HBL 15, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, HUKUM LINGKUNGAN, UNIVERSITAS MERCU...
fgtujhretjrj
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1794 K/Pdt/2004
Gugatan ini diajukan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan
orang termasuk Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan
Negeri Bandung. Para penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah
korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten
Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan
pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum
serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam
pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG,Tanggal 28 Agustus 2003),
antara lain mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Tanggungjawab Negara itu dilaksanakan oleh
Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena Presiden telah
membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah
menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah
memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola
kawasan hutan Gunung Mandalawangi. Pemerintah ProvinsiJawa Barat dan
Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada
waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi juga memiliki
tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi
karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan
Kabupaten Garut.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah
terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi
yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi
kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi
kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor
419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah
tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi
2. tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim
mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat
yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi
telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih
perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan
hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan
produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana
tercermin dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah
menyebabkan banjir dan longsor.
Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya
merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-
15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang
“kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-keterangan
para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga
keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab
fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun
prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia,
tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Konferensi Rio
1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi
kekosongan hukum dalam praktik. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung
(Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai
berikut:
1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok
masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora,
Kabupaten Garut untuk sebagaiannya.
2. Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV(Pemerintah Provinsi
Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah Kabupaten Garut)
bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang
ditimbulkan oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi,
Kecamatan Kedungora, Kabupaten Garut.
3. 3. Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut
untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung
Mandalawangi tempat terjadinya longsor langsung dan seketika dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama , Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi
dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III dengan perintah
supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas
dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan
Tergugat III secara tanggung rentang, yang apabila akan
diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat sesuai dengan
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada K nomor
31/KPTS-II/2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan
Hutan Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang
dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan
disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini.
Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV
danTergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian
kepada korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar
Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada
Tim yang akan ditetapkan di bawah ini.
Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan
kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora
serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil
kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota
kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel yang
dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah
Pemerintah Kabupaten Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan
BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil
4. kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan
Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota.
Keempat , memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (TergugatIV)
untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim
tersebut lengkap dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagaimana isi
diktum putusan ini.
Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk melakukan
pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan
pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini
serta mengalokasikan dana ganti kerugian tersebut kepada masyarakat
korban yang tergabung dalam wakil dana anggota kelompoknya yang
jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini,
secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan
jenis kerugian yang dideritanya.
Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan
Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian sulit dilakukan,
maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya
paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B
Bandung.
4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih
dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij
voorad ).
5. Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri
Bandung ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung
(Putusan Nomor 507/PDT/ 2003/ PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan
perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan. Mahkamah
Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794K/Pdt/ 2004 Tanggal 22
Januari 2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para
pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia
memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.
5. Analisis Putusan
Putusan kasus Mandalawangi No. 1794 K/Pdt/2004 ini adalah salah satu
bentuk contoh penegakan hukum yang seharusnya dilakukan di dunia peradilan.
Karena banyak sekali mafia peradilan yang melanggar esensi dari nilai peradilan
tersebut. Esensi dari suatu peradilan adalah untuk melindungi warga negara
Indonesia dan untuk memeberi keadilan dan keamanan juga kepastian hukum di
negara ini, akan tetapi sering kali realitanya tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat. Putusan ini adalah putusan pertama kali yang memenangkan gugatan
penggugat class action, yang dalam hal ini adalah masyarakat setempat di daerah
Mandalawangi.
Dalam Putusan tersebut diutamakan prinsip keberhati-hatian
( precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar
untuk pemecahan masalah walaupun ada beberapa yang diubah oleh Mahkamah
Agung dalam Putusan Kasasi nomor 1794 K/Pdt/2004. dalam rangka penegakan
hukum yang efektif dandapat menimbulkan efek jera akan lebih baik jika
mengedepankan model pidana administratif. Latar belakang kebijakan hukum
pidana yang demikian didasarkan pada kenyataan sulitnya pembuktian tindak
pidana lingkungan hidup seperti yang saat ini dihadapi oleh Indonesia.
Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana
administrasi ini memiliki banyak keuntungan, Antara lain:
a. Akan memudahkan bagi penegak hukum dalam melakukan pembuktian
perkara disebabkan bentuk rumusan delik yang dibuat pada umumnya
adalah delik formil;
b. Pada hakikatnya ketika perbuatan-perbuatan dalam rangka persiapan untuk
melakukan perbuatan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup
dikriminalisasi menjadi suatu perbuatan pidana yang berdiri sendiri, maka
kita telah selangkah lebih maju dalam mencegah terjadinya pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup;
c. Dengan efek pencegahan sejak dini maka niat pelaku bisnis
untuk melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
6. demi pertimbangan ekonomi dapat lebih ditekan, apalagi dengan sanksi-
sanksi dalam bentuk denda diyakini lebih berdaya guna dalam mematikan
motif ekonomi ini;
d. Dengan model penegakan hukum pidana administratif tersebut, maka kita
dapat menuntun kepada terciptanya rezim anti pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup;
Harus kita sadari bahwa salah satu kunci dari penegakan hukum
lingkungan ada pada pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keluarnya perijinan
yang merupakan kewenangan dari pemerintah. Selain itu, para penegak hukum
jangan hanya mengedepankan prinsip hukum normatif akan tetapi lebih kepada
hukum progresif.
Perum Perhutani memang layak untuk tidak dimenangkan oleh Majelis
Hakim. Hal ini dikarenakan pihak Perum Perhutani sudah terbukti
menyalahgunakan wewenangnya yang dalam hal ini diberikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1978 jo. Keputusan Kepmen Pemerintah No.
53 Tahun 1999 yaitu memberikan kewenangan pengelolaan untuk mengelola
kawasan hutan produksi dan hutan lindung di jawa barat yaitu dalam hal ini
kawasan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.
Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999, Perum
Perhutani sebagai pengelola hutan berkewajiban untuk menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil,
pengolahan, dan pemasaran serta perlindungan dan pengamatan hutan. Sedangkan
telah terbukti bahwa Perum Perhutani tidak melakukan pengelolaan dan
pemeliharaan tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa Perum Perhutani telah
melanggar pasal tersebut dan juga melanggar Pasal 7 butir b PP No. 53 Tahun
1999 jo Pasal 6 UUPLH ayat 1, dikarenakan Pihak Perum Perhutani tidak
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
mnenanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelestarian
lingkungan telah diabaikan oleh Pihak Perum Perhutani, hal tersebut terlihat dari
diabaikannya pengelolaan hutan dan telah menyimpangnya dari maksud dan
7. Btujuan perusahaan , yang mana mengakibatkan hutan di Jawa barat menjadi
tinggal 8 % dari sebelumnya 20% sebelum di kelola oleh Tergugat I, hal itulah
yang menyebabkan banjir dan longsornya tanah di kawasan Gunung
Mandalawangi. Hal ini merupakan celah yang dilakukan oleh pihak Perum
Perhutani, dikarenakan berdasarkan SK Menhut No. 419/KPTS.II/1999 mengubah
status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta
memberi kewenangan pengelolaannya kepada Perum Perhutani, yang pada
kenyatannya memberikan peluang kepada Perum Perhutani untuk melakukan
perbuatan yang menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan. Perbuatan
tersebut seperti tidak melakukan reboisasi setelah penebangan atau merubah hutan
primer menjadi hutan skunder.
Menteri Kehutanan telah lalai dalam melakukan kewajibannya yaitu
melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani berdasarkan Pasal 16 ayat 1 dan 4
PP No. 53/1999. Di samping itu, Perum Perhutani juga telah menyewakan lahan
kepada penduduk di sekitarnya dengan alasan dan tujuan yang tidak jelas di atas
area yang seharusnya direboisasi. Maka dapat kita simpulkan bahwa Perum
Perhutani telah melanggar Pasal 1365 KUHPerdata “Tiap Perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada Seorang lain, mewajibkan orang yang
salah karena menerbitkan Kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Ketika
Perum Perhutani menyewakan lahan tersebut serta perbuatan lain yang malah
merusak ekosistem hutan tersebut, hal ini berdampak pada banjir dan longsornya
daerah tersebut yang berdampak pada kerugian masyarakat hingga kematian, jadi
dapat kita simpulkan bahwa Perum Perhutani dapat digugat berdasarkan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Perum Perhutani juga telah melakukan
perusakan hutan berdasarkan Pasal 50 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999, hal ini
muncul dikarenakan Perum Perhutani tidak melakukan reboisasi, mengubah hutan
primer menjadi hutan sekunder, menciptakan lahan kosong dan lahan garapan
pertanian di sekitar area hutan.
Perum Perhutani juga lalai ketika tidak memberikan informasi kepada
masyarakat dan pihak-pihak terkait termasuk Pemda Kabupaten Garut. Sebelum
terjadinya longsor, Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak
8. 6 bulan silam, petak V yang berarea 102 ha terdapat 3 titik rawan longsor dan VI
yang berarea 195 ha terdapat 4 titik rawan longsor, namun Perum Perhutani tidak
menanganinya dan mengumumkannya maka hal ini telah melanggar Pasal 6 UU
No. 23 Tahun 1997. Maka dapat kita simpulkan pihak yang menanggung atas
semua kerugian dan kesalahan ini adalah Pihak Perum Perhutani sebagai Pihak
utama yang harus di salahkan, pihak Gubernur Propinsi Jawa Barat dan pihak
Menteri Kehutanan. Semua pihak ini harus bertanggung jawab atas kesalahan
mereka baik dengan sengaja atau dengan lalai. Berdasarkan UU Lingkungan yang
baru yaitu UU No. 23 Tahun 1997 terdapat pasal yang sangat menguntungkan
Penggugat yaitu pihak para korban longsor Mandalawangi. Hal ini terdapat dalam
Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 “Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
yang usahanya dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung
jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban
membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”. Sehingga dari pasal
tersebut, para korban longsor Mandalawangi tidak perlu repot dalam
membuktikan kesalahan dari pihak Perum Perhutani, karena pasal ini hanya
melihat dari sisi kerugiannya saja, jadi dampak dari pasal ini adalah pihak Perum
Perhutani harus mengganti semua kerugian yang diderita oleh Para korban
Mandalawangi tersebut. Hal ini termasuk Strict Liability atau biasa disebut
tanggung jawab mutlak.
Putusan ini merupakan salah satu wujud dilindunginya kepentingan
masyarakat, yang selama ini masyarakat menjadi korban dari suatu hukum yang
hanya dimiliki oleh mafia peradilan dan pejabat tinggi suatu pemerintahan.
Sehingga di dalam putusan ini terlihat adanya kepastian hukum di Indonesia yang
menciptakan keadilan juga ketertiban, yang menyebabkan kembalinya reputasi
peradilan di Indonesia. Selama ini banyak sekali masyarakat yang ragu atas
kejujuran peradilan di Indonesia, tetapi dengan terciptanya putusan ini reputasi
peradilan di Indonesia akan kembali bangkit dan kepercayaan masyarakat
diharapkan akan kembali. Putusan ini juga menjadi tonggak sejarah di dalam
9. dunia peradilan, karena inilah putusan pertama yang memenangkan gugatan class
action.
Majelis hakim dalam hal ini sudah membuat keputusan yang adil dan tepat
untuk menolak kasasi pihak Perum Perhutani, karena pihak tersebut dalam proses
persidangan tidak dapat membuktikan dalil – dalil yang mereka gunakan dan tidak
ditemukan adanya bukti – bukti baru. Pihak Perum Perhutani telah terbukti lalai
dalam mengelola hutan dan tidak menjaga kelestarian hutan tersebut yang dalam
hal ini memiliki peran penting untuk mencegah bencana tanah longsor dan banjir
bagi penduduk Gunung Mandalawangi dan sekitarnya.
10. Tugas Analisis
Putusan Mahkamah Agung
No. 1794 K/Pdt/2004
Nama : M. Aditya Pratama
Nim : 02011281320066
Mata Kuliah : Hukum Lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Tahun Ajaran 2014/2015