Dokumen tersebut membahas beberapa metode penyelesaian hukum Islam ketika terdapat dalil-dalil yang berlawanan, yaitu: 1) Metode naskah, menghapus hukum lama dengan hadirnya dalil baru; 2) Metode tarjih, memilih salah satu dalil yang dianggap lebih utama; 3) Metode al-jam'u taufiq, menyatukan hukum dari dalil-dalil tersebut dengan berbagai cara seperti penafsiran
2. Cara penyelesiaannya
1. Metode Naskah
Metode ini dipergunakan jika diketahui asbabun nuzulnya
al-Quran atau asbabul wurudnya as-Sunnah, sehingga hukum yang
ditentukan para dalil yang terdahulu dihapus oleh ketentuan hukum
yang diterangkan pada dalil kemudian.
terdahulu dihapus oleh ketentuan hukum yang diterangkan pada
dalil kemudian.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan metode
nakah adalah:
a. Hukum yang dimansukh itu hukum syarat
b. Nasikh wurudnya kemudian setelah mansukh
c. Sesuatu yang dimansukhkan tidak terikat oleh waktu
d. Kekuatan nasikh sama dengan mansukh. (tim depeg RI,
1986:189)
3. 2. Metode Tarjih
Yang dimaksud dengan tarjih adalah:“menampakkan
kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan sesuatu
yang menjadikan lebih utama dari yang lain.” (Ahmad
Muhammad asy-Syafi’I, 1983:464)
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam metode tarjih
adalah sebagai berikut:
a. Adanya dua dalil
b. Adanya sesuatu yang mejadikan salah satu dalil itu lebih
utama dari yang lain
c. Kedua dalil itu sama derajatnya
d. Kedua dalil itu sama kuatnya
e. Keduanya menetapkan hukum yang sama dalam waktu.
(tim depag RI, 1986:183-184)
4. Adapun jalan-jalan dalam melakukan tarjih dapat
diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu jalan tarjih yang
berhubungan dengan manquliI dan jalan tarjih yang berkaitan
dengan ma’quli.
A. Jalan yang berlaku pada manquli
1. Yang kembali pada diri perawi
2. Yang kembali pada penilaian perawi
3. Yang kembali pada periwayatan
4. Yang kembali pada matan, yang dititikberatkan pada lafal
dan maknanya
5. Yang dikembalikan pada isi dalil
6. Tarjih suatu dalil berdasarkan yang lain dari hal-hal diatas.
5. B. Jalan yang berlaku bagi dalil ma’qul
1. Yang kembali pada ashal
2. Yang kembali pada fara’
3. Yang kembali pada isi dalil qiyas dan sesuatu yang
diluar ashal dan fara’ oleh ulama ushul
disamakan dengan yang ada pada dalil manqul
dalam masalah yang sama. (tim depag RI, 1986 :
184-188).
6. C. Metode al-jam’u taufiq
Menurut Dr. Bardan Abdul ‘Ain Badran menyatakan
cara-cara melakukan jama’ dan taufiq sebagai berikut:
a. Dengan cara tanwie’ dan tabdil
Cara ini dilakukan terhadap dua dalil yang berlawanan, dan
keduanya termasuk dalil ‘am. Maka penyelesaiannya adalah dalil
yang satu menjadi mukhossis terhadap dalil ‘am yang lain dalam
satu macam hukum, sedang yang lain tadi menjadi mukhossis
terhadap dalil yang pertama dalam satu macam hukum yang
lain.
b. Dengan cara tahsis yang ‘am
Ini terjadi jika dalilnya yang satu ‘am sedang yang lain khas.
Misalnya ayat yang menyatakan bahwa seorang kafir tidak
mendapatpetunjuk allah dan mereka akan mendapat azab tuhan
(QS. Ali Imran:86), sedang alat yang lain dinyatakan bahwa orang
kafir yang bertaubat dan berbuat kebajikan tidak akan
mendapatkan siksa itu. (tim depag RI, 1986:180).
7. c. Dengan cara taqyidul dari yang muthlaq
Misalnya hadist yang menyatakan bahwa nabi SAW. Pernah
berbekam (canduk) (HR. anas), namun pada hadist lain nabi tidak
memperkenankan bejkerja menjadi tukang bekam (HR. abu
hurairah) penyelesaiannya adalah jika pekerjaan berbekam itu
dijadikan pekerjaan tetap maka tidak diperbolehkan, tetapi jika
sesekali saja diperbolehkan. Atau juga larangan itu tidak
menunjukkan keharaman melainkan karahah.
d. Dengan cara menentukan jalur masing masing dari dua hal yang
berlainan
Misalnya seorang laki-laki tidak boleh menggauli istrinya di
waktu haid, kecuali ia suci (QS. al-baqarah:222) kata “hatta
yathurna” dibaca dengan tasdid tha’, sehingga pengertiannya boleh
mendekati istrinya kalau istri yang haid itu sudah mandi. Lain halnya
bila yang tha’tidaj ditasdid maka mengumpulinya tidak menunggu
mandi, asal haidnya telah berhenti.
8. e. Dengan cara menetapkan masing-masing pada hukum
masalah yang berbeda
Masalahnya hadist nabi yang menyatakan bahwa tidak
layak bagi tetangga masjid untuk shalat sendirian di rumah
tidak berjamaah di masjid (HR.daruquthni). sedangkan hadist
lain menyerukan salat sunat di rumah (HR. daruquthni dan
anas dan jabir).