singkat untuk dokumen tersebut karena isinya terlalu panjang. Judul harus sangat ringkas agar sesuai dengan batasan karakter yang ditentukan (<. Saran saya adalah meminta bantuan editor untuk meringkas isi dokumen dan membuat judul yang tepat
Buku ini membahas pendahuluan tentang pentingnya pelatihan resusitasi untuk menurunkan angka kematian pada anak. Secara global angka kematian bayi dan balita menurun namun masih tinggi di beberapa negara. Penyebab utama kematian pada anak bervariasi antara kelompok usia dan negara namun umumnya disebabkan oleh kelainan bawaan, infeksi, dan trauma. Pelatihan resusitasi diperlukan untuk meningkatkan penanganan kasus darurat pada an
Similar to singkat untuk dokumen tersebut karena isinya terlalu panjang. Judul harus sangat ringkas agar sesuai dengan batasan karakter yang ditentukan (<. Saran saya adalah meminta bantuan editor untuk meringkas isi dokumen dan membuat judul yang tepat
Similar to singkat untuk dokumen tersebut karena isinya terlalu panjang. Judul harus sangat ringkas agar sesuai dengan batasan karakter yang ditentukan (<. Saran saya adalah meminta bantuan editor untuk meringkas isi dokumen dan membuat judul yang tepat (20)
Toksikologi obat dan macam-macam obat yang toksik dan berbahaya.ppt
singkat untuk dokumen tersebut karena isinya terlalu panjang. Judul harus sangat ringkas agar sesuai dengan batasan karakter yang ditentukan (<. Saran saya adalah meminta bantuan editor untuk meringkas isi dokumen dan membuat judul yang tepat
3. Advanced Pediatric Resuscitation Course
Penyunting:
Irene Yuniar
Ririe F Malisie
Antonius Pudjiadi
Abdul Latief
Neurinda
Anthony
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan
cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Disusun oleh:
UKK Emergensi dan Rawat Intensif Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia
Isi diluar tanggung jawab penerbit
Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cetakan I 2021
Cetakan II 2022
4. iii
APRC
Daftar Kontributor
Abdul Latief
Antonius H. Pudjiadi
Ukas Sukasah (Alm.)
Dadang Hudaya Somasetia
Ririe Fachrina Malisie
Rismala Dewi
Irene Yuniar
Yogi Prawira
Neurinda Permata Kusumastuti
Niken Wahyu Puspaningtyas
Tartila
6. v
APRC
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh.
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh karena berkat dan rahmatNya sehingga buku
Advance Pediatric Resuscitation Course (APRC) telah telah selesai disusun.
Setiap tahunnya jutaan bayi dan anak tidak terselamatkan hidupnya disebabkan penyakit atau kondisi kegawatan
yang sejatinya dapat diatasi jika segera dilakukan pertolongan. Upaya mengatasi kondisi kritis yang mengancam
nyawa, apabila dilakukan dengan tepat dapat membantu menurunkan angka mortalitas. Tata laksana yang sesuai pada
jam pertama sangat bermakna menurunkan kesakitan dan kematian pada bayi dan anak yang mengalami sakit kritis.
Guna meningkatkan kualitas luaran penyakit kritis pada bayi dan anak, diperlukan pelatihan resusitasi tahap dasar dan
lanjut, diharapkan dapat menjamin luaran yang baik sebagai usaha menurunkan morbiditas dan mortalitas kegawatan
bayi dan anak.
Setiap dokter dan tenaga medis diharapkan kompeten dan trampil dalam mengenali kegawatan pada bayi dan
anak dengan sakit kritis, serta mampu melakukan tata laksana awal yang bermanfaat dalam menyelamatkan nyawa dan
mengurangi kesakitan. Pelatihan resusitasi bayi dan anak haruslah mampu menjangkau seluruh tenaga kesehatan yang
berhadapan dengan pasien bayi dan anak. Pelatihan yang baik idealnya dapat memberikan materi pengajaran yang
terstandarisasi dalam mencapai kompetensi yang sama bagi pelaksana (provider) pada saat memberikan pertolongan.
Di masa pandemi seperti saat ini, pelatihan yang dilaksanakan sepenuhnya secara daring menjadi pilihan yang
mau tidak mau harus diselenggarakan sebagai suatu upaya adaptasi menuju masa transisi dan kenormalan baru (new
normal). Oleh karena itu, perekrutan pelatih sebagai usaha untuk memperluas cakupan pelatihan resusitasi pediatri
tahap lanjut yang disusun dan dilaksanakan oleh Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak Ikatan
Dokter Anak Indonesia (UKK ERIA IDAI), merupakan Training or Trainer Advanced Pediatric Resuscitation Course
(ToT APRC) pertama yang dilaksanakan dengan sepenuhnya secara daring. Begitu pula dengan pelaksanaan pelatihan
berbasis sepenuhnya daring dan mengoptimalkan penyampaian melalui berbagai media interaktif dan pemanfaatan
teknologi canggih, sebagai bagian dari pengembangan kemampuan mengajar dari para pelatih yang selama ini terbiasa
dengan pola pelatihan luring. Suatu tantangan yang tidak mudah. Diperlukan suatu buku panduan yang berbasis
teknologi dan kepiawaian untuk menerjemahkannya dalam format digital.
Kami menghaturkan terima kasih banyak dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh
kontributor, penyusun dan editor buku APRC. Semoga semua jerih payah, waktu dan tenaga yang telah dicurahkan
dalam mewujudkan buku APRC ini menjadi penambah timbangan amal kebaikan bagi semuanya. Besar harapan kami
agar buku APRC dapat dipergunakan sebagai panduan para praktisi, teman sejawat dokter anak dan tenaga kesehatan
lainnya untuk lebih memahami, kemudian nantinya mampu menerapkan resusitasi tahap lanjut yang adekuat kepada
bayi dan anak dengan kegawatan di tempat kerjanya, sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan anak.
Terima kasih,
Salam Sehat.
Dr. dr. Ririe Fachrina Malisie, Sp.A(K)
Ketua UKK ERIA
7. vi
Kata Sambutan
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Salam sejahtera dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
PujisyukurkehadiratAllahswt.yangtelahmemberikanrahmatdanhidayahNyasehinggakitadapatmencurahkan
waktu dan tenaga untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Anak. Kami mengucapkan
selamat dan terima kasih kepada Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak Ikatan Dokter Anak
Indonesia atas diterbitkannya Buku Advance Pediatric Resuscitation Course (APRC), semoga menjadi berkah bagi kita
semua.
Berdasarkan Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017, kematian bayi sebesar 24
per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi salah satu indikator kesehatan dalam Sustainable
Development Goals (SDGs) dan fokus pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian
Kesehatan RI. Pada target SDGs nomor tiga, Good Health and Well-being, menerangkan bahwa salah satu tujuan yang
ingin dicapai adalah penurunan angka kematian bayi dengan target menjadi 12 per 1000 kelahiran hidup pada tahun
2030.
Demi tercapainya target SDGs tersebut, kita perlu optimalkan kemampuan dalam mengenali dan menangani
kasus kegawatdaruratan pada anak. Penanganan kasus kegawatdaruratan pada anak memerlukan sistem yang
terkoordinasi baik antar tenaga kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan dengan cepat
dan tepat serta adanya fasilitas kesehatan yang memadai. Oleh sebab itu, pengetahuan dan keterampilan para dokter
dan tenaga kesehatan lainnya dalam menangani kondisi kegawatdaruratan pada bayi dan anak harus selalu diasah dan
ditingkatkan.
Selain mengikuti pelatihan resusitasi tahap awal, dokter spesialis anak juga perlu meningkatkan kemampuannya
dengan pelatihan resusitasi tahap lanjut. Semoga dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga dapat memanfaatkan buku
ini sebaik-baiknya sebagai media pembelajaran serta pegangan ketika menemukan kondisi gawat darurat pada bayi
dan anak.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
Prof. DR. Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon)
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
8. vii
APRC
Daftar Isi
Daftar Kontributor....................................................................................................................................................iii
Kata Pengantar........................................................................................................................................................... v
Kata Sambutan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia................................................................................. vi
BAB 1 Pendahuluan.............................................................................................................................................1
BAB 2 Karakteristik Anak....................................................................................................................................5
BAB 3 Assessmen Pra-Rumah Sakit pada Kegawatan Anak.................................................................................13
BAB 4 Mengenali dan Mengevaluasi Kegawatan pada Anak dengan Saga dan Sadewa........................................16
BAB 5 Manajemen Jalan Napas pada Anak........................................................................................................21
Bab 6 Bantuan Hidup Dasar.............................................................................................................................29
BAB 7 Defibrilasi dalam Tatalaksana Gangguan Irama Jantung .........................................................................36
BAB 8 Syok........................................................................................................................................................41
BAB 9 Keracunan...............................................................................................................................................46
BAB 10 Kejang dan Status Epileptikus.................................................................................................................53
BAB 11 Penurunan Kesadaran..............................................................................................................................58
BAB 12 Obstruksi Jalan Napas Atas.....................................................................................................................69
BAB 13 Obstruksi Saluran Pernapasan Bawah......................................................................................................76
BAB 14 Trauma Kepala........................................................................................................................................86
BAB 15 Trauma Toraks........................................................................................................................................93
BAB 16 Trauma Abdomen.................................................................................................................................102
BAB 17 Tenggelam.............................................................................................................................................105
BAB 18 Luka Bakar............................................................................................................................................109
BAB 19 Prosedur................................................................................................................................................113
BAB 20 Lampiran..............................................................................................................................................130
10. 1
1.1. PENDAHULUAN
Setiap tahun, jutaan anak meninggal disebabkan karena
penyakit atau keadaan kegawatan yang dapat dicegah
dan diobati. Perbaikan kompetensi tenaga medis untuk
mengetahui keadaan kegawatan dan tata laksana awal
kegawatan dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Pelatihan tata laksana kegawatan untuk praktisi
kesehatan dan sumber daya pelayanan kesehatan sangat
bervariasi di setiap negara. Namun demikian, untuk
meningkatkan kualitas luaran penyakit kritis atau cedera
diperlukan pelatihan prinsip dasar resusitasi untuk
menjamin luaran yang jauh lebih baik dalam upaya
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada setiap
kegawatan anak.
1.2. ANGKA MORTALITAS PADA ANAK
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa,
secara global, angka mortalitas bayi menurun hampir
50% dari 63 pada tahun 1990 menjadi 32 pada tahun
2015. Demikian juga halnya dengan angka mortalitas
balita, terjadi penurunan hingga 60%. Angka mortalitas
balita menurun dari 93 pada tahun 1990 menjadi 38
pada tahun 2019. Pada beberapa negara maju, bahkan
penurunannya jauh lebih dramatis.
Perbaikan yang sangat besar pada angka mortalitas
bayi ini disebabkan karena perbaikan kondisi kehidupan,
seperti perbaikan sanitasi, rumah, kualitas air minum,
dan nutrisi. Perbaikan layanan kesehatan, seperti layanan
obstetrik dan neonatus, vaksinasi, juga memiliki peranan
sangat besar pada penurunan angka mortalitas anak.
Penatalaksanaan kasus kritis yang lebih baik dapat
membantu menurunkan angka mortalitas.
Di Indonesia, berdasarkan data United Nation
Children’s Fund (UNICEF) dan World Bank, angka
mortalitas bayi adalah 34 pada tahun 2012, menurun dari
71 pada tahun 1990, dan angka mortalitas balita adalah
BAB 1
Pendahuluan
Gambar 1.1. Grafik angka mortalitas balita di Indonesia dari tahun ke tahun.
Sumber: http://www.data.unicef.org (Diakses 10 November 2021)
325
300
275
250
225
200
175
150
125
100
75
50
25
0
1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020
Premat
acute respiratory infect
Other cau
Congenital anoma
Birth asph
Inju
Neonatal se
Diarrh
Mea
Ma
HIV/A
11. 2 BAB 1: Pendahuluan
27 pada tahun 2015, menurun dari 84 pada tahun 1990
(Gambar 1.1). Secara nasional, angka mortalitas anak di
Indonesia di bawah rerata mortalitas global. Akan tetapi,
masih terdapat disparitas angka mortalitas yang tinggi di
provinsi yang berbeda.
1.3. PENYEBAB KEMATIAN PADA ANAK
Penyebab kematian pada anak pada tiap kelompok
umur bervariasi di setiap negara. Pada periode neonatus,
penyebab kematian utama adalah kelainan kongenital,
infeksi antepartum, dan prematuritas.
Pada negara maju, kematian terutama disebabkan
oleh kelainan kongenital dan trauma. Pada bayi usia
1-12 bulan, kelainan kongenital, kondisi prematuritas,
dan kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, berkontribusi sekitar 20%. Kelainan
kongenital berkontribusi meningkatnya mortalitas pada
seluruh kelompok usia anak, seperti penyakit jantung
kongenital kompleks, malformasi sistem saraf pusat,
kelainan metabolik, dan anomali kromosom.
Setelah usia 1 tahun, trauma menjadi penyebab
tersering kematian. Kematian akibat trauma dapat
dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama
adalah trauma yang menyebabkan kerusakan sangat
berat, dan cedera yang terjadi tidak kompatibel untuk
hidup, sehingga akan segera meninggal setelah kejadian.
Kelompok kedua meninggal karena kegagalan respirasi
yang progresif, insufisiensi sirkulasi, atau peningkatan
tekanan intrakranial karena efek sekunder cedera. Pada
kondisi ini, kematian terjadi beberapa jam apabila tidak
ditata laksana segera. Pada kelompok ketiga, kematian
disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial,
infeksi, dan kegagalan organ multipel. Tata laksana
yang sesuai pada jam pertama pada kelompok ini akan
menurunkan kematian.
Di negara berkembang, penyakit infeksi masih
merupakan penyebab utama kematian. Tujuh
dari sepuluh kematian pada anak disebabkan oleh
pneumonia, diare, campak, malaria, dan malnutrisi.
HIV/AIDS juga berkontribusi dan berhubungan dengan
peningkatan kasus kematian akibat tuberkulosis. Dengan
meningkatnya arus urbanisasi di negara berkembang,
kematian akibat trauma juga meningkat, khususnya
trauma pada kasus kecelakaan bermotor.
Di Indonesia, penyebab kematian terbanyak adalah
karena prematuritas dan penyakit infeksi. Penyebab
kematian pada anak di bawah 5 tahun di Indonesia dapat
dilihat pada gambar di bawah (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Penyebab kematian anak di bawah 5 tahun di Indonesia. (WHO, 2013)
12. 3
APRC
1.4. ALUR TERJADINYA HENTI
KARDIORESPIRATORIK
Henti jantung pada anak berbeda dengan dewasa. Pada
anak, henti jantung sangat jarang disebabkan penyebab
primer dari penyakit jantung, tetapi umumnya karena
penyebab sekunder, yaitu hipoksia. Hipoksia dapat
terjadi pada keadaan henti nafas atau kondisi respirasi
yang patologis, seperti asfiksia, inhalasi benda asing,
bronkiolitis, dan asma. Henti nafas juga dapat terjadi
sekunder karena disfungsi neurologis yang disebabkan
berbagai penyebab, seperti kejang, keracunan,
peningkatan tekanan intrakranial karena cedera kepala,
ensefalopati akut.
Henti jantung pada anak karena penyebab apa
pun menyebabkan periode insufisiensi respirasi pada
anak, yang kemudian akan menyebabkan hipoksia dan
asidosis respiratorik. Kombinasi hipoksia dan asidosis
menyebabkan kerusakan sel dan pada akhirnya kematian
(khususnya pada organ yang sensitif, seperti otak, hati,
dan ginjal), sebelum kerusakan miokard cukup parah
untuk menyebabkan henti jantung.
Penyebab henti jantung lainnya pada anak adalah
penyebab sekunder akibat kegagalan sirkulasi. Kondisi
ini seringkali dikarenakan kehilangan cairan atau darah
(contoh: gastroenteritis, luka bakar, atau trauma),
atau dari maldistribusi cairan di dalam sistem sirkulasi
(contoh: sepsis atau anafilaksis). Pada kondisi kegagalan
sirkulasi tersebut, seluruh organ akan kehilangan nutrisi
esensial dan oksigen. Kondisi syok akan berprogresi
menjadi henti jantung, dan pada akhirnya, seperti pada
kondisi kegagalan respirasi, akan terjadi hipoksia jaringan
dan asidosis.
Pada kenyatannya, kedua alur henti jantung tersebut
dapat terjadi pada satu waktu (Gambar 1.3).
Gambar 1.3. Alur terjadinya henti kardiorespiratorik
Hen�
Jantung
Gagal
Napas
Gagal
Sirkulasi
Benda Asing
Asma
Croup
Kejang
Keracunan
Peningkatan TIK
Perdarahan
Luka Bakar
Muntah
Sepsis
Anafilaksis
Gagal Jantung
Sumbatan
Napas
Depresi
Napas
Kehilangan
Cairan
Maldistribusi
Cairan
13. 4 BAB 1: Pendahuluan
1.5. LUARAN HENTI JANTUNG PADA
ANAK
Luaran henti jantung pada anak adalah buruk. Pada
pasien yang selamat, tidak sedikit yang mengalami defisit
neurologis permanen. Luaran yang paling buruk adalah
pada pasien henti jantung di luar rumah sakit dan tiba
di rumah sakit pada keadaan apnu. Pada pasien dengan
kondisi tersebut, akan mengalami gangguan pada sistim
neurologis, terutama pada kasus yang telah dilakukan
resusitasi kardiopulmonal lebih dari 20 menit.
Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan
untuk meneruskan resusitasi atau tidak, antara lain
lama resusitasi yang telah dilakukan, penyebab henti
jantung, kondisi medis penyerta, usia, lokasi terjadi henti
jantung, apakah kejadian henti jantung disaksikan atau
tidak, durasi henti jantung sebelum tindakan resusitasi,
gangguan irama jantung (irama shockable), serta
kejadian khusus (tenggelam di air dingin). Studi pada
anak menunjukkan bahwa lama resusitasi berhubungan
dengan luaran yang buruk, kecuali pada kasus tenggelam
di air dingin.
Daftar bacaan
1. Samuels M, Wieteska S. Advanced Pediatric Life Support:
The Practical Approach. 5th
ed. Oxford: Wiley-Blackwell;
2011. p. 3-6.
2. Unicef. Child mortality estimates: country specific under
five mortality rate. [Updated Sep 2015; cited Apr 2016].
Available from: http://www.data.unicef.org
3. WHO. Distribution of causes of neonatal and under five
deaths. [Updated Sep 2013; cited Apr 2016]. Available
from: http://www.who.int
4. Wyllie J, Bruinenberg J, Roehr CC, Rudiger M,
Trevisanuto D, Urlesberger B. ERC Guideline:
resuscitation and support of transition babies at birth.
Resuscitation. 2015;95:249–63.
5. International Liasion Committee on Resuscitation.
Paediatric basic and advanced life support. Resuscitation.
2005;67:271-91.
14. 5
2.1. PENDAHULUAN
Pendekatan dan tata laksana kegawatan pada anak
harus disesuaikan dengan tahap pertumbuhan dan
perkembangan, sesuai dengan kelompok usia masing-
masing. Perbedaan tersebut terletak pada perkembangan
anatomis, fisiologis, dan psikologis anak.
2.2. BERAT BADAN
Berat badan anak diperlukan untuk menentukan dosis
obat, dosis defibrilasi, kebutuhan cairan, dan ukuran
alat-alat resusitasi. Pengukuran berat badan anak dengan
menggunakan timbangan sering kali sulit dilakukan pada
keadaan kegawatdaruratan. Oleh karena itu, dipakai
beberapa cara untuk memperkirakan berat badan anak,
sebagai berikut:
1. Broselow Pediatric Emergency Tape/ Broselow Tape
Pita Broselow menggunakan prinsip memperkirakan
berat badan dengan mengukur panjang-tinggi badan
anak. Pita tersebut mengukur tinggi badan anak
dan pada tinggi badan tertentu tertulis perkiraan
berat badan, dosis obat, dosis defibrilasi, cairan, dan
ukuran alat resusitasi (Gambar 2.1)
2. Metode Advanced Pediatric Life Support (APLS)
Usia Rumus
1- 12 bulan (0,5 x Usia dalam bulan) + 4
1-5 tahun (2 x Usia dalam tahun) + 8
6-12 tahun (3 x Usia dalam tahun) + 7
3. Metode Best Guess
Usia Rumus
1-11 bulan (Usia dalam bulan + 9)/2
1-4 tahun 2 x (usia + 5)
5-14 tahun 4 x usia
BAB 2
Karakteristik Anak
Gambar 2.1. Pita Broselow
Alat
Neonatus/
Bayi Kecil (3-5 kg)
Bayi
(6-9 kg) Balita (10-11 kg)
Anak Kecil
(12-14 kg)
Anak
(15-18 kg)
Anak
(19-22 kg)
Anak Besar
(24-30 kg)
Dewasa
(> 32 kg)
Ambu resusitasi Bayi Anak Anak Anak Anak Anak Anak/dewasa Dewasa
Sungkup O2
Neonatus Neonatus Pediatri Pediatri Pediatri Pediatri Dewasa Dewasa
Oropharyngeal Airway Bayi/anak kecil Bayi/anak kecil Anak kecil Anak Anak Anak/
Dewasa kecil
Anak/
Dewasa Kecil
Dewasa Sedang
Bilah laringoskop 0-1 lurus 1 lurus 1 lurus 2 lurus 2 lurus atau
melengkung
2 lurus atau
melengkung
2-3 lurus atau
melengkung
3 lurus atau
melengkung
Ukuran Endotracheal tube (mm) Bayi prematur 2.5
Bayi aterm 3.0-3-5 uncuffed
3.5 uncuffed 4.0 uncuffed 4.5 uncuffed 5.0 uncuffed 5.5 uncuffed 6.0 cuffed 6.5 cuffed
Kedalaman Endotracheal tube
(cm dari bibir)
10-10.5 10-10.5 11-12 12.5-13.5 14-15 15.5-16.5 17-18 18.5-19.5
Stylet (F) 6 6 6 6 6 14 14 14
Selang suction (F) 6-8 8 8-10 10 10 10 10 12
Manset tekanan darah Neonatus/
Bayi
Neonatus/
Bayi
Bayi/ Anak Anak Anak Anak Anak/
Dewasa
Dewasa
Kateter intravena (G) 22-24 22-24 20-24 18-22 18-22 18-20 18-20 16-20
Wing needle/
Butterfly needle (G)
23-25 23-25 23-25 21-23 21-23 21-23 21-22 18-21
Selang nasogastric (F) 5-8 5-8 8-10 10 10-12 12-14 14-18 18
Kateter urin (F) 5-8 5-8 8-10 10 10-12 10-12 12 12
Paddle defibrillator/
eksternal kardioversi
Paddles bayi Paddles bayi
(hingga 1
tahun/10 kg)
Paddles dewasa (≥1
tahun atau ≥10 kg)
Paddles dewasa Paddles dewasa Paddles dewasa Paddles dewasa Paddles dewasa
Chest tube (F) 10-12 10-12 16-20 20-24 20-24 24-32 28-32 32-40
15. 6 BAB 2: Karakteristik Anak
2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Karakteristik anatomi dan fisiologi pada anak beubah
seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan tersebut
antara lain:
Jalan napas (Airway)
Secara anatomi dan fisiologi, terdapat beberapa perbedaan
antara sistem pernapasan anak dan dewasa. Jalan napas
dipengaruhi oleh anatomi kepala dan leher sebagai
berikut:
– Kepala bayi memiliki oksiput yang menonjol,
mengakibatkan posisi sniffing saat berbaring
terlentang. Keadaan ini mengakibatkan jalan napas
dapat lebih terbuka dengan meletakkan penyangga
pada bahu.
– Lidah bayi berukuran relatif lebih besar dibanding
ruang orofaring. Keadaan ini dapat mengakibatkan
obstruksi jalan napas bila lidah jatuh ke belakang dan
juga dapat mengganggu upaya melihat laring saat
melakukan intubasi dengan laringoskop.
– Epiglotis bayi dan balita lunak, pendek, sempit, dan
membentuk sudut dengan sumbu trakea. Keadaan ini
menyulitkan pengontrolan epiglotis saat melakukan
intubasi.
– Pada anak, proyeksi laring pada vertebra servikalis
lebih tinggi daripada dewasa yaitu setinggi vertebra
servikalis ke-3 dan ke-4, sedang pada dewasa setinggi
vertebra servikalis ke-4, ke-5, dan ke-6. Posisi ini
mengakibatkan terdapatnya sudut yang relatif
tajam antara basal lidah dan liang glotis. Keadaan
ini menyulitkan penolong untuk melihat epiglotis
karena jaringan dasar mulut bayi relatif lunak,
penggunaan laringoskop berdaun lurus dengan
teknik menekan jaringan dasar mulut lebih digemari
saat mengintubasi bayi.
– Laring anak berbentuk corong sedangkan laring
remaja dan dewasa berbentuk silinder (Gambar
2.2). Diameter pipa endotrakeal harus disesuaikan
dengan diameter rawan krikoid, bukan liang glotis.
– Bayi memiliki trakea yang pendek. Keadaan
ini mengakibatkan mudah terjadi migrasi pipa
endotrakeal, baik endobronkial dengan akibat
atelektasis paru kiri, maupun bermigrasi keluar dari
liang glottis hingga jalan napas tidak terlindungi.
Migrasi dapat terjadi pada fleksi atau ekstensi kepala.
– Bayi juga memiliki pita suara yang pendek dengan
perlekatannya di dinding anterior lebih rendah.
Susunan anatomi ini menyebabkan perlekatan
endotrakeal secara buta sangat mungkin terhambat
di komisura anterior pita suara.
– Lamina posterior rawan krikoid lebih tebal dan
membentuk sudut seperti huruf “V”, sedang arkus
anterior lebih bulat. Karena pipa endotrakeal
berbentuk bulat, bagian posterior akan mengalami
Gambar 2.2. Perbedaan laring anak dan dewasa (A: anterior; P: posterior)
Laring anak
Kartilago
Tiroid
Krikoid
P A
Laring dewasa
Kartilago
Tiroid
Krikoid
P A
16. 7
APRC
tekanan lebih besar sehingga dapat mengakibatkan
iskemia dan nekrosis.
– Jalan napas tersempit anak dibawah usia 10 tahun
terletak di bawah pita suara, yaitu setinggi rawan
krikoid yang kurang elastis. Laring anak berbentuk
corong sedangkan laring remaja dan dewasa
berbentuk silinder. Diameter pipa endotrakeal
harus disesuaikan dengan diameter rawan krikoid,
bukan liang glotis. Kebocoran dari pipa endotrakeal
pada peak inspiratory pressure 20-30 cmH2
O setelah
intubasi merupakan indikator pemilihan pipa
endotrakeal yang tepat.
Napas (Breathing)
Diameter saluran napas atas dan bawah pada anak relatif
lebih sempit. Akibatnya, edema mukosa ringan dapat
meingkatkan resistensi jalan napas (work of breathing)
yang besar. Sesuai dengan hukum Poiseuille, penurunan
penampang lintang saluran akan meingkatkan resistensi
sebesar pangkat 4 resistensi sebelumnya (Gambar 2.3)
Dinding dada yang bersifat elastis menyebabkan
kapasitas residu fungsional paru berkurang bila usaha
napas berkurang. Volume tidal sangat bergantung
gerakan diafragma. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat
mengganggu pergerakan diafragma (misalnya distensi
lambung atau toraks, akut abdomen) dapat menyebabkan
gangguan pernapasan.
Tulang iga relatif horizontal dan bersifat elastis,
sehingga sehingga bila terjadi trauma dinding dada,
cedera parenkim mungkin terjadi tanpa disertai fraktur
pada tulang iga. Adanya fraktur multipel pada tulang iga
menunjukkan beratnya trauma, cedera parenkim, dan
flail chest yang berat. Otot interkostal umumnya tipis dan
tidak dapat banyak meningkatkan volume toraks dengan
mengangkat iga.
Pada obstruksi saluran napas, dinding toraks yang
elastis mengalami retraksi pada saat inspirasi. Keadaan ini
menimbulkan gerak napas paradoks. Merintih (grunting)
pada bayi adalah upaya untuk mempertahankan kapasitas
residu fungsional paru dan jalan napas agar tetap terbuka.
Kebutuhan oksigen per kilogram berat badan pada
anak adalah 6-8 ml/kg. Sementara kebutuhan pada
dewasa adalah 3-4 ml/kg. Keadaan ini menyebabkan laju
pernapasan anak lebih tinggi (Tabel 2.1) dan hipoksemia
lebih cepat terjadi pada anak. Laju pernapasan dapat
meningkat pada latihan fisik, ketakutan, nyeri, dan
demam.
Gambar 2.3. Peningkatan resistensi akibat edema mukosa
Normal
Bayi
Dewasa
Edema
8 mm
4 mm
Resistensi
(R = 1/radius 4
)
Luas area
penampang
↑ 16x
↑ 3x
↓ 75%
↓ 44%
17. 8 BAB 2: Karakteristik Anak
Tabel 2.1. Laju pernapasan berdasarkan usia
Usia (tahun) Laju pernapasan (napas per menit)
0 hari-1 bulan ≤68
>1 bulan- <2 tahun ≤58
2-5 tahun ≤44
6-12 tahun ≤38
13-18 tahun ≤35
Pada anak, depresi pusat pernapasan dapat terjadi
akibat hipoksia, hipotermia, intoksikasi, gangguan
metabolik (misal hipoglikemia), dan disfungsi susunan
saraf pusat (misal akibat trauma atau kejang). Hipotermia
dan Erb’s paresis lebih sering terjadi pada bayi sedangkan
trauma servikal lebih sering terjadi pada dewasa.
Gagal napas adalah cerminan dari kekurangan
oksigenasi akibat gangguan ventilasi yang dapat
disebabkan oleh sumbatan jalan napas, kelainan intrinsik
paru, dan usaha napas yang tidak memadai (misalnya
gangguan pada otot pernapasan).
Bila seorang anak dengan potensial gawat napas
tidak terjadi perbaikan klinis setelah mendapat terapi
oksigen, maka tindakan agresif perlu segera diberikan
untuk mencegah terjadinya gagal napas. Pemeriksaan
analisis gas darah tidak ditujukan untuk menilai keadaan
postensial gagal napas, tetapi dipakai untuk membuktikan
dugaan klinis dan menilai respon terapi. Bayi dan anak
dengan risiko henti napas umumnya dimulai dengan
adanya tanda-tanda:
– Peningkatan laju napas, peningkatan usaha napas,
menurunnya suara napas
– Penurunan kesadaran atau respons terhadap nyeri
– Tonus otot rangka melemah
– Sianosis
Oleh karena itu, penilaian fungsi napas harus
meliputi penilaian laju napas, fisiologi pernapasan, dan
warna kulit/ membran mukosa.
Laju Napas
Pada bayi, manifestasi awal distres napas adalah takipnu.
Takipnu tanpa tanda lain distres napas adalah bagian
dari upaya kompensasi sistim napas terhadap asidosis
metabolik (misal: syok, ketoasidosis diabetikum, diare
dengan dehidrasi, keracunan salisilat, dan insufisiensi
ginjal kronik). Laju napas yang sangat lambat dan
ireguler pada anak dengan kegawatan akut adalah tanda
klinis yang mengkhawatirkan dan biasanya disebabkan
oleh hipotermi, kelelahan, dan depresi susunan saraf
pusat. Kelelahan adalah penyebab tersering penurunan
laju napas. Perlambatan laju napas atau iregularitas napas
merupakan pertanda perburukan klinis.
Fisiologi pernapasan
Meningkatnya kerja napas sering ditandai dengan napas
cuping hidung, retraksi interkostal, subkostal, dan
suprasternal.Tanda tersebut dijumpai pada obstruksi jalan
napas atau penyakit alveolar. Meningkatnya kerja napas,
akan meningkatkan kebutuhan oksigan otot napas yang
akhirnya akan meningkatkan produksi karbondioksida.
Anggukan kepala ke atas saat inspirasi (head
bobbing), merintih (grunting), stridor, dan ekspirasi
memanjang adalah tanda gangguan fisiologi pernapasan.
Head bobbing menandakan adanya peningkatan usaha
napas. Retraksi dada disertai dengan distensi abdomen
menandakan adanya obstruksi jalan napas bagian atas
(seesaw respiration). Pola napas mata gergaji disebut juga
napas abdominal. Pola napas ini tidak efisien karena
volume tidal tidak adekuat dan mudah menyebabkan
kelelahan.
Merintih terjadi karena penutupan glotis lebih awal
dan kontraksi diafragma yang terlambat pada waktu
ekspirasi. Penutupan glotis tersebut dibutuhkan sebagai
mekanisme kompensasi untuk meningkatkan kapasitas
residu fungsional paru sehingga dapat mencegah kolaps
alveolus dan mencegah kehilangan volume paru. Merintih
biasanya terjadi pada edema paru, pneumonia, penyakit
membran hialin, dan atelektasis.
Stridor inspirasi adalah tanda obstruksi jalan napas
atas (ekstratorakal), misalnya obstruksi oleh lidah yang
besar, laringomalasia, paralisis pita suara, hemangioma,
tumor jalan napas, kista, infeksi jalan napas atas, edema
jalan napas atas, dan aspirasi benda asing. Ekspirasi
18. 9
APRC
memanjang yang disertai mengi adalah tanda obstruksi
jalan napas bawah (intratorakal) seperti pada asma,
bronkiolitis, edema paru, dan benda asing intratorakal.
Gerakan pengembangan dada dan kualitas aliran
udara masuk ke paru-paru pada saat inspirasi merupakan
cerminan dari kecukupan volume tidal dan efektivitas
ventilasi paru. Tidak adekuatnya pengembangan dada
dapat disebabkan oleh hipoventilasi, obstruksi jalan
napas, atelektasis, pneumotoraks, efusi pleura, sumbatan
mukus, dan aspirasi benda asing. Pemeriksaan auskultasi
suara napas dan aliran udara yang masuk ke paru-paru
harus dinilai di seluruh lapangan paru termasuk di daerah
aksila untuk mengetahui apakah ada kelainan pada
seluruh lapangan paru.
Warna kulit/ membran mukosa
Pada lingkungan yang hangat, warna kulit, mukosa,
dan suhu harus konsisten antara bagian tubuh dan
ekstremitas. Pada fungsi kardiovaskular normal, mukosa,
kuku, telapak tangan dan telapak kaki berwarna merah
muda (pink). Pada keadaan hipoksemia atau perfusi yang
buruk, kulit tubuh dan ektremitas terlihat berbercak
(mottled) sedangkan pada tangan dan kaki terlihat kelabu,
pucat, dan teraba dingin.
Sianosis sentral jelas terlihat pada hipoksemia. Secara
klinis, sianosis sentral baru terlihat bila >5 g% hemoglobin
mengalami desaturasi oksigen. Oleh karena itu, sianosis
mudah terlihat pada polisitemia dibandingkan dengan
anak normal dan anemia. Sianosis tidak akan terlihat
pada anemia berat meskipun terjadi hipoksemia berat.
Dengan demikian, sianosis sentral bukan indikator awal
yang dapat digunakan untuk hipoksemia.
Suhu lingkungan harus diperhatiakan selama
menilai warna dan suhu kulit. Bila suhu ruangan
dingin, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh perifer
dan menyebabkan kulit berbercak (mottled), pucat, dan
teraba dingin disertai dengan melambatnya pengisian
kapiler (capillary refill) kurang dari 2 detik. Pengisian
kapiler adalah tanda klinis yang harus dinilai pada cahaya
ruangan yang cukup dan suhu ruangan yang tidak terlalu
dingin.
Sirkulasi (Circulation)
Volume darah dalam sirkulasi per kilogram berat badan
neonatus, bayi, dan anak secara berurutan adalah 85
ml, 80 ml, dan 75 ml. Volume tersebut lebih besar
dibandingkan volume orang dewasa per kilogram berat
badan. Tingginya volume tersebut memungkinkan anak
mempertahankan tekanan darah sistolik tetap normal
meskipun telah terjadi kehilangan darah. Hipotensi baru
terdeteksi bila terjadi kehilangan darah ≥25% volume
sirkulasi. Namun demikian, kehilangan darah 5-10%
volume sirkulasi, sudah merupakan kehilangan yang
bermakna. Oleh karena itu, setiap pengambilan darah
untuk pemeriksaan laboratorium dan kehilangan darah
lainnya, perlu dicatat dengan seksama.
Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompa
keluar dari jantung setiap menit (denyut jantung dikali
isi sekuncup). Isi sekuncup adalah jumlah darah yang
dipompa keluar ventrikel kiri setiap kontraksi. Tekanan
darah bergantung dari curah jantung dan tahanan
pembuluh darah sistemik. Perfusi organ tergantung dari
curah jantung dan tekanan perfusi (Gambar hal.6)
Variabel yang mudah diukur secara klinis untuk
menentukan curah jantung adalah tekanan darah dan
denyut jantung, sedangkan isi sekuncup dan tahanan
pembuluh sistemik secara tidak langsung dapat dinilai
dengan pemeriksaan denyut nadi dan perfusi jaringan.
Denyut jantung
Denyut jantung bayi dan anak menurut usia
dipresentasikan pada Tabel 2.2. Sinus takikardia
merupakan respon umum pada kondisi stres misalnya
ansietas, nyeri, demam, hipoksemia, hiperkapnia,
hipovolemia, dan/atau kelainan fungsi jantung. Oleh
Tabel 2.2. Denyut jantung menurut usia
Usia (tahun) Denyut jantung (denyut per menit)
0 hari – 1 bulan 100-190
>1 bulan - <2tahun 90-180
2-5 tahun ≤160
6-12 tahun ≤140
13-18 tahun ≤ 130
19. 10 BAB 2: Karakteristik Anak
karena itu, bila terjadi takikardia, perlu dicari faktor-
faktor penyebabnya.
Pada anak, curah jantung lebih banyak dipengaruhi
oleh denyut jantung dibandingkan isi sekuncup. Curah
jantung meningkat seiring dengan meningkatnya denyut
jantung. Bila takikardia gagal mempertahankan curah
jantung, maka akan terjadi hipoksia jaringan dan asidosis
yang akhirnya menyebabkan bradikardia. Bradikardia
dengan distres kardiopulmonal menandakan ancaman
henti kardiopulmonal.
Tekanan darah
Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung dan
resistensi/tahanan pembuluh darah sistemik. Meskipun
curah jantung menurun, tekanan darah dapat
dipertahankan normal dengan meningkatkan tahanan
pembuluh darah sistemik. Tekanan darah sistolik pada
anak berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Tekanan darah berdasarkan usia
Usia Tekanan darah sistolik*
0 hari-1 bulan 60
>1 bulan-<1 tahun 70
1-10 tahun 70+(2xusia dalam tahun)
>10 tahun 90
*Persentil 5 tekanan darah sistolik sesuai kelompok usia
Takikardia dan peningkatan kontraktilitas jantung
memiliki peranan penting didalam mempertahankan
curah jantung. Bila mekanisme kompensasi gagal, maka
akan terjadi hipotensi dan fase syok dekompensasi
sehingga pengenalan dini fase awal syok kompensasi
sangat diperlukan, yaitu dengan menilai tanda klinis yang
secara tidak langsung merupakan cerminan aliran darah
dan tahanan pembuluh darah sistemik. Tanda klinis
tersebut adalah denyut nadi perifer dan fungsi organ
(end-organ) seperti kulit, otak, dan ginjal.
Denyut Nadi
Pada anak sehat, nadi karotis, aksila, brakial, radial,
femoral,dorsalispedis,dantibialisposteriorsangatmudah
diraba. Ketidaksesuaian isi antara nadi sentral dengan
perifer disebabkan karena adanya vasokonstriksi perifer
antara lain karena suhu dingin atau sebagai tanda awal
penurunan curah jantung. Tekanan nadi menentukan isi
nadi. Tekanan nadi dihitung berdasarkan rumus berikut:
Tekanan nadi = Tekanan sistolik – Tekanan diastolik
Penurunan curah jantung menyebabkan tekanan
nadi mengecil, mengakibatkan denyut teraba menjauh
dan akhirnya tidak teraba. Pada keadaan curah jantung
yang cukup, tekanan nadi normal, maka denyut nadi akan
teraba keras. Hilangnya denyut nadi sentral merupakan
tanda kegawatan kardiovaskular dan harus dianggap dan
diperlakukan sebagai henti jantung.
Kulit
Penurunan perfusi kulit merupakan tanda awal syok. Bila
perfusi baik, maka tangan dan kaki teraba hangat, kering,
serta telapak tangan terlihat merah sampai ke ujung jari.
Tetapi, bila terdapat penurunan curah jantung, kulit
teraba dingin, dimulai dari perifer (ujung jari tangan dan
kaki) dan menuju proksimal ke arah tubuh. Perlambatan
pengisian kapiler (lebih dari 2 detik), dapat terjadi pada
syok, demam, dan suhu udara dingin. Kulit berbercak
(mottled), pucat, melambatnya pengisian kapiler, dan
sianosis perifer menandakan perfusi kulit yang buruk.
Otak
Tanda hipoperfusi otak tergantung oleh derajat dan
lamanya iskemia otak. Pada iskemia otak mendadak, akan
dijumpai gejala neurologis lain disamping penurunan
kesadaran seperti kelemahan tonus otot, kejang, dan
dilatasi pupil. Bila iskemia otak terjadi secara bertahap,
maka gejala neurologis yang terjadi biasanya tidak jelas
terlihat, penurunan kesadaran terjadi disertai dengan
agitasi dan letargi. Pada hipoperfusi otak yang berlangsung
lama dan dalam, dapat diketahui dengan menghilangnya
refleks tendon, pupil miosis tetapi reaktif, perubahan
pola napas, dan postur dekortikasi/deserebrasi.
20. 11
APRC
Ginjal
Produksi urin sangat berhubungan dengan kecepatan
filtrasi glomerulus. Kecepatan filtrasi glomerulus
mencerminkan status sirkulasi. Meskipun keluaran urin
merupakan indikator yang baik terhadap perfusi ginjal,
biasanya pada saat awal sulit diperoleh informasi yang
akurat karena orangtua tidak memperhatikan jumlah
urin anaknya.
Keluran urin normal rata-rata 1-2 ml/kg/jam. Bila
<1 ml/kg/jam (tanpa adanya penyakit ginjal), merupakan
tanda perburukan perfusi ginjal yang secara tidak
langsung menggambarkan adanya hipovolemia.
2.4. LUAS PERMUKAAN TUBUH
Rasio luas permukaan dibandingkan massa tubuh
paling tinggi pada bayi baru lahir dan berkurang
seiring bertambahnya usia (Gambar 2.4). Sehingga,
semakin muda usia anak, semakin cepat terjadi
kehilangan panas/hipotermi dikarenakan rasio luas
permukaan dibandingkan massa tubuh yang tinggi dapat
meningkatkan pertukaran panas dengan lingkungan
secara langsung sehingga mempengaruhi kemampuan
tubuh mengatur suhu inti.
Proporsi kepala yang relatif besar pada bayi baru
lahir (19% dari luas permukaan tubuh) menjadikan
kepala menjadi sumber potensial kehilangan panas
tubuh. Alat pemanas (lampu, selimut) dapat digunakan
untuk mencegah terjadinya kehilangan panas.
2.5. STATUS PSIKOLOGIS
Pengenalan karakteristik anak sesuai fase
perkembangannya dibutuhkan dalam mengevaluasi
kondisi anak. Tantangan umum yang ditemukan adalah
komunikasi dan rasa takut.
Komunikasi
Adanya keterbatasan verbal antara pemeriksa dengan
anak menjadikan komunikasi non-verbal (misalnya
ekspresi wajah, postur tubuh) dan keterangan orang
tua atau pengasuh anak sebagai bagian yang penting
Area 0 tahun 1 tahun 5 tahun 10 tahun 15 tahun
A 9,5 8,5 6,5 5,5 4,5
B 2,75 3,25 4,0 4,5 4,5
C 2,5 2,5 2,75 3,0 3,25
Gambar 2.4. Luas permukaan tubuh (dalam persen).
Sumber: Advanced paediatric life support, the practical approach
21. 12 BAB 2: Karakteristik Anak
dalam pemeriksaan anak. Bila anak sudah dapat diajak
berkomunikasi, gunakan bahasa yang sesuai dengan
kemampuan anak. Pemeriksa dapat menggunakan
boneka sebagai peraga untuk menerangkan apa yang akan
dilakukan, namun tidak perlu bernegosiasi. Lakukan
prosedur yang memang perlu dilakukan.
Rasa Takut
Rasa takut merupakan masalah utama pada anak usia
pra-sekolah. Pada usia ini, anak sering kali belum dapat
membedakan antara realita dengan fantasi; memiliki
miskonsepsi tentang penyakit, cedera, dan fungsi tubuh.
Sementara pada anak usia sekolah atau remaja, rasa takut
dapat timbul akibat informasi yang mereka dapat dari
orang tua/pengasuh maupun lingkungan seperti media
sosial dan televisi.
Bersikaplah flexible saat memeriksa anak. Tindakan
yang mungkin menyakitkan, sedapat mungkin dilakukan
lebih akhir, setelah penilaian lain selesai. Pada anak
usia pra sekolah, lakukan inspeksi sejak anak dalam
gendongan orang tua/pengasuh. Mintalah bantuan orang
tua/pengasuh untuk hal yang biasa mereka lakukan,
misalnya membuka pakaian bayi.
Gunakan mainan untuk membantu menenangkan
atau menarik perhatiannya. Pengetahuan dapat
membantu mengurangi rasa takut, oleh karena itu, bila
anak dapat berkomunikasi, jelaskan secara jelas dan
sederhana mengenai kondisi dan prosedur yang akan
dilakukan. Anak dapat diberikan pilihan dan merasa
memiliki kontrol terhadap dirinya; contoh: “Apakah
kamu ingin saya memeriksa perut atau tangan terlebih
dahulu?” Namun demikian, hindari pertanyaan yang
dapat dijawab dengan “tidak”. Berikan pujian bila anak
dapat bekerja sama.
Anak remaja umumnya sudah dapat mengerti sebab-
akibat dan menyampaikan yang dirasakannya secara
verbal. Namun demikian, terkadang ketergantungannya
mulai berpindah dari orang tua/keluarga kepada
teman. Hal yang berbeda dari teman-temannya dapat
menimbulkan kecemasan. Gejala psikosomatik sering
dijumpai pada usia remaja. Bicaralah langsung kepada
anak remaja mengenai keadaannya dan prosedur yang
akan dilakukan. Hormati rahasianya, kecuali bila hal
tersebut dapat membahayakan dirinya.
Pendampingan orang tua/pengasuh berperan dalam
mengurangi rasa takut pada anak. Ketiadaan mereka
disampingnya dapat menimbulkan rasa takut yang
berlebih baik bagi anak maupun orang tua/pengasuhnya.
2.6. ANAK YANG MEMERLUKAN
PERAWATAN KHUSUS
Kelompok anak yang memerlukan perawatan khusus
antara lain anak dengan kecacatan fisik, disabilitas
intelektual, dan anak dengan penyakit kronik. Untuk
kelompok-kelompok tersebut perlu diperhatikan usia
perkembangan dibandingkan usia kronologis. Anamnesis
dengan teliti tentang penyakit sekarang, penyakit
sebelumnya, termasuk obat-obat, alat bantu khusus yang
digunakan.
Daftar bacaan
1. Why treat children differently? Dalam: Samuels M,
Wieteska S, penyunting. Advanced paediatric life support.
the practical approach. Edisi ke-5. UK: Wiley-Blackwell.
2011.h.7-13.
2. Saikia D, Mahanta B. Cardiovascular and respiratory
physiology in children. Indian J Anaesth. 2019
Sep;63(9):690-697. doi: 10.4103/ija.IJA_490_19.
PMID: 31571681; PMCID: PMC6761775.
22. 13
3.1. PENDAHULUAN
Prinsip tata laksana kegawatan pada anak sama dengan
dewasa, yaitu dahulukan tatalaksana kondisi yang
mengancam nyawa, seperti obstruksi jalan napas, ventilasi
dan syok. Untuk kelancaran tatalaksana kegawatan
pada anak diperlukan persiapan yang baik dengan
mempersiapkan tim resusitasi.
3.2 PENANGANAN PRA-RUMAH SAKIT
Penilaian pra-rumah sakit dilakukan secara cepat dan
sistematis, baik kesadaran, respirasi dan sirkulasi,
dilanjutkan dengan survei primer. Survei primer diulang
kembali di rumah sakit, namun survei sekunder tidak
boleh dilakukan sebelum survei primer diselesaikan.
Hal penting yang dilakukan pada survei primer
adalah: memastikan bahwa jalan nafas (airway) tetap
lancar, kemudian evaluasi pernapasan pasien (breathing),
sirkulasi (circulation), disabilitas neurologi (disability),
dan pajanan lain (exposure).
A – airway
Anak rentan terhadap hipoksia sehingga tata laksana
jalan napas harus dilaksanakan segera. Adanya hipoksia
yang berat dan tidak terdeteksi dapat menyebabkan henti
napas dan akhirnya henti jantung.
Perlu diperhatikan perbedaan anatomi sistem
pernapasan anak dengan dewasa. Pada anak,
perbandingan ukuran lidah dengan ruang orofaring jauh
lebih besar ketimbang dewasa. Oleh karena itu pada
anak mudah terjadi obstuksi saluran napas dan kesulitan
intubasi. Perbedaan lain adalah laring terletak lebih
anterior dan lebih ke arah sefalad, epiglotis lebih pendek
dan berbentuk ellips dan membentuk sudut dengan
aditus laringeus, yang akan menyulitkan saat melakukan
intubasi. Laring anak berbentuk corong dengan bagian
tersempit di regio kartilago krikoid. Anak juga memiliki
proporsi kepala dan leher yang lebih besar dibandingkan
dewasa. Semua hal tersebut dapat menjadi penyulit waktu
melakukan intubasi.
Oksiput yang cenderung lebih menonjol pada
bayi atau anak usia lebih muda menyebabkan mudah
tersumbatnya jalan nafas karena fleksi kepala, untuk
mencegah fleksi tersebut maka harus disangga dengan
handuk atau selimut di bawah bahu.
B – breathing
Anak memiliki kebutuhan oksigen yang lebih tinggi
dibandingkan dewasa, terutama saat terjadi gangguan
hemodinamik. Pemberian oksigen dalam dosis yang
tepat adalah salah satu indikator keberhasilan tindakan
resusitasi.
C – circulation
Pada anak, syok didefinisikan sebagai tekanan sistolik di
bawah persentil lima untuk usia atau dengan ditemukan
gejalala dan tanda klinis syok. Walau begitu, anak
cenderung tidak menunjukkan gejala klinis saat awal
terjadisyoksampaisyoktersebuttidakdapatdikompensasi
lagi. Tekanan darah biasanya normal hingga fase akhir
syok, karena mekanisme simpatik yang kuat dan respons
BAB 3
Assessmen Pra-Rumah Sakit pada
Kegawatan Anak
23. 14 BAB 3: Assessmen Pra-Rumah Sakit pada Kegawatan Anak
vasokontriksi yang lebih cepat pada anak. Karena itu,
pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
harus dilakukan segera. Meski jumlah volume darah
yang hilang lebih sedikit, secara proporsional jumlah
kehilangan darah dibandingkan dengan jumlah darah
anak tersebut cukup besar. Perkiraan kasar volume darah
anak adalah:
– Sekitar 100 – 120 mL/kg untuk bayi preterm
– 90 mL/kg untuk bayi aterm
– 80 mL/kg untuk bayi usia 3 – 12 bulan
– 70 mL/kg untuk anak usia 1 tahun ke atas
Nilai batas bawah tekanan sistolik (persentil ke-
5) dapat diperkirakan dengan rumus : 70 mmHg + (2
x usia anak dalam tahun). Dan median (persentil ke-
50) tekanan sistolik anak usia 1 tahun ke atas dapat
diperkirakan dengan rumus: 90 + (2× usia dalam tahun).
Cairan kristaloid merupakan pilihan untuk resusitasi
awal, yaitu 20 mL/kg bolus, hingga maksimal 60 mL/
kg. Kondisi klinis pasien anak menentukan jumlah cairan
yang dibutuhkan, misal pada luka bakar pemberian cairan
disesuaikan dengan derajat dan luas luka bakar. Untuk
mencegah hipotermia, cairan resusitasi yang diberikan
pada anak sebaiknya dihangatkan hingga suhu 37°C.
D – disability
Pemeriksaan awal yang perlu dilakukan adalah mengecek
kesadaran dengan menggunakan skor Glasgow Coma
Scale (Table 3.1) pada bayi dan anak, dan pemeriksaan
ukuran pupil, refleks pupil terhadap cahaya, serta tanda
tanda lateralisasi akibat peninggian tekanan intra kranial.
E – exposure/environment
Untuk dapat memastikan ada tidaknya jejas pada bagian
tubuh lain, seluruh pakaian pasien anak sebaiknya dibuka
dan dilakukan pemeriksaan. Pada pasien trauma, penting
dilakukan pemeriksaan jejas di sekitar vertebra. Jangan
lupa gunakan selimut dan/atau pemanas eksternal karena
anak cenderung mudah mengalami hipotermi dibanding
dewasa.
Tabel 3.1. Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale
Membuka mata
Skor Usia 1 tahun atau lebih Usia 0 – 1 tahun
4 Secara spontan Secara spontan
3 Respons terhadap perintah verbal Respons terhadap teriakan
2 Respons terhadap nyeri Respons terhadap nyeri
1 Tidak ada respons Tidak ada respons
Respons Motorik Terbaik
Skor Usia 1 tahun atau lebih Usia 0 – 1 tahun
6 Mengikuti perintah
5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri
4 Respons nyeri tapi tidak melokalisasi Respons nyeri tapi tidak melokalisasi
3 Fleksi abnormal (dekortikasi) Fleksi abnormal (dekortikasi)
2 Ekstensi abnormal (deserebrasi) Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada respons Tidak ada respons
Respons Verbal Terbaik
Skor Usia >5 tahun Usia 2 – 5 tahun Usia 0 – 2 tahun
5 Bercakap-cakap dan orientasi baik Kata-kata yang sesuai Menangis dengan sesuai
4 Disorientasi namun bisa bercakap-cakap Kata-kata yang tidak sesuai Menangis
3 Kata-kata tidak sesuai; menangis Berteriak Menangis/berteriak yang tidak sesuai
2 Bunyi-bunyi yang tidak ada artinya Mengerang Mengerang
1 Tidak ada respons Tidak ada respons Tidak ada respons
24. 15
APRC
3.3. TATA LAKSANA AWAL PRA-
RUMAH SAKIT
Pada kondisi trauma pediatrik, persiapan yang dilakukan
dikeadaan pra-rumah sakit adalah penatalaksanaan
kondisi yang mengancam nyawa terlebih dahulu. Untuk
menjaga jalan napas yang terganggu tetap terbuka,
dapat dilakukan pemasangan alat bantu jalan napas,
seperti oropharyngeal airway atau laryngeal mask, atau
bila memang dibutuhkan dapat dilakukan intubasi
endotrakeal. Jangan lupa gunakan pelindung leher (neck
collar) pada kasus dengan kecurigaan terjadi cedera leher.
Bilaintubasiorotrakealsulitdilakukan,makalakukan
krikotiroidotomi dengan jarum. Krikotiroidotomi bedah
tidak dilakukan pada bayi atau anak yang lebih kecil
karena akan mencederai tulang rawan krikoid yang akan
menyebabkan stenosis subglotis sekunder.
Pemberian cairan resusitasi sebaiknya dilakukan
pra rumah sakit. Pemberian cairan resusitasi diberikan
melalui akses intra vena. Bila akses intra vena tidak dapat
dilakukan maksimal tiga kali gagal (90 detik) dilakukan
pemasangan akses intraoseus.
3.4. TATA LAKSANA DI RUMAH SAKIT
Sesampainya di rumah sakit, ada tiga pokok yang harus
diperhatikan dalam menangani pasien gawat darurat,
yaitu:
– Primary survey – Identifikasi dan tata laksana semua
kondisi yang mengancam nyawa, dilanjutkan
dengan resusitasi. Contoh kondisi yang dimaksud
adalah obstruksi jalan napas, henti napas, dan henti
jantung.
– Secondary survey – Identifikasi tanda-tanda penting
yang ditemui dalam pemeriksaan untuk dapat
menentukan diagnosis yang paling mungkin dan
memberikan tata laksana sesuai dengan diagnosis
tersebut
– Stabilisasi, yaitu fase untuk mengembalikan
homeostasis agar pasien dapat dipindahkan ke
ruangan perawatan definitif, misalnya ruang
perawatan intensif, atau ruang tindakan yaitu ruang
operasi.
Persiapan di rumah sakit
Ketika mengetahui bahwa ada pasien darurat yang akan
segera tiba, pastikan bahwa:
– Tim sudah siap untuk melakukan tindakan
– Tim emergensi harus memiliki struktur dan
pembagian tugas yang jelas. Pada kondisi darurat,
setiap anggota sudah mengetahui peran, tugas dan
kewajiban yang harus dilakukan. Ketua tim berperan
untuk mengarahkan tim dalam memberikan
pelayanan yang terbaik.
– Obat-obatan, cairan, dan seluruh peralatan sudah
dipersiapkan sebelum menerima pasien.
Persetujuan
Persetujuan untuk tindakan medis merupakan hal yang
wajib dilakukan, kecuali pada keadaan darurat. Bila pasien
anak tidak didampingi oleh wali yang sesuai (orang tua
atau pengasuh yang legal secara hukum) dan bila tidak
dilakukan tindakan dapat mengancam nyawa, maka
tindakan harus segera diberikan meski tanpa persetujuan.
Daftar bacaan
1. Advanced Life Support Group. Advanced Paediatric Life
Support. 5th ed. UK: Wiley-Blackwell; 2011.
2. Seid T, Ramaiah R, Grabinsky A. Pre-hospital care of
pediatric patients with trauma. Int J Crit Illn Inj Sci.
2012; 2(3):114–20.
3. American College of Surgeon Comittee on Trauma.
Advanced Trauma Life Support (ATLS) Student course
manual. 9th ed. USA:2012.
25. 16
PENDAHULUAN
Kegawatan anak merupakan suatu situasi yang harus
ditangani segera. Bila terlambat ditangani anak cepat
sekali jatuh pada kondisi kritis dan dapat menimbulkan
kecacatan permanen bahkan kematian. Mengenali anak
dalam kondisi kegawatan tidak selamanya mudah. Tidak
jarang klinis terutama di tingkat layanan primer tidak
mampu mengenali kegawatan pada anak. Sebab itu
diperlukan suatu perangkat penilaian yang mudah dan
dapat digunakan dengan cepat untuk menentukan situasi
kegawatan pada anak. Perangkat penilaian yang dapat
dipakai adalah segitiga gawat anak (SAGA), dan skoring
gawat darurat anak (SADEWA). Pada bab ini selanjutnya
akan dijelaskan cara mengenali dan dan mengevaluasi
kegawatan anak dengan SAGA dan SADEWA.
TRIASE
Triase adalah pintu masuk di ruang gawat darurat
tempat klinisi memilah pasien berdasarkan kondisi
kegawat daruratan pasien saat datang. Hasil pemilahan
ini selanjutnya akan dipakai oleh tim medis untuk
menempatkan pasien di zona tertentu tertentu sesuai
kondisi pasien. Zonasi di ruang gawat darurat dibagi
menjadi 3 yaitu zona merah, kuning dan hijau. Pasien
ditempatkan di zona merah bila terdapat kondisi gawat
dan darurat yang mengancam nyawa. Pasien yang
ditempatkan di zona merah ini harus segera ditatalaksana
untuk mencegah kondisi pasien menjadi lebih buruk.
Tindakan resusitasi dilakukan di zona merah ini.
Pasien yang ditempatkan di zona kuning adalah
pasien yang mengalami kondisi gawat tetapi tidak darurat,
sedangkan pasien yang ditempatkan di zona hijau adalah
pasien yang datang dalam kondisi false emergency yaitu
bukan suatu kondisi kegawat daruratan sehingga dapat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap
dahulu dan bila diperlukan pemeriksaan laboratorium
sebelum melakukan tatalaksana lanjut. Untuk melakukan
pemilahan pasien menjadi 3 zonasi, dipakai suatu skoring
yaitu SAGA yang mudah dan dapat dilaksanakan dengan
cepat.
SEGITIGA GAWAT ANAK (SAGA)
Istilah SAGA atau yang lebih dikenal dengan istilah
pediatric assessment triangle (PAT) dikembangkan
oleh Dieckman dkk pertama kali pada tahun 2010.
Pendekatan dengan SAGA memperlihatkan kondisi
kegawatan anak dengan menilai 3 bagian besar yaitu
tampilan, upaya napas dan sirkulasi. Pada tampilan
akan dinilai 5 komponen, upaya napas 4 komponen dan
sirkulasi 3 komponen. Untuk lebih mudah mengingat,
dibuat suatu singkatan 5-4-3. Berbagai komponen SAGA
dapat dilihat pada Gambar 1.
Dalam penilaian SAGA, terdapat 3 komponen
yang harus dievaluasi yaitu tampilan, upaya napas dan
sirkulasi. Pada tampilan akan dinilai 5 kondisi, upaya
napas 4 kondisi dan sirkulasi 3 kondisi. Supaya mudah
diingat, penilaian SAGA akan dilakukan dengan rumus
5-4-3.
BAB 4
Mengenali dan Mengevaluasi
Kegawatan pada Anak dengan Saga dan
Sadewa
26. 17
APRC
Pada tampilan yang akan dinilai adalah tonus,
interaksi dengan lingkungan, kenyamanan atau mudah
ditenangkan (consolability), pandangan dan suara atau
tangisan. Penjabaran pada tampilan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Pada upaya napas akan dinilai adalah napas cuping
hidung, adanya suara napas tambahan, retraksi dan posisi
abnormal pada pasien. Penjabaran penilaian upaya napas
dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada sirkulasi akan dinilai 3 kondisi yaitu sianosis,
pucat dan kutis marmorata (mottled). Bila ada 1 satu
kondisi saja dari tiap-tiap komponen pada tampilan,
upaya napas dan sianosis, maka diambil kesimpulan
bahwa penilaian komponen yang dimaksud abnormal.
Dengan penilaian SAGA ini diharapkan klinisi akan
mudah dan mampu mengenali kegawatan pada anak
dan melakukan tatalaksana awal segera. Kesimpulan
keseluruhan penilaian SAGA dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 1. Komponen SAGA
Tabel 1. Penjabaran 5 penilaian tampilan pada SAGA
Karakteristik Hal yang dinilai
Tonus Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus otot baik
atau lumpuh?
Interaksi Bagaimana kesadarannya? Apakah berespon terhadap stimulus suara? Apa anak malas
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Kenyamanan Apakah anak dapat ditenangkan oleh pengasuh atau pemeriksa? Atau anak menangis dan sulit
ditenangkan, terlihat agitasi sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Pandangan Apakah anak dapat memfokuskan pengelihatan pada wajah pemeriksa atau pengasuh? Atau
pandangan kosong?
Kekuatan bicara/menangis Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat, lemah, atau parau?
Tabel 2. Penjabaran 4 penilaian upaya napas pada SAGA
Karakteristik
Suara napas tambahan Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh abnormal Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head bobbing
Cuping Hidung Napas cuping hidung
27. 18 BAB 4: Triase
Tabel 3. Penilaian keseluruhan SAGA dengan simpulannya
Komponen Satbil Gangguan Pernapasan Gangguan Sirkulasi Gangguan SSP/
Metabolik
Gagal
Jantung-Paru
Gawat Napas Gagal Napas Renjatan
Penampilan Normal Normal Abnormal Normal/ Abnormal Abnormal Abnormal
Upaya Napas Normal Abnormal Abnormal Normal Normal Abnormal
Sirkulasi Normal Normal Normal/ Abnormal Abnormal Normal Abnormal
Tabel 4. Klasifikasi zonasi kegawatan anak berdasarkan penilaian SAGA di triase
HIJAU KUNING MERAH
Penampilan Bermain,
aktivitas normal
Normal/
Abnormal
Abnormal
Upaya Napas Normal Normal/Abnormal Abnormal
Sirkulasi Normal Normal Abnormal
Terdapat 6 klasifikasi hasil kesimpulan penilaian
SAGA yaitu stabil, gawat napas, gagal napas,
gangguan sirkulasi (renjatan), gangguan metabolik
atau susunan saraf pusat dan gagal jantung paru. Pada
table 3 diperlihatkan bahwa gangguan pernapasan
dibagi menjadi gawat dan gagal napas. Perbedaan
yang mendasar diantara keduanya adalah pada gawat
napas penilaian tampilan abnormal sedangkan pada
gagal napas telah terjadi abnormalitas pada tampilan.
Setelah penilaian SAGA, petugas kesehatan yang
berada di triase akan mampu mengklasifikasikan pasien
berdasarkan zonasinya yaitu hijau, kuning atau merah.
Klasifikasi zonasi kegawatan anak berdasarkan penilaian
SAGA dapat dilihat pada Tabel 4.
Setelah dilakukan klasifikasi zonasi kegawatan,
langkah selanjutnya adalah melakukan tatalaksana yang
sesuai dengan kondisi anak. Tatalaksana berdasarkan
penilaian SAGA dapat dirangkum dalam tabel 5.
Pada gangguan pernapasan baik pada gawat dan
gagalnapasharusdiberikanoksigenyangsesuaikebutuhan
anak. Pada gawat napas dapat dipertimbangkan
pemberian oksigen dengan kanula nasal 0.25-4 liter
per menit (lpm) dan dapat ditingkatkan pemberiannya
melalui sungkup muka sederhana 6-10 lpm. Pada gagal
Tabel 5. Tatalaksana berdasarkan penilaiaan SAGA
Gangguan Fisiologi Prioritas tatalaksana
Stabil • Terapi spesifik sesuai dengan etiologi penyakit
Gawat napas • Posisi nyaman
• Pemberian oksigen / suction sesuai kebutuhan
• Terapi spesifik berdasarkan kemungkinan etiologi (misal albuterol, dyphenhydramine, epinefrin)
• Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi
Gagal napas • Membuka jalan napas (head-tilt, chin lift, jaw thrust, membebaskan dari benda asing jalan nafas sesuai
kebutuhan)
• Oksigen
• Ventilasi tekanan positif (sesuai kebutuhan)
• Intubasi atau krikotiroidotomi (sesuai kebutuhan)
• Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi
Renjatan • Pemberian oksigen (sesuai kebutuhan)
• Pemasangan akses vaskular
• Pemberian terapi cairan RL 10 ml/kgbb dalam 15-30 menit
• Pemberian terapi spesifik sesuai kemungkinan etiologi (misal antibiotik, anti aritmia, evaluasi bedah pada
trauma, dll)
• Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi
Gangguan SSP/metabolik • Oksigen (sesuai kebutuhan)
• Pemeriksaan gula darah atau kemungkinan etiologi lainnya
• Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sesuai indikasi
Kegagalan Jantung Paru • Ikuti algoritma bantuan hidup dasar
28. 19
APRC
napas dipertimbangkan pemberian non-rebreathing mask
10-15 lpm dan dapat ditambahan dengan pemberian
tekanan melalui high flow nasal canula (HFNC) 4-40
lpm. Bila diperlukan pertimbangkan pemberian ventilasi
tekanan positif.
SURVEI PRIMER
Setelah melakukan penilaian dengan SAGA harus
dilanjutkan dengan melakukan penilaian survei primer
yang terdiri dari penilaian A-B-C-D-E yaitu airway
(jalan napas), breathing (kinerja pernapasan) , circulation
(sirkulasi atau kardiovaskuler), disability (kesadaran) dan
exposure (paparan).
Penilaian jalan napas (airway) dapat dilakukan
dengan posisi sniffing dan pada pasien tidak sadar
dilakukan dengan tekhnik head tilt-chin lift atau jaw trust
pada anak dengan cedera servikal. Hasil dari penilaian
jalan napas dapat disebutkan jalan napas bebas atau ada
sumbatan atau obtruksi. Harus disebutkan pula apakah
anak dapat mempertahankan patensi jalan napas.
Penilaian kinerja pernapasan (breathing) dilakukan
dengan menghitung frekuensi pernapasan dalam 1
menit penuh, teratur atau adanya pola panas tertentu,
peningkatan upaya napas, suara napas dasar dan
tambahan. Nilai normal laju nadi dan napas pada anak
dapat dilihat pada Tabel 6.
Laju pernapasan yang abnormal pada anak dapat
dipengaruhi faktor di luar sistem respirasi seperti adanya
nyeri, demam atau cemas dapat meningkatkan laju
napas anak. Suara napas tambahan dapat berupa stridor
inspirasi atau ekspirasi atau mengi (wheezing). Klinisi
harus mengevaluasi penyebab abnormalitas laju napas
dan suara napas tambahan yang terjadi.
Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung
laju nadi, penilaian kualitas nadi, capillary refill time
(CRT), akral hangat atau dingin, pengukuran tekanan
darah dengan manset yang sesuai usia anak dan
pengukuran produksi urin. Nilai normal laju nadi dapat
dilihat pada Tabel 6. Tekanan darah merupakan salah satu
penentu apakah anak mengalamai syok terkompensasi
atau tidak terkompensasi. Tekanan darah sistolik minimal
dapat dihitung dengan rumus 70 + (2 dikali usia pasien).
Penilaian disability adalah penilaian status
neurologik pada pasien. Penilaian ini meliputi
kesadaran, refleks bola mata, pola pernapasan sentral,
postur tubuh, kejang, paresis saraf kranial dan akan
diikuti oleh pemeriksaan neurologi keseluruhan pada
suvei sekunder. Penilaian kesadaran dapat dilakukan
dengan skala Glasgow (Glasgow Coma Scale atau GCS)
dengan mengamati pandangan anak, kemampuan anak
berbicara dan respon motorik. Pada kondisi emergensi,
penilaian GCS tidak praktis dan memerlukan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan skala AVPU. Skala
AVPU dilakukan dengan membagi tingkat kesadaran
menjadi Alert, response to Voice, response to Pain dan
Unresponsive. Penjabaran penilaian skala AVPU dapat
dilihat pada Tabel 7.
Penilaian paparan (exposure) dilakukan dengan
memeriksa lesi pada kulit anak apakah terdapat jejas,
Tabel 6. Nilai normal laju nadi dan napas pada anak
Kelompok umur Laju Nadi Laju Napas
Neonatus 100-180 40-60
1 bulan – 1 tahun 100-180 35-40
1 – 6 tahun 70-110 20-30
7 – 12 tahun 70-110 18-20
12 – 18 tahun 55 - 90 16 - 18
Tabel 9. Skala ‘AVPU’
Kategori Rangsang Tipe respon Reaksi
‘Alert’ Lingkungan normal Sesuai Interaksi normal untuk tingkat usia
‘Verbal’ Perintah sederhana atau
rangsang suara
• Sesuai
• Tidak sesuai
• Bereaksi terhadap nama
• Tidak spesifik/ bingung
‘Pain’ Nyeri • Sesuai
• Tidak sesuai
• Patologis
• Menghindar rangsang
• Mengeluarkan suara tanpa tujuan atau dapat
melokali-sasi nyeri
• Posture
‘Unresponsive’ Tak ada respon yang dapat
dilihat terhadap semua rangsang
29. 20 BAB 4: Triase
terlihat kuning, terdapat perdarahan bawah kulit, dan
lain sebagainya. Harus dievaluasi juga adanya paparan
alergi pada anak, terapi yang telah diberikan, riwayat
perawatan sebelumnya, konsumsi makanan terakhir dan
pajanan lingkungan. Untuk mempermudah mengingat
hal-hal yang perlu dievaluasi, dibuat singkatan menjadi
AMPLE yaitu allergies, medications, past medical history,
last meal, event surrounding injury or environtment.
Setelah melakukan survei primer dan memberikan
tatalaksana awal untuk masing-masing klasifikasi
diperlukan evaluasi berkala untuk menilai keberhasilan
terapi yang telah diberikan. Penilaian selanjutnya
dilakukan dengan SADEWA. Pada SADEWA, dilakukan
evaluasi pada 3 komponen yaitu perilaku, kardiovaskuler
dan respirasi. Penilain SADEWA ini juga mudah dan
cepat dilakukan sehingga petugas Kesehatan dapat
menilai dengan tepat kondisi anak. Penilaian SADEWA
dapat dilihat pada Tabel 6.
Hasil dari penilain SADEWA akan dibuat dalam
bentuk skoring yang berguna dalam panduan evaluasi
berkala dan tatalaksana selanjutnya. Skoring dan
tatalaksana lanjutan berdasarkan penilai SADEWA dapat
dilihat pada Tabel 7.
KESIMPULAN
Kemampuan mengenal anak dalam kondisi gawat darurat
perlu dimiliki setiap tenaga medis terutama yang bekerja
di ruang emergensi. Untuk mempermudah pengenalan
ini digunakan penilaian SAGA, survei primer dan
SADEWA. Diharapakan dengan melakukan penilaian-
penilaian ini, tenaga kesehatan dapat dengan cepat
mengenali anak dalam kondisi gawat darurat, mampu
mengklasifikasikan serta melakukan tatalaksan dengan
cepat dan tepat sehingga angka morbiditas dan mortalitas
anak dapat diturunkan.
Tabel 6. Penilaian 3 komponen SADEWA
Komponen 0 1 2 3
Perilaku Bermain
/aktivitas sesuai usia
Rewel, mudah ditenangkan Rewel, sulit ditenangkan Letargis
Kardiovaskular Merah/waktu pengisian
kapiler (CRT) 1-2 detik
Pucat atau CRT 3 detik,
Nadi ≥ 10 di atas normal
Pucat atau CRT 4 detik,
Nadi ≥ 20 di atas normal
atau diaforesis
Kutis marmorata (mottled) atau
CRT ≥ 5 detik, Nadi ≥ 30 di
atas normal atau bradikardia
Respirasi Laju napas dan saturasi
O2
dalam batas normal
dan tidak ada peningkatan
usaha napas
Retraksi ringan Laju napas ≥ 20 di atas
normal atau saturasi O2
5
poin di bawah normal, atau
retraksi sedang
Laju napas di bawah normal
atau peningkatan usaha napas
atau saturasi O2
>5 poin di
bawah normal, atau merintih,
atau retraksi berat
Tabel 7. Skoring dan tatalaksana lanjutan berdasarkan penilaian SADEWA
SKOR TATALAKSANA
0 – 2 Evaluasi SADEWA dan tanda vital setiap 4 jam, tata laksana sesuai penyakit
3 – 4 ulang SADEWA setiap 1 jam
cek tanda vital setiap 2 jam
rawat inap
konsultasikan pada dokter spesialis anak.
5 ulang SADEWA setiap 30 menit
cek tanda vital setiap 2 jam
rawat inap 🡪 rujuk HCU
konsultasikan pada dokter spesialis anak
≥ 6 ulang SADEWA setiap 20 menit
cek tanda vital setiap 1 jam
rawat inap 🡪 rujuk PICU
konsultasikan pada dokter spesialis anak segera
30. 21
1.1. PENDAHULUAN
Memastikan jalan napas (airway) dan pernapasan
(breathing) berlangsung dengan lancar merupakan
dua hal penting pada bantuan hidup dasar dan lanjut.
Penurunan kondisi anak dapat terjadi dengan cepat bila
fungsi respirasi terganggu. Perbedaan anatomi, fisiologi,
dan alat-alat yang digunakan dalam resusitasi harus
diketahui sebelum memberikan pertolongan. Bab ini akan
membahas alat-alat yang diperlukan untuk melakukan
manajemen jalan napas pada anak dalam keadaan gawat
darurat, serta beberapa manuver yang dapat dilakukan.
Prosedur dan langkah-langkah melakukan manuver
tersebut akan dibahas pada bab prosedur.
1.2. PERALATAN YANG DIPERLUKAN
Alat bantu jalan napas sederhana meliputi oropharyngeal
airway (OPA) dan nasopharyngeal airway (NPA),
sedangkan peralatan minimal yang perlu ada untuk
melakukan bantuan jalan napas lanjut adalah:
– Sungkup oksigen
– Laryngeal mask airway (LMA)
– Self-inflating bag-valve-mask device
– Pipa endotrakeal, introducer, dan connector
– Alat pengisap (suction)
– Kanula krikotiroidotomi
Oropharyngeal airway
Oropharyngeal airway (OPA) digunakan pada pasien tidak
sadar untuk menjaga saluran napas tetap terbuka. Alat
tersebutberfungsiuntukmenopanglidahtidakjatuhkearah
faring dan menutup saluran napas. Oropharyngeal airway
juga berfungsi untuk menjaga pipa endotrakeal agar tidak
tergigit. Alat ini tidak digunakan pada pasien sadar atau
masih memiliki refleks muntah karena akan menyebabkan
aspirasi isi lambung, tersedak, dan laringospasme.
Ukuran OPA ditentukan dengan meletakkan OPA
di sisi pipi pasien, ujung OPA di angulus mandibula dan
bagian pangkal berada di antara gigi insisivus 1 dan 2.
Penggunaan ukuran OPA terlalu kecil tidak efektif dan
dapat menimbulkan obstruksi parsial, sementara bila
terlalu besar dapat menyebabkan laringospasme.
Gambar 5.1 Cara menentukan ukuran OPA
Nasopharyngeal airway
Nasophayngeal airway (NPA) lebih mudah digunakan
pada anak. Namun, alat ini tidak boleh digunakan pada
fraktur basis cranii atau fraktur wajah yang mengenai
hidung. Penggunaan NPA yang kurang tepat dapat
berakibat terjadinya perdarahan di mukosa nasal.
BAB 5
Manajemen Jalan Napas pada Anak
31. 22 BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak
Cara menentuan ukuran NPA adalah dengan
meletakkan NPA dari cuping hidung ke tragus telinga.
Ukuran diameter yang terlalu besar menyebabkan iritasi
dan menekan valekula sehingga timbul obstruksi jalan
napas. Pelumas berbahan dasar air yang dioleskan pada
sisi luar NPA dapat mengurangi trauma pemasangan.
Gambar 5.2. Cara menentukan ukuran NPA
Laringoskop
Ada dua jenis laringoskop yang digunakan pada
anak, yaitu laringoskop dengan bilah datar/lurus, dan
laringoskop dengan bilah lengkung (Gambar 5.3).
– Laringoskop bilah lurus, digunakan untuk
mengangkat epiglotis agar tampak plica vocalis
(Gambar 5.3). Keuntungan dari manuver ini adalah
untuk mencegah cedera saat visualisasi plica vocalis.
Namun, laringoskop jenis ini dapat menstimulasi
vagal yang akan menyebabkan laringospasme dan
atau bradikardia.
– Laringoskop bilah lengkung, digunakan untuk
menggeser epiglotis dengan mengangkat bagian
depan epiglotis. Ujung bilah dimasukkan ke dalam
valekula yang berada di depan epiglotis dan kemudian
epiglotis akan tertarik ke arah depan akibat tekanan
pada valekula, sehingga plica vocalis dapat terlihat
(Gambar 5.2).
Pastikan laringoskop berfungsi baik, yaitu lampu
laringoskop menyala. Gunakan ukuran bilah yang sesuai.
Pipa endotrakeal (endotracheal tube – ETT)
Ukuran pipa endotrakeal (ETT) yang tepat sangat
penting pada anak. Ukuran terlalu besar dapat
menyebabkan terjadinya penekanan pada plica vocalis
sehingga berakibat terjadinya edema setelah ekstubasi,
sementara ukuran yang terlalu kecil menyebabkan
kebocoran jalan napas.
Perkiraan ukuran ETT
– ETT tanpa balon
Untuk anak di atas 1 tahun, ukuran ETT dapat
diperkirakan dengan perhitungan berikut:
Diameter internal (mm) = (usia/4) + 4
Panjang (cm) = (usia/2) +12 untuk pipa orotrakeal
= (usia/2) + 15 untuk pipa nasotrakeal.
Untuk neonatus cukup bulan, umumnya digunakan
ETT dengan diameter internal 3–3,5 mm, dan
untuk neonatus kurang bulan digunakan ukuran
diameter internal 2,5 mm.
– ETT dengan balon
Untuk anak di atas 2 tahun, dapat digunakan ETT
dengan balon, mengikuti perhitungan berikut:
Diameter internal (mm) = (usia/4) + 3,5
Untuk bayi di atas 3 kg dan usia kurang dari 1 tahun,
dapat digunakan ETT ukuran 3. ETT jenis ini tidak
boleh digunakan pada neonatus.
Cara cepat untuk memperkirakan diameter pipa
endotrakeal adalah dengan menggunakan diameter
Gambar 5.3. Laringoskop bilah datar dan lengkung
32. 23
APRC
jari kelingking pasien atau diameter liang hidung.
Pemilihan diameter yang tepat dapat diketahui
bila dalam penggunaannya tidak terjadi kebocoran
udara pada tekanan di atas 20–30 mmHg. Untuk
mengantisipasi ukuran ETT yang terlalu besar atau
terlalu kecil, persiapkanlah satu ETT dengan ukuran
lebih kecil dari nomor yang digunakan dan satu
ETT dengan ukuran lebih besar dari nomor yang
digunakan.
Introducer ETT
Intubasi dapat dibantu dengan penggunaan stylet atau
introducer yang dimasukkan ke dalam lumen dari pipa
endotrakeal. Ada dua jenis introducer, yaitu lunak atau
keras. Tipe keras dapat merusak jaringan bila melebihi
panjang ETT.
Konektor ETT
Konektor ETT secara umum berukuran sama, baik pada
dewasa, anak, maupun neonatus, untuk dihubungkan
dengan balon resusitasi atau ventilator.
Cunam magill
Cunam magill adalah alat penjepit bersudut. Alat
ini digunakan untuk menjepit pipa endotrakeal,
terutama yang dimasukkan melalui liang hidung untuk
memasukkan ke lubang di antara pita suara. Cunam
magill juga dapat digunakan untuk mengeluarkan benda
asing yang menyumbat jalan napas atas.
Kateter penghisap
Digunakan untuk mengeluarkan sekret bronkus atau
cairan lain yang teraspirasi ke dalam jalan napas. Ukuran
yang umum digunakan adalah dua kali diameter dalam
pipa endotrakeal. Bila ukuran pipa endotrakeal 3,0 mm
maka ukuran kateter penghisap yang digunakan adalah
6 French.
Kanul krikotiroidotomi
Ada tiga ukuran kanul krikotiroidotomi, yaitu nomor
12 untuk dewasa, 14 untuk anak, dan 18 untuk bayi.
Kanul krikotiroidotomi lebih kaku sehingga tidak mudah
terlipat. Alat ini memiliki sambungan untuk diikatkan
pada leher. Pada keadaan darurat, kanul intravena
nomor 14 dapat digunakan dengan cara ditusukkan
pada membran krikotiroid dan kemudian disambungkan
dengan oksigen 1-5 L/menit. Pasien akan mendapat
ventilasi secara parsial bila kanul dihubungkan dengan
konektor Y dengan salah satu sisinya disambungkan ke
sumber oksigen dan sisi konektor yang lain dibuka-tutup
secara intermiten.
Sungkup resusitasi
Sungkup resusitasi (face-mask) memiliki dua bentuk
dasar. Bentuk pertama adalah bentuk yang menyesuaikan
anatomi anak, untuk mengurangi ruang rugi dan
mencegah kebocoran. Bentuk kedua adalah sungkup
dengan plastik lunak di sekeliling sisinya yang berisi
udara untuk menjaga kekedapan yang sempurna. Pada
bagian pangkal, mempunyai konektor berukuran 15/22
mm.
Sungkup yang baik adalah sungkup bening tembus
pandang, sehingga dapat terlihat udara ekspirasi, sianosis
bibir, dan muntahan. Ukuran sungkup yang sesuai adalah
yang meliputi dagu hingga pangkal hidung, namun tidak
menyebabkan tekanan pada mata.
Balon resusitasi tipe mengembang sendiri
(self- inflating bag)
Alat ini dirancang untuk memberikan ventilasi tekanan
positif pasien pada keadaan darurat. Terbuat dari bahan
karet atau plastik yang elastis, sehingga dapat mengisi
udara sendiri tanpa adanya sumber oksigen. Pada
bagian distal terdapat katup searah yang mengalirkan
udara dari balon resusitasi ke sistem pernapasan. Bagian
ini dilengkapi dengan konektor baku yang dapat
dihubungkan dengan sungkup resusitasi. Pada bagian
proksimal terdapat sambungan sumber oksigen dan satu
sambungan lain untuk mengisi balon dengan udara luar
atau yang dihubungkan dengan reservoir (Gambar 5.2).
33. 24 BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak
Gambar 5.6. Balon resusitasi tidak mengembang dengan sendirinya
T-piece (model Inggris)
Tanpa reservoir, sulit untuk memasok udara dengan kadar
oksigen lebih dari 50%. Bila tersambung dengan reservoir
yang terisi penuh oksigen, alat ini dapat memasok udara
dengan kadar oksigen mencapai 98%.
Terdapat 3 ukuran balon tipe mengembang
sendiri, yaitu ukuran 240 ml, 500 ml, dan 1600 ml.
Balon ukuran 240 ml dan 500 ml biasanya dilengkapi
katup pengaman yang membuka pada tekanan di atas
40 cmH2O. Katup ini juga dirancang untuk mencegah
terjadinya barotrauma.
Balon resusitasi tipe tidak mengembang
Terdiri dari balon reservoir, lubang tempat keluar
untuk udara yang berlebih, lubang tempat untuk
masuk gas, dan konektor sungkup baku 15/22
mm (Gambar 5.5). Bila tekanan berlebih, udara
akan keluar melalui katup pengaman. Alat ini tidak
dilengkapi dengan katup re- breathing. Balon ini
tersedia dalam ukuran 500 ml untuk bayi, 1000-2000
ml untuk anak, dan 3000-5000 ml untuk dewasa.
Gambar 5.5. Balon resusitasi tidak mengembang dengan sendirinya
(model Amerika)
Balon resusitasi dengan ujung terbuka yang
dapat dihubungkan dengan pipa yang memiliki ujung
menyerupai huruf T, disebut dengan T-piece. Pada satu
sisi T, terdapat katup pengatur udara keluar, pada sisi
lainnya terdapat konektor sungkup baku (Gambar 5.6).
Pengguna alat ini membutuhkan keterampilan untuk
dapat mengatur aliran gas dan katup pengatur kelebihan
gas, serta penggunaan sungkup yang benar. Volume udara
inspirasi diperoleh melalui pengaturan katup kelebihan
gas. Komposisi gas inspirasi ditentukan oleh aliran
udara segar. Aliran udara penting untuk menghalau gas
ekspirasi. Bila katup kelebihan gas ini ditutup rapat maka
udara ekspirasi tertahan dan akan terjadi rebreathing.
Pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg,
umumnya digunakan aliran gas 2L/menit, berat badan
10-50 kg digunakan aliran oksigen 4 L/menit, dan 6L/
menit untuk pasien dengan berat badan lebih dari
50 kg. Semakin tinggi aliran gas, semakin kecil terjadi
rebreathing sehingga lebih efektif dalam mencegah
hiperkarbia. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau
continous positive airway pressure (CPAP) dapat diberikan
dengan alat ini melalui katup pengatur kelebihan gas.
Karena penggunaannya yang memerlukan
pengalaman dan tidak dapat digunakan tanpa sumber
gas, maka alat ini tidak umum digunakan sebagai
peralatan resusitasi awal. Bila digunakan oleh petugas
yang berpengalaman, compliance paru dapat ‘terasa’
hingga alat ini sangat efektif.
Gambar 5.4. Balon resusitasi tipe mengembang sendiri
34. 25
APRC
Pipa torakotomi
Pipa ini digunakan pada pasien dengan hemothoraks
dan pneumothoraks. Untuk neonatus, digunakan pipa
ukuran 10 F (French), untuk bayi (di bawah 12 bulan),
digunakan ukuran 12-16 F, untuk anak 1-5 tahun 16-20
F, dan ukuran 20-32 F untuk anak di atas 5 tahun.
Laryngeal mask airway
Laryngeal mask airway (LMA) merupakan peralatan jalan
napas yang sering digunaakan saat prosedur pembiusan
(anestesi). Alat ini mudah dipasang namun tidak
mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi. Laryngeal
mask airway disiapkan pada kondisi emergensi karena
pemasangannya mudah dan cepat.
Pipa lambung (gastric tube)
Anak sangat rentan menelan udara dan muntah tanpa
disengaja. Tindakan bantuan ventilasi dengan balon
resusitasi juga dapat menyebabkan udara masuk ke
lambung. Keadaan ini dapat merangsang muntah, refleks
vagal, dan menekan diafragma ke atas. Pemasangan
pipa lambung dapat membantu mengeluarkan udara,
mendekompresi lambung, sehingga dapat memperbaiki
pernapasan.
Pipa lambung tersedia dengan ukuran 2 F hingga
16 F, untuk usia neonatus hingga remaja. Penempatan
pipa lambung dilakukan melalui hidung, yaitu pada dasar
hidung (Gambar 5.7), melewati dinding posterior faring,
esofagus, dan kemudian masuk ke lambung.
Gambar 5.7. Letak pipa lambung didasar hidung
Untuk menempatkan ujung pipa di dalam lambung,
perludiberitandapadapipasesuaidenganukuranpanjang
jarak dari hidung ke telinga lalu ke prosesus xiphoideus
(nex, atau nose-ear-xiphoid). Pemberian pelumas larut air
atau yang mengandung lidokain 2% beberapa sentimeter
pada ujung pipa akan mempermudah pemasangan dan
mengurangi rasa tidak nyaman.
1.3. TEKNIK KHUSUS PENANGANAN
JALAN NAPAS
1. Manuver Head Tilt - Chin Lift - Jaw Thrust dan
Penggunaan Penyangga Jalan Napas
Penilaian adanya gangguan jalan napas dilakukan
denganmanuvermelihat,mendengar,danmerasakan
(look, listen, feel). Look-listen-feel dilakukan untuk
mendeteksi henti napas, obstruksi jalan napas, atau
gangguan pernapasan lain dengan cepat. Fleksi dan
ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan
tertutupnya jalan napas. Head tilt-chin lift (Gambar
5.8) tidak boleh dilakukan bila pasien dicurigai
cedera tulang belakang servikal, sehingga lakukan
manuver jaw thrust (Gambar 5.8) pada kondisi
tersebut.
2. Penggunaan Balon dan Sungkup Resusitasi
Teknik ini dilakukan dengan metode E-C clamp
yaitu salah satu tangan penolong mempertahankan
sungkup kedap pada muka sambil mempertahankan
kepala pada posisi chin lift dengan meletakkan
jari ke 3, 4, dan 5 pada angulus mandibula sambil
mendorong ke atas (Gambar 5.9). Tangan penolong
lainnya memijat perlahan balon resusitasi. Bila
resusitasi dilakukan oleh lebih dari satu penolong,
untuk resusitasi pernafasan, salah satu penolong
bertugas mempertahankan posisi jalan napas
tetap terbuka dengan manuver jalan napas dan
memposisikan sungkup kedap udara, sementara
penolong lain bertugas memijat balon resusitasi.
Ventilasi yang adekuat dinilai dengan melihat
pengembangan dada. Bila dada tidak mengembang
35. 26 BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak
Gambar 5.9. Teknik memegang masker dengan satu tangan
(Gambar 5.10). Pada bayi, penekanan rawan krikoid
dilakukan dengan satu jari, sedangkan pada anak
penekanan dilakukan dengan ibu jari dan telunjuk.
Penekanan yang terlalu kuat dapat menyebabkan
obstruksi trakea.
3. Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal merupakan cara memper-
tahankan jalan nafas tetap terbuka (patent
airway) yang dilakukan dengan memasukkan
pipa endotrakeal melalui mulut. Kemungkinan
aspirasi cairan lambung ke paru-paru lebih kecil
dibandingkan dengan alat bantu jalan nafas
lainnya. Berikut adalah indikasi penggunaan pipa
endotrakeal:
dengan baik, lakukan perbaikan posisi, serta
pertimbangkan melakukan pembersihan jalan napas
dengan alat penghisap. Bila usaha bernapas baik,
berikan oksigen.
Pada bantuan ventilasi dengan sungkup, sering
terjadi distensi lambung. Keadaan ini lebih sering
lagi terjadi bila komplians paru menurun atau
terdapat obstruksi jalan napas. Distensi lambung
dapat menghambat gerakan diafragma ke bawah
(rongga abdomen), regurgitasi, dan aspirasi cairan
lambung. Pada bayi dengan kesadaran menurun,
distensi lambung dan regurgitasi pasif dapat dicegah
dengan memberikan tekanan pada rawan krikoid
(manuver Sellick) selama ventilasi dengan sungkup
Gambar 5.8. Teknik membuka jalan napas dengan manuver head tilt-chin lift dan jaw thrust
Gambar 5.10. Manuver Sellick
36. 27
APRC
a. Gangguan kontrol pernapasan pada sistem saraf
pusat
b. Obstruksi jalan napas anatomik maupun
fungsional
c. Hilangnya refleks yang melindungi jalan napas
d. Usaha nafas berlebih
e. Paru kolaps sehingga dibutuhkan tekanan
ekspirasi yang tinggi atau PEEP
f. Dibutuhkan ventilasi mekanik tekanan positif
g. Transportasi pasien dengan kesulitan untuk
mempertahankan jalan nafas tetap terbuka
selama transportasi.
Hal penting lain yang perlu diketahui dalam
melakukan intubasi endotrakeal adalah ukuran bilah
laringoskop, pipa endotrakeal, dan kateter penghisap
(Tabel 5.1)
Setelah pipa terpasang dengan baik, beberapa hal
yang harus diperhatikan untuk memastikan posisi
pipa endotrakeal telah terpasang dengan tepat adalah
sebagai berikut:
1. Observasi gerakan bilateral dinding dada,
pastikan bahwa gerakan simetris kiri dan kanan
2. Auskultasi dinding dada dan abdomen, pastikan
bahwa bunyi napas paru kanan dan kiri simetris
3. Lihat adanya embun air di bagian dalam ETT
yang terpasang di daerah mulut
4. Lakukan foto thoraks untuk memastikan posisi
pipa endotrakeal yang tepat
5. Pantau kadar karbon dioksida ekshalasi, dengan
kapnometri atau kapnografi karbon dioksida.
Krikotirotomi
Krikotirotomi jarang dilakukan pada anak. Krikotirotomi
dilakukan dengan cara bedah (insisi) atau pungsi.
Pada bayi hingga anak usia 3 tahun, risiko komplikasi
krikotirotomi amat besar mengingat berbagai struktur
vital seperti arteri karotis dan vena jugularis yang terletak
berdekatan dengan daerah tindakan. Namun tindakan ini
merupakan tindakan emergensi yang sering digunakan
pada kondisi tidak dapat dilakukan ventilasi dan sulit
intubasi.
Kritotirotomi dilakukan bila terjadi kegagalan
pemasangan jalan napas dengan cara tradisional, pada
kondisi-kondisi berikut:
a. Trauma yang menyebabkan perdarahan pada mulut,
faring, dan nasal
b. Spasme wajah dan laring
c. Muntah yang tidak dapat dikontrol
Tabel 5.1. Ukuran bilah laringoskop, diameter pipa endotrakeal, ukuran pipa endotrakeal dan kateter penghisap
Usia Laringoskop Diameter dalam pipa
endotrakeal (mm)
Jarak antara gigi
seri/gusi ke bagian
tengah trakea (cm)
Kateter
penghisap (F)
Neonatus kurang
bulan
Miller 0 2.5, 3.0 tanpa balon penyekat 8 5-6
Neonatus cukup
bulan
Miller 0-1 3.0, 3.5 tanpa balon penyekat 9-10 6-8
6 bulan 3.5, 4.0 tanpa balon penyekat 10 8
1 tahun 4.5, 5.0 tanpa balon penyekat 11 8
2 tahun Miller 2 4.5, 5.0 tanpa balon penyekat 12 8
4 tahun 5.0, 5.5 tanpa balon penyekat 14 10
6 tahun 5.5 tanpa balon penyekat 15 10
8 tahun Miller 2
Macintosh 2
6.0 dengan atau tanpa balon
penyekat
16 10
10 tahun 6.5 dengan atau tanpa balon
penyekat
17 12
12 tahun Macintosh 3 7.0 dengan balon penyekat 18 12
Remaja Macintosh 3
Miller 3
7.0, 8.0 dengan balon penyekat 20 12
37. 28 BAB 5: Manajemen Jalan Napas pada Anak
d. Gigi yang mengatup kuat
e. Tumor, kanker, maupun kondisi lainnya yang
menyebabkan sulit dilakukan intubasi
f. Edema orofaring, misalnya akibat anafilaksis
g. Obstruksi benda asing
h. Cedera maksilofasial
Kontraindikasi absolut dilakukannya krikotirotomi
adalah usia, walau tidak ada batasan pasti berapa
usia minimal dilakukannya krikotirotomi. Beberapa
sumber menyebutkan batasan minimalnya adalah 5-12
tahun, namun Pediatric Advanced Life Support (PALS)
menyatakan pediatric airways dapat dilakukan pada
usia 1-8 tahun. Kebanyakan pendekatan konservatif
menggunakan usia 12 tahun sebagai batas. Di bawah
usia tersebut, disarankan untuk melakukan krikotirotomi
jarum karena ukuran membran krikotiroid yang masih
kecil serta laring yang masih berbentuk tabung.
Krikotirotomi jarum dapat digunakan sampai 40
menit, sementara krikotirotomi surgikal dapat digunakan
lebih lama. Walau begitu, trakeostomi disarankan untuk
dipasang segera dalam waktu 24 jam.
Setelah krikotirotomi terpasang, ada beberapa hal
yang harus dipantau untuk memastikan bahwa pipa
trakea telah terpasang dengan baik. Hal-hal yang harus
dinilai adalah sebagai berikut:
1. Observasi gerakan bilateral dinding dada, pastikan
bahwa gerakannya simetris
2. Auskultasi kedua lapang dada, pastikan bahwa bunyi
napas sama kuatnya. Lakukan auskultasi abdomen
3. Auskultasi bunyi napas
4. Perhatikan warna kulit dan bibir
Bila ditemukan adanya kelainan atau kejanggalan,
segera lakukan tata laksana untuk memperbaiki kondisi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Effective use of oropharyngeal airway and nasopahryngeal
airways. Diunduh dari https://acls.com/free-resources/
knowledge-base/respiratory-arrest-airway-management/
nasopharyngeal-oropharyngeal-airways
2. Doherty JS, Froom SR, Gildersleve CD. Pediatric
Pediatric laryngoscopes and intubation aids old and
new. Pediatric Anesthesia 2009; 19 (S1):30-7. doi:
10.1111/j.1460-9592.2009.03001.x
38. 29
PENDAHULUAN
Menurut data di Amerika, lebih dari 20.000 bayi dan
anak mengalami henti jantung setiap tahunnya. Penyebab
terjadinya henti jantung pada bayi dan anak berbeda
dengan dewasa. Penyebab terbanyak henti jantung
pada bayi dan anak adalah karena gangguan pernapasan
(hipoksia) misal sindrom bayi mati mendadak (Sudden
Infant Death Syndrome – SIDS), penyakit pernapasan,
sumbatan saluran napas (termasuk aspirasi benda asing)
dan tenggelam serta kegagalan sirkulasi yang juga didasari
oleh ketidak seimbangan antara penghantaran oksigen
dan konsumsi oksigen. Sehingga pemberian bahtuan
napas (ventilasi) merupakan hal yang penting dilakukan
dalam tatalaksana henti jantung pada anak.1-4
Cara pemberian bantuan napas dan kompresi yang
benar dapat dipelajari dari berbagai macam panduan
yang telah dikeluarkan oleh beberapa perkumpulan,
seperti European Resuscitation Council (ERC) yang
mengeluarkan panduan tentang Pediatric Basic Life
Support (PBLS) dan Pediatric Advanced Life Support
(PALS) yang secara berkala diperbaharui, yaitu pada
tahun 1994, 1998, 2000, 2005, 2010, 2015 dan terbaru
adalah 2021. Panduan resusitasi juga dikeluarkan oleh
American Heart Association (AHA) yaitu pada tahun
1995, 2000, 2005, 2010, 2015 dan terakhir tahun 2020.
Panduan-panduan ini diperbaharui sesuai dengan kondisi
kesehatan di seluruh dunia.5,6
Saat ini angka keberhasilan resusitasi pada pasien
anak dengan henti jantung di rumah sakit mengalami
perbaikan hingga dua kali lipat selama 20 tahun ini, yaitu
19% menjadi 38%, tetapi angka keberhasilan resusitasi
di luar rumah sakit hanya meningkat tidak lebih dari 3%,
yaitu dari 6,7% menjadi 10,2%. Dengan pengenalan dini
pada henti jantung anak dan tindakan resusitasi jantung
paru anak yang berkualitas tinggi dapat membantu
meningkatkan angka kesintasan henti jantung pada anak.
Untuk itulah perlu dipelajari tentang cara melakukan
bantuan hidup dasar yang benar baik oleh dokter,
paramedis maupun awam, dalam rangka meningkatkan
angka keberhasilan resusitasi pada anak dengan henti
jantung. 4
BANTUAN HIDUP DASAR
Resusitasi jantung paru adalah upaya pertolongan pada
henti jantung yang bertujuan untuk mengembalikan
pernapasan dan sirkulasi agar oksigen dapat mengalir ke
jantung, paru, otak dan organ vital lainnya.6
Ada 2 fase dalam resusitasi jantung paru, yang
pertama adalah bantuan hidup dasar (BHD) dan yang
kedua adalah bantuan hidup lanjut. Perbedaan antara
bantuan hidup dasar dan lanjut ini terletak pada
jenis alat yang digunakan, pada bantuan hidup dasar
biasanya dikerjakan tanpa menggunakan alat, kalaupun
menggunakan alat, hanya terbatas pada alat bantu napas
sederhana, yaitu bag valve mask (BVM). Sedangkan
bantuan hidup lanjut sudah menggunakan alat yang
lebih lengkap dan ditunjang dengan obat-obatan.6,7,9,10
Terdapat beberapa perbedaan pendekatan BHD
pada bayi (usia 1-11 bulan) dan anak (usia > 1 tahun).
BAB 6
Bantuan Hidup Dasar
39. 30 BAB 6: Bantuan Hidup Dasar
Perbedaan mendasar terutama pada teknik dasar
pemberian bantuan ventilasi dan cara melakukan pijat
jantung luar. European Resuscitation Council pada
tahun 2021 ini telah merilis panduan BHD terkini
dengan perubahan mendasar pada penilaian respon/tanda
kehidupan (tanpa melakukan penilaian nadi) setelah
pemberian 5 bantuan napas (rescue breaths). Kompresi
segera dilakukan bila setelah pemberian 5 bantuan napas
tidak terlihat respon/tanda-tanda kehidupan.6,7,9,10
ALUR BANTUAN HIDUP DASAR
Pemberian bantuan hidup dasar dimulai dengan menilai
kesadaran dari pasien, yang dilanjutkan sesuai dengan
alur yang digambarkan pada gambar 1. Alur bantuan
hidup dasar ini dapat disesuaikan dengan tingkat
kemahiran dari penolong (profesional medis atau awam),
ketersediaan alat, jumlah penolong dan kemungkinan
resiko penularan infeksi.6-7
Pemeriksaan Kesadaran6-7
Pemeriksaan kesadaran yang dilakukan adalah dengan
metode AVPU (alert,verbal, pain, unresponsive), yaitu
dengan memberikan stimulasi verbal atau nyeri pada
pasien yang diperiksa. Stimulasi verbal dapat dilakukan
dengan memberikan pertanyaan, sedangkan stimulasi
nyeri dengan menekan/menggosok sternum atau dengan
menekan jari. Korban yang sadar dapat bergumam atau
menggerakan bagian tubuhnya sebagai respon terhadap
stimulasi verbal atau nyeri.
Apabila kita kesimpulan dari pemeriksaan kesadaran
tadi menunjukkan pasien tidak sadar, maka dilanjutkan
dengan pendekatan HATI sebelum membuka jalan
napas.
Pendekatan HATI
Pendekatan HATI ini terdiri dari:
– Hubungi bantuan
– Amankan diri dan lingkungan (tempatkan pasien
di tempat yang datar dan keras dan dalam posisi
terlentang)
– Tidak membahayakan pasien (misal. pada pasien
dengan riwayat trauma, jika harus membalikkan
pasien lakukan seminimal mungkin menggerakkan
leher dan kepala)
– Investigasi ABC (Airway, Breathing dan Circulation)
Pembukaan Jalan napas6-7
Pada kondisi tidak sadar, maka bayi dan anak akan
kesulitan dalam menjaga jalan napas tetap terbuka,
karena leher mudah tertekuk, lidah jatuh ke belakang dan
terjadi aspirasi akibat muntah.
Teknik yang dapat dilakukan untuk membuka
jalan napas pada bayi dan anak yang tidak sadar adalah
dengan teknik head tilt–chin lift (gambar 2), teknik ini
dapat dilakukan pada pasien yang TANPA atau TIDAK
dicurigai trauma. Saat melakukan tindakan ini, hindari
Gambar 1. Alur Bantuan Hidup Dasar
Anak Tidak Sadar
Hubungi bantuan
Amankan diri dan lingkungan
Tidak membahayakan pasien
Investigasi ABC
Buka jalan napas
5 bantuan napas (oleh 2 orang)
Tanda kehidupan?
RJP 15:2
Pasang monitor AED
Evaluasi kesadaran
Pendekatan HATI
Airway
Breathing
Circulation
40. 31
APRC
tindakan menekan jaringan lunak dibawah dagu, karena
akan menyebabkan sumbatan jalan napas. Posisi kepala
bayi dan anak harus lurus dengan melihat posisi telinga
lurus dengan sternal notch atau kita sebut dengan posisi
menghidu.
Untuk pasien yang dicurigai atau dengan riwayat
trauma, maka membuka jalan napas dapat dilakukan
dengan Jaw Thrust (gambar 3). Yaitu dengan cara
penolong berdiri di sisi atas kepala pasien dan letakkan
telapak tangan penolong di pelipis pasien dan jari-jari
Anda di bawah ramus mandibula. Angkat mandibula ke
atas dengan jari-jari penolong, setidaknya sampai gigi seri
bawah lebih tinggi dari gigi seri atas.
Penilaian ada tidaknya usaha napas6-7
Dari panduan yang telah ada baik dari ERC maupun
AHA 2020 merekomendasikan penilaian usaha napas
hanya dengan melihat apakah ada tanda pasien bernapas
dengan adekuat. Sambil membuka jalan napas, nilai
apakah anak apnea atau gasping. Jika anak tidak sadar
namun bernapas normal, posisikan anak pada posisi
pemulihan.
Posisi pemulihan dilakukan dengan cara: pasien
dimiringkan ke salah satu sisi, lengan dan tungkai sisi atas
ditekuk ke depan tubuh, punggung tangan diletakkan
di bawah pipi, dan kepala agak didongakkan (ekstensi
ringan) agar sudut leher terbuka. Pada kecurigaan cedera
Gambar 2. Membuka jalan anpas dengan manuver head tilt Gambar 3. Membuka jalan napas dengan manuver Jaw thrust
Gambar 4. Posisi pemulihan (recovery position)
41. 32 BAB 6: Bantuan Hidup Dasar
kepala, hindari melakukan mobilisasi ini. Apabila terpaksa
dilakukan (misalnya risiko aspirasi karena anak muntah),
penolong yang lain membantu mempertahankan leher
anak tetap sejajar dengan kepala saat dimiringkan dan
tetap sejajar pada posisi pemulihan (Gambar 4).
Jika pernapasan tidak normal (apnea atau gasping,
agonal, tidak efektif ) berikan 5 kali bantuan napas (rescue
breath) dimana satu bantuan napas diberikan tiap 2 – 3
detik (20-30 kali per menit).
Pemberian bantuan napas6-7
Pemberian bantuan napas dengan menggunakan bag
valve mask (BVM) merupakan metode lini pertama yang
direkomendasikan untuk digunakan. Apabila ventilasi
sulit atau berisiko untuk transmisi penyakit menular
maka bantuan napas akan lebih efektif bila dilakukan oleh
dua penolong. Penolong pertama melekatkan sungkup
ke wajah pasien dengan kedua tangan untuk mencegah
kebocoran ventilasi yang diberikan, sementara penolong
kedua memberikan ventilasi tekanan positif (gambar
5). Apabila hanya ada satu penolong yang melakukan
bantuan napas, pelekatan sungkup ke wajah dilakukan
menggunakan satu tangan dengan teknik CE-clamping
(Gambar 5). Pilih ukuran sungkup (masker) yang sesuai
sehingga menutup mulut, hidung.
Amati dan pastikan pengembangan dada setiap kali
pemberian bantuan napas. Bila dada tidak mengembang,
maka perbaiki posisi kepala, periksa pelekatan sungkup
di wajah, kalau perlu coba berikan tekanan ventilasi
yang lebih besar. Apabila dada tetap tidak mengembang,
pikirkan kemungkinan sumbatan jalan napas.
Periksa tanda kehidupan6-7
Setelah memberikan 5 bantuan napas, periksa tanda-
tanda kehidupan pada pasien, yaitu anak bergerak,
terbatuk-batuk atau kembali bernapas normal. Apabila
anak tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan setelah
pemberian bantuan napas, segera lakukan resusitasi
jantung paru sembari kembali menghubungi/ memanggil
bantuan. Apabila tersedia monitor EKG, segera pasang
monitor untuk menilai ritme jantung sambil mulai
lakukan resusitasi jantung paru.
Resusitasi jantung paru7,8
Resusitasi jantung paru dilakukan dengan rasio 15:2
oleh dua penolong. Terdapat beberapa perbedaan teknik
kompresi pada bayi dan anak. Titik kompresi dada pada
bayi adalah 1 jari di bawah garis imajiner intermamae
sedangkan pada anak pada pertengahan bawah sternum.
Teknik kompresi pada bayi dapat dilakukan dengan
menggunakan dua ibu jari atau dua jari dari satu tangan
(jari telunjuk dan tengah), sedangkan pada anak teknik
kompresi dilakukan menggunakan satu atau dua tangan.
Teknik kompresi menggunakan dua tangan lebih optimal
dari pada kompresi satu tangan.
Gambar 5. Teknik pemberian bantuan napas dengan A. Satu orang penolong, B. Dua orang penolong
A B
42. 33
APRC
Bantuan hidup dasar dilakukan dengan prinsip
resusitasi dengan kualitas baik (high quality CPR)
yaitu push hard and fast yang dilakukan secara efektif
dengan kedalaman kompresi mencapai 1/3 diameter
anteroposterior rongga toraks atau kedalaman 4 cm pada
bayi dan 5 cm pada anak. Frekuensi kompresi diberikan
dengan kecepatan 100-120 kali per menit. Pastikan
dada kembali mengembang penuh (complete recoil)
untuk mengoptimalkan aliran balik ke jantung (venous
return) pada fase dekompresi dan isi sekuncup pada fase
kompresi berikutnya. Usahakan tanpa atau minimal
interupsi selama melakukan resusitasi. Selama resusitasi
jantung, hindari hiperventilasi yang akan menghambat
venous return.
Resusitasi dapat dihentikan apabila pasien tetap
asistole setelah 20 menit melakukan resusitasi optimal dan
tidak ditemukan adanya penyebab asistole atau ada tanda
kehidupan (misal. batuk, bergerak, bernapas, dll) atau ada
penolong lain yang datang dengan kemampuan minimal
setara dengan penolong awal atau penolong kelelahan
dan secara fisik tidak dapat melanjutkan resusitasi.8,11
Pada sarana atau fasilitas kesehatan, bila orang tua
menolak dan menandatangani surat penolakan, maka
resusitasi jantung paru boleh tidak dilakukan, terutama
pada pasien dengan penyakit terminal atau kelainan
genetik yang bersifat letal.6
TATALAKSANA SUMBATAN JALAN
NAPAS
Mengenali tanda sumbatan benda asing jalan
napas pada anak
Aspirasibendaasingaspirasibendaasingpadasalurannapas
merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia,
terutama pada populasi anak-anak. Faktor predisposisi
pada bayi dan anak adalah karena mereka belajar
mengenali benda dengan cara memegang, mencium dan
merasakan (memasukkan benda dalam mulut) dan anak
sangat aktif (berteriak, menangis, berlari) dengan benda
di dalam mulut. Kasus tersering adalah pada anak usia 6
bulan sampai 4 tahun. Angka kejadian terbanyak adalah
aspirasi karena kacang, disebabkan karena gigi geligi dan
reflek menelan belum sempurna.
Tanda dini yang dapat kita kenali adalah apabila
ada gejala batuk, tersedak, suara stridor atau gawat napas
yang timbulnya mendadak tanpa disertai ada riwayat
sakit sebelumnya dan didapatkan riwayat bermain atau
memakan benda kecil sesaat sebelum gejala timbul.
Tatalaksana sumbatan benda asing jalan
napas pada anak
Pada kondisi anak masih dapat batuk efektif, yaitu
batuk dengan kuat dan dapat menarik napas dahulu
sebelum batuk dan masih sadar baik (pasien masih
dapat menangis dengan bersuara atau berbicara),
tidak diperlukan tatalaksana khusus, hanya penolong
mengupayakan agar anak tetap batuk secara efektif,
untuk meningkatkan tekanan intrathorakal dengan
tujuan mengeluarkan benda asing terdorong keluar dari
jalan napas. Tetapi tetap harus dievaluasi apabila terjadi
perubahan kondisi dari pasien, apakah batuk menjadi
tidak efektif. Bila dalam evaluasi batuk menjadi tidak
efektif, dimana batuk menjadi tidak bersuara, tidak
dapat bersuara, kesulitan bernapas atau sianosis, tetapi
anak masih dalam kondisi sadar, maka penolong harus
segera memberikan pertolongan dengan melakukan
manuver 5 kali back blows. Bila setelah 5 kali back blows
tidak dapat melepaskan benda asing di saluran napas,
maka dilanjutkan dengan melakukan 5 kali chest thrust
(untuk bayi usia <1 tahun) atau abdominal thrust (untuk
anak > 1 tahun). Lanjutkan back blows dan chest thrust/
abdominal thrust bila benda asing yang menyumbat jalan
napas belum keluar. Tetap evaluasi berkala untuk melihat
kondisi pasien. Kondisi hipoksia akan terjadi bila benda
asing tetap menyumbat jalan napas dalam waktu yang
panjang, hal ini dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
yang berakhir pada kegagalan jantung paru. Pada kondisi
ini biasanya pasien akan mulai mengalami penurunan
kesadaran, maka segera periksa kesadaran dan meminta
tolong penolong lain untuk memanggil ambulans dan
penolong pertama dapat langsung melanjutkan tindakan
sesuai dengan alur bantuan hidup dasar (gambar 1). Alur
43. 34 BAB 6: Bantuan Hidup Dasar
Gambar 6. Alurtatalaksana sumbatan benda asing jalan napas
• Batuk, tersedak
• Onset tiba-tiba
• Riwayat bermain/makan benda kecil
KECURIGAAN SUMBATAN BENDA ASING JALAN NAPAS
BATUK TIDAK EFEKTIF
• Tidak bisa bersuara/menangis
• Batuk tidak bersuara
• Kesulitan bernapas, sianosis
BATUK EFEKTIF
• Bisa bersuara (menangis, menjawab)
• Batuk kuat
• Bisa bernapas baik
• Sadar
TIDAK SADAR
BHD
SADAR
•BAYI :
• 5 Back blow
• 5 Chest thrust
• ANAK (>1TAHUN)
• 5 Abdominal
thrust/Heimlich
Manouver
UPAYAKAN BATUK
• RE-EVALUASI
• Perburukan
• Batuk jadi tidak efektif
• Teratasi
tatalaksana sumbatan benda asing dapat dilihat pada
gambar 6.7,8
Cara melakukan back blows :
– Padabayi:denganmeletakkanbayitengkurapdisangga
oleh lengan bawah dan paha penolong dan posisi
kepala lebih rendah dari pada badan. Beri 5 pukulan
di antara kedua belikat dengan menggunakan tumit
tangan penolong (gambar 7).
– Pada anak: dengan memposisikan anak setengah
berdiri dengan penolong berada di belakang anak
dan menyangga tubuh anak dengan lengannya,
berikan 5 pukulan diantara kedua tulang belikat.
Cara melakukan thrust :
– Chest Thrust : setelah melakukan 5 kali back blows,
bila benda asing belum keluar maka balik badan
bayi dalam posisi terlentang, lalu lakukan dengan
cara seperti kita melakukan kompresi jantung
pada resusitasi jantung paru, tetapi lebih lambat,
1 kompresi setara 1 detik dan lakukan dengan
menghentak (gambar 7).
– Abdominal thrust : setelah melakukan 5 kali back
blows, letakkan kedua tangan kita dengan posisi satu
tangan mengepal dan tangan satunya mencengkram
kepalan diletakkan di atas perut diantara processus
xyphoideus dan umbilikus, lalu hentakkan 5 kali ke
arah atas (gambar 7).
RESUSITASI JANTUNG PARU MASA
PANDEMI
Pandemi COVID-19 ini membuat perubahan alur
penanganan anak dengan henti jantung. Selain itu
pandemi mempengaruhi keberhasilan resusitasi dan
angka kesintasan henti jantung secara umum. Hal ini
disebabkan karena keterlambatan keluarga mencari
pertolongan karena kuatir akan situasi pandemi, serta
keterlambatan resusitasi karena proses pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) yang membutuhkan waktu dan
keengganan penolong melakukan resusitasi terkait risiko
penularan infeksi.