Dokumen ini membahas tentang spirit bela negara dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ada empat langkah yang dianjurkan yaitu memegang teguh tradisi nasional, mengekspresikan emosi secara tepat, membangun solidaritas, dan bersiap untuk bangkit pasca krisis. Spirit bela negara tidak hanya melalui aksi heroik tetapi dengan berbuat kebaikan untuk sesama.
2. 2
MAR 18, 2020 pripos.id
Thobib Al Asyhar*
Upaya mencegah penyebaran Covid-19 terus dilakukan. Berbagai kebijakan pemerintah
telah dikeluarkan. Dari imbauan, mitigasi bencana, hingga keputusan strategis, seperti
penutupan tempat wisata, meliburkan sekolah, pembelajaran online, dan lain-lain.
Presiden pun telah menyampaikan maklumat. Sebagian masyarakat merespon dengan
enggan keluar rumah.
Pemerintah terus berupaya agar kekhawatiran secara massif terhadap penularan virus
tidak berkepanjangan. Namun, di media sosial tetap saja muncul info-info hoax dan hate
speech dari netizen yang sangat meresahkan. Bahkan masih banyak cacian dan
umpatan kepada pemerintah karena dianggap kurang cepat bertindak.
Situasi ini semakin runyam oleh ulah oknum tak bertanggungjawab yang menjadikan
wabah Corona sebagai “senjata” untuk menyerang pemerintah. Meski, ada pula yang
secara tajam mengkritik kebijakan pemerintah dengan memperhatikan fatsun ketimuran.
Terlepas dari fakta-fakta tersebut semestinya wabah Corona ini menjadi momentum
untuk mengukuhkan kebersamaan kita sebagai bangsa besar. Indonesia adalah negara
yang sangat luas dan terbentang pulau-pulau, dengan pintu perlintasan penduduk antar
negara cukup banyak. Tentu kritik terhadap kebijakan pemerintah bukan hal yang haram
dalam iklim demokrasi. Hanya saja perlu kita pahami bahwa ini adalah tragedi
kemanusiaan global yang harus disikapi bersama secara kompak, bukan
mengungkapkan hate speech di ruang publik di tengah kegalauan masyarakat.
Bencana wabah penyakit Covid-19 yang melanda dunia ini pasti tidak ada orang waras
yang menghendaki. Kejadian ini harus dijadikan momentum untuk merenung dengan
menambah insight tentang kekurangan diri. Tentu tidak semua orang memiliki bahan
renungan sama, karena setiap person memiliki latar belakang dan kemampuan yang
berbeda.
Sebagai bangsa besar, kita tidak sepatutnya saling kutuk. Tidak perlu saling
menyalahkan antar komponen bangsa. Ada ungkapan bijak bilang begini: lebih baik
menyalakan lilin di tengah kegelapan daripada mengutuk kegelapan itu sendiri. Lebih
baik berbuat kebaikan meski kecil dari pada tidak sama sekali. Waktunya untuk
3. 3
mengkonsolidasikan kekuatan dengan saling menguatkan dan memberi support agar
krisis ini segera berlalu.
Spirit Bela Negara Sebuah negara akan dinilai besar jika mampu melewati krisis besar
dengan baik. Indonesia pernah mengalaminya saat reformasi bergulir, di mana ancaman
perpecahan begitu nyata pasca kerusuhan Mei 1998. Meski harus memakan korban
sebagian anak bangsa, namun pada akhirnya Indonesia mampu melewati dengan mulus,
bahkan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India.
Kejadian yang hampir sama sedang kita hadapi saat ini, yaitu penyebaran virus Corona
global yang membuat resah seluruh mayarakat. Akankah kita mampu melewatinya
dengan baik? Ataukah kita justru semakin terpuruk akibat cara kita yang salah dalam
merespon, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik?
Dalam situasi seperti ini, setiap kita harus memiliki jiwa bela negara. Jiwa bagaimana
negara dan masyarakat tetap kuat dan mampu bertahan untuk melawan virus. Tidak
sepatutnya ada pihak yang “mencari panggung”, menepuk dada dengan menuduh sana
sini. Kita harus banyak belajar dari negara lain dalam mengatasi ancaman serius, seperti
Jepang. Jepang adalah negara yang sangat tangguh dalam menghadapi bencana. Bisa
dikatakan, Jepang sebagai “negara bencana”, namun mereka tetap memiliki spirit untuk
bertahan hidup dengan kekompakan luar biasa dan sikap low profile.
Dalam situasi tidak menentu seperti ini, saatnya semua komponen bangsa untuk saling
menguatkan dan memberikan support dengan spirit bela negara. Jika bukan kita, lalu
siapa lagi yang membela bangsa ini dari keterpurukan? Lupakan kepentingan politik, mari
singsingkan baju untuk negeri tercinta.
Banyak yang bisa kita ambil pelajaran dari Jepang dalam menghadapi musibah luar
biasa, mulai dari gempa bumi, tsunami, dan pernah mendapat ancaman bahaya nuklir di
tengah cuaca dingin dan salju. Hal sama juga mereka telah melewati krisis Covid-19 ini
dengan baik. Cara menghadapi krisis dan bagaimana kita meresponnya benar-benar
akan mengungkapkan siapa kita dan bagaimana kita memandang dunia. Lalu bagaimana
wujud bela negara dalam menghadapi krisis ini?
Pertama, memegangi tradisi dan kepribadian nasional dengan teguh. Kita harus
menambah keyakinan dan memegangi filosofi bangsa kita untuk menerima bahwa
musibah adalah hal yang tidak dapat dihindari. Meskipun Covid-19 ini menjadi ancaman
4. 4
nyata, kita tidak perlu menyalahkan siapapun, baik Tuhan atau pemerintah. Kita perlu
membangun kepribadian yang berbasis pada perilaku yang tenang, santun, sopan,
menghormati otoritas, dan kepatuhan terhadap aturan.
Sebagai bangsa besar yang memiliki banyak “wisdom”, kita perlu mengembangkan
budaya bangsa seperti sikap tabah, tertib, rendah hati, dan tidak mengekspresikan emosi
negatif di ruang publik. Sepatutnya dalam keadaan darurat, kita mesti tunjukkan situasi
damai, kompak, patuh, dan mampu untuk bangkit.
Kedua, mengekspresikan emosi secara tepat. Media sosial memang ruang bebas bagi
setiap orang untuk mengekspresikan sikap, apapun. Namun itu bukan satu-satunya
fungsi sehingga bisa menimbulkan persoalan. Apalagi situasi seperti ini semua orang
memiliki sensitifitas tinggi. Melihat atau mendengar orang bersin dan batuk saja sudah
curiga. Belum telah disosialisasikan untuk tidak berjabat tangan dan cipika cipiki
sementara waktu. Bahkan sholat Jumat pun diperbolehkan MUI untuk diganti dengan
sholat dzuhur dalam siatuasi yang pandemic di suatu wilayah.
Sebagai bangsa Timur, Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang sangat panjang untuk
mengekspresikan perasaan secara halus. Menghadapi bencana seperti ini, kita semua
perlu tenang dan melakukan tindakan yang efektif dan efisien untuk mencegah penulisan
virus. Imbauan pemerintah agar kita mengurangi aktifitas di keramaian perlu dilakukan
sambil merekatkan hubungan keluarga.
Ketiga, membangun solidaritas dan empati kepada sesama anak bangsa. Saat ada
sebagian masyarakat terpapar virus dan ancaman penularan nyata dalam pergaulan,
maka yang dibutuhkan adalah sikap empati kepada orang lain. Jangan ada yang ingin
selamat sendiri. Saat seseorang mengalami sakit batuk, demam, dan indikasi flu, maka
dengan penuh kesadaran diri agar mematuhi protokol kesehatan, misalnya
menggunakan masker, menjauh dari kerumunan dan lain-lain.
Demikian juga perilaku ekonomi tidak sepantasnya ada yang aji mumpung dengan
menimbun barang yang dibutuhkan publik selama krisis, seperti masker, sembako, dan
lain-lain. Situasi ini tentu akan menghambat atau membuat sebagian orang sulit, seperti
kehilangan pekerjaan, kekurangan order, dan seterusnya. Inilah setiap kita dibutuhkan
“sense” untuk menyikapi krisis ini dengan bijak.
5. 5
Keempat, perlunya kesiapan untuk bangkit kembali pasca krisis Covid-19. Belajar dari
pengalaman negeri Jepang yang bangkit secara mengagumkan pasca gempa 1923 yang
melanda Tokyo, dengan korba jiwa sekitar 142.000, bahkan lebih besar dari korban tewas
akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Dunia telah mengakui ketangguhan Jepang
dalam membangkitkan warga pasca krisis.
Kesiapan terhadap situasi darurat harus melahirkan kesiapan publik dalam menghadapi
segala kemungkinan. Apalagi Indonesia adalah negeri yang rawan bencana, sehingga
masyarakat perlu menyiapkan diri atas segala kemungkinan wabah penyakit atau
bencana yang akan terjadi. Kesiapan psikologis secara lebih matang akan
mendewasakan dalam menyikapi bagaimana membangun spirit pasca krisis.
Empat langkah tersebut merupakan bagian dari cerminan sikap bela negara dalam masa
krisis Covid-19 ini. Bela negara tidak selalu dalam bentuk aksi-aksi heroik seperti masa
perjuangan kemerdekaan, namun setiap orang berbuat kebaikan untuk orang lain. Jika
tidak mampu berbuat baik kepada sesama, setidaknya mampu mengendalikan diri untuk
tidak menyakiti orang lain. Wallahu a’lam
*Thobib Al-Asyhar, Peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan I,
Kabag Kerja sama Luar Negeri (KLN) Kemenag