1. Bumi “Memanas” Menjadi Komoditas dan
Petani Meringis
Oleh: David Rajagukguk
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi dengan anggota kelompok dampingan KSPPM pada
berbagai kesempatan baik Samosir, Tapanuli Utara dan di Humbang Hasundutan serta
merupakan cacatan kritis terhadap proses carbon trade (perdagangan karbon) dalam rangka
pelestarian lingkungan untuk menghambat kerusakan bumi ini. Berbicara tentang pemanasan
global saat ini bukanlah sekedar isu yang hanya hangat diperbincangkan di tingkat pejabat
antar negara tetapi juga petani kecil yang menggantungkan pola tanamnya berdasarkan
musim dan sudah menjadi pengetahuan turun temurun. Perbincangan tentang pemanasan
Global sudah berkali-kali dilakukan diberbagai negara dalam rangka penyelamatan bumi ini
dari kehancuran. Tetapi setiap harinya perusakan lingkungan terus terjadi dibelahan dunia
manapun di bumi ini. Hampir setiap hari, perusahan tambang yang ada di berbagai belahan
dunia ini menambah luas konsesi wilayah pertambangannya. Berbagai barang tambang
dieksploitasi dari berbagai perut bumi, belum lagi hutan yang juga sudah menjadi komoditas
perdagangan. Setiap harinya ada saja hutan yang kehilangan fungsinya karena alih fungsi
menjadi area perkebunan khususnya di Asia, terkhusus Indonesia. Selain itu huta beralih
fungsi juga menjadi lahan Hutan Tanaman Industri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
kertas. Hal diatas masih merupakan usaha yang legal, belum lagi kegiatan ilegal yang
merusak lingkungan.
Selain kegiatan pertambangan dan penggundulan hutan untuk Hutan tanaman Industri serta
perkebunan, banyaknya pabrik yang bertumbuh juga menjadi salah satu penyebab utama
terjadinya pemanasan global. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin hari semakin banyak
dan juga menimbulkan masalah baru diperkotaan, yaitu menimbulkan kemacetan. Emisi CO2
dari kendaraan bermotor juga menjadi faktor yang mendorong terjadinya pemanasan global.
Tidak terlepas dengan bidang pertanian dan peternakan. Pemakaian Pupuk kimia yang
semakin hari semakin meningkat oleh petani di berbagai belahan bumi ini turut serta
menyumbang pemanasan global. Akan tetapi pada dasarnya, penyebab pemanasan global
adalah kerakusan manusia itu sendiri terhadap bumi ini. Kebijakan pembangunan dan
ekonomi lebih kepada berbicara modal saja, tidak memperhatikan bagaimana
keberlangsungan bumi ini. Pada masa sekarang ini kita bersama bisa melihat bagaimana
banyaknya program-program yang didanai berbagai lembaga dari negara-negara maju kepada
negara-negara berkembang seperti Indonesia agar dilakukannya program perlindungan
terhadap hutan. Tetapi hal ini masih menjadi perdebatan yang panjang, dimana negara maju
dengan modal yang dimilikinya memberikan dana hibah baik pinjaman kepada negara
berkembang untuk melestarikan Hutan. Tetapi dilain sisi dengan modal yang mereka miliki,
banyak pemodal dari negara-negara maju yang menanamkan modal dinegara berkembang
untuk Perkebunan, Hutan Tanaman Industri dan juga Pertambangan.
Melihat hal diatas, seolah-olah negara-negara berkembang dengan hutan yang dimilikinya
menjadi sapi perahan untuk melestarikan hutan sebagai penyangga kebutuhan oksigen/udara
di dunia ini. Ketika negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas, hutannya terbakar
dan proses pelestarian hutannya didanai oleh negara maju, apa yang terjadi? Negara-negara
maju akan berusaha melakukan penekanan terhadap negara tersebut. Dilain pihak pengusaha
mereka terus melakukan pengerukan hasil bumi dari negara-negara berkembang dan hampir
2. tiap tahun selalu ada perusahan baru dengan izin baru melakukan pengerukan hasil bumi di
negara berkembang. Dengan kata lain, negara maju seolah memiliki hak mutlak terhadap
bumi ini dengan modal yang mereka miliki. Dan ada seorang teman yang mengandaikan
proses penyelamatan bumi ini dari kehancuran seperti seorang Bapak yang dukung anaknya
untuk maju tetapi harus sesuai dengan apa yang diinginkannya, bukan apa yang diinginkan
serta talenta yang dimiliki anak tersebut.
Dampak bagi Petani
Semua kita merasakan dampak dari pemanasan global ini, tidak satupun tnapa terkucuali
yang masih hidup di bumi ini. Dari kota sampai desa, kita bisa lihat dampaknya, mulai dari
longsor, banjir bandang, banjir diperkotaan, dan lain sebagainya yang menimbulkan kerugian
dan banyak korban jiwa.
Bagi petani musim merupakan guru terbaik dalam bertani dan menentukan pola tanam
sendiri. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini (kurang lebih 10 tahun terakhir), petani
seakan kehilangan pengetahuannya. Biasanya Januari-Juli dikategorikan musim kemarau dan
Agustus menjadi musim awal hujan sampai dengan Desamber. Tetapi hal itu tidak lagi terjadi
sekarang ini. Musim yang tidak jelas lagi membuat petani sering melakukan perubahan pola
tanam dan ini sangat erat pengaruhnya terhadap produksi yang diperoleh dan termasuk
terhadap ekonomi petani itu sendiri. Akibatnya pendapatan petani menurun dan
ketergantungan petani terhadap renternir semakin tinggi. Menurut pengakuan petani
dampingan KSPPM yang ada di Samosir, Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara,
semakin tahun petani tidak lagi dapat memenuhi kebutuhanya. Hasl pertanian mereka
menurun drastis. Mereka menduga, cuaca yang tidak jelas menjadi salah satu faktor penyebab
menurunnya hasil pertaniannya. Selain cuaca yang tidak menentu, asupan pupuk kimia juga
dikhawatirkan menjadi salah satu penyebab menurunnya hasil pertanian. Peningkatan
kebutuhan akan penggunaan pupuk menyebabkan petani harus berusaha mencari pinjaman
modal untuk memenuhi pupuk dan pestisida untuk lahan dan tanaman pertniannya.
Akibat perubahan cuaca yang tidak lagi dapat diprediksi petani, mengakibatkan tidak jarang
petani mengalami gagal panen. Serangan hama yang semakin bervariasi, bahkan sebelumnya
hama tersebut tidak ada. Hama-hama baru ini membuat petani harus beruji coba terhadap
pestida-pestisida baru dengan harga yang sangat mahal. Hal ini dilakukan hanya untuk satu
harapan, hasil pertanian mereka dapat memberikan mereka kehidupan. Harga-harga
pestisida dan pupuk kimia yang sangat mahal ini membuat timbulnya ketergantungan baru
terhadap toke-tike dari toko pupuk. Harapan hasil pertanian dapat memberinya kehidupan
akhirnya berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan petani.
Kerusakan tanaman yang dirasakan oleh Petani di daerah Samosir sesuai dengan apa yang
diceritakan petani kelompok dampingan KSPPM kepada saya misalnya, untuk tanaman kopi.
Permasalahan utama tanaman kopi di Samosir saat ini adalah banyaknya penggerek buah,
bunga kopi beguguran, batang kopi menghitam dan berlumut. Jenis hama dan penyakit
tanaman kopi ini sebelumnya tidaklah seperti sekarnag ini mewabah. selain itu hujan yang
tidak menentu datang (tidak sesuai musimnya) menyebabkan bunga kopi berguguran.
Akibatnya, petani sangat merasakan penurunan produksi kopi secara drastis. Penurunan hasil
ini menyebabkan perekonomian mereka semakin terpuruk dan berpengaruh sekali terhadap
kehidupan keseharian mereka.
3. Apa yang dialami oleh petani di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan tidak jauh
berbeda dengan yang dialami oleh petani di Samosir. Berbagai penyakit tanaman yang
sebelumnya ada. Hal ini menyebabkan petani semakin terlilit dengan hutang terhadap
rentenir. Banyak tanaman padi yang mengalami penurunan hasil akibat cuaca yang tidak jelas
dan juga asupan pupuk serta pestisida kimia yang setiap tahunnya meningkat termasuk
harganya. Hal ini secara langsung mempengaruhi kehidupan petani.
Apa yang harus dilakukan?
Apa yang harus dilakukan oleh Petani itu sendri terhadap kondisi ini? Pertanian organik/
Pertanian Selaras Alam (PSA) dapat menjadi sebuah solusi yang dapat membantu petani
dalam mengatasi pemanasan global ini dan juga dalam mengembalikan kesuburan tanah.
Persoalannya petani kita melihat pertanian Organik adalah sebuah usaha yang membuang
banyak waktu dan tenaga. Hal ini disebabkan petani saat ini hanya menanam komoditas yang
menjadi kebutuhan pasar yang artinya hanya untuk tujuan ekonomi saja. Petani tidak lagi
memikirkan hasil pertaniannya yang utamanya adalah untuk dikonsumsi. Ketika berbicara
pertanian organik petani juga hanya memikirkan pasar yang berbeda dengan hasil pertanian
konvensional. Seharusnya petani saat ini mulai memikirkan bagaimana menghargai tanah
sebagai berkah yang memberikan mereka hidup bukan sebagai wadah yang dieksploitasi
secara terus menerus untuk memenuhi kehidupan. Konsep keselarasan manusia dengan
alam/ciptaa Tuhan harus menjadi pegangan yang mendasar dalam setiap kehidupan kita
termasuk petani.
Bagaimana dengan pemerintah? Sudah saatnya pemerintah tidak berpikir praktis dalam
melakukan pengembangan pembangunan termasuk dalam pelestarian lingkungan. Pemerintah
tidak hanya berpikir bahwa ada anggaran/dana yang tersedia bari berbagai negera donor
dalam pelestarian lingkungan yang bertujuan untuk mengurangi peningkatan emisi karbon.
Berbagai program yang ada dari pemerintah dan juga negara donor seharusnya dilakukan
sebagai sebuah program yang mendidik dan membantu proses kemandirian petani secara
ekonomi dan juga pembangunan mulai tingkat desa samai tingkat nasional. Pemikiran
program pelestarian lingkungan dalam rangka pengurangan emisi karbon adalah sekedar
sebuah proyek adalah pemikiran yang sangat dangkal. Tetapi seharusnya program itu harus
terintegrasi terhadap masyarakat dengan tidak mengabaikan hak-hak dasar dari masyarakat
itu sendiri. Program yang ada juga harus terintegrasi dengan sumber daya alam yang ada.
Adanya pemahaman yang sama antara Pemerintah dengan masyarakat menjadi kekuatan
penting dalam pelaksanaan pembangunan sehingga tidak ada yang harus terpinggirkan.