja berkonotasi sebagai mindset, sikap, karakter dan kepribadian. Pemimpin bisa saja tidak menjadi pimpinan, tetapi dapat menciptakan pemimpin-pemimpin lain dan juga pimpinan baru. Pimpinan merupakan hasil kombinasi antara leader (pemimpin) dan manager (manajer) dalam organisasi. Pimpinan dapat saja menjadi leader yang baik dan manager yang buruk atau sebaliknya. Terkadang dalam sebuah organisasi dalam situasi dan kondisi tertentu, yang dibutuhkan bukan pimpinan yang baik, tetapi pimpinan yang dapat menyelamatkan lingkungan (organisasi)nya. [23/6/2012]
  • 13. 13 Memanajemen Pikiran Sekarang ini banyak orang yang berprofesi sebagai motivator. Sebut saja, motivator internasional berkelas dunia, Anthony Robbins. Dari dalam negeri dapat dijumpai seperti Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar Agustian, Reza Syarief, dan lainnya. Selain dari luncuran kata-kata motivasi yang dikeluarkan sang motivator, buku-buku pengembangan diri juga menjadi alternatif dalam memberi motivasi dan inspirasi dalam kehidupan. Buku yang masih layak dijadikan referensi adalah “Cashflow Quadrant” dan “Rich Dad Poor Dad” karya Robert Kiyosaki, serta “The 7 Habits of Highly Effective People” dan “Living the 7 Habits” karya Stephen R. Covey. Di kala penulis masih duduk di kelas akhir SMA bersama dengan rekan dalam organisasi kesiswaan selalu membahas masalah motivasi dalam kehidupan ketika bertemu. Sang rekan sangat doyan melahap beberapa buku dan mengkoleksinya, seperti “The Power of Positive Thinking” karangan Norman Vincent Peale, “The Magic of Thinking Big” karya David J. Schwartz (diterjemahkan menjadi: “Berfikir dan Berjiwa Besar”), “How to Win Friends and Influence People”, ditulis Dale Carnegie, serta “Keberanian Hiasan Pribadi” karya Sumantri Mertodipuro. Penulis sempat dipinjamkan keempat buku tersebut secara bergantian. Seolah seperti kejar tayang (mengingat sedang duduk di kelas akhir yang membutuhkan persiapan menghadapi ujian akhir sekolah), maka penulis membacanya dengan cepat dan dipindai (scanning) saja. Sesungguhnya, saat itu juga waktu yang tepat membaca buku tersebut, karena penulis dengan rekan sedang mengalami persoalan organisasi dari pemberi kebijakan yang tidak bijak. Dari membaca buku-buku tersebut hidup menjadi lebih bersemangat. Apalagi sang rekan selalu mengajak diskusi setelah membaca satu buku. Jelang ujian akhir sampai pengumuman kelulusan membaca buku-buku itu ditunda sementara, dan dilanjutkan sampai satu tahun sejak kelulusan. Setelah itu tidak lagi. Ada kalimat yang sampai hari ini masih penulis ingat dan selalu menjadi rujukan ketika ada masalah yang penulis hadapi. Kalimat tersebut adalah: “janganlah berputar-putar di dalam masalah yang sedang dihadapi, tetapi angkatlah jiwamu di atas masalah itu.”
  • 14. 14 Kalimat yang entah dari buku yang mana dari keempat buku tersebut juga menjadi kalimat yang kerap kali diucapkan rekan penulis tersebut. Kini, sang rekan sudah tidak ada. Namun, mendiang rekan penulis itu sangat berarti bagi penulis dan banyak warisan ‘bahan diskusi’nya yang membekas dan memberi kontribusi dalam menambah warna pengetahuan. Kalimat di atas itu, juga membuka pikiran penulis untuk memahaminya bahwa ketika kita ditimpa persoalan dan ditempa masalah harus menyikapinya secara proporsional. Sekedarnya atau sewajarnya. Tidak berlebihan apalagi sampai over estimate. Persoalan masalah adalah sebagian kecil dari persoalan kehidupan yang sesungguhnya. Membuat generalisasi sebuah masalah menjadi masalah kehidupan adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar dan akan membutuhkan energi yang besar dan waktu yang panjang untuk menyelesaikannya. Pertanyaan harus dijawab. Masalah harus diselesaikan. Bukan dipecahkan. Kalau dipecahkan menjadi kecil-kecil masalah baru yang membutuhkan penyelesaian yang sendiri-sendiri. Ketika menyelesaikan masalah tentunya dibutuhkan pikiran. Nah, persoalannya pikiran kita adalah di dalam masalah atau di atas masalah itu sendiri. Logikanya, sekalipun masalah menghantam dari 8 penjuru mata angin masih dapat dideteksi jika posisi pikiran ada di atasnya layaknya sebuah helikopter [helicopter view]. Pikiran kita sedang ada di bagian dari masalah atau berada di bagian dari solusi. Jika hanya tetap ada di masalah, maka masalah tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu tariklah pikiran kita berada di dalam bagian dari solusi. Orang sering merasa pusing, mengalami stres atau sakit dengan mengkambinghitamkan pikiran. Lebih tepatnya, banyak pikiran. Bila kita menyadari, selama kita hidup dengan normal/waras/sehat selama itu pula kita selalu dan akan berpikir. Pikiran adalah proses, aktivitas, dan produk berpikir. Seorang dokter jantung pernah ditanya, mengapa orang mudah stres. Jawaban yang diluar dugaan dari seorang dokter. Yang mungkin seharusnya menjawab dengan tepat adalah rohaniawan, ustaz atau kyai. Karena jawaban sang dokter jantung, adalah: orang kurang iman. Jika demikian, ketika persoalan hidup dan kehidupan menghadapi masalah dibutuhkan kedua alat canggih yakni iman dan ilmu. Keduanya dapat diraih dengan belajar. Akan tetapi untuk iman juga membutuhkan spiritualitas tidak sekedar religiusitas. Di sini tidak penulis bahas. Ilmu, tentunya adalah ilmu manajemen. Memanajemen kehidupan, yang menitikberatkan pada prioritas adalah manajemen waktu dan manajemen pikiran. Memanajemen pikiran adalah mengatur, mengelola, dan mengendalikan pikiran kita sendiri. Ingat, ‘otak’ kita yang sesungguhnya adalah bukan di otak dalam rongga kepala, tetapi di ‘qolb’ dalam rongga dada.
  • 15. 15 Hal ini masih dapat diperdebatkan. Silakan saja. Fisik ‘qolb’ sendiri saja, orang juga belum tahu sampai hari ini jantung (cardio vascular) atau hati (hepar, lever). Bukankah lebih baik kita yang memanajemen pikiran kita sendiri daripada pikiran kita dimanajemen orang lain. Lebih luasnya, sebelum orang lain mengatur kehidupan kita akan lebih baik kita yang mengatur kehidupan kita sendiri. Semoga bermanfaat. [24/3/2013]
  • 16. 16 Pemimpin dan Pemikir Sehebat apapun seorang pemimpin tidak akan berhasil membawa kemajuan bagi organisasinya tanpa orang-orang di sekitarnya. Sudah saatnya pemimpin yang ”otoriter” mengubah perilakunya dari seorang yang merasa ”superman” menjadi pemimpin yang memimpin dan memanajemen ”supertim” nya. Pemimpin yang memiliki tim manajemen yang baik dalam bekerja dan loyal terhadap organisasi serta berdedikasi dengan kemajuan. Setiap orang pasti memilki kelebihan dan kekurangan. Melalui organisasi inilah kelebihan seseorang menambal kekurangan orang lain. Saling melengkapi, bersinergi, giving and sharing sumber daya, dan mengisi satu sama lain, sehingga idealnya sebuah organisasi laksana perwujudan dari sejumlah kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang potensial. Integrasi ini tidak hanya terjadi antara sesama anggota tim manajemen, juga antara pimpinan dengan setiap dan semua anggota tim. Dalam mengorganisasi tim, tentu saja berbeda cara bekerjanya pimpinan dengan anggota tim. Masalahnya, apakah seorang pemimpin wajib, harus, mesti, kudu menjadi pemikir juga? Atau pemimpin seharusnya tetap bertengger di atas awan saja, tidak harus turun gunung. Sebaliknya, semua persoalan dari yang berskala gajah sampai semut seorang pemimpin mesti mengetahuinya. Dari masalah yang serius dan strategis sampai persoalan yang sepele dan remeh. Istilah ”pemikir” di sini yang penulis maksudkan adalah, seorang visioner, penggagas, konseptor, perencana, dan bertindak seperti pemain catur yang sudah menyiapkan segala keputusan kini dengan 2, 3, dan 4 langkah ke depan. Seorang pemikir tidak hanya bergerak sigap secara spontan. Apalagi bertindak cepat secara gegabah. Juga bukan berbuat untuk kebutuhan dan kepentingan sesaat. Tidak juga sekedar untuk pemenuhan hasrat biologis pribadinya, melainkan demi membangun chemistry dengan anggota tim dan menjalin nilai manfaat sosial. Intinya, sang pemikir memiliki program jangka panjang dan program jangka pendek bekerja dalam organisasi. Baik pemimpin maupun anggota tim harus menjadi pemikir dengan kapasitasnya masing-masing.
  • 17. 17 Negara kita sudah memilki visi yang bagus dan jelas, yakni Pancasila. Sebuah contoh, tanpa bermaksud apa-apa, hanya berbaik sangka saja (khusnudzon) dan positive thinking tentang pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru selama 32 tahun (1966-1998). Selain memilki banyak kekurangan dan meninggalkan ”warisan” hingga kini, terdapat beberapa kelebihan, terutama yang berikaitan dengan masalah: tim manajemen, pemikir, konsep, dan program. Kita mengetahui orang-orang di sekitar Presiden RI kedua itu adalah orang-orang pintar. Tentunya, bukan ”orang pintar” yang dicari oleh pasien (penyakit medis, gangguan psikologis, atau kekosongan spiritual) sebagai pengobatan alternatif. Kalau yang ini mah, lawannya ”orang pintar” yakni ”orang bodoh” dung,..eh dong! Bukan begitu? Kembali mengenai Orde baru, kita juga mengenal: GBHN (garis-garis besar haluan negara); Bapenas (badan perencanaan pembangunan nasional); Program Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun); Program Pembangunan Jangka Pendek, dikenal sebagi Pelita (pembangunan lima tahun) yang disusun dalam bentuk Repelita setelah Kabinet terbentuk, serta Delapan Jalur Pemerataan. Oleh karena itu, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya antara Soekarno dan Soeharto, keduanya sudah berjasa bagi bangsa, negara, dan tanah air ini. Jika fungsi PIMPINAN terbagi secara ekstrim dan rigid antara LEADER dan MANAGER, maka Presiden pertama kita lebih sebagai Leader sementara Presiden kedua kita, lebih sebagai Manager. Pendapat ini akan membuka perdebatan dan memancing persepsi tentunya. Yang jelas, kedua mantan pemimpin kita itu adalah pemikir pada zamannya yang pemikirannya jauh ke depan melewati masanya berkuasa. Biarlah masa lalu lewat dengan putaran waktu, yang penting sekarang menyikapi persoalan hari ini sambil menyongsong masa depan. Kata seorang teman, sejarah adalah persoalan masa lalu, sedangkan politik adalah masalah hari ini. Entahlah, apakah ekonomi dan bidang yang lain bukan persoalan hari ini? Sampai hari ini pun saya belum pernah minta penjelasan darinya. Pemimpin selayaknya built-in sebagai pemikir. Sejatinya, pemimpin itu visioner dan konseptor. Bukan lebih banyak bertindak dalam tataran implementasi, teknis, taktis, dan aplikatif. Proporsionalitas diperlukan dan disesuaikan dengan kapasitasnya. Sekali lagi, keberhasilan sebuah organisasi mencapai tujuan adalah hasil kerja bareng dan kompak pemimpin dan timnya. So, jika Anda jadi Pemimpin sekarang? siap jadi Pemikir! [2/12/2012]
  • 18. 18 Pemimpin KIR = PemiKIR ?! Referensi tentang pemimpin, pimpinan dan kepemimpinan ada dalam Alquran dan Hadits. Dalam Alquran terdapat pada surat Al Baqarah (2) ayat 30 dan surat An Nisa (4) ayat 59. Sedangkan dalam Hadits yang diriwayatkan Mutafaqun’Alaih dari Ibnu Umar yang berbunyi kullukum rhaain wakullukum mas uulun an rhaiyyatihi........[”setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya....”]. Dari nash tersebut jelas bahwa setiap kita adalah pemimpin apapun status, profesi, predikat yang disandang, jabatan yang diemban, posisi yang ditempati, atau kedudukan yang dikuasainya. Demikian pula halnya pada pelajar dan mahasiswa. Kedua peserta didik ini adalah pemimpin yang harus mempertanggung jawabkan hasil yang diperoleh dari proses belajar mengajar dalam bentuk jati diri kaum terdidik dan kaum terpelajar, mengaplikasikan keilmuan yang didapatkan minimal dalam kehidupan sehari-hari, juga menerapkan bekal pendidikan dalam bersilkap terhadap masalah hidup yang dijumpainya dengan berlandaskan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Adapun pemimpin KIR adalah seluruh komponen personal KIR atau elemen SDM KIR itu sendiri. Mulai dari anggota sampai ketua KIR. Jadi semua aktivis KIR, baik anggota maupun pengurus adalah pemimpin KIR secara umum, yang memilki otoritas, tugas, fungsi, dan tanggung jawab masing-masing sesuai kapasitasnya. Sementara pemikir yang penulis maksudkan, adalah orang yang segala tindakannya selalu diawali dengan pemikiran lebih dahulu sebelum mengambil keputusan atau tindakan perbuatan. Awalnya, penulis menilai pemikir itu adalah orang pintar, yang kalau sekolah selalu mendapat ranking 1-5, atau kalau kuliah selalu mendapat indeks prestasi (IP)=3,5-4,0. Pemikir pasti berwajah culun, berkaca mata minus sekian, berkepribadian introvert, pasif dalam persoalan sosial, kagak gaul, cenderung selfish dan egoist, suka bertingkah aneh, senang caper (cari perhatian), dan sedikit jutek (judes). Mengenai hubungan antara pemimpin dan pemikir untuk skala KIR, penulis menerawang sesaat ketika masih menjadi pelajar dan pengurus KIR pada tahun 1985. Ketika itu penulis
  • 19. 19 masih manjadi Ketua KIR dan sebagai siswa kelas III IPA 3. Kelas ini merupakan kelas percobaan (info yang penulis dapatkan menurut isu yang beredar dan gosip yang berkembang saat itu, tetapi tujuan percobaan untuk apa tidak jelas sampai penulis lulus), karena kelas 3 paspal 3 itu memilki siswa yang berasal dari pilihan siswa-siswa ranking 1-10 di kelas II-nya. Penulis menyadari sebagai mantan siswa dari sebuah SMP pinggiran yang berstatus ”sekolah buangan”, karena SMP filial (kelas jauh) yang halaman sekolahnya bekas kubangan kerbau dengan prestasi biasa-biasa saja (menurut penulis, karena masih jago kandang belum teruji di kancah luar) berhadapan dengan teman-teman yang berasal dari SMP favorit di Kebayoran Lama dan SMP top di Kebayoran Baru, tentu akan bermasalah dalam pergaulan dan proses belajar 1 tahun ke depan. Waktu 2 tahun (saat di kelas I dan II) penulis belum sepenuhnya mengenal semua teman-teman yang kini duduk di kelas III itu, meskipun sebagian sudah kenal saat satu kelas (kelas I dan atau kelas II) juga dalam kegiatan OSIS dan KIR. Makanya, ketika hari pertama masuk ada perasaan sedikit kaku juga walaupun penulis berusaha tak acuh (cuek) menyikapinya. Duduk sebangku dengan siswi yang juga pengurus KIR adalah langkah awalnya. Ada seorang teman merasa minder minta ganti kelas saja, dengan alasan kelas ini diisi orang pinter semua. Namun, permintaan itu ditolak Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Penulis sendiri dengan pengalaman di organisasi menjadi modal untuk gaul dan mencairkan suasana, bahkan proses pemilihan pengurus kelas penulis yang memimpinnya. Ketika dicalonkan menjadi ketua kelaspun, penulis berasalan bahwa pengurus OSIS tidak boleh menjadi ketua kelas, karena ketua kelas adalah anggota MPK. Kelihatan teman-teman ada yang kecewa, meskipun menerima alasan tersebut. Sikap gaul dan cuek walau tetap sopan dan santun tetap penulis jaga. Selama duduk di kelas itu hanya penulis saja yang duduk dengan cewek (siswi) dan penulis berganti-ganti pasangan duduk dengan siswi yang berbeda. Ingat, sekedar pasangan duduk! Bukan macam-macam ya? Kadang penulis duduk sendirian, karena jumlah siswa kelas itu tidak berimbang antara siswa dan siswi. Jumlah siswa 24 orang (pertengahan tahun ada siswa pindahan masuk) dan siswi 23 orang. Posisi duduk penulis lebih banyak di barisan depan, dekat pintu keluar atau depan meja guru. Hanya sesekali di belakang ketika bangku belakang ada yang kosong dan tetap aktif menjawab pertanyaan guru bukan menghindar dan bersembunyi. Saat itu memang yang lagi mengajar termasuk guru killer, dimana suasana kelas seperti kuburan, sunyi dan senyap. Paradigma kelas 3 exacta 3 itu kelas anak-anak pintar yang serius dan kaku terbantahkan dan penilaian tentang anak pintar berputar 180o . Suasana keceriaan tetap ada di kelas itu. Kalau ada yang ulang tahun dirayakan. Rujak party sudah jadi kebiasaan. Pernah kena marah wali
  • 20. 20 kelas, habis rujakan ketika jam pelajaran beliau meja masih berserakan sisa-sisa buah dan bumbu rujak. Beberapa siswa saat istirahat, bukan hanya ke kantin tetapi mampir dulu ke mushola (shalat dhuha dan baca Hadits). Kebiasaan ini juga dilakukan saat pergantian jam pelajaran atau guru tidak masuk (tak ada pengganti atau tugas). Di kelas itu terdapat pengurus OSIS, pentolan Pramuka, dedengkot KIR dengan 10 orang aktivis dan simpatisan KIR-nya, sebagian siswa doyan camping, kerja sama dan gotong royong dalam memajukan kelas sangat kental dan saling mengingatkan. Kerja bakti membersihkan kelas dan merapikan/memperindah taman kelas sangat antusias dan kompak. Penulis pernah di tegur, saat kelas menjadi giliran bertugas upacara bendera. Saat itu penulis menolak menjadi petugas. Teguran seorang teman yang manis dan imut itu, ”Ki, kamu kalo untuk OSIS sama KIR dibela-belain, masa untuk 3 IPA 3 aja kamu gak mau !” Penulis beralasan sebelum tiap kelas mendapat jatah giliran, pengurus OSIS sudah lebih dulu bertugas dan penulis menjadi komandan upacaranya saat itu. Akhirnya, penulis mengalah untuk tetap berpartsipasi untuk kelas tercinta. Bercanda di kelas itu juga agak kelewatan, saling main tembak pintol air dari sudut depan dan belakang tempat duduk, sehingga yang jadi korban adalah siswi-siswi yang duduk di bagian tengah mendapat berkah hujan lokal. Di kelas tak ada pengelompokan (gang). Pergaulan baik antar siswa, antar siswi, maupun antara siswa dengan siswi sangat baik dan sehat. Tidak ada yang menonjolkan status sosial ekonomi. Membicarakan hal tabu sekalipun saat itu dengan terbuka, rasional, serta dasar ilmiah dan etika. Sigap menjalankan tugas observasi dari guru mata pelajaran di kehidupan sehari-hari (penerapan mata pelajaran di lapangan). Dalam masalah pelajaran sangat peduli satu sama lain, saling membantu dan berbagi ilmu. Tidak ada kesan bersaing. Lucunya, tidak pernah saling bertanya tentang ranking. Sampai penulis luluspun, tidak memperhatikan ranking berapa di kelas itu. Seolah semua masa bodo dengan ranking. Yang penting belajar menguasai ilmu untuk masa depan. Kerja sama untuk menguasai pelajaran dengan cara berdiskusi atau yang lebih tahu maju ke depan papan tulis menjelaskan setelah jam sekolah berakhir. Kejujuran dalam ulangan (tes) sangat dipegang. Menjadi siswa bimbel (bimbingan belajar) saat itu masih langka. Namun, ketika membahas soal-soal dibuka saja, tidak menutup diri dengan teman yang tidak ikut bimbel. Soal-soal dari modul bimbel dibahas bersama- sama.
  • 21. 21 Sebagian siswa yang aktif di ekskul pulang sekolah langsung main-main ke Bogor sambil survey untuk lokasi camping atau sekedar refreshing. Pulang hari dan sore harinya sudah di Jakarta. Kadang dalam perjalanan masih suka nyetop truk untuk menikmati tumpangan gratis. Di akhir masa sekolah juga demikian. Berfoto ria setelah pengumuman ujian tiba tak terkendalikan apalagi dengan aksi corat-coret baju. Muncul provokasi untuk memandikan/mengguyur ibu wali kelas, tetapi rencana aksi gila tersebut dibatalkan. Entah kenapa, yang jadi sasaran tembak ke arah penulis. Yah sudah, penulis menjadi korban pelampiasan kepuasan dan pengungkapan keceriaan hari itu. Para eksekutorpun berantusias menyiram tubuh penulis dengan ember-ember yang berisi air sampai puas, tinggalah penulis basah kuyup dan kedinginan. Setelah acara kelulusan itu, teman sekelas masih memiliki 2 acara, sehingga sampai sore hari baru pulang ke rumah dengan baju dan celana yang mengering di badan. Apalagi dalam perjalanan menuju acara pertama sempat naik tumpangan truk gratis yang berangin-angin ria. Hasilnya, sakit seminggu. Alhamdulillah, berniat memboikot untuk tidak hadir acara perpisahan di sekolah kesampaian juga (karena sakit tidak hadir). Sebagai bentuk protes. Ketika menjadi Pengurus OSIS memperjuangkan penyelenggaraan perpisahan kakak kelas (alumni 1984) di Granada. Seolah air susu dibalas air tuba, ketika menjadi kakak kelas justru acara perpisahan dilakukan di sekolah dengan model tenda seperti acara pernikahan ala kampung(an). Apakah itu sebagai bentuk ganjaran atau model hukuman bagi personal atau mantan pengurus organisasi? Tetapi, mengapa harus mengorbankan satu angkatan, 1985 (angkatan ke-4 SMA 32). Entahlah, apa yang tersirat di benak para ”penguasa” saat itu? Penulis tidak tahu. Nah, dari narasi tentang kelas III IPA 3 di atas dimana di dalamnya terdapat calon ” kaum pemikir” baik sebagai siswa yang berprestasi, aktif di OSIS dan ekskul lain, maupun aktivis dan simpatisan KIR. Dari siswa ini kemudian beberapa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) baik melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) ataupun Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Semoga dengan menyorot kelas 3 itu bisa merepresentasikan perihal hubungan antara pemimpin dan pemikir (terutama untuk skala KIR) dalam organisasi. Bahwa pemikir itu adalah orang biasa, bukan luar biasa. Pemikir adalah makhluk normal, bukan abnormal apalagi paranormal. Kira-kira juga, bukan supernormal kan? [9/12/2012]
  • 22. 22 Pemimpin ⇌ Pengikut Sebuah mesin organisasi memerlukan kontrol kepemimpinan atas pengikut dan sebaliknya juga demikian. Seorang dikatakan memimpin suatu organisasi karena ada yang dipimpin, yakni pengikut. Bahkan dalam suatu level struktur organisasi, jabatan tertentu memegang dua peran sekaligus yaitu sebagai pemimpin juga sebagai pengikut. Seorang manajer adalah pemimpin bagi supervisor, sekaligus pengikut direktur. Atasan dan bawahan bisa jadi terletak pada orang yang sama. Pemimpin yang berhasil dalam suatu organisasi adalah pemimpin berkarakter kuat dengan pengikut yang efektif. Peran pemimpin dan pengikut adalah masalah SDM organisasi. Masalah SDM ialah persoalan dengan segudang disiplin ilmu. Ilmu yang berkaitan dengan SDM bisa bermula dari antropologi, budaya, sosiologi, psikologi, manajemen, hukum, organisasi dan administrasi. Namun, hubungan antara keduanya, pemimpin-pengikut lebih banyak ditinjau dari sudut pandang psikologi. Pemimpin tidak ada tanpa pengikut. Bersama- sama mereka membentuk hubungan timbal balik dalam suatu kelompok dan keberhasilan kelompok tergantung pada tindakan kedua orang yang memimpin dan mereka yang mengikuti. Robert E. Kelley, dari Carnegie Mellon University, dalam artikelnya di Harvard Bussiness Review (1988) yang berjudul “In Praise of Follower” menyebutkan: Bosses are not necessarily good leaders; subordinates are not necessarily effective followers. Many bosses couldn’t lead a horse to water. Many subordinates couldn’t follow a parade. Some people avoid either role. Others accept the role thrust upon them and perform it badly. Four steps that can develop good followers are: 1) redefining followership and leadership roles as equal but different activities, 2) teaching the skills that make effective followers, 3) carrying out performance evaluation on the basis of followership capacities, and 4) building organizational structures (like leaderless groups and rotating leadership assignments) that encourage followership. Dari Muhammad Zainul Majdi (2013) dan sumber lain, Kelley mengklasifikasi pengikut menjadi lima tipe dasar pengikut, diantaranya:
  • 23. 23 1. Pasif (Passive) atau tipe domba (sheep) Pengikut yang masuk kategori ini memiliki sejumlah ciri: pasif, tidak kritis, sangat tergantung, kurang memiliki inisiatif, tidak berkomitmen, tidak antusias, tak mempunyai rasa tanggung jawab. Hanya melakukan apa yang diberitahu dan tidak lebih. Menjalankan peran apa adanya. Sudah merasa puas dengan hanya mengikuti jejak orang lain. 2. Konformis (Conformist) atau tipe serba setuju (yes people) Tipe pengikut ini lebih bebas, lincah, dan aktif dibanding tipe pertama. Namun, masih kurang suka berusaha dan sangat bergantung pada pemimpin, suka menghormat berlebihan dan bersikap merendah di hadapan pemimpinnya. Pengabdiannya kepada pemimpin tidak disangsikan dan teguh dalam memberi dukungan kepada pemimpinnya. Banyak pemimpin lemah dan kurang percaya diri suka dengan tipe pengikut semacam ini. 3. Terasing (Alienated) atau tipe pengikut penyendiri (alienated followers) Pengikut terasing adalah tipe yang independen, pasif, tidak memilki komitmen terhadap pemimpin, tujuan kelompok, dan anggota kelompok. Namun, pengikut bertipe ini sangat kritis yang enggan tampil untuk memperjuangkan sikap dan pikirannya. Selalu bersikap sinis dengan menyetujui opini publik dan terjerumus dalam ketidakpuasan, tetapi diam atau tak bersuara. Mereka tidak mau tampil sebagai ”oposan” bagi langkah dan kebijakan pimpinannya. 4. Pencari Selamat (Pragmatic) atau tipe pragmatis (survivors) Pengikut semacam ini terletak di tengah dari semua tipe dan tidak memiliki karakteristik yang jelas, bebas atau bergantung dan aktif atau pasif. Mereka tidak bersifat negatif konformis, pasif atau terasing dan bukan teladan yang baik. Mereka memiliki latar belakang yang berkontribusi dari apa yang didapat dan kapan mendapatkannya. Kategori ini adalah tipe orang (anggota) kebanyakan (rakyat jelata) dari sebuah kelompok. Tipe pengikut jenis ini mengikuti ke mana arah mata angin berhembus. Mereka menganut prinsip mencari selamat daripada menyesal. Agar tetap eksis, mereka bisa`menjadi kelompok yang pasif jika kondisi tidak kondusif untuk kritis dan di saat lain bisa secara agresif menyerang. 5. Teladan (Exemplary) atau tipe Pengikut Efektif (effective followers) Tipe terbaik dan paling ideal dari pengikut yang dimiliki pemimpin dan tugas pemimpin adalah mengubah semua tipe di atas menjadi tipe terakhir ini. Pengikut teladan ini memiliki inisiatif, berani mengambil risiko, dan mempunyai kemampuan menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka mampu menjalankan tugas dan kewajiban yang didelegasikan secara tegas dan bersemangat serta memperjuangkan kemajuan diri. Sikap independen dan
  • 24. 24 aktif serta dapat konstruktif ketika berbeda pendapat dengan pimpinan atau kelompok lain. Mereka adalah bintangnya pengikut. Dengan demikian nampak bahwa pengikut juga penting untuk diperhitungkan dalam implementasi kepemimpinan sebuah organisasi. Pemimpin akan mengalami kesulitan menjalankan roda organisasi bahkan bisa frustasi, jika mendapatkan pengikut pasif. Pemimpin juga bisa terlena, mabuk, dan terjebak ilusi dari realitas jika di belakangnya terdapat pengikut konformis. Pemimpin tidak boleh buta dan tuli dengan ketidakpuasan pengikut apalagi jika yang terjadi ’keheningan’ yang suatu saat bisa meledak layaknya bom waktu. Oleh karena itu pengikut terasing harus difasilitasi buah pikiran, gagasan, dan sikap kritisnya untuk disuarakan. Menghadapi pengikut pencari selamat yang selalu berorientasi pada strategi politis dan kalkulasi ekonomis, akan membuat pemimpin mencurahkan energi yang besar. Energi akan habis hanya untuk mendeteksi dan mengenali siapa kawan dan siapa lawan. Asma Nadia dalam Pemimpin Terbaik dengan Pasukan Terbaik (2013), menuturkan Muhammad al-Fatih semasa kecil diajak memandangi benteng Konstantinopel oleh Gurunya sambil berkata, ”Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu akan ditaklukan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu.” Usia 19 tahun Fatih menjadi Sultan dan usia 21 tahun membebaskan Konstantinopel dengan hasil gemilang. Ada kisah menarik ketika pasukan akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel. Saat itu hari Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam shalat, sang Sultan bertanya, ”Siapakah yang sejak akhir baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!” Tak seorangpun duduk. Lalu Muhammad al-Fatih kembali bertanya, ”Siapa yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Silakan duduk!” Sebagian pasukan ada yang mulai duduk. Muhammad al-Fatih kembali bertanya, ”Siapa yang sejak baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat Tahajud di kesunyian malam? Silakan duduk!” Satu persatu tentara duduk, hingga akhirnya hanya tinggal seorang yang tetap tegak berdiri. Dialah Sultan Muhammad al-Fatih. Wajar jika Rasulullah menggambarkannya sebagai pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik.
  • 25. 25 Keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi tidak saja merupakan buah dari efektivitas pemimpin, tetapi juga gambaran sejauh mana kualitas pengikutnya. Para pemimpin hendaknya membuka mata, sukses kepemimpinannya sangat tergantung pada komunitas yang dipimpinnya.[17/2/2013]
  • 26. 26 Sikap Pimpinan ditinjau dari filosofi: 2 tangan, 1 mulut, dan 2 telinga Setiap yang dianugerahi Allah kepada manusia pasti memiliki kegunaan sesuai fungsinya serta makna jika ditinjau dari sudut filosofis. Misal adanya dua buah tangan pada tubuh serta adanya satu mulut dan dua telinga. Tangan atau lengan yang ada sepasang ini memiliki posisi yang simetris dan saling melengkapi satu dengan lainnya (antara tangan kanan dengan lengan kiri). Selain berfungsi memegang, tangan juga dipergunakan untuk mengangkat, mendorong, menekan, melambaikan, dan banyak sekali untuk disebutkan satu persatu. Inilah salah satu bentuk “nikmat” kehidupan yang patut untuk disyukuri oleh seorang manusia. Selain memiliki arti yang tersurat (harfiah, konotatif), tangan juga memiliki arti yang tersirat (denotatif). Tangan bisa berarti “power”, “otoritas”, bagi orang yang berkuasa. Sang pimpinan menggunakan tangan kanannya (sebagai manager) dan tangan kirinya (sebagai leader). Sikap yang selalu tunduk pada aturan organisasi, selalu berpoisisi di depan atau di atas, kerap mengandalkan rasionalitas, terus memikirkan tujuan, sebagai alasan untuk bergerak, dan cenderung melihat ke atas, adalah cermin dari sikap “tangan kanan”. Sedangkan “tangan kiri” tidak selalu tunduk pada aturan organisasi, posisi bisa di depan, tengah, atau di belakang, pendekatan dengan sentuhan emosional, menerobos ke dalam hati sebagai pencerminan diri, serta cenderung melihat ke bawah. Kedua tangan ini harus ada, saling bantu dan bersinergi. Jikalau berjalan (menggerakan organisasi) harus saling bergantian posisinya dan berirama melantunkan lagu aktivitas organisasi. Kadang tangan kanan harus memberi punishment, sementara tangan kiri yang memberi reward. Kalau tangan kanan terpaksa harus memukul, maka tangan kirinya yang harus merangkul. Nikmat yang lainnya, adalah satu mulut dan dua telinga. Kiranya tidak perlu membahas fungsi kedua organ ini. Yang terpenting, kedua organ ini pada seorang pimpinan sangat berarti. Allah memberikan satu mulut, supaya seorang manusia tidak perlu banyak bicara. Kalaupun berbicara hanya sesuai keperluan dan yang baik-baik saja yang diucapkan. Lebih baik diam daripada berbicara yang ngawur, kagak karuan, atau tidak bermanfaat. Adanya dua buah telinga, mengajarkan manusia untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seorang pimpinan harus lebih banyak menerima “curhat” anggotanya dengan tekun mendengarkannya tanpa merasa bosan dan jenuh. Bukan sebaliknya, si pimpinan yang
  • 27. 27 “curhat’ kepada rakyatnya. Pusinglah memimpin, merasa tidak disukai, banyak dimusuhi, program tidak didukung, mendapat warisan kesalahan pemimpin sebelumnya, dan segudang keluh kesah, yang semuanya ini akan meneguhkan “pimpinan bermental cengeng”. Nah, dengan demikian jika merasa menjadi pimpinan, ingat saja dengan kedua tangan yang dimiliki. Juga bagaimana menggunakan mulut dan telinga secara proporsional. [15/7/2012]
  • 28. 28 Otoritas dan Otoriter Pengurus organisasi sering disebut sebagai fungsionaris, orang yang seharusnya berfungsi dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen organisasi. Berorganisasi juga belajar istiqomah (komitmen, konsisten, kontinuitas) terhadap aturan dan peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Namun, tidak semua aktivitas berorganisasi dapat dijalankan sesuai aturan dan peraturan tertulis yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan otoritas sang pemimpin mengambil kebijakan (policy). Penerapan otoritas ini bukan meniadakan azas demokratisasi, tetapi sebagai jalan keluar dari kebuntuan sementara keputusan harus dikeluarkan. Memang tampak beda tipis antara otoritas dan otoriter, antara kewenangan dan sewenang-wenang. Di sini perlunya leadership dan kearifan sang ketua, memadukan unsur leader dan manager pada dirinya. [4/3/2012]
  • 29. 29 Lokomotif dan Gerbong Pemimpin dan pengikut dapat dianalogikan sebagai lokomotif dan gerbong, sedangkan anggota organisasi sebagai penumpangnya. Pimpinan organisasi dapat ditetapkan melalui proses pemilihan (suara terbanyak/voting) atau penunjukan (pengangkatan). Pimpinan juga dipilih secara tunggal (misal ketua saja) atau bersama-sama dengan wakilnya. Jika proses pemilihan hanya menetapkan ketua saja, maka sang ketua dapat menunjuk wakil atau pembantunya. Ketika pimpinan sudah ada, maka pekerjaan berikutnya adalah mencari gerbong yang sesuai dengan kualifikasi yang diminta dan dipersyaratkan pimpinan itu sendiri. Pimpinan tidak mau memimpin orang-orang berkualifikasi rendah, yang kelak akan menghambat kinerja dalam menjalankan organisasi. Dia tidak mau “kabinet” yang dipimpinnya tidak berjalan dan tidak produktif. Di sinilah penting sistem adminitrasi organisasi. Bio data atau curriculum vitae (CV) seluruh anggota harus tersimpan dengan baik, agar dapat dengan mudah ketika mencari bakal calon pengurus jika diperlukan. Kriteria calon anggota pengurus, tidak saja dapat diukur dari CV-nya saja, juga dapat diamati dari kesehariannya aktif dalam organisasi. Kontribusinya dalam kepanitiaan, keikutsertaan dalam pelatihan kader, intensitas dalam penyampaian gagasan segar dan ide cemerlang dalam diskusi, dan komitmennya dalam tugas, kepercayaan dan hubungan baik dengan sesama anggota dapat menjadi referensi tambahan. Lokomotif harus tepat memilih orang dan tepat pula menempatkannya pada jabatan teknis yang sesuai keterampilan yang dimiliki. Salah menempatkan orang pada posisi yang tidak tepat akan memperburuk kerja tim. Lokomotif juga harus berjalan sesuai irama gerbong. Jangan terlalu cepat atau terlalu lambat. Lokomotif yang terlalu cepat akan meninggalkan gerbong jauh di belakang, sehingga yang terjadi adalah show off atau single fighter. Bukan lagi supertim tapi superman. Kan superman hanya ada pada dunia fiksi. Lokomotif yang berjalan terlalu lambat juga akan menurunkan motivasi gerbong dalam menjalankan aktivitas. Lambannya pengambilan keputusan, sikap ragu-ragu, dan terlambat
  • 30. 30 menerima informasi serta rendahnya sensitivitas isu hangat dan kabar aktual kehidupan organisasi akan menjadi gregetan siapapun apalagi anggota tim. Memang terkadang ada lokomotif yang lebih besar nama dan kapasitasnya dibandingkan dengan organisasi yang dipimpinnya sendiri. Namun, tetap harus dapat memposisikan diri kapan harus berada dalam organisasi dan kapan berada di luar organisasi. Kapan menjadi bagian dari organisasi dan kapan organisasi itu bagian dari dirinya. Yang jelas, lokomotif seperti ini juga harus tetap amanah memimpin organisasi dan ingat kapan harus meletakan jabatan. Godaan untuk terus memimpin dan memanfaatkan organisasi sebagai kepentingan pribadi yang lebih besar kerap terjadi di organisasi manapun dan apapun. Sang lokomotif, merasa lebih punya kekuatan kepemimpinannya dibanding sistem yang ada. Ada rumus yang berlaku, semakin panjang masa berkuasa, kepemimpinan akan cenderung korupsi. Oleh karena itu, penting mensinergikan kepemimpinan yang kuat dengan kesolidasian sistem. Menciptakan kepemimpian yang kuat, di samping faktor internal individu juga ditunjang oleh sistem pengkaderan organisasi. Sedangkan sistem yang solid ditentukan oleh pewarisan dan pendelegasian satu angkatan dengan angkatan berikutnya dengan mengawal supaya sistem itu tetap berjalan sesuai visi misi. Bukan tiap periode pengurus seenaknya saja merubah semua hal mendasar dan prinsip. Bahkan celakanya tidak bisa membedakan antara pedoman dan program, antara konsep dan teknis, dan antara mendesak dan penting. Oh ya, lokomotif dan gerbong harus tetap berjalan sesuai rel organisasi dan koridor aturan dan peraturan organisasi. Artinya taat dan patuh pada visi misi, tujuan dan AD/ART organisasi serta GBPK organisasi. Hanya kewenangan atau otoritas pengurus di tiap periode adalah membuat program kerja yang sesuai dengan GBPK. Program kerja dapat terbagi menjadi 3 bagian: 1) program kerja melanjutkan program kerja pengurus sebelumnya, 2) program kerja baru yang terjadwal dan berkala, dan 3) program kerja baru yang sifat insidental dan temporer. Hubungan antara pengurus baru dengan pengurus lama seharusnya tetap terjalin baik. Bukan lagi melihat setuju atau tidak sejutu siapa yang sudah terpilih, tetapi demi kemajuan organisasi dan kepentingan anggota yang lebih besar. Kadangkala yang terjadi, setelah pengurus baru terbentuk seolah pengurus lama merasa “habis manis sepah dibuang”. Pengurus lama juga tidak sekalipun memberi perhatian dan mengkontribusikan “warisan”
  • 31. 31 kepada pengurus baru. Sementar pengurus baru merasa “lebih pintar” enggan berkomunikasi dengan seniornya, sehingga terjadilah gap. Yang ada, anggota curhat ke pengurus lama. Kalau pengurus lama (mantan pengurus) kurang bijak, maka akan memperuncing masalah. Oleh karena itu, pertemuan antara pengurus dengan mantan pengurus perlu dilakukan secara berkala, untuk membahas kelanjutan program kerja dan kemajuan serta kelangsungan hidup organisasi. Kok, sama-sama lokomotif dan gerbong ribut?[17/8/2012]
  • 32. 32 BOS = “Bukan Orang Sembarangan ?” Perbedaan antara pimpinan dan bos, ialah pimpinan adalah bos, tetapi bos belum tentu pimpinan. Salah satu karakter dan tabiat orang bermental ngebos adalah “sok kuasa dan ingin selalu dianggap”. Oleh karena itu, ada adagium yang telah berkembang bahwa: bos tidak pernah salah. Sehingga bukan rahasia umum lagi (kalau sudah diketahui umum kenapa ya pakai “rahasia” segala?), ada anekdot tentang UU tentang Bos. Yaitu: Pasal 1 (pertama) berbunyi Bos selalu benar. Pasal 2 (kedua) berbunyi jika bos salah, peraturan kembali ke pasal 1 (pertama). Oleh karena bos bukan orang sembarangan, maka anggota (pengikut) nya selalu “menikmati penderitaan”. Beda antara tampilan dengan isi hati, tidak sama antara aktivitas di depan bos dengan di belakang bos, dan berlainan antara idealisme dengan aktivitas keseharian. Akhirnya muncul “mental blankon” di kalangan pengikut. Dalam organisasi seperti ini terdapat lagu ratapan anggota (bawahan) terhadap bos (atasan) yang selalu diputar ulang. Jika bawahan lambat bekerja, maka dikatakan lelet/lemot. Sedangkan jika bos lambat bekerja, maka bos selalu berhati-hati. Bila bawahan salah mengerjakan sesuatu, maka bawahan itu ceroboh. Sementara bila bos salah mengerjakan sesuatu, maka hal itu adalah manusiawi. Jika bawahan mempertahankan pendapatnya, maka dikatakan sebagai keras kepala. Sedangkan jika bos mempertahankan pendapatnya itu dalah sikap tegas. Jadi, mana yang dipilih pimpinan bermental bos atau bos bermental pimpinan? [21/7/2012]
  • 33. 33 Sistem Kepemimpinan Dalang-Wayang Dalam kepemimpinan ada pemimpin dan ada pengikut, ada atasan dan ada bawahan. Namun, pada strata yang lebih dari satu level posisi tertentu dapat menjadi bawahan dari level di atasnya, tetapi juga merupakan atasan bagi level di bawahnya. Misalnya, level manajer merupakan bawahan dari level direktur, dan menjadi atasan dari level supervisor. Sesuai tugas pokok seseorang yang berada dalam level manajerial adalah mengambil keputusan, maka kewenangan ini seharusnya diberikan keleluasaan. Keputusan yang diambil oleh setiap pimpinan di masing-masing level memiliki keterbatasan dan masih dalam kendali pimpinan atasnya dengan tingkat risiko yang sudah diukur seminim mungkin dengan segala antisipasinya. Begitu pun pada organisasi massa atau partai politik, yang terdiri dari dewan pimpinan pusat, pimpinan daerah, pimpinan wilayah, pimpinan cabang, sampai pimpinan ranting. Atau pada organisasi kecil yang hanya terdiri dari badan pengurus harian, departemen, bidang, bagian, biro, sampai seksi. Semua yang berada di level-level menengah akan mempunyai posisi ganda. Sebagai pimpinan sekaligus bawahan juga. Jika organisasi sudah memiliki kepemimpinan yang visioner dan menyiapkan adanya regenerasi yang ditunjang oleh sistem manajemen yang dapat menjawab kebutuhan akan perubahan di setiap masa, maka setiap levelisasi diberi kewenangan dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, masih banyak organisasi yang sangat membatasi kewenangan ini. Kalau organisasi itu baru berdiri, mungkin harap dimaklumi karena pengurusnya masih hijau dalam berorganisasi dan belum memiliki jam terbang yang banyak. Bila organisasi tersebut hanya sekelas kumpulan beberapa orang teman ngopi di warung yang tidak memiliki aset untuk dikelola, masih dikatakan wajar dikelola dengan cara demikian. Kenyataan yang ditemui adalah, pada organisasi yang sudah lama, yang mengelola sejumlah aset yang sangat besar, yang terdiri dari banyak orang anggota dan pendukungnya, masih menerapkan sistem kepemimpinan yang sangat terpusat dan amat teratas. Semua pejabat di level menengah sampai bawahnya tidak memiliki otoritas dalam bertindak strategis dan tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan. Layaknya, semua pejabat di level ini
  • 34. 34 bekerja sesuai perintah remote control dari pimpinan tertinggi. Susunan kepengurusan organisasi memang dibuat stratifikasi, tetapi otoritas dan informasi tidak berjalan sesuai strata yang teratur. Setiap ada pertanyaan yang memerlukan jawaban, harus menunggu suara dari atas. Setiap ada masalah yang memerlukan solusi, harus menantikan kicauan dari pusat. Semua pejabat hanya berada pada posisinya tanpa makna. Kendali sepenuhnya dipegang oleh orang yang tidak tampak, yang selalu dikatakan berada di atas atau di pusat. Orang-orang yang berada di level-level tersebut dapat diibaratkan berada pada kondisi seperti kepala dilepas ekor selalu dipegang. Nah, yang timbul adalah sikap mencari selamat atau untung, walaupun temannya yang bernama Slamet dan Untung setiap hari sudah ketemu. Seolah-olah dalam level-level itu antara ada dan tidak adanya sistem. Mengambang dan tidak jelas. Selain itu, dampaknya adalah inisiatif tunggu nanti, kreativitas mati, dan inovasi hanya mimpi. Jika organisasi terus mempertahankan sistem kepemimpinan seperti ini tak ada prosfek yang diharapkan ke depannya, hanya tinggal menghitung waktu saja sambil menyiapkan keranda kematian. Ketergantungan berlebihan pada seseorang, kekurangpercayaan pada bawahan, tidak menyiapkan sistem manajemen yang mengacu pada perubahan, serta tidak memperbaiki kultur organisasi, adalah cara-cara mengelola organisasi bukan saja tradisional, tetapi lebih tepatnya primitif. Semoga saja bukan sekelas zaman barbar yang menihilkan sifat dan sikap manusiawi dalam berorganisasi. Kini, sudah zamannya modern, bahkan ada yang bilang post modern. Selayaknya, organisasi apapun dan dimanapun, beradaptasilah sesuai zamannya. [14/10/2012]
  • 35. 35 Berbagai Tipe Pengurus Organisasi Menjadi pengurus organisasi semestinya sadar akan menambah kesibukan dan pengorbanan. Waktu, tenaga, dan pikiran harus dialokasikan atau disempatkan. Disisihkan dan bukan disisakan. Kadangkala juga, perlu pengorbanan uang pada organisasi sosial. Seharusnya, setelah memegang tampuk kepengurusan konsekuensi di atas harus diterima. Beberapa pengurus menyikapinya dengan berbagai cara, sehingga nampak bermacam tipe yang dimiliki pengurus. Diantaranya, adalah: a. Pengurus yang hanya namanya saja dicantumkan dalam daftar susunan kepengurusan organisasi, tidak melakukan apa-apa. Rapat pengurus tidak pernah hadir apalagi acara kegiatan organisasi. b. Pengurus yang hanya hadir dalam rapat pengurus dan biasanya banyak ide dan usul, tetapi ketika diminta untuk menjadi penanggung jawab kegiatan akan menolak dengan berbagai alasan. Pada saat acara kegiatan tidak hadir. c. Pengurus yang tidak pernah mau ikut rapat pengurus, tetapi setiap ada acara kegiatan selalu hadir. Acaranya adalah kegiatan yang dilakukan oleh seksi (bidang) lain. d. Pengurus yang tidak mau menjalankan tugas dan fungsinya sesuai seksi (bidang) yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi suka mengerjakan tugas seksi (bidang) orang lain. e. Pengurus yang hanya mau menjadi pengurus, tidak mau tahu dengan tugas dan fungsinya, tetapi rapat selalu hadir, dan ketika acara kegiatan juga hadir sebagai objek pelengkap. f. Pengurus yang tidak pernah mau hadir dalam rapat pengurus, tetapi ketika diingatkan tugas dan fungsinya mau mengerjakannya sampai tuntas selesai (dari konsep sampai operasionalnya). g. Pengurus yang hanya mau bertanggung jawab dan terlibat dalam acara kegiatan yang menjadi tanggung jawab seksi (bidang)nya. Kalau ada acara kegiatan seksi (bidang) lain, tidak mau membantu sekalipun sebagai anggota dan bahkan tidak pernah hadir (datang) sebagai peserta. h. Pengurus yang mau mengerjakan tugasnya (dalam konsep), tetapi pada saat acara kegiatan dilangsungkan tidak pernah datang. i. Pengurus yang tidak mau datang saat membahas konsep kegiatan seksi (bidang) nya, tetapi saat acara kegiatan berlangsung selalu hadir mengerjakan tugasnya.
  • 36. 36 j. Pengurus yang rajin hadir dalam rapat pengurus, mengerti tugas dan fungsinya, serta menyediakan waktu buat hadir dalam acara kegiatan organisasi. Munculnya, berbagai tipe pengurus di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain: niat menjadi pengurus (keterpaksaan atau berminat), karakter pribadi, sistem rekruitmen pengurus, sistem kaderisasi organisasi, hubungan antar pengurus, sifat kepemimpinan sang ketua, dan budaya organisasi yang menaunginya. Nah, jika anda seorang pengurus organisasi, jujur saja anda termasuk tipe pengurus yang mana……..? [26/5/2012]
  • 37. 37 4 Tipe Pengikut (Anggota Organisasi) Dalam pelajaran dasar administrasi, disebutkan syarat berdirinya organisasi adalah: adanya anggota, adanya pengurus, dan ada AD/ART. Kalau pengurus disebut leader (pemimpin), maka anggota disebut follower (pengikut). Menjadi pemimpin harus mengerti siapa yang dipimpinnya, disamping tentu saja dapat memimpin dirinya sendiri. Berdasarkan kemauan dan kemampuan yang dimiiliki dalam berperan serta dan melibatkan diri aktivitas organisasi, pengikut (anggota) dibedakan menjadi 4 tipe, sebagai berikut: 1. Anggota yang RAJIN dan PINTAR 2. Anggota yang RAJIN dan BODOH 3. Anggota yang MALAS dan PINTAR 4. Anggota yang MALAS dan BODOH Semua pimpinan pasti akan mau memiliki anggota tipe 1, tetapi kenyataannya tidak akan ada. Seandainya semua anggota organisasi bertipe 1 ditambah dengan loyalitas dan dedikasinya tinggi pada organisasi, maka pengurus (sang ketua) tidak punya amal. Justru adanya amal karena jumlah tipe ini sangat sedikit, sehingga harus berkerja keras dengan belajar cerdas membina tipe lainnya. Anggota bertipe 2, harus dilakukan pembinaan dengan pengetahuan dasar berorganisasi dan spesialisasi aktivitas organisasi serta manfaat yang akan diperolehnya kelak. Melibatkannya dengan kegiatan dan mengajarinya dengan penuh kesabaran. Dengan modal rajinnya, melakukan hal yang berulang melebihi orang lain akan menjadi pintar. Terapkan ilmu 3 X 1, bukan 1 X 3. Anggota tipe 3 hanya memerlukan motivasi, dengan menyampaikannya manfaat berorganisasi secara rasional, menghubungkan dengan hobinya, serta berikan pemahaman bahwa organisasi dapat menjadi sarana dan fasilitas pengembangan diri. Orang yang pintar membutuhkan tantangan dan mau melukakan sesuatu yang baru, menarik, sesuai kesenangannya, dan pemacunya. Pemicunya sudah ada pada dirinya sendiri. Jangan lupa test case dengan memberi kepercayaan menjadi project officer sebuah kepanitiaan.
  • 38. 38 Sedangkan untuk anggota tipe k-4, pengurus harus berusaha dan bekerja ekstra keras menghadapinya dengan memberi motivasi sekaligus mengajarinya. Dimulai dengan mencari tahu alasan bergabung dalam organisasi, memberi perhatian keterlibatannya dalam kegiatan, membimbingnya dalam keterampilan teknis, serta memberi apresiasi walaupun sekedar ucapan atas prestasinya (meskipun menurut ukuran orang lain itu biasa). Dengan berbagai tipe anggota yang dimiliki, maka pendekatan dalam melakukan implementasi kepemimpinan, pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan motivasi terhadap anggota, dilakukan secara umum dan khusus. Yang umum menyangkut dasar-dasar berorganisasi dan spesfikasi aktivitas, sementara yang khusus berkaitan keterampilan teknis, bimbingan peran, pengelompokan peminatan yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan masing-masing. [3/6/2012]
  • 39. 39 Kepepet Makes Power Dalam keadaan biasa, wajar, atau lazim maka hal-hal yang menyangkut kekuatan dan ketangguhan tidak nampak dipermukaan. Walaupun faktor eksternal memberikan segudang antusias dan setumpuk motivasi, sementara faktor internal tetap dalam status quo dan kejumudan, maka tidak akan ada perubahan yang berarti. Niat akan tetap tinggal niat. Mimpi hanya sebatas bunga tidur yang tetap berada dalam angan dan khayalan, tanpa follow up-nya. Seolah situasi dan kondisi begitu tegar dan terlalu kuat untuk ditembus. Usaha dan ikhtiar yang dilakukan serasa tak mampu melewati batas itu. Seakan terjadi deadlock dan kuldesak setiap upaya. Namun, keadaan akan berubah ketika situasi dan kondisi dalam keadaan terdesak, tersudut, terkekang dan kepepet bagai telur di ujung tanduk. Segenap kekuatan keluar seolah dibangunkan dari tidurnya dalam alam bawah sadar. Kekuatan dari situasi kepepet ini tidak dapat terduga besarnya bahkan tak terukur bila dibandingkan ketika dalam situasi biasa dan wajar. Banyak orang yang berhasil menggapai keinginannya dan sukses menggapai cita-citanya setelah mengalami situasi kepepet. Mereka melakukan quantum leap dalam situasi demikian hingga mencapai harapannya. Mereka pantas ber-victory laps layaknya seorang atlit yang telah memenangkan pertandingan. Ah, ternyata kepepet dapat membuat kekuatan besar yang tak terduga sebelumnya. Kalau begitu, bagaimana kalau membuat setiap waktu seolah dalam keadaan kepepet? [24/3/2012]
  • 40. 40 Pemimpin, menyelami kenikmatan atau menikmati penderitaan? Mungkin kalau kita merujuk pemimpin pada pribadi Rasulullah sangat normatif dan kurang terukur. Alasan yang selalu dikemukakan terang saja beliau Nabi apalagi Rasul. Walaupun dipakai argumentasi bahwa beliau sangat manusiawi banget dalam kesehariannya, tetap saja sebagian orang tidak mau menerima alasan tersebut. Kalau begitu, jika dipakai kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, selalu saja ada alasan. Mereka dididik oleh Rasulullah langsung dan ditempa dalam tarbiyah selama 23 tahun dalam teori dan praktik dari seorang guru terhebat sepanjang sejarah umat manusia. Atau diambil dari salah satu Dinasti Umayyah, yakni Umar bin Abdul Azis (cicit dari Umar bin Khatab) yang sukses memimpin selama 2 tahun dengan mensejahterakan rakyatnya sampai sulitnya amil zakat menemui orang miskin di negeri itu. Namun, yang tampak dewasa ini di negeri yang makmur dengan kekayaan alamnya ini sebaliknya. Sulit menemukan pemimpin sejati, yang ada penguasa. Sukar menjumpai tokoh sekaliber negarawan, yang ada hanya berhenti pada profesi politikus. Pekerjaannya hanya memperebutkan kekuasaan dan memupuk kekayaan. Jika dalam pendirian bangsa dan negara ini perseteruan antar tokoh seputar konsep negara atau sekitar ideologi negara, tetapi dalam elit politik sekarang ini hanya berkutat masalah kursi dan duit. Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan Syafrudin Prawiranegara berkonflik pada masalah konsep dasar negara. Sukarno dan Mohammad Natsir berseteru dalam masalah ideologi negara. Semua pemimpin negara dan bangsa ini yang menjadi founding fathers, adalah orang yang tidak selalu sejalan sepemikiran. Akan tetapi pemikiran mereka bukan untuk tujuan jangka pendek hanya mengurus tahta dan harta, tetapi tentang organisasi negara ini ke depan, jangka panjang. Agus Salim mempunyai kredo, “leiden is`lijden (memimpin adalah menderita). Kita terbayang bagaimana penderitaan Jenderal Sudirman, yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Dengan tabahnya, beliau berpesan, “jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”
  • 41. 41 Dari Irfan Junaidi, dalam buku Mengenang Bung Hatta yang ditulis Iding Wangsa Widjaya (mantan sekretaris Bung Hatta), dikisahkan pada tahun 1952 Bung Hatta akan berangkat menunaikan ibada haji ke Arab Saudi bersama istri dan dua orang saudara. Waktu itu, Bung Karno sebagai presiden menawarkan untuk memberikan fasilitas penerbangan kepada Bung Hatta. Dengan tegas, beliau menolak tawaran tersebut. Bung Hatta ingin berangkat haji sebagai rakyat biasa. Bung Hatta berangkat haji dengan biaya yang seluruhnya berasal dari kantong pribadi. “Saya masih ingat benar bahwa kami semua diberangkatkan Bung Hatta ke Mekkah dengan uang hasil honorarium buku beliau yang terbit di Belanda dan Berbahasa Belanda, judulnya Verspreide Geschriften, “tulis Iding. Bung Hatta adalah penulis ulung yang melahirkan sederet karya literatur. Kelihatannya sulit menemukan hal yang telah dicontohkan Bung Hatta pada perikehidupan pemimpin pusat dan pemimpin daerah di Indonesia saat ini. Bahkan mereka lebih sadis menggunakan dana pemerintah dan uang negara ibarat perlombaan. Anggaran negara dipakai untuk keperluan pribadi atau keluarga termasuk haji, yang mengikutsertakan kerabatnya sekaligus. Memimpin laksana mencapai kenikmatan dengan hidup bersenang-senang dan bermewah-mewah ria, yang memanfaatkan anggaran publik. Pemimpin yang tidak mau menderita demi organisasi, adalah pemimpin yang tidak hanya mencari makan dari organisasi, bahkan sedang menjadi predator bagi organisasinya. Sedangkan pemimpin yang mau menderita demi organisasinya, adalah pemimpin yang memberi makan dan menghidupkan organisasi. [17/3/2013]
  • 42. 42 Berbuat ”lebih” dari yang Seharusnya Tersebutlah kisah (sebenarnya) dua orang siswa yang berada dalam satu kelas di sebuah SLTP di pinggiran Jakarta. Ketika itu mereka duduk dalam kelas III. Salah seorang dari mereka tidak memiliki buku ’cetak’ (atau buku pegangan/panduan, saat itu buku terbitan Departemen P & K), sehingga untuk mengerjakan soal atau ’PR’ harus menyalin cepat dari buku temannya. Jika harus meminjam tidak mungkin, karena temannya juga butuh buku tersebut pada saat yang sama. Kejadian itu berulang terus sampai gurunya mengetahui bahwa si murid tidak mempunyai buku itu. Sang guru yang bijak menyuruh si murid datang ke rumah dan meminjamkan buku ’cetak’ tersebut selama satu semester. Kedua siswa yang berlainan etnis dan berbeda agama tersebut bergaul akrab, bersinergi dalam memahami pelajaran sekolah terutama Matematika, kadang saling menantang untuk berkompetisi, tetapi tetap dalam pertemanan yang erat dan persahabatan yang kental. Diantara mereka tidak pernah berseteru apalagi berkonflik. Berdiskusi dan berdebat selalu diakhiri kedamaian, karena lebih menghargai argumentasi logis ketimbang egoisme emosi. Saling menghargai pendapat dan mau menerima kebenaran walaupun datang lewat orang lain. Saat pelajaran Matematika seperti biasa guru menjelaskan teori, aksioma, dan memberi contoh soal, kemudian menyelesaikannya. Pelajaran akan diakhiri dengan latihan sejumlah soal yang terdapat dalam buku. Siswa yang dapat menyelesaikan lebih dulu diminta tidak menunggu siswa lain tetapi terus melanjutkan nomor berikutnya yang tertera dalam latihan bab tersebut. Jika tidak ada siswa yang bertanya karena menemui kesulitan, guru hanya mengawasi satu-persatu siswa dalam mengotak-ngatik angka tersebut. Guru akan menyuruh siswa lain maju ke depan untuk menyelesaikan soal yang ditanyakan siswa. Guru hanya menambahkan dasar teori dan aksioma yang dipakai jika diperlukan. Kedua ’tokoh’ siswa dalam cerita ini melaju dengan cepat dalam menyelesaikan soal, bahkan tanpa disuruh guru semua bab berikutnya dipelajari sendiri dan soal-soalnya dilalap habis. Maksudnya, jika guru baru menerangkan pelajaran Bab 5 dan memberikan soal latihan di Latihan 5A, kedua siswa itu sedang menyelesaikan Latihan 7B dan saling berkejaran dan
  • 43. 43 berlomba sejauh mungkin mencapai akhir buku. Perlu diketahui setiap bab memiliki teori dan soal latihan. Untuk soal latihan ada yang terdiri A dan B. Artinya Bab 5 memiliki teori dan ada Latihan 5A (biasanya guru hanya menyuruh mengerjakan soal-soal ini saja), sedangkan Latihan 5B (ada keterangan ”Untuk Penggemar Matematika”, bila disimak soal-soalnya memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi). Belajar dengan didikan guru yang baik, metode yang tepat, sarana yang cukup, membuat semangat menuntut ilmu bergelora, apalagi ditambah suasana ’akademis’ sekolah itu yang mendukung. Ulangan dan ujian di dua semester dilalui dengan mudahnya oleh kedua siswa tersebut dalam pelajaran Matematika. Hasil yang diperoleh dari setiap tes selalu tidak pernah ada nomor yang salah dalam penyelesaiannya. Kedua siswa itu dalam pelajaran Matematika memilki nilai yang homogen, selalu 100 (seratus). Makanya, sang guru tidak ragu mengapresiasinya dengan nilai 10 pada semester V dan VI dalam buku Rapor mereka. Kisah yang terjadi di tahun 1981-1982 tersebut memberi pelajaran betapa berbuat yang ”lebih” dari seharusnya akan mendatangkan hasil yang berbeda dari orang kebanyakan. Kebanyakan kita terjebak dalam perilaku manusia ekonomis, manusia politis, atau manusia industrialis. Manusia ekonomis, yang lebih dari hemat (pelit atau kikir) dan semua serba dihitung-hitung serta dikalkulasi untung ruginya. Seolah semua aktivitas dapat diukur dengan metode kuantitatif. Berpegangan pada standarisasi menjadi alasan, walaupun sebenarnya karena ’tidak mau rugi’ dalam pikirnya. Menjadi karyawan, dengan jam kerja yang sesuai setoran saja. Hanya terkonsentrasi pada bidangnya saja tanpa berkeinginan mengetahui bidang lainnya, apalagi mempelajarinya. Menjadi spesialis buta yang picik pandangan dan naif wawasan. Sehingga bukan tidak mungkin pengalaman kerja selama 30 tahun hanya memiliki satu ’kebisaan’ (bukan keahlian lagi) yang dipegang. Manusia politis, laksana orang yang salah masuk sarang. Seharusnya menjadi politisi (dalam partai politik), tetapi masuk ke lingkungan kerja (profesional). Akibatnya, tabiat politiknya dibawa dalam pekerjaan. Dalam pekerjaan bukannya serius untuk menjalankan sistem, melainkan mengutak-ngatik, mengakal-ngakalin, memain-mainkan, dan mensiasati sistem yang ada demi kepentingan pribadinya. Sebagai ’politisi gagal’, maka akan gagal juga segala usahanya meskipun sistem organisasi (perusahaan) belum solid dan masih lemah dalam pengontrolan. Namun, masih ada sedikit peluang jika kultur organisasi masih
  • 44. 44 mengedepankan ukuran ’untung-rugi’, like-dislike, dikenal-tidak dikenal, atau dekat-tidak dekat. Manusia industrialis, sangat kaku memegang SOP (standar operating prosedure) abai pada kreativitas. Menganggap semua manusia terutama yang dipimpinnya adalah mesin (robot) yang tidak memiliki naluri, nurani, hati, perasaan, emosi, dan keinginan. Senyum yang dipaksakan, tanpa keikhlasan. Keramahan yang diatur bukan apa adanya. Penampilan yang kamuflase, bukan aslinya.Yang ada, imitasi bukan sejati. Artifisial bukan original. Masalahnya, ketika menyadari dan memahami tentang ’kita’. Kita terjebak dalam profesi, status, atribut, pangkat, atau jabatan. Bukan manusia seutuhnya. Akibatnya, pola pikirpun mengikuti kemana kesadaran dan pemahaman tentang ’kita’ yang seharusnya menyeluruh menjadi parsial. Pola pikir akan menggiring sikap dan perilaku dalam beraktivitas dan berbuat. Betapa banyak dalam sejarah orang hebat atau orang berpengaruh yang mengukir peradaban, karena mereka berbuat ’lebih’ dari orang kebanyakan. Mereka melakukan yang ’berbeda’ dari apa yang orang banyak biasa melakukan. Mari kita berbuat ’lebih’ dari yang seharusnya! Mau? [24/3/2013]
  • 45. 45 Organisasi dalam Eksistensi dan Strukturisasi Kala pertama kali mengenal organisasi sebagai siswa SMP adalah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Dalam kata “OSIS” jelas termaktub kata “intra”, bahwa OSIS adalah organisasi intra (berada di dalam) sekolah, bukan organisasi ekstra sekolah (di luar sekolah). Untuk organisasi ekstra sekolah setingkat SLTP dan SLTA nampaknya tidak begitu dikenal, kecuali yang berada di bawah ormas (organisasi massa) terutama ormas islam. Sedangkan organisasi di level mahasiswa (di perguruan tinggi), jelas terbagi menjadi 2 bagian, yakni organisasi intra universiter dan organisasi ekstra universiter. Eksistensi organisasi yang berada di dalam sekolah/universitas berada dalam ruang lingkup terbatas, yakni sepanjang masa studi pelajar/mahasiswa di institusi pendidikan tersebut. Setelah merampungkan studinya, otomatis si pelajar/mahasiswa tidak lagi menjadi anggotanya. Pelajar atau mahasiswa memiliki peran ganda, sebagai anggota (peserta didik) dari lembaga pendidikan yang bersangkutan juga sebagai anggota dari keluarga organisasi kesiswaan (OSIS) atau organisasi kemahasiswaan intra universiter (baik tingkat program studi/jurusan, fakultas, atau universitas). Hal yang mirip juga terjadi pada karyawan/pekerja/buruh dalam organisasi (perusahaan) tempat kerja. Setiap pekerja (non level manajerial) memiliki dualisme peran sebagai anggota (pekerja) dari perusahaan dan juga sebagai anggota serikat karyawan/pekerja/buruh. Organisasi serikat karyawan/pekerja/buruh memiliki garis struktural menembus batas lingkup perusahaan tempat kerja (yang hanya setingkat unit), sedangkan ke atasnya terdapat dewan pimpinan (cabang, daerah, dan pusat), bahkan ditambah lagi terdapat pengelompokan dalam sektor- sektor industri. Organisasi bisnis (perusahaan) lebih variatif dalam membuat strukturnya apalagi setelah membentuk grup atau holding company, dimana perusahaan sudah beranak pinak bahkan beranak cucu sampai cicit. Kompleksitasnya akan lebih lagi ketika membuat pilihan dalam beroperasi di tingkat global (perusahaan internasional dan multinasional). Diantara pilihannya, adalah strategi internasional, strategi multidomestik, strategi global, atau strategi transnasional.
  • 46. 46 Organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi massa (ormas), dan organisasi politik (partai politik) eksistensinya disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai serta kepentingan yang akan diperoleh para pendirinya. Strukturisasinya hanya berbeda tipis satu sama lain. Di tingkat terkecil ada unit/satuan, kemudian ranting/anak cabang, cabang, daerah, wilayah sampai pusat. Nah, bagaimana dengan organisasi alumni sebuah sekolah/perguruan tinggi? Jelas, secara struktur tidak ada kaitannya dengan organisasi almamaternya terdahulu. Dengan demikian, para aktivis organisasi baik ekskul di sekolah, aktivis kemahasiswaan, aktivis ketenagakerjaan (sebagai pekerja), dan aktivis organisasi apapun dan manapun harus, mesti, kudu, dan wajib mengetahui eksistensi dan garis strukturisasi (vertikal & horisontal) organisasi yang menaunginya. Sehingga sebagai aktivis tidak salah memilih, tak salah bergerak, dan tidak salah melangkah. Sadar atau tidak ketika ikut berorganisasi orang sudah berada dalam komunitas dan ini akan menambah peran sebagai individu. Semakin banyak ikut organisasi akan semakin banyak peran yang harus dimainkan dalam “panggung sandiwara sejati” ini. [8/7/2012]
  • 47. 47 Tiga Fungsi Dasar (Utama) Organisasi Setiap organisasi, baik organisasi kecil ataupun organisasi besar, baik organisasi sosial maupun organisasi bisnis, akan melakukan fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Diantara manajemen fungsional, ada 3 fungsi yang menjadi dasar dalam berorganisasi atau menjadi fungsi utama berjalannya organisasi. Ketiga fungsi dasar (utama) tersebut adalah pemasaran, operasi/produksi, dan keuangan/akuntansi. Semua organisasi seperti organisasi yang berada di sekolah seperti kegiatan ektrakurikuler, organisasi masjid (DKM), sekolah, universitas, rumah sakit, yayasan, sosial, massa, LSM, organisasi relawan, dan bisnis, memerlukan ketiga fungsi di atas. 1. Fungsi Pemasaran Setiap organisasi prinsipnya adalah mengumpulkan kekuatan. Oleh karena itu, sebelum orang memasuki suatu organisasi, bergabung atau bekerja sama tentunya akan mencari tahu tentang jati diri organisasi tersebut. Tanpa organisasi itu memasarkan jati dirinya akan sulit dikenal oleh orang luar. Dengan 4p-nya marketing mix (bauran pemasaran), yakni product, price, place, dan promotion, setiap organisasi perlu untuk memasarkan apa yang menjadi aktivitas atau “core business”-nya. Dalam konteks organisasi ekskul KIR, yang menjadi produk adalah anggota KIR yang mampu berkarya dan berprestasi dan alumni KIR yang dapat berkiprah di masyarakat sesuai profesinya. Iuran keanggotaan sebagai harga yang harus dibayarkan oleh anggota yang ingin terbina, terlatih, terdidik dan terbimbing dalam kegiatan ilmiah. Sekretariat, perpustakaan, laboratorium, organisasi antar KIR, museum, universitas, lembaga peneltian, dan industri, adalah tempat aktivitasnya atau jalur distribusi kegiatannya. Promosi yang dilakukan sebelum perekrutan anggota baru ketika penerimaan siswa baru setiap tahun ajaran baru. Promosi juga bisa dlakukan dengan semaraknya aktvitas ilmiah dan bertaburnya prestasi anggota yang disosialisasikan terus menerus. Mengadakan kegiatan terbuka yang dihadiri semua siswa, seperti seminar studi lanjut dan pilihan profesi setelah lulus.
  • 48. 48 2. Fungsi Operasi/Produksi Organisasi laksana sebuah mesin, yang memproses input menjadi output. Dalam operasinya, organisasi mendapatkan masukan berupa raw material, sumber daya, dana, SDM, metode, mesin, infrastruktur, yang masuk dalam proses organisasi sehingga menjadi produk jadi, yang berupa barang (komoditas) atau jasa (layanan). Dalam memproses, tentu saja ada perencanaan produk, mutu, rancangan proses, lokasi, tata letak, SDM, pasokan, persediaan, penjadwalan, dan pemeliharaan. Dalam konteks KIR, sebagai inputnya adalah seluruh anggota. Proses operasi atau produksinya, adalah diklat, kegiatan percobaan/penelitian (riset), presentasi, penulisan karya ilmiah, dan semua aktvitas ilmiah (seperti yang pernah penulis paparkan tempo hari). Infrastruktur operasi: Visi Misi KIR, AD/ART, GBPK, Susunan Pengurus, Struktur Organisasi, Program Kerja, Surat Keputusan (SK), dan Kurikulum Pembinaan Anggota. Termasuk urusan administrasi yang dikerjakan konsepnya oleh Sekretaris. Aktivitas operasi KIR terbagi 2 bagian internal dan eksternal. Internal berupa ruang kelas, aula, perpustakaan laboratorium, dan halaman sekolah. Eksternal, digunakan bila bekerja sama dengan organisasi/institusi/lembaga lain. 3. Fungsi Keuangan/Akuntansi Sebagai organisasi yang masih kecil dan sederhana, KIR cukup membuat RAPB, yakni rancangan anggaran pendapatan dan belanja. Bendahara membuat konsep prediksi anggaran yang masuk sebagai pendapatan selama 1 tahun. Mengkonsep sumber-sumber dana organisasi, baik yang tetap (dana taktis) atau temporer. Dengan prediksi tersebut, kemudian dapat dibuat estimasi alokasi (jatah) tiap bidang atau perwaktu tertentu yang harus dikeluarkan. Intinya tetap harus ada “cadangan devisa” sekitar 60-70%, sehingga yang keluar antara 30-40% saja tiap kegiatan. Yang selebihnya dicari melalui usaha panitia. Sesungguhnya mengurus keuangan tidak sulit, asal catatan dengan uang yang ada selalu sama (tak berbeda nilainya). Dan jumlah uang selalu “pas” saja. Mau belanja ini, mau ngadain kegiatan itu, uangnya pas ada. Ya, kan? Demikian fungsi manajemen yang mendasar bagi setiap organisasi, sedangkan fungsi lainnya adalah manajemen SDM, manajemen investasi, dan manajemen strategik. Dalam praktiknya, ketiga jenis manajemen yang disebut belakangan tersebut juga sudah diterapkan walaupun dalam skala yang kecil dan tak terprioritas. [5/8/2012]
  • 49. 49 Heterogenisasi yang Tak Dapat Dihindari Kecenderungan setiap orang memiliki persamaan dan kesamaan dalam segala hal dengan orang lain, terutama dengan pasangan hidupnya. Perasaan yang sama, berpola pikir yang tak berbeda, cara mangambil sikap yang tak berlainan, dan semuanya serba sama, sejalan, se- kepribadian sehingga tercipta keharmonisan, keselarasan, keserasian yang terus menerus. Tak pernah ada ritme gelombang perbedaan, tak pernah ada gejolak emosional, semua berjalan datar, horisontal, selalu steady state, dan tak pernah ada turbulence condition. Memiliki kesenangan yang sama, mempunyai ketidaksukaan yang sama, senantiasa sependapat dalam segala hal, serta tak ada yang diselisihkan. Laksana dua buah bangun dalam logika matematika, yang disebut kongruen. Sama dan sebangun. Kecenderungan ini semakin meluas ketika orang memiliki komunitas, berorganisasi, atau bermasyarakat. Adanya persamaan hobi, kebutuhan, dan kepentingan terbentuklah komunitas. Demikian pula halnya, dalam berorganisasi. Bahkan organisasi lebih mengikat lagi kesamaan yang harus dipenuhi dengan pencanangan visi dan doktrin ideologi, misalnya. Semua anggota harus sevisi dan seideologi. Anggota yang tak seivisi dan seideologi minggir dari mainstream dan tak ada tempat, apalagi bagi kritikus, si mbalelo, si penyeleneh, dan pengganggu kestabilan status quo. Organisasi harus berjalan aman dan nyaman, tanpa riak gelombang apalagi “guncangan gempa bumi”. Dalam masyarakat yang tidak semua hubungan antar anggota diatur dalam aturan formal, maka keharmonisan hubungan terjadi justru pada ketidakformal, karena lebih luwes, fleksibel, cair, tidak rigid, dan tak kaku. Adanya persamaan dan perbedaan adalah sebuah sunatullah. Sikap yang hanya mau menerima persamaan, dan tak mau menyadari adanya perbedaan adalah sikap yang menerima sunatullah tak seutuhnya. Menyadari bahwa dua orang anak kembar sekalipun yang dilahirkan seorang ibu, pasti memiliki sejumlah perbedaan. Apalagi dengan yang bukan kembarannya. Sepasang suami istri yang masing- masing berasal dari orang tua yang berbeda jelas akan memiliki perbedaan. Sesama antar anggota organisasi (hubungan kerja, bisnis, atau sosial) semakin tampak perbedaan yang ada. Perbedaan semakin banyak lagi ketika telah memasuki kancah yang semakin luas. Perbedaan
  • 50. 50 yang semula hanya faktor genetika, bertambah dengan faktor lain seperti pergaulan, pendidikan, dan lingkungan. Dalam konteks negara ini, keindahan yang terbentuk berasal dari sejumlah perbedaan yang dimiliki. Berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa daerah, adat istiadat, tradisi, dan sebagainya memberi konfigurasi warna sehingga membentuk mozaik yang namanya Indonesia. Oleh karena itu, patutlah bersyukur menjadi orang Indonesia. Mulai bersikap menjadi “penduduk yang dewasa” yakni mau menerima perbedaan yang ada dan mengakui adanya perbedaan orang lain. Kebhinekaan atau keragaman adalah sebuah kenyataan. Pluralitas atau kemajemukan adalah sebuah keadaan. Sehingga menginginkan homogenitas dalam masyarakat hanya sebuah utopia. Yang jelas kini hidup dalam heterogenitas yang tak dapat dihindari. Sekali lagi, ini sebuah sunatullah. [23/6/2012]
  • 51. 51 Kaderisasi dan Regenerasi dalam Organisasi Seorang pemimpin yang berhasil, bukanlah pemimpin yang hanya dapat mengukir prestasi gemilang di masa periode kepemimpinannya dengan berbagai macam karya monumental, tetapi pemimpin yang dapat mewariskan nilai kepemimpinannya kepada generasi berikut dengan lebih baik dalam mengelola organisasi. Jelasnya, seorang pemimpin harus dapat menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Hal inilah yang menjadi persoalan pentingnya kaderisasi dan regenerasi dalam organisasi. Harus diakui masalah terbesar setiap organisasi justru kedua hal ini, kalau organisasi ini mau tetap eksis sepanjang sejarah dan menciptakan produk bermanfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh umat di dunia. Masalah kaderisasi dan regenerasi terkait banyak faktor terutama karakterisitik organisasi itu sendiri. Visi dan misi, tujuan, eksistensi dan strukturisasi, para pendiri, kepemilikan, AD/ART, sistem suksesi, dan kepentingan-kepentingan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan) serta strategi organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu begitu kompleksnya faktor terkait di atas, maka dibatasi dan disederhakan dengan satu faktor saja, yakni sistem suksesi. Sistem suksesi dapat diprogramkan dalam satu periode, yang tentunya tidak bertentangan dengan peraturan lebih atasnya, seperti Surat Keputusan (SK), Garis Garis Besar Program Kerja (GBPK), dan AD/ART organisasi. Sistem suksesi dalam organisasi kecil dan sedehana (yang mana para pengurus & anggotanya baru mulai belajar berorganisasi), dapat dilakukan dengan 2 jalur pembinaan pengkaderan, yakni: 1. Pembinaan teori lewat DIKLAT (pendidikan & pelatihan) Diklat dilakukan setiap tahun, dan dibagi menjadi 2 tingkat: tingkat dasar dan tingkat menengah. Tingkat dasar diikuti oleh anggota baru, sedang tingkat menengah diikuti oleh pengurus setingkat kepala bidang, anggota yang pernah menjadi panitia sebuah kepanitiaan dan atau anggota yang pernah ikut diklat tingkat dasar. Materi diklat adalah Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Administrasi. Ada materi umum (20%) dan materi khusus (80%), dengan pembekalan 40% teori dan 60% praktik. Untuk materi umum dapat diikuti oleh kedua tingkat. Namun, materi khusus
  • 52. 52 hanya diikuti oleh masing-masing tingkat, karena antara materi tingkat dasar dengan materi tingkat menengah berbeda substansi yang disesuaikan dengan tujuan dari output yang diharapkan. 2. Pembinaan praktik lewat Kepanitiaan Apabila ada kegiatan yang akan diselenggrakan, pimpinan harian (BPH) yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, beserta wakilnya mengadakan rapat. Hasil rapat memutuskan: a. untuk mengadakan acara kegiatan dengan membentuk kepanitiaan, b. menunjuk panitia pengarah atau steering committee (SC) yang terdiri dari 3-5 orang berasal dari orang yang pernah jadi panitia sebelumnya dan atau kepada bidang yang terkait, c. menunjuk ketua panitia atau project officer (PO) yang berasal dari wakil kepala bidang, anggota (staf) bidang terkait, orang yang telah lulus diklat tingkat dasar, dan atau orang yang pernah menjadi anggota kepanitiaan sebelumnya. d. mengeluarkan SK tentang SC dan PO, e. memerintahkan PO melengkapi susunan personalia panitia, f. mengeluarkan SK tentang Panitia Pelaksana atau Organizing Committee (OC). Setelah pimpinan organisasi mengeluarkan SK kepada ketiga mandataris itu, yakni SC, PO, OC, maka kegiatan kepantiaan dapat dilangsungkan sampai pelaksanaan hari “H” nya. Pimpinan organisasi terus melakukan pembinaan dengan melakukan monitoring dan pengawasan terhadap jalannya kepanitiaan sesuai program kerja panitia. Dengan memberi tugas seperti ini, akan kelihatan karakter kepemimpinan seseorang, kemampuan mengorganisasi personal dan sumber daya, kelihaian memanajemen waktu, aktivitas, sumber daya, serta keteraturan dan kerapihan dalam administrasi kepanitiaan. Kepanitian adalah bentuk miniatur organisasi, sehingga keberhasilan memimpin kepanitiaan diharapkan menjadi referensi sebagai calon pemimpin organisasi periode selanjutnya. Melalui 2 jalur pembinaan di atas, proses kaderisasi masih harus dibuat ketentuan levelisasi dan metode pemilihan. Ketentuan levelisasi, misalnya untuk duduk menjadi ketua, sekretaris, dan bendaha harus telah lulus diklat tingkat menengah; atau pernah menjadi wakil ketua, wakil sekretaris, atau wakil bendahara; dan atau pernah menjabat kepala bidang. Sedangkan untuk meduduki jabatan kepala bidang, harus sudah lulus diklat tingkat menengah; pernah menjadi PO kepanitiaan; dan atau pernah menjadi wakil (staf) kepala bidang. Sedangkan metode pemilihan yang digunakan, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
  • 53. 53 pendaftaran, seleksi, kampanye, dan pemilihan dengan suara terbanyak secara terbuka. Atau dilakukan di ruang, dengan sistem aklamasi, formatur, atau voting. Semoga, dengan “wacana” ini bagi pegiat organisasi atau aktivis perkumpulan tidak galau lagi bagaimana melakukan kaderisasi dan mempersiapkan regenerasi. Sebagus sistem apapun kembali tergantung orang yang menjalankannya. Minimal kita yang membuat kitapula yang lebih dulu memulainya, demikian halnya komitmen seorang pemimpin. Dengan sistem yang memadukan teori dan praktik, jenjang atau levelisasi yang jelas, dan monitoring yang ketat menjadi rujukan yang lengkap sebagai latihan “berkarir” untuk tahap pemula. Insya Allah, (masih mimpi) ketika berada dalam organisasi yang besar kelak untuk menempuh jalur karir tidak gelap sama sekali. Pengalaman berorganisasi akan sangat disayangkan kalau hilang begitu saja, tidak membekas dalam pribadi. Semoga banyak pengalaman tidak sekedar hanya memperpanjang umur saja, tetapi juga menambah ilmu, keterampilan, keahlian, dan wawasan dalam hidup ini. [29/7/2012]
  • 54. 54 SDM: Sumber Daya Manusia atau Selamatkan Diri Masing-masing? Peranan sumber daya manusia (SDM) sangat vital, strategis, dan menentukan dalam aktivitas organisasi. SDM merupakan faktor yang sangat penting dari seluruh aktvitas usaha dalam perusahaan. Hal tersebut karena bagaimanapun besarnya sumber daya non SDM tak akan ada artinya jika SDM tidak terkelola dengan baik. Usaha meningkatkan kualitas SDM harus paralel dengan peningkatan sumber daya lain yang dimiliki organisasi, seperti modal dan teknologi. Teknologi yang tinggi, sistem yang canggih, jumlah kapital yang berlimpah akan sia-sia dan terbuang percuma, serta akan menjadi pemborosan dan kemubaziran terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya tersebut bila tidak didukung oleh SDM yang handal dan mumpuni. Oleh karena itu pengembangan SDM bagi suatu organisasi menjnadi suatu kebutuhan dan keharusan yang mutlak. Begitu pentingnya nilai sebuah SDM, maka penyiapannya harus serius dan sarananya adalah pendidikan dan pelatihan. Salah satu pilar pendidikan adalah sekolah. Sekolah tempat menyemai bibit-bibit SDM di negara ini untuk kebutuhan pembangunan bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab III Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Kalimat yang penulis perhatikan adalah.... mengembangkan kemampuan dan membentuk watak.....dan ......... manusia yang beriman dan bertakwa........, yang merupakan pendidikan karakter. Menurut Adian Husaini (2012) dalam “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab”, nilai kejujuran, kebersihan, keberanian, dan kerja keras adalah nilai mulia yang sifatnya universal dan inklusif. Semua sifat ini Islam sangat menghargai. Sifat-sifat tersebut harus diletakan dalam bingkai dan dasar keimanan. Bukan sekedar “rasa kemanusiaan” yang lepas dari nilai Islam. Itulah adab. Pendidikan karakter membentuk manusia yang cerdas, jujur, bersemangat kerja keras, tidak malas, berani, kreatif, cinta
  • 55. 55 kebersihan, dan toleran. Perspektif Islam menggabungkan pendidikan karakter dengan pendidikan adab. Sehingga diharapkan dapat mencetak SDM yang memiliki pribadi mulia, yakni pribadi yang takwa dan hidup dalam kebahagiaan. Namun, dalam realisasinya penyelenggara pendidikan mengabaikan tujuan pendidikan di atas. Pengelola pendidikan hanya mementingkan reputasi agar sekolahnya dinilai berprestasi dengan selalu dapat meluluskan siswanya 100% setiap tahunnya. Celakanya, ada pendidik yang ikut menciderai nilai luhur pendidikan itu sendiri. Mulai dari etika moral sang pendidik yang tidak dapat dicontoh sampai perilakunya melakukan sistematisasi ketidakjujuran atau kecurangan dalam proses pendidikan, utamanya dalam ujian. Sebuah perilaku insan pendidik yang tidak mendidik dan bahkan telah menghancurkan benih-benih karakter siswanya sendiri yang telah dirintis selama KBM berlangsung. Penulis mambayangkan, apakah ada sebuah sekolah yang siswanya ujian tidak perlu diawasi? Menyontek menjadi tindakan yang tidak terpuji sekaligus memalukan, sehingga semua siswa merasa berdosa dan terhina jika menyontek. Bahkan jika ketahuan oleh teman-temannya yang lain akan mendapat cemoohan dan celaan. Para siswa memahami adanya “waskat”. Bukan ‘pengawasan melekat’ dari pengawas ujian, tetapi ‘pengawasan malaikat’. Walaupun menurut informasi dari seorang pendidik, sudah ada sekolah seperti yang penulis bayangkan. Seorang pendidik yang lain berujar, tindakan menyontek adalah embrio menjadi koruptor. Penulis percaya bahwa perilaku semasa sekolah akan menjadi cermin perilaku setelah menjadi bekerja. Sedangkan ketika sudah menjadi profesional dalam lapangan pekerjaan, output sekolah memasuki dunia profesi menjadi SDM bagi perusahaan. Jika berada dalam perusahaan yang menghargai SDM sebagai aset bukan sebagai komoditas industri atau komponen mesin, maka perusahaan tersebut dapat menjadi pilihan dalam meniti karir. Sebaliknya, jika tidak demikian bersiap untuk angkat kaki mencari tempat kerja idaman. Karena, istilah “SDM” telah berubah menjadi upaya untuk melakukan “Selamatkan Diri Masing-masing”. [12/5/2013]