1. TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA
(KEDUDUKAN MPR DAN TAB MPR)
Oleh :
ABD. HADI MUZAKI
(1031130039)
T. Telekomunikasi /01/ 3C
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
POLITEKNIK NEGERI MALANG
Jl. SoekarnoHatta 9 PO.BOX 04 Malang 65141 Telp.(0341) 404424-25 (Hunting) Fax.
(0341)404420
http://www.poltek-malang.ac.id
2012
2. Pada masa sebelum Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Ketetapan MPR
merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD
1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR
tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Namun pada tahun 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di
bawah UUD 1945. Pimpinan MPR menyatakan bahwa kembali berlakunya Tap
MPR pun tidak serta-merta mengembalikan posisi MPR seperti kondisi
sebelumnya, dikarenakan pada era reformasi pembuatan Tap MPR baru tidak akan
seperti masa yang sebelumnya, mengingat peran pembuatan Undang-Undang
(legislatif) pada era reformasi diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan DPR.
Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan
wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga
negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
STATUS KEDUDUKAN MPR PASCA AMANDEMEN KE-IV UUD 1945
Pasca amandemen (perubahan) keempat UUD 1945, telah terjadi perubahan
menonjol dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945
mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga
negara. Setidaknya terdapat 28 subyek kelembagaan atau subyek hukum tata
negara dan administrasi negara. Lembaga-lembaga tersebut ada yang merupakan
lembaga-lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial, Dewan Pertimbangan Presiden. Namun lembaga-lembaga lama
yang masih mempunyai kewenangan dalam pemerintahan seperti legislatif dan
eksekutif, masih tetap ada. Hanya saja, kewenangan-kewenangan masing-masing
lembaga tersebut lebih dipertegas. Hal ini dikarenakan alasan-alasan mengapa
UUD 1945 perlu diamandemen agar tidak terjadi executive heavy serta benar-
benar menjalankan sistem check and balances. Kemudian dari masing-masing
lembaga tersebut, ada yang diberi kewenangan langsung oleh UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 seperti misalnya MPR, DPR, DPD, Presiden dan
Wakil Presiden. Ada pula yang hanya disebutkan secara eksplisit nama
lembaganya saja serta hanya disebutkan fungsinya saja, misalnya KPK, KPU,
Bank Sentral, dan sebagainya.
Selain perubahan terhadap struktur ketatanegaraan, perubahan UUD 1945
berimplikasi pada sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Yang
menarik untuk dikaji secara mendalam ialah tentang lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang selama ini super body tak luput
menjadi incaran untuk diamandemen. Hal tersebut memang harus dilakukan,
mengingat penyelenggaraan kedaulatan rakyat melalui sistem supremasi MPR
telah menimbulkan kekuasaan yang begitu besar dibidang eksekutif. Keadaan
yang demikian telah menempatkan MPR hanya sebatas pelengkap demokrasi saja.
Namun setelah amandemen, terjadi perombakan besar-besaran dalam tubuh MPR.
3. Jika dahulu terdapat utusan-utusan golongan maupun daerah, maka sekarang
utusan-utusan tersebut dihilangkan dan diganti dengan sebuah lembaga baru yaitu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Salah satu alasan mengapa MPR perlu dirombak (dalam amandemen UUD 1945)
karena kekuasaan yang besar dari MPR itu sendiri, tidak jarang diselewengkan
atau dipergunakan sebagai alat memperbesar kekuasaan Presiden di luar ketentuan
UUD 1945. Sebagai contohnya ialah pemberian kekuasaan tidak terbatas pada
Presiden melalui TAP MPR No.V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan
Wewenang Khusus Kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam Rangka
Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan
Pancasila.
TAP MPR PASCA PENETAPAN UU NO.12 TAHUN 2011
Kedudukan TAP MPR Pasca Penetapan UU No.12 tahun 2011 hingga saat ini
masih menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, sebelum UU No.12 tahun
2011 diberlakukan, berdasar UU No.10 tahun 2004, Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat secara umum.
Salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh MPR adalah Ketetapan MPR atau
TAP MPR yang merupakan bentuk putusan MPR yang berisi hal-hal yang
bersifat penetapan. Anggota Fraksi Partai Golkar KH Muhammad Busro
Suhud mengatakan bahwa TAP MPR menimbulkan banyak kontroversi
bahkan seorang guru besar Hukum Tata Negara ada yang menyebutnya
sebagai barang haram.
Jika MPR membuat ketetapan siapa yang akan melaksanakan?karena kedudukan
MPR saat ini sudah sederajat dengan BPK dan MA, meskipun MPR tidak
lagi berwenang membentuk Ketetapan namun masih terdapat kategori Tap
MPR yang masit tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan
undang-undang, serta kategori Tap MPR yang masih berlaku selama belum
diatur dalam UU.
Ketetapan-ketatapan MPR yang masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau
diganti dengan undang-undang adalah: Tap MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Yang
merupakan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan
setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau
ajaran Komunis/Marxisme Lenisme.
Permasalahan :
1. Dipertahankan atau dihilangkan TAP MPR di dalam tata urutan Peraturan
Perundang-undangan, mengingat terdapat UU No.10 tahun 2004.
4. Analisa :
Mengapa diadakan amandemen terhadap MPR dan TAP MPR karena MPR
mempunyai wewenang penuh sebagai lembaga tertinggi, tidak jarang
diselewengkan atau dipergunakan sebagai alat memperbesar kekuasaan Presiden
di luar ketentuan UUD 1945. Sebagai contohnya ialah pemberian kekuasaan tidak
terbatas pada Presiden melalui TAP MPR No.V/MPR/1998 tentang Pemberian
Tugas dan Wewenang Khusus Kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam
Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional Sebagai
Pengamalan Pancasila.
Praktik-praktik yang melanggar UUD 1945 di atas, meyebabkan MPR dalam
Sidang Tahunan 2001 memutuskan meniadakan Pasal 1 ayat (2) dan
menggantinya menjadi: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD”. Perubahan itu mengisyaratkan bahwa kedudukan MPR tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara namun hanya menjadi lembaga negara yang
setara dengan Presiden.
Hal ini merupakan suatu perubahan yang fundamental dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia karena prinsip supremasi MPR telah berganti menjadi
keseimbangan antar lembaga negara.
Salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh MPR adalah Ketetapan MPR atau
TAP MPR yang merupakan bentuk putusan MPR yang berisi hal-hal yang
bersifat penetapan.
Sejak di keluarkan UU No.10 tahun 2004, MPR tidak terdapat pada tata urutan
Peraturan Perundang-undangan. Sejak dihilangkannya MPR yang
berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi
bagi penyelenggaraan Negara. Salah satu konsekuensinya ialah kedudukan
ketetapan-ketetapan MPR (TAP MPR) yang telah banyak dikeluarkan
sebelumnya mengingat bahwasanya MPR bukan lagi sebagai Lembaga
Tertinggi Negara. Kedudukan TAP MPR berdasarkan ketentuan Pasal 2
TAP MPR No. III/MPR/2000, hasil produk MPR tersebut menempati urutan
kedua setelah UUD. Contonya : TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang
Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.
Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia. Yang merupakan pernyataan sebagai organisasi terlarang di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia
dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan
faham atau ajaran Komunis/Marxisme Lenisme.
5. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan pengalihan pengaturan
terhadap TAP MPR yang telah dikeluarkan itu sesuai dengan materi yang
diatur, seandainya ketentuan-ketentuan yang dimaksud dirasakan masih
diperlukan. Terhadap TAP MPR yang mengatur hal-hal yang bersifat pokok
menyangkut kepentingan rakyat dan negara secara umum dimasukkan
menjadi materi yang diatur oleh konstitusi. Sedangkan terhadap TAP MPR
yang bersifat mengatur masalah penyelenggaraan negara, materi pengaturan
dialihkan untuk menjadi undang-undang.
Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan
perundang-undangan sejak diundangkannya UU No 10 Tahun 2004 itu akhirnya
disadari oleh pembentuk UU (Pemerintah dan DPR). Hal ini ditandai dengan di
undangkannya UU No 12 Tahun 2011 pada tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang
memaksukannya kembali TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan. Gagasan meniadakan untuk meniadakan kedudukan MPR
sebagai Lembaga Tertinggi Negara secara konseptual ingin menegaskan, MPR
bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap
lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak
termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaultan rakyat dan harus
tunduk serta bertanggung jawab kepada rakyat.
Seperti pada struktur kelembagaan MPR saat ini (pasca amandemen) terdiri dari
DPR dan DPD. Hal ini merupakan perwujudan dari perubahan Pasal 2 ayat (1)
UUD 1945 berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-
daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang” kemudian setelah diubah berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.” Perubahan Pasal 2 ayat (1) menghapuskan unsur Utusan
Golongan dan mengubah Utusan Daerah menjadi DPD. Penghapusan golongan
menurut Bagir Manan, lebih didorong pertimbangan pragmatik daripada
konseptual. Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua,
cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang
diangkat dengan yang mengangkat. Kemudian perubahan sistem utusan daerah
dimaksudkan agar lebih demokratik dan meningkatkan keikutsertaan daerah
dalam penyelenggaraan sehari-hari praktik negara dan pemerintahan, disamping
sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah.
MPR pasca amandemen keempat UUD 1945 telah banyak mengalami perubahan
serta perkembangan mendasar baik bagi sistem pemerintahan maupun bagi MPR
secara struktural. Dengan diubahnya Pasal 1 ayat (2) telah memberikan
konsekuensi bahwa MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara atau supreme
body. Ketentuan baru ini menggambarkan sebuah susunan kelembagaan negara
yang tadinya vertikal hirarkis (spremasi MPR) menjadi horizontal fungsional
6. dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara
(check and balances).
Konsekuensi dari sistem perwakilan seperti ini ialah kerancuan terhadap sistem
perwakilan yang diterapkan di Indonesia. Apakah itu unikameral, bikameral, atau
trikameral? Namun ada beberapa pakar menyebutkan bahwa semuanya tidak
tercakup dalam sistem perwakilan kita, sehingga ada yang menyebut bahwa
sistem perwakilan di Indonesia ialah “sistem MPR”. Namun yang paling
mendekati adalah sistem perwakilan bikameral mangingat tidak adanya lagi
Utusan Golongan di MPR.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Ketetapan_Majelis_Permusyawaratan_Rakyat
(6-10-12/6.47 PM)
http://hukum.kompasiana.com/2012/05/13/implementasi-tap-mpr-no-ix-tahun-
2001
(6-10-12/6.51 PM)
STATUS DAN KEDUDUKAN MPR PASCA AMANDEMEN KE-IV UUD
1945 (6-10-12/10.19 AM)
http://www.mpr.go.id/pages/produk-mpr/tap-mpr (6-10-12/10.23 AM)