1. Platyhelminthes
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam juga kami limpahkan
kepada Junjugan kita Nabi Muhammad SAW, yang mana beliaulah yang membawa kita dari
alam kegelapan menuju alam terang benderang yakni agama Islam.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis tidak sendiri menyelesaikannya, namun banyak
menerima bimbingan dan bantuan dari semua pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Namun demikian, dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak kekurangannya, maka
kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca yang sifatnya membangun agar dapat
mempernbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat. Atas perhatian pembaca semua, kami ucapkan terima kasih.
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Platyhelminthes adalah cacing daun yang umumnya bertubuh pipih. Cacing ini
merupakan yang paling sederhana diantara semua hewan simetris bilateral. Platyhelminthes
memiliki tubuh padat, lunak, dan epidermis bersilia. Cacing pipih merupakan hewan tripoblastik
yang tidak mempunyai rongga tubuh (acoelomata). Sebagian besar cacing pipih, seperti cacing
isap dan cacing pita adalah parasit. Namun, banyak yang hidup bebas yang habitatnya di air
tawar dan air laut, khususnya di pantai berbatu dan terumbu.
Filum ini terdiri atas 9000 spesies. Pemberian nama pada organisme ini adalah sangat
cepat. Sejumlah besar hewan ini berbentuk hampir menyerupai pita. Hewan ini simetris bilateral
dengan sisi kiri dan kanan, permukaan dorsal dan ventral dan juga anterior dan posterior.
Cacing parasit ini mempunyai lapisan kutikula dan silia yang hilang setelah dewasa.
Hewan ini mempunyai alat pengisap yang mungkin disertai dengan kait untuk menempel. Cacing
pipih belum mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan. Sedangkan sistem
pencernaannya tidak sempurna, tanpa anus. Platyhelminthes terbagi dalam 3 kelas, yaitu Kelas
Turbellaria, Kelas Trematoda dan kelas Cestoda. Untuk lebih mengetahui lebih jauh mengenai
hewan-hewan dalam kelas ini, maka akan di bahas dalam bab II.
B. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari makalah yang terkait dengan Platyhelminthes adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristiknya
2. Untuk mengetahui struktur tubuh Platyhelminthes
3. Dapat mengetahui klasifikasi dari Platyhelminthes
4. Dapat mengetahui bagaimana siklus hidup dari Platyhelminthes
5. Dapat mengetahu peranan Platyhelminthes dalam kehidupan
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik
Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan helminthes =
cacing. Jadi berarti cacing bertubuh pipih. Filum Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000
species, terbagi menjadi tiga kelas; dua yang bersifat parasit dan satu hidup bebas. Planaria dan
kerabatnya dikelompokkan sebagai kelas Turbellaria. Cacing hati adalah parasit eksternal atau
internal dari Kelas Trematoda. Cacing pita adalah parasit internal dari kelas Cestoda. Umumnya,
golongan cacing pipih hidup di sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh
organisme lain. Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat
yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya
(endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes
adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup
di balik lumut lembab (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing
pita.
B. Struktur Tubuh
Platyhelminthes tidak memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut hewan
aselomata.Tubuh pipih dorsoventral, tidak berbuku-buku, simetri bilateral, serta dapat dibedakan
antara ujung anterior dan posterior. Lapisan tubuh tersusun dari 3 lapis (triploblastik aselomata)
yaitu ektoderm yang akan berkembang menjadi kulit, mesoderm yang akan berkembang menjadi
otot – otot dan beberapa organ tubuh dan endoderm yang akan berkembang menjadi alat
pencernaan makanan.
Sistem respirasi Platyhelminthes melalui permukaan tubuhnya. Sistem pencernaan terdiri
dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus), usus bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya.
Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran darah (sirkulasi) dan alat ekskresinya berupa
sel-sel api. Kelompok Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf
tangga tali terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf yang
memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti tangga.Organ reproduksi jantan (testis) dan
organ betina (Ovarium). Cacing pipih dapat bereproduksi secara aseksual dengan membelah diri
dan secaraseksual dengan perkawinan silang, platyhelminthes terdapat dalam satu individu
sehingga disebut hewan hermafrodit.
C. Klasifikasi
Filum Platyhelminthes terbagi menjadi tiga kelas, yaitu:
Turbellaria (berambut getar)
Contoh: Planaria sp
Trematoda (cacing hisap)
Contoh: Fasciola hepatica (cacing hati)
Cestoda (cacing pita)
Contoh: Taenia solium, Taenia saginata
4. 1. Turbellaria (cacing berambut getar)
Keberadaan: 4000+ spesies di seluruh dunia; hidup di batu dan permukaan sedimen di air,
di tanah basah, dan di bawah batang kayu. Hampir semua Turbellaria hidup bebas (bukan
parasit) dan sebagian besar adalah hewan laut.
Kebanyakan turbellaria berwarna bening, hitam, atau abu-abu. Namun, beberapa spesies
laut, khususnya di turumbu karang, memiliki corak warna lebih cerah. Panjang mulai kurang dari
1 mm hingga 50 cm. Spesies terbesar bertubuh seperti kertas.
Planaria sp
Cacing ini dipakai sebagai contoh yang mewakili anggota kelas Turbellaria pada
umumnya. Anggota genus Dugesia, yang umumnya dikenal sebagai Planaria, berlimpah dalam
kolam dan aliran sungai yang tidak terpolusi. Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di
tempat-tempat yang teduh, misalnya di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh ke dalam
air. Bentuk tubuh anggota ini adalah pipih dorsoventral, dengan bagian kepala yang berbentuk
seperti segitiga, sedangkan bagian ekornya berbentuk meruncing yang panjang tubuh sekitar 5-
25 mm. Planaria memangsa hewan yang lebih kecil atau memakan hewan-hewan yang sudah
mati. Planaria dan cacing pipih lainnya tidak memiliki organ yang khusus untuk pertukaran gas
dan sirkulasi. Bentuk tubuhnya yang pipih itu menempatkan semua sel-sel berdekatan dengan air
sekitarnya, dan percabangan halus rongga gastrovaskuler mengedarkan makanan ke seluruh
hewan tersebut.
Sistem saluran pencernaan makanan terdiri dari mulut, faring, oesofagus, dan usus.
Mulut, terletak di bagian ventral dari tubuh, yaitu kira-kira dekat dengan pertengahan agak ke
arah ekor. Lubang mulut ini dilanjutkan oleh kantung yang bentuknya silindris memanjang yang
disebut rongga mulut (Faring). Oesofagus merupakan persambungan daripada faring yang
langsung bermuara kedalam usus; ususnya bercabang tiga, yaitu menuju ke arah anterior, sedang
yang dua lagi sejajar menuju ke arah posterior.
Seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, Planaria juga belum mempunyai alat
pernafasan yang khusus. Pengambilan O2 maupun pengeluaran CO2 secara osmosis langsung
melalui seluruh permukaan tubuh.
Sistem ekskresi terdiri dari 2 tabung ekskresi longitudinal yang mulai dari sel-sel nyala
(flame cells) yang di bagian anteriornya berhubungan silang. Seluruh sistem ini terbuka ke luar
melalui porus ekskretorius. Flame cells atau sel-sel api berfungsi sebagai alat ekskresi yang
membuang zat-zat sampah yang merupakan sisa-sisa metabolisme dan juga sebagai alat
osmoregulasi dalam arti ikut membantu mengeluarkan ekses-ekses penumpukan air di dalam
tubuh, sehingga nilai osmosis tubuh tetap dapat dipertahankan seperti ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari 2 batang saraf yang membujur memanjang, yang di bagian
anteriornya berhubungan silang, dan 2 ganglion anterior yang terletak dekat di bawah mata.
Ganglion berfungsi sebagai otak dalam arti bertindak sebagai pusat susunan saraf serta
mengkoordinir aktivitas-aktivitas anggota tubuh. Seonggok ganglion tersebut letaknya di bagian
kepala persis di bawah lapisan epidermis agak di sebelah bintik mata. Ganglion ini karena
terletak di bagian kepala dan berfungsi sebagai otak maka biasa disebut ganglion kepala atau
ganglion cerebral. Dari ganglin cerebral ini keluarlah cabang-cabang urat saraf secara radier
menuju ke arah lateral, anterior, dan pasterior. Cabang anterior menuju ke bagian bintik mata,
cabang lateral menuju ke alat indera cemoreseptor, sedangkan cabang posterior ada satu pasang
5. kanan kiri yang saling bersejajar yang membentang di bagian ventral tubuh yang disebut tali
saraf.
Planaria sudah mempunyai alat indera yang berupa bintik mata, dan indera aurikel, yang
kedua-duanya terletak di bagian kepala. Bintik mata merupakan titik hitam yang terletak di
bagian dorsal daripada bagian kepala. Masing-masing bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen
yang tersusun dalam bentuk mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel saraf sensorik yang sangat
sensitif terhadap sinar. Bintik mata itu sekedar dapat membedakan gelap dan terang saja.
Planaria bersifat hermafrodit, terdapat alat kelamin jantan dan betina. Alat kelamin jantan
terdiri dari:
1. Testis, yang berjumlah ratusan, berbentuk bulat tersebar di sepanjang sisi tubuh keduanya.
2. Vasa eferensia, yang merupakan pembuluh yang menghubungkan testis dengan bagian
pembuluh lainnya.
3. Vasa deferensia, merupakan pembuluh berjumlah dua buah yang masing-masing membentang
di setiap sisi tubuh yang kedua-duanya saling bertemu dan bermuara ke dalam suatu kantung
yang disebut vesiculus seminalis.
4. Vesiculus seminalis, berfungsi untuk menampung sperma dan menyalurkan sperma menuju ke
penis.
5. Penis, yang merupakan alat pentransfer ke tubuh waktu mengadakan kopulasi pada perkawinan
silang.
Sistem alat kelamin betina terdiri dari atas bagian-bagian seperti berikut:
1. Ovari, berjumlah dua buah, berbentuk bulat terletak di bagian anterior tubuh.
2. Oviduct, dari setiap ovarium akan membentang ke arah posterior sebuah saluran yang disebut
oviduct (saluran telur). Antara saluran telur kanan dan kiri saling bersejajar yang masing-masing
dilengkapi dengan kelenjar yang menghasilkan kuning telur.
3. Kelenjar kuning telur, menghasilkan kuning telur yang akan disediakan bagi sel telur bila telah
diproduksi oleh ovarium.
4. Vagina, merupakan suatu aliran yang berfungsi untuk menerima transfer spermatozoid dari
cacing planaria lain.
5. Uterus, merupakan ruangan yang bentuknya menggelembung yang berfungsi untuk menyimpan
spermatozoid. Uterus juga biasa disebut receptaculus seminalis.
6. Genital atrium (ruang genitalis) yaitu muara antara kedua buah saluran telur.
Planaria berkembang biak dengan cara seksual maupun aseksual. Planaria akan
menghindarkan diri bila terkena sinar yang kuat, oleh karena itu pada siang hari cacing itu
melindungkan diri di bawah naungan batu-batu atau daun atau di bawah objek yang lain. Pada
waktu istirahat biasanya Planaria melekatkanatau menempelkan diri pada suatu objek dengan
bantuan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar lendir. Planaria melakukan dua macam
gerak, yaitu gerak merayap dan meluncur.
2. Trematoda (cacing hisap)
Keberadaan: 12000 spesies di seluruh dunia; hidup di dalam atau pada tubuh hewan lain.
Semua cacing hisap adalah parasit, berbentuk silinder atau seperti daun. Panjang berkisar 1 cm
hingga 6 cm. Cacing ini memiliki penghisap untuk menempelkan diri ke organ internal atau
permukaan luar inangnya, dan semacam kulit keras yang membantu melindungi parasit itu.
Organ reproduksinya mengisi hampir keseluruhan bagian interior cacing hisap.
6. Sebagai suatu kelompok, cacing trematoda memparasiti banyak sekali jenis inang, dan sebagian
besar spesies memiliki siklus hidup yang kompleks dengan adanya pergiliran tahap seksual dan
aseksual. Banyak trematoda memerlukan suatu inang perantara atau intermediet tempat larva
akan berkembang sebelum menginfeksi inang terakhirnya (umumnya vertebrata), tempat cacing
dewasa hidup. Sebagai contoh, trematoda yang memparasati manusia menghabiskan sebagian
dari sejarah hidupnya di dalam bekicot.
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan
pembuluh darah vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi
permukaan tubuhnya dengan kutikula dan permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.
Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan
parenkim. Tubuh biasanya pipih dorsoventral, dan biasanya tidak bersegmen dan seperti daun.
Mereka mempunyai dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat
pertengahan tubuh atau pada ujung posterior. Alat penghisap yang kedua
disebut asetabulumkarena bentuknya mirip dengan mangkuk cuka.
Dinding luar atau tegumen trematoda adalah kutikula yang kadang2 mengandung duri
atau sisik.
Sistem pencernaan makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung anterior, yang
dikelilingi oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui farings yang berotot ke
esofagus dan kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum ini
kadang2 bercabang, dan percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit. Kebanyakan trematoda
tidak mempunyai anus, dengan demikian sisa bahan makanan harus diregurgitasikan.
Sistem saraf adalah sederhana. Cincin dari serabut saraf dan ganglia mengelilingi
esofagus, dan dari sini saraf berjalan ke depan dan belakang. Biasanya, sebatang saraf berjalan
kebelakang pada setiap sisi, dan saraf-saraf bertolak dari sini menuju ke berbagai organ.
Trematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Sistem ekskresi tersusun dari
sebuah kandung kemih posterior. Sebuah sistem percabangan dari tabung pengumpul yang
masuk ke dalam kandung kemih, dan sebuah sistem sel-sel ekskresi yang terbuka ke dalam
saluran pengumpul tersebut. Tidak terdapat organ ekskresi yang terlepas, sel-sel ekskresi
ditempatkan secara strategis di seluruh tubuh. Sel ekskresi terdiri dari sebuah sitoplasma basal
yang berisi inti dan sebuah vakuola berisi seberkas silia ynag terbuka secara tetap ke dalam
saluran pengumpul.
Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar dari trematoda adalah hermafrodit,
mempunyai organ jantan dan betina. Tetapi pembuahan silang merupakan hal yang biasa, dan
pembuahan sendiri tidak umum. Pembuahan biasanya uterus, sperma melewati sirus dari satu
cacing ke uterus cacing lain.
Siklus Hidup Trematoda
a. Clonorchis sp (cacing hati pada manusia)
Zygot - Larva Myrasidium-Sporosit -Redia -Sercaria-Metacercaria-Cacing dewasa.
Keterangan:
1. Telur dilepaskan bersamaan dengan kotoran dari penderita
2. Telur akan berkembang menjadi larva mirasidium dan masuk ke inang perantara 1, biasanya
adalah siput
3. Di tubuh siput, larva myrasidium akan bermetamorfosis menjadi sporosit
4. Sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh menjadi Redia
7. 5. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang menjadi Sercaria
6. Sercaria yang dihasilkan akan berpindah menempel pada tumbuhan air membentuk kista
metasercaria
7. Tumbuhan yang mengandung kista di makan oleh domba, maka kista akan berkembang
menjadi cacing hati dewasa.
b. Fasciola hepatica (cacing hati pada domba)
Zygot-Larva Myrasidium-Sporosit-Redia -Sercaria-Metacercaria-Cacing dewasa.
Keterangan:
1. Telur dilepaskan bersamaan dengan kotoran dari penderita
2. Telur akan berkembang menjadi larva mirasidium dan masuk ke inang perantara 1, biasanya
adalah siput
3. Di tubuh siput, larva myrasidium akan bermetamorfosis menjadi sporosit
4. Sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh menjadi Redia
5. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang menjadi Sercaria
6. Sercaria yang dihasilkan akan berpindah menempel pada tumbuhan air membentuk kista
metasercaria.
7. Tumbuhan yang mengandung kista di makan oleh domba, maka kista akan berkembang
menjadi cacing hati dewasa
3. Cestoda (cacing pita)
Keberadaannya: 3500 spesies di seluruh dunia; hidup sebagai parasit dalam tubuh hewan.
Contoh cacing pita adalah Taenia solium dan Taenia saginata yang parasit pada orang. Taenia
terdiri dari sebuah kepala bulat yang disebut scolex, sejumlah ruas, yang sama disebut
disebutproglotid. Pada kepala terdapat alat hisap dan jenis Taenia solium mempunyai kait
(rostellum) yang sangat tajam yang mengunci cacing itu ke lapisan intestinal inang. Di belakang
scolex terdapat leher kecil yang selalu tumbuh yang akan menghasilkan proglotid baru yang
mula-mula kecil tumbuh menjadi besar. Panjang tubuh cacing pita mencapai 2 m. Setiap
proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap
proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior
tubuh cacing. Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama
bersama dengan tinja dengan membawa ribuan telur. Jika termakan hewan lain, telur akan
berkembang dan memulai siklus hidup barunya. Cacing pita tidak memiliki saluran pencernaan.
Cacing pita menyerap makanan yang telah dicerna terlebih dahulu oleh inang.
Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makan dari usus halus inangnya. Sari
makanan diserap langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya karena cacing ini tidak memiliki
mulut dan pencernaan (usus). Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan
yang dimasak tidak sempurna. Inang perantara Cestoda adalah sapi pada Taenia saginata dan
babi pada taenia solium.
Cacing pita tidak mempunyai saluran pencernaan dan sitem peredaran darah. Makanan
langsung melalui dinding tubuh. Sistem ekskresi yaitu berupa sel api.
Sistem saraf tersusun dari beberapa ganglion pada skoleks, dengan komisura melintang
diantaranya. Dan tiga batang saraf longitudinal setiap sisil tubuh (sebuah batang besar disebelah
lateral dan yang kecil disebelah ventral), satu ganglion kecil disetiap segmen pada masing-
8. masing dari enam batang tersebut, dan komisura pada setiap segmen menghubungkan ganglion-
ganglion ini.
Cestoda adalah hermafrodit, yang mempunyai organ jantan dan betina. Organ jantan
terdiri dari testis (menghasilkan spermatozoa), vas deferen, seminal vesicle, penis, dan lubang
kelamin. Sedangkan organ bertina terdiri dari ovarium, oviduk, seminal uterus, vagina, dan
lubang kelamin.
Siklus Hidup Taenia sp
Larva, yang dilengkapi dengan scolex akan berkembang menjadi kista pada jaringan
tubuh inang, misal pada otot. Manusia yang memakan daging yang terinfeksi, akan
menyebabkan kista berkembang menjadi cacing pita dewasa Cacing pita dewasa terdiri dari
scolex dan proglotid.Proglotid pada bagian ujung mengandung telur yang telah dibuahi yang siap
dikeluarkan bersama feses untuk menginfeksi kembali Di dalam telur yang telah dibuahi, embrio
berkembang menjadi larva. Sapi mungkin akan memakan telur bersama rumput dan akan
menjadi inang sementara bagi cacing pita.
D. Peranan Platyhelminthes Dalam Kehidupan
Adapun peranan Platyhelminthes dalam kehidupan adalah sebagai berikut:
1. Planaria menjadi salah satu makanan bagi organisme lain.
2. Cacing hati maupun cacing pita merupakan parasit pada manusia
a. Schistosoma sp, dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit yang ditularkan melalui
siput air tawar pada manusia. Apabila cacing tersebut berkembang di tubuh manusia, dapat
terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal
manusia.Kerusakan tersebut disebabkan perkembangbiakan cacingSchistosoma di dalam tubuh.
b. Clonorchis sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada manusia dan hewan
mamalia lainnya, spesies ini dapat menghisap darah manusia.
c. Paragonimus sp, parasit pada paru-paru manusia. dapat menyebabkan gejala gangguan
pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum becampur darah yang berwarna
coklat (ada telur cacing).
d. Fasciolisis sp, parasit di dalam saluran pencernaan. Terjadinya radang di daerah gigitan,
menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga menyebabkan hambatan makanan
yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces pada dinding usus. Terjadi
gejala diaree kronis.
e. Taeniasis, penyakit yang disebabkan oleh Taenia sp. Cacing ini menghisap sari-sari makanan di
usus manusia.
f. Fascioliasis, disebabkan oleh Fasciola hepatica. Merupakan penyakit parasit yang menyerang
semua jenis ternak. Hewan terserang ditandai dengan nafsu makan turun, kurus, selaput lendir
mata pucat dan diare.
9. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan helminthes = cacing.
Jadi berarti cacing bertubuh pipih.
2. Platyhelminthes terbagi menjadi 3 kelas, yaitu: Turbellaria, Trematoda (cacing hisap), dan
Cestoda (cacing pita).
3. Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat yang lembab,
sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya (endoparasit) pada siput
air, sapi, babi, atau manusia.
4. Platyhelminthes tidak memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut hewan aselomata.Tubuh
pipih dorsoventral, tidak berbuku-buku, simetri bilateral, serta dapat dibedakan antara ujung
anterior dan posterior.
5. Sistem respirasi Platyhelminthes melalui permukaan tubuh, alat pencernaan tidak lengkap, alat
ekskresi berupa sel api, sistem saraf dengan ganglion anterior sebagai pusat sistem saraf,
reproduksi umumnya secara generatif.
6. Siklus hidup dari Platyhelminthes parasit yang ada hubungan dengan manusia diantaranya: dari
kelas Trematoda, Clonorchis sp dan Fasciola hepatica. Dan dari kelas Cestoda,Taenia
saginata dan Taenia solium.
7. Peranan platyhelminthes dalam kehidupan adalah: Planaria menjadi salah satu makanan bagi
organisme lain, cacing hati maupun cacing pita merupakan parasit pada manusia.
B. Kritik dan Saran
Tiada kesempurnaan di dunia ini, kami sangat mengharapkan kritik maupun saran dari
makalah ini tujuannya hanyalah demi kesempurnaan. Dan semoga makalah yang telah kami
susun bermanfaat bagi kita semua, Amien.
10. DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Reece, Mitcheli, Biologi Edisi Kelima Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2003.
Djarubito, Brotowidjoyo. M. Zoologi Dasar, Jakarta: Erlangga, 1994.
Ensiklopedia Hewan (Invertebrata), Jakarta: Lentera Abadi, 2008.
George H. Fried & George J. Hademenos, Biologi Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, 2006.
Jasir, Maskoeri, Sistematik Hewan, Surabaya: Sinar Wijaya, 1984.
John, W. Kimball, Biologi Edisi Kelima Jilid 3, Jakarta: Erlangga, 1999.
Levine, Norman. D, Parasitologi Veteriner, Yogyakarta: gajah mada university press, 1994.