Ratio legis pelaksanaan undang undang 32 tahun 2009 uu lingkungsn dianggap tidak mampu mencegah kerusakan lingkungan dan dibutuhkan
1. 1. Ratio legis pelaksanaan uu llingkungan lama dianggap tidak mampu mencegah kerusakan
lingkungan sehingga dibutuhkan penguatan institusi maupun kordinasi antar lembaga
terkait dan diperlukan penguatan rule of the game yang bisa mengatur seluruh persoalan
lingkungan. UU No 23 tahun 2009 menjadi harapan baru bagi keberlanjutan lingkungan
hidup. Penguatan dan idealisme UU 32 tahun 2009 terletak pada konstitusi .Dalam UU
Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Amanah UU 1945 tersebut jelas memandang
bahwa kebutuhan mendapatkan lingkungan yang sehat adalah salah satu hak asasi. Negara
berkewajiban memberi perlindungan dan jaminan lingkungan sehat, oleh sebab itu negara
harus memiliki otoritas kuat dalam mengelola dan melindungi LH. Pasal 33 ayat (1)
semakin menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Disimilaritas 23 tahun 1997 dan Uu 32 tahun 2009.
Uu 32 tahun 2009 memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Menteri Lingkungan
Hidup untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup untuk bekerja sama dengan instasi-instasi lainnya dalam
melaksanakan tugasnya. Di dalam undang-undang ini juga, pemerintah daerah diberi
kewenangan untuk melakukan perlindungan dan pengeloaan lingkungan di dalam daerah
yang diaturnya.
2. • Uu 32 tahun 2009 lebih mengedepankan upaya administratifnya atu preventifnya yang
dilkukan oleh pemerintah yang terdapat pada pasal (ps 71-75)
3. 2. konflik norma UU No. 23 Tahun 1997 dalam pasal 34 s.d pasal 38 UUPLH
terdapat ketentuan mengenai strict diability, class action, dan legal standing
yang merupakan sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan ketentuan pasal 39
UUPLH (tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh
orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada
Hukum Acara Perdata yang berlaku) menganut system hukum Eropa
Continental. Dapat dikatakan bahwa antara hukum materiil dengan hukum
formilnya terjadi konflik yang mana dalam hukum materiilnya menggunakan
system hukum Anglo Saxon dan dalam penegakannya (hukum formilnya)
menganut system hukum Eropa Continental, bagaimana bisa hukum
lingkungan akan terlaksana dengan baik jika sudah demikian adanya. Hal
tersebut juga mengakibatkan hakim dapatsaja menolak perkara dengan alasan
adanya perbedaan system hukum. Bentuk-bentuk hukum untuk
menyelamatkan lingkungan hidup belum bisa dilaksanakan secara efektif
dengan alasan karena adanya ketentuan pasal 39 UUPLH tersebut.
Ketentuan tersebut bertentangan dengan peraturan diatasnya Misalnya
mengenai ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang mengatur mengenai
pembuktian yakni pasal 1865 KUHperdata menyatakan bahwa siapa yang
mendalilkan dialah yang membuktikan. Aturan tersebut merugikan
lingkungan, dalam hal kasus pencemaran lingkungan oleh perusahaan besar
4. yang merugikan masyarakat disekitarnya, jadi jika masyarakat menuntut
perusahaan tersebut maka masyarakat pula yang harus membuktikan tindakan
pencemaran tersebut. Hal itu sangat merugikan danmemberatkan masyarakat.
Maka dengan ketentuan pasal 35 UUPLH mengenai tanggung jawab mutlak
(stict diability), perusahaan yang kegiatannya menimbulkan kerugian
terhadap lingkungan harus bertanggungjawab atas tindakannya tersebut.
Disini terdapat konflik norma dengan pasal 39 UUPLH.
3. Surat Keputusan Bupati Pasbar Nomor 188.45/799/Bup.Pasbar/2015 tanggal 9 September
2015 tentang penerapan Sanksi Administrasi Paksaan Pemerintah kepada PT. BSS.
Perusahaan tersebut melanggar UU 32 tahun 2009 pasal 104 yang berbunyi setiap orang
yang melakukan dumping limbah atau bahan kemedia lingkungan hidup tanpa izin
dipidana dengan penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Tujuh perusahaan itu adalah PT RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di
Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah,
dan PT ASP di Kalteng. Adapun yang menjadi dasar hukum dalam proses penyidikan ialah
Undang-Undang Perkebunan 39 tahun 2014 pasal 108, Undang-Undang Kehutanan pasal
78, dan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 116.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menang gugatan perdata
terhadap PT National Sago Prima (NSP) atas kasus kebakaran hutan seluas 3.000 hektar di
Riau pada 2014. Pada Kamis (11/8/16), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
5. menghukum perusahaan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan sebesar Rp1,07
triliun.
4. ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi
lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya
kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana. Mengenai penerapan ultimum remedium
dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku
tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana
penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku
tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi
lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan. sehingga ketika fungsi
sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana. ultimum remedium
menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009, asas ini diartikan “upaya”, bukanlah
sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan
upaya untuk memulihkan keadaan yang tercemar atau rusak baku mutu air limbahnya,
baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan.
6. 5. Konsep regulasi chain
Menggunakan Instrumen yg dipakai dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum
Instrumen perencanaan :
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.
Instrumen pemanfaatan :
RPPLH sebagai dasar pemanfaatan
Jika RPPLH belum tersusun,
pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
instrumen pengendalian (dlm pencegahan):
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Instrumen pengendalian (dlm penanggulangan):
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkunganhidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Instrumen pengendalian (dlm pemulihan) :
Pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan:
7. a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Instrumen pemeliharaan :
Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:
a. konservasi sumber daya alam;
b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
Instrumen pengawasan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
Instrumen penegakan hukum
1. Penegakan hukum administrasi (perijinan, PTUN)
2. Penegakan hukum perdata
3. Penegakan hukum Pidana
4. Penegakan hukum Internasional (perdata/pidana internasional)
September 2000 di New York, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Millenium, yang mencetuskan Deklarasi Millenium yang dikenal dengan
Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDG’s). Sasaran
MDG’s diharapkan tercapai pada tahun 2015. Salah satu sasarannya adalah “Memastikan
Kelestarian Lingkungan Hidup”. Salah satu targetnya adalah menerapkan prinsip-
prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia sejak awal telah konsisten dan ikut
menandatangani Deklarasi MDG’s. Lahirnya konsep pembangunan yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan dilandasi konsep MDG’s, dan didorong oleh tumbuhnya
kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Persyaratan pembangunan berkelanjutan, antara lain: menguntungkan secara
ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah
lingkungan (environmentally sound). Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik
8. dan sehat, hal tersebut telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.