Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangAdriansyah Rustandi
kilas pandang tentang politik penguasaan ruang di Indonesia, dan Sumatera Selatan. disampaikan pada Seminar “Ketahanan Nasional Dalam Perspektif Pertanahan”, Lembar Institute 2012
Perubahan iklim, tantangan era global, dan terjadinya krisis lingkungan di berbagai belahan dunia, mendorong perlunya dilakukan pembentukan masyarakat sadar lingkungan. Isu-isu global tentang lingkungan sejalan dengan upaya dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengelola lingkungan. Ada tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan oleh negara yaitu: 1) tindakan represif, 2) tindakan preventif, dan 3) tindakan persuasif. Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) diperlukan terkait dengan upaya represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi, kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan, dan bahaya kepunahan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution) merupakan salah satu upaya preventif pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan. Konstitusi yang tegas dan jelas mengatur akan pemberdayaan lingkungan akan menjadi titik tolak dari terciptanya produk-produk hukum yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan lingkungan. Adapun sebagai upaya persuasif pemerintah, maka pembentukan masyarakat ekologi melalui PPKn di sekolah harapannya dapat menjadi solusi untuk mendorong nilai-nilai kesadaran akan lingkungan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution), penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law), dan pembentukan masyarakat ekologi (ecological citizenship) menjadi hal yang urgen jika pemerintah serius dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangAdriansyah Rustandi
kilas pandang tentang politik penguasaan ruang di Indonesia, dan Sumatera Selatan. disampaikan pada Seminar “Ketahanan Nasional Dalam Perspektif Pertanahan”, Lembar Institute 2012
Perubahan iklim, tantangan era global, dan terjadinya krisis lingkungan di berbagai belahan dunia, mendorong perlunya dilakukan pembentukan masyarakat sadar lingkungan. Isu-isu global tentang lingkungan sejalan dengan upaya dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengelola lingkungan. Ada tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan oleh negara yaitu: 1) tindakan represif, 2) tindakan preventif, dan 3) tindakan persuasif. Penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law) diperlukan terkait dengan upaya represif pemerintah dalam merespon isu-isu akan polusi, kerusakan lahan budidaya, pengembangan kawasan perkotaan, kebakaran hutan, dan bahaya kepunahan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution) merupakan salah satu upaya preventif pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan. Konstitusi yang tegas dan jelas mengatur akan pemberdayaan lingkungan akan menjadi titik tolak dari terciptanya produk-produk hukum yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan lingkungan. Adapun sebagai upaya persuasif pemerintah, maka pembentukan masyarakat ekologi melalui PPKn di sekolah harapannya dapat menjadi solusi untuk mendorong nilai-nilai kesadaran akan lingkungan. Penerapan konstitusi hijau (green constitution), penegakan hukum lingkungan (enforcement of environmental law), dan pembentukan masyarakat ekologi (ecological citizenship) menjadi hal yang urgen jika pemerintah serius dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.
UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (versi Present...Oswar Mungkasa
bahan Sosialisasi UU NOmor 1 Tahun 2011 dalam bentuk materi tayangan penjelasan UU dalam format power point. Dimaksudkan untuk memudahkan memahami isi undang-undang tersebut
Hbl, dimas triadi, hapzi ali,hukum lingkungan dari perspektif hukum dan hubun...Dimas Triadi
Hbl, dimas triadi, hapzi ali,hukum lingkungan dari perspektif hukum dan hubungannya dengan kegiatan bisnis serta dampak yang timbul dari undang undang lingkungan hidup , universitas mercu buana, 2018, pdf
UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (versi Present...Oswar Mungkasa
bahan Sosialisasi UU NOmor 1 Tahun 2011 dalam bentuk materi tayangan penjelasan UU dalam format power point. Dimaksudkan untuk memudahkan memahami isi undang-undang tersebut
Hbl, dimas triadi, hapzi ali,hukum lingkungan dari perspektif hukum dan hubun...Dimas Triadi
Hbl, dimas triadi, hapzi ali,hukum lingkungan dari perspektif hukum dan hubungannya dengan kegiatan bisnis serta dampak yang timbul dari undang undang lingkungan hidup , universitas mercu buana, 2018, pdf
Biotani Bahari Indonesia turut menandatangani petisi ini, dan hadir sejenak dalam diskusi Pakar dengan tema Membangun Indonesia dengan Keadilan Agraria di Hotel Bidakara pada Kamis, 7 Februari 2013
Keadilan Agraria, Forum
Peraturan Menteri Nomor P.34/MENLHK/Setjen/KUM.1/5/2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Bahan Doa dan Percakapan Rohani "God Meets You Where You Are" yang diselenggarakan oleh Rumah Retret Panti Semedi - Klaten tanggal 17 & 19 April 2020.
Untuk mengetahui kegiatan daring terbaru RR Panti Semedi dapat dilihat di akun Instagram @pantisemediklaten
POKOK - POKOK PIKIRAN INISIATOR PANSUS MONITORING DAN EVALUASI PERIZINAN HGU, IU-PERKEBUNAN, HTI, HPHTI, IUPHTI, HPH, HTR, IZIN USAHA PERTAMBANGAN IZIN INDUSTRI, IZININ LINGKUNGAN ( AMDAL, UPL-UKL ) DALAM UPAYA MEMAKSIMALKAN PENERIMAAN PAJAK SERTA PENERTIBAN PERIZINAN DAN WAJIB PAJAK. SE-PROVINSI RIAU DALAM RANGKA MENDUKUNG MARATORIUM LAHAN, HUTAN DAN PERIZINAN.
Mengenal Pilihan hukum daerah untuk pengakuan Masyarakat Adatseptianm
Mengenal Pilihan hukum daerah untuk pengakuan Masyarakat Adat : Kiat praktis bagi pendamping hukum rakyat, masyarakat sipil, dan pemimpin masyarakat adat.
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
1. 1
PROGRAM NASIONAL
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
MELALUI REDD+
NOTA KONSEP
I. LATAR BELAKANG
Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) adalah hal hakiki dalam UUD
1945 serta bagian tak terpisah dari upaya memelihara kelestarian hutan dan meningkatan
kesejahteraan masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PIU/2012 pada bulan Maret 2013
yang menetapkan hutan adat tidak lagi sebagai hutan negara adalah tonggak sejarah dalam upaya
mengembalikan kedaulatan hak atas hutan kepada MHA. Terbitnya UU 6/2014 yang disusul dengan
PP 43/2014 Tentang Desa mengatur lebih lanjut pengakuan atas kekayaan tradisional dan hak asal
usul MHA dan akan dituangkan ke dalam bentuk peraturan daerah yang menguatkan secara legal hak
pengelolaan kekayaan alam milik MHA termasuk hutan adat. Putusan-putusan pemerintah ini
menandai dimulainya era baru dalam upaya melembagakan partisipasi MHA yang penuh dan efektif
dalam pengelolaan sumber daya alam menuju Indonesia yang adil dan makmur.
Bukti empiris menunjukkan hubungan kausalitas yang kuat antara kepemilikan hutan oleh
masyarakat dengan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil riset terbaru dari World
Resources Institute, dan Rights and Resources Initiatives (2014) tentang Securing Rights, Combatting
Climate Change yang melakukan penelitian di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika dan Asia
menarik untuk dicermati. Riset itu menyimpulkan bahwa negara, yang memberikan hak hukum
kepemilikan hutannya kepada MHA dan masyarakat lokal, dapat mengendalikan deforestasi secara
jauh lebih baik ketimbang jika hutannya dimiliki negara.
Teritori hutan adat di Amazon (Brazil), misalnya, terlindungi 11 kali lebih baik ketimbang hutan-hutan
yang tidak dimiliki dan dikelola oleh masyarakat adat di Amazon. Pemberian hak atas hutan kepada
MHA dan masyarakat lokal adalah cara efektif untuk memerangi deforestasi, menciptakan mata
pencaharian yang berkelanjutan, dan memitigasi perubahan iklim.
Namun di sisi lain terdapat pula beberapa riset yang memperlihatkan bahwa kepastian kepemilikan
atas lahan baik secara de jure maupun de facto saja tidak cukup untuk menurunkan deforestasi dan
degradasi hutan dan lahan gambut bahkan dapat berdampak sebaliknya (Liscow, 2012).
Lebih terkini, Busch (2014) menganalisis penyebab deforestasi utama berdasarkan lebih dari 100
kajian akademis yang dicetak di jurnal ilmiah sejak 1996 sampai dengan 2013, dengan kesimpulan:
“Land-tenure security shows no consistent association with either higher or lower deforestation.
While more secure property rights for indigenous peoples is sometimes associated with lower
deforestation, more secure land tenure can also increase investment, leading to greater
deforestation. The converse is sometimes true: insecure property rights can reduce the present value
of standing forests and encourage owners to convert the land to benefit from more productive uses
and to reduce the risk of expropriation. (Evidence base: 9 countries on 3 continents).”
Studi lapangan yang dilakukan CIFOR (2013) di 5 (lima) REDD+ proyek di Sumatera dan Kalimantan
pada tahun 2010 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada wilayah proyek tersebut
(mayoritas terdiri dari masyarakat asli namun terdapat pula pendatang), lebih tertarik atas jasa
hutan/lahan gambut yang berkaitan dengan pendapatan dibandingkan untuk mengkonservasinya.
2. Walaupun pendapat tentang hubungan kausalitas antara kepemilikan lahan tersebut berbeda-beda,
semua sepakat bahwa MHA/setempat menjadi pemangku kepentingan kunci dalam hal
kesinambungan hutan dan tata kelola lahan.
Dengan demikian, patut diakui bahwa kecenderungan global dan nasional terkait persepsi dan
penerimaan para pihak terhadap MHA juga terus membaik.
Di tingkat global MHA telah diterima sebagai salah satu ‘major group’ dalam isu
pembangunan dan lingkungan dan partisipasinya dalam berbagai perundingan internasional
semakin penting dan strategis;
Kajian-kajian ilmiah semakin kuat membuktikan bahwa MHA akan menjadi kekuatan baru
2
untuk mendorong perubahan global yang mendasar;
Fasilitas global untuk partisipasi MHA dalam penanganan masalah-masalah global semakin
besar dan beragam;
Pemerintah Indonesia ikut mendukung pengesahan (adopsi) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat (UNDRIP) dalam Sidang Umum PBB di New York tanggal 13 September
20071;
Relasi dan intensitas interaksi MHA dengan berbagai instansi Pemerintah juga cenderung
meningkat selama 15 tahun terakhir, misalnya tercatat ada sekitar 14 kementerian/lembaga
negara memiliki program terkait MHA;
Relasi dan intensitas interaksi MHA dengan lembaga-lembaga internasional, nasional dan sub-nasional
di Indonesia terus menguat dan sudah mengarah pada kerjasama.
Sejumlah kemajuan dalam upaya membangun partisipasi dan penguatan MHA telah terjadi pada
masa Pemerintahan sekarang ini. Berbagai keputusan, kebijakan maupun program kerjasama dengan
Pemerintah berkembang dengan pesat, antara lain:
Perkembangan advokasi kebijakan mengalami kemajuan dengan pembahasan akhir RUU
PPHMA dan RUU Pertanahan di DPR RI dan adanya kesepakatan antara DPR dan Pemerintah
RI bulan Desember 2009 lalu untuk memasukkan RUU revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) Tahun 2010-2014.
Putusan MK 35/PIU/2012.
Implementasi Putusan MK 35 dalam NKB 12 K/L (Inkuiri Nasional Komnas HAM RI tentang
Pelanggaran HAM di Kawasan Hutan)
Untuk kerjasama program, AMAN, sebagai wadah perjuangan hak dan kepentingan
masyarakat hukum adat di Indonesia, sudah memiliki Nota Kesepakatan/Piagam dan Rencana
Kerjasama 5 tahun ke depan dengan Komnas HAM RI, Kementerian Negara Lingkungan Hidup
(KLH) dan BPN
UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014 tentang Desa
Protokol Nagoya tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang
Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati
yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 8 Mei 2013 (UU 11/2013).
UKP4 dan Satuan Tugas Pembentukan Kelembagaan REDD+: memfailitasi pengakuan dan
pemetaan kawasan adat kedalam penyusunan “One Map” dan mengakui keberadaan MHA
dalam Strategi Nasional REDD+.
Pembentukan Badan Pengelola REDD+ dipenghujung tahun 2013 sebagai lembaga setingkat
kementerian dengan empat mandat dan satu diantaranya mencakup kesejahteraan
masyarakat setempat/masyarakat hukum adat (PP 62/2013, Pasal 2d).
1Indonesia voted in favour of adoption but noted that the rights in the Declaration accorded exclusively to
indigenous people did not apply in the context of Indonesia. Lihat:
tp://www.un.org/News/Press/docs/2007/ga10612.doc.htm.
3. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pada pembukaan Konferensi Internasional Tropical
Forest Alliance 2020 di Jakarta, 27 Juni 2013, telah menyampaikan komitmennya untuk memulai
proses pengakuan hak atas lahan dan sumber daya alam bagi MHA dan masyarakat yang
ketergantungan pada hutan2 masyarakat dan teritori adat di Indonesia. Presiden menyampaikan
bahwa upaya ini adalah upaya awal yang sangat penting dari implementasi Putusan MK 35 Tahun
2012. Pengakuan ini akan memungkinkan Indonesia untuk mengarahkan pembangunannya yang
berorientasi pada pertumbuhan yang berkelanjutan dengan keadilan di sektor hutan dan lahan.
Komitmen ini akan ditindaklanjuti dalam masa pemerintahan Presiden SBY-Boediono, dimana upaya
untuk meluncurkan inisiatif nasional untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat
masuk dalam Rencana Aksi Penuntasan 100 Hari Terakhir Pemerintahan SBY-Boediono.
Lebih lanjut, komitmen yang kuat telah ditunjukkan juga oleh Presiden dan Wakil Presiden Indonesia
terpilih 2014-2019, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam visi dan misi Jokowi dan JK disampaikan
komitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak MHA dengan penekanan pada 6 (enam)
prioritasutama:3
(i) Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan
pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak MHA, khususnya yang
berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh
TAP MPR RI no. IX/MPR/2001,
(ii) Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum
3
Adat hingga ditetapkan sebagai undang-undang;
(iii) Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada
umumnya, seperti RUU Pertanahan dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma
pengakuan hak-hak MHA sebagaimana yang telah diamanatkan dalam MK 35/2012;
(iv) Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan
penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai
peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak MHA selama ini;
(v) Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerja
secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan
mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan,
dan pemajuan hak-hak MHA ke depan; dan
(vi) Memastikan penerapan UU Desa 6/2014 dapat berjalan, khususnya dalam hal
mempersiapkan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak MHA untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.
Sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, merupakan hal yang mendesak untuk
segera meluncurkan sebuah prakarsa nasional untuk pengakuan dan perlindungan MHA melalui
REDD+.
II. REDD+ DAN MHA
MHA/setempat adalah pemangku kepentingan kunci dari REDD+ di Indonesia. Peraturan Presiden 62
tahun 2013 tentang Badan Pengelola REDD+ menegaskan salah satu tujuan penyelenggaraan REDD+
adalah “memberikan manfaat terhadap peningkatan jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, dan
2 "This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat
community and forest-dependent communities." Lihat: Speech by H.E. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono at the opening of
the international workshop on "Tropical Forest Alliance 2020: Promoting Sustainability and Productivity in the Palm Oil
and Pulp and Paper Sectors", Jakarta: 27 June 2013.Tersedia di
http://www.presidenri.go.id/index.php/eng/pidato/2013/06/27/2136.html.
3 Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat,Mandiri dan Berkepribadian, VisiMisi,d an ProgramAksi,
Jokowi/JusufKalla 2014, Jakarta: Mei 2014, No. 9a-f, hlm. 21-22.
4. kesejahteraan masyarakat setempat/masyarakat hukum adat” (PP 62/2013, Pasal 2d). Pencapaian
tujuan tersebut dilakukan oleh BP REDD+ yang bertugas untuk membantu Presiden dalam
melaksanakan tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan,
pengawasan serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Pemerintah melalui BP REDD+ berkewajiban
untuk melindungi dan mendorong peningkatan kapasitas dan partisipasi MHA melalui mekanisme
REDD+.
Sebaliknya, agenda REDD+ berpotensi untuk dapat dilihat sebagai bagian dari kewajiban adat.
Keberlanjutan ekologis, konservasi keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim adalah hal-hal
yang sangat relevan sebagai kewajiban adat. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa masih
4
banyak kelompok MHA:
memiliki motivasi dan insentif kuat untuk melindungi SDA dan LH karena terkait langsung
dengan keberlanjutan kehidupan MHA sendiri;
memiliki pengetahuan adat (tradisional) untuk melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya
alam secara lestari di wilayah adatnya;
memiliki hukum adat agraria/SDA untuk ditegakkan;
memiliki kelembagaan adat untuk mengurus dan mengatur interaksi harmonis antara MHA
dengan alam sekitarnya;
memiliki konsep penguasaan lahan/wilayah adat secara kolektif yang di dalamnya menjaga
keseimbangan yang dinamis antara hak individual (terbatas, tidak absolut) sebagai warga dan
hak kolektif dan komunal sebagai satu komunitas adat yang otonom/mandiri.
Namun harus diakui bahwa tidak mudah untuk mendorong implementasi REDD+ secara nasional
dalam konteks penguatan partisipasi MHA. Tantangan utamanya adalah paradigma pembangunan
ekonomi yang masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Tumpang tindih dan
disharmonisasi antara berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan: UU Perkebunan, UU
Pertambangan, UU Pengadaan Tanah, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, RPP Hutan Adat,
Permenhut REDD, PP Tambang di Hutan Lindung, dan lain-lain (Peta Jalan Pembaruan Hukum, Satgas
REDD+ 2014).
Demikian juga terjadi benturan kepentingan antar kementerian dan antar pemerintah pusat dan
daerah. Hal ini diperumit dengan belum adanya Undang-Undang yang spesifik mengenai hak-hak
MHA atau upaya pendataan MHA secara terlembaga. Pengesampingan hak-hak kolektif MHA yang
telah terjadi selama puluhan tahun, mengakibatkan hanya sedikit MHA yang masih kuat dan berdaya,
sebagian besar sudah melemah dan sebagian kecil sudah sulit diidentifikasi.
Sementara pada tataran lokal/implementasi, ada kompleksitas lainnya, misalnya: bagaimana
memastikan Free, Prior and Informed Consent (FPIC atau Padiatapa) berjalan dengan baik; bagaimana
menentukan batas wilayah MHA dalam hubungannya dengan batas administrasi negara; bagaimana
pembagian dan pengelolaan manfaat dari REDD+; bagaimana memastikan kepemilikan MHA; pihak
mana yang akan bernegosiasi dengan MHA, apakah pemerintah langsung atau pihak ketiga; siapa
yang dapat mewakili MHA dan bagaimana memastikan seluruh kepentingan di dalam unsur-usur
MHA terakomodasi dengan baik oleh wakil dari masyarakat hukum adat; serta sejauh mana
wacana/kebijakan internasional akan mempengaruhi pasar bebas yang bergerak lebih cepat
dibandingkan UNFCCC.
Semua ini memerlukan sebuah dukungan penyelesaian yang menyeluruh yang melibatkan berbagai
pemangku kepentingan. Dalam kaitan dengan ini, BP REDD+ telah menetapkan dukungan terhadap
penguatan dan pengakuan MHA menjadisalah satu program imperatif BP REDD+ untuk tahun 2014,
yang akan terus mewarnai pelaksanaan Fase Transformasi (Fase II) yang direncanakan selesai
5. padatahun 2016. BP REDD+ menginisiasi Program Nasional untuk Pengakuan dan Perlindungan MHA
melalui REDD+.
III. PROGRAM NASIONAL
Program Nasional ini berjudul: Pengembangan Partisipasi MHA yang Penuh dan Efektif melalui
REDD+ (Program Nasional).
Program ini bertujuan untuk mendorong peningkatan kapasitas MHA di Indonesia untuk
memulihkan, menjaga dan mengelola wilayah adat dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
secara demokratis, berkeadilan dan berkelanjutan melalui mekanisme REDD+, untuk berkontribusi
nyata kepada pembangunan berkelanjutan pada aras tapak, daerah, nasional dan global.
Untuk mewujudkan tujuan ini, Program Nasional mentargetkan sejumlah sasaran:
1. Terwujudnya peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi
5
perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat;
2. Terwujudnya reformasi hukum dan kelembagaan negara/pemerintah terkait hak-hak MHA
atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam, seperti: bentuk pengakuan hukum hak kolektif
atas tanah, hak teritorial dan pemerintahan adat/otonomi asli komunitas adat, revitalisasi
dan pembaruan tradisi dan pranata adat terkait tanah dan sumberdaya alam, negosiasi
berbasis FPIC/Padiatapa dengan pemerintah dan pihak swasta, dll;
3. Terwujudnya perangkat administrasi yang akan menggerakkan pengembangan berbagai
kerangka peraturan dan kebijakan yang mendukung upaya untuk perlindungan dan
pengakuan MHA;
4. Terwujudnya pemulihan, penguatan kelembagaan MHA dan pelaksanaan
programpengelolaan hutan berkelanjutan berbasis MHA;
5. Terwujudnya dukungan kepada Pemerintah Daerah dalam penyiapan Peraturan Daerah yang
mendukung penguatan dan pengakuan masyarakat hukum adat; dan
6. Terwujudnya pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu pedekatan untuk
menjembatani kesenjangan antara pertanian tradisi dan tipe pertanian yang dibutuhkan
dewasa ini baik dari sisi komoditi maupun cara penghasilan komoditi tesebut dan, khususnya,
dari kepentingan perubahan iklam.
Adapun kerangka program yang akan dikembangkan dalam rangka mendukung perwujudan tujuan
dan sasaran diatas, digambarkan dalam skema dan alur dibawah ini (Gambar 1). Skema ini
menunjukkan hubungan dan interaksi yang perlu dikembangkan antara profil MHA pada tingkat
tapak dengan agenda global perubahan iklim. Pada tingkat tapak, kebutuhan mendasar MHA adalah
dukungan untuk pemetaan spasial dan sosial yang merupakan langkah awal dalam upaya
memperkuat kelembagaan dan organisasi MHA.
Dari titik ini kemudian dilakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas lembaga MHA (perencanaan
partisipatif, pengorganisasian, pelibatan dalam mitigasi perubahan iklim). Pusat Informasi MHA perlu
dikembangkan untuk mengelola seluruh data dan pemetaan yang dikerjakan oleh MHA yang
kemudian akan dikaitkan dengan agenda global perubahan iklim maupun berbagai aksi mitigasi dan
adaptasinya. Dari Pusat Informasi ini kemudian akan dikembangkan mekanisme dan tata cara untuk
pengakuan dan perlindungan wilayah MHA. Advokasi dan kampanye dan program informasi pada
berbagai tingkatan perlu didorong untuk memastikan terjadinya pengakuan negara terhadap hak-hak
hukum dan wilayah dari MHA.
6. Gambar 1. Kerangka program bagi Program Nasional untuk Pengakuan dan Perlindungan MHA melalui REDD+
Untuk menjalankan program kerja tersebut, sejumlah fasilitas akan disiapkan melalui Prakarsa ini,
yaitu:
1. Dana Perwalian Nasional (National Trust Fund) sebagai bagian dari Funds for REDD+ Indonesia
(FREDDI), yang merupakan wadah pengelolaan dana dan mekanisme pendanaan bagi
pelaksanaan Prakarsa ini;
2. Pusat Informasi Masyarakat Hukum Adat sebagai pusat analisis dan pengolahan data dan
6
perencanaan spasial wilayah MHA;
3. Dukungan Peningkatan Kapasitas berbagai upaya pengembangan partisipasi masyarakat
hukum adat melalui REDD+ (Delivery Service Support), yang akan memfasilitasi kegiatan
seperti seperti pemetaan wilayah adat, perencanaan partisipatif, penguatan kelembagaan
adat, monitoring dan dukungan teknis, dan pelatihan bagi upaya peningkatan kapasitas MHA;
dan
4. Dukungan untuk Pelibatan Pemangku Kepentingan dan Komunikasi (Communication and
Stakeholders Engagement Support) bagi upaya pelembagaan partisipasi MHA pada aras lokal,
nasional dan internasional, termasuk dukungan untuk penyusunan dan pemberlakuan Perda
tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di masing-masing daerah.
Pendekatan REDD+ akan diintegrasikan dalam program nasional ini supaya dapat secara paralel
menfasilitasi persiapan MHA/setempat untuk program nasional pembangunan kesinambungan
yang adil dan sesuai dengan prinisip pembangunan berkelanjutan dengan pemerataan.
IV. PELUNCURAN PROGRAM NASIONAL
7. Untuk menandai dimulainya Program Nasional, BP REDD+ akan mengkoordinasikan sebuah kegiatan
Peluncuran pada 1 September 2014 di Jakarta, bertepatan dengan penyelenggaraan Hari Masyarakat
Adat Sedunia di Jakarta.
Prakarsa Nasional ini diharapkan diluncurkan bersama dengan sejumlah Kementerian dan Lembaga
Pemerintah yang terkait, yaitu:
7
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
Kementerian Dalam Negeri;
Kementerian Kehutanan;
Kementerian Lingkungan Hidup;
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Badan Pertanahan Nasional;
Badan Informasi Geospatial
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; dan
BP REDD+.
UKP4
Pada Peluncuran Program Nasional ini, akan ditandatangani Deklarasi Bersama para Kementerian
dan Lembaga terkait untuk mendukung dan ikut memfasilitasi implementasi dari Program Nasional.
Peluncuran dan penandatanganan deklarasi akan dilakukan dihadapan Bapak Wakil Presiden dengan
disaksikan oleh perwakilan MHA dan pemangku kepentingan terkait lainnya.