2. TENTANG CONTENDING MODERNITIES
Kajian ini berpusat di University of Notre Dame, Amerika Serikat, di bawah Keough School of Global
Affairs. Anggota pengarahnya sendiri berasal dari ilmuwan terkemuka dari berbagai perguruan tinggi di
Amerika. Kajian ini memiliki tujuan utama membahas isu-isu keagamaan dan modernitas, lalu kemudian
dikaji secara kritis dalam bingkai ras, nasionalisme, dan perdamaian di berbagai negara, salah satunya
Indonesia.
Salah satu dari lima bidang kajian Contending Modernities adalah mengenai “Otoritas, Komunitas dan
Identitas”, dan topik ini yang menjadi fokus untuk dilihat di Aceh. Hampir genap tiga tahun, kajian ini telah
mengamati sejumlah isu yang menjadi tantangan bagi modernitas yang sedang berlangsung di Aceh.
Mulai dari isu tentang etnisitas, keagamaan, dan tatakelola pemerintahan sejak Aceh memperoleh status
sebagai daerah otonomi khusus, lalu kemudian diikuti oleh proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
bencana besar gempa dan tsunami di tahun 2004, dan proses reintegrasi setelah penandatanganan MoU
Helsinki antara pemerintah RI dan GAM menjadi satu dinamika yang terus menantang pembangunan
Aceh ke depan. Kajian ini telah mencatat sejumlah hal untuk dicermati oleh semua pihak di Aceh, atau
siapa saja yang berkepentingan untuk pembangunan Aceh.
masyarakat Aceh. Hal ini telah melahirkan budaya
dominan, dengan Islam sebagai faktor
determinannya dan Muslim sebagai aktor
utamanya. Sebagai mayoritas, Muslim telah,
sedang dan terus akan mendefinisikan apa, siapa,
bagaimana dan akan dibawa ke mana Aceh itu ke
depan. Analisis yang mengabaikan faktor syariah
sulit dipertahankan, termasuk dalam hal hubungan
antaragama. Banyak dinamika terjadi dalam
hubungan Muslim dan non-Muslim setelah
diterapkannya syariah ini. Banyak muncul
pertanyaan seputar posisi minoritas dalam
masyarakat Aceh, apakah mereka setara di depan
hukum? Apakah hak-hak kewargaannya terpenuhi
dengan baik? Sejauh mana syariah berdampak
pada kehidupan antaragama? Apakah syariah
dapat mengantarkan masyarakat pada modernitas
alternatif non-Barat yg bukan modern saja tetapi
juga maju? Dinamika itulah yang kami kaji dalam
penelitian kami selama tiga tahun (2016-2018),
yang kemudian di antaranya kami tuangkan dalam
Policy Brief ini.
B. TUJUAN
Policy Brief ini bertujuan untuk menyampaikan
kepada khalayak publik, terutama kepada para
pemangku kepentingan di Aceh, tentang sejumlah
masalah atau isu krusial yang diamati, pendekatan
atau strategi penanggulangan yang diupayakan,
serta beberapa rekomendasi perumusan kebijakan
yang perlu dipertimbangkan untuk ditindaklanjuti
POLICY BRIEF KAJIAN CONTENDING MODERNITIES ACEH
2
A. PENDAHULUAN
Aceh adalah Seuramoe Mekah yang bukan hanya
bermakna bahwa mayoritas penduduknya Muslim,
namun juga Islam menjadi faktor penting dalam
mewarnai semua bidang kehidupan di dalamnya,
apalagi setelah diterapkannya (kembali) syariat
Islam secara resmi sejak 2001. Dengan
perbandingan jumlah penduduk berdasarkan
kepemelukan agama, sebagai berikut:
Sumber: Sensus Kependudukan Indonesia oleh
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil, 2015.
Berdasarkan data, maka secara keagamaan Aceh
bersifat homogen. Oleh karena itu, wajarlah jika
ketika nama Aceh disebut, maka Islam dan syariat-
lah yang muncul. Non-Muslim tidak begitu
tampak, tertutup oleh budaya dominan. Mereka
tidak banyak mewarnai Aceh, walaupun tidak
dapat dikatakan mereka tidak mempunyai
kontribusi juga--mereka berkontribusi dengan
caranya sendiri. Mereka banyak diwarnai oleh, dan
harus menyesuaikan diri dengan masyarakat Aceh
yang bersyariah. Namun justru di sinilah tantangan
yang berat bagi masyarakat homogen, yakni
bagaimana menempatkan minoritas di dalamnya,
karena perlakuan terhadap minoritas ini akan
banyak disorot oleh masyarakat luas, baik nasional,
regional, maupun internasional.
Tidak dapat dipungkiri, syariah kini telah menjadi
fakta hukum, politik, sosial, dan ekonomi
Agama Islam Kristen Hindu Buddha Katolik
Jumlah(Penduduk) 5,013,152 64,015 4,447 172 8,336
3. Langkah-langkah tindak lanjut menjadi penting
guna menghindari konsekuensi-konsekuensi
buruk yang mungkin terjadi lebih jauh, seperti
menurunnya kualitas hubungan antar kelompok
masyarakat baik atas nama etnis maupun
keyakinan; munculnya ketegangan sosial yang
dapat berujung pada konflik berdarah; timbulnya
kerugian harta benda bahkan hilangnya nyawa;
yang semuanya ini membutuhkan energi besar dan
upaya yang tidak sederhana untuk membangun
keharmonisan sosial seperti semula. Tidak hanya
sekedar sebagai sumber informasi, Policy Brief ini
diharapkan juga akan mendorong dan
menggerakkan berbagai pihak untuk melahirkan
sikap positif sekaligus pro-aktif dalam rangka
menemukan mekanisme penyelesaian masalah
sosial, yang lebih inovatif dan tentu saja dengan
cara yang persuasif.
C. SASARAN
Policy Brief ini menyasar sejumlah pihak yang
berkepentingan secara langsung maupun tidak
langsung antara lain adalah: 1) Pemerintah, 2)
Partai politik dan anggota legislatif, 3) Tokoh
agama dan pemimpin komunitas, 4) Aktivis dan
pekerja sosial, 5) Akademisi, 6) Jurnalis baik media
cetak maupun online, 7) Aparat penegak hukum,
dan bahkan 8) masyarakat luas utamanya anak
muda generasi milenial. Semua komponen
stakeholder ini diharapkan mampu dengan cerdas
memahami akar masalah sosial di Aceh dan
tanggap memberi perhatian dan kontribusi untuk
memantapkan kehidupan keagamaan yang
harmonis dan penuh toleransi. Sedapat mungkin
Policy Brief ini dapat dijadikan kerangka acuan oleh
berbagai pihak dalam menghadirkan syariat
rahmatan lil-alamin di bumi Aceh.
D. KONTEKS DAN CAKUPAN
Kehadiran Islam pertama kali di kepulauan
nusantara melalui pantai Aceh membuat orang-
orang Aceh bangga sebagai suku bangsa yang
p e r t a m a - t a m a m e m e l u k a g a m a I s l a m
dibandingkan dengan etnis atau penduduk
wilayah pulau lain di Indonesia. Maka sungguh
tidak heran jika faktanya pemeluk Islam di Aceh
adalah mayoritas. Menurut hasil sensus tahun
2010, penduduk beragama Islam sebanyak 98.81
persen dari total populasi, sementara sisanya,
(1.19%) terdiri dari pemeluk Kristen, Budha,
Konghucu, Katolik dan Hindu. Penduduk minoritas
ini kebanyakannya tinggal di wilayah kota dan
kabupaten yang bertetangga dengan provinsi
Sumatra Utara, seperti Aceh Singkil, Aceh Tenggara
dan Aceh Tamiang.
Dari segi keanekaragaman populasi secara
keseluruhan, penduduk Aceh terdiri dari etnis yang
cukup heterogen. Tidak hanya suku Aceh yang
mendominasi di pantai Timur, tetapi juga terdapat
suku Gayo dan suku Alas di dataran tinggi
pegunungan, suku Aneuk Jamee di pantai Barat
hingga pantai Selatan, suku Melayu di wilayah
perbatasan Timur provinsi (Tamiang), suku Batak
Pakpak di wilayah perbatasan Barat provinsi
(Singkil) hingga termasuk etnis Tionghoa yang
tersebar di beberapa kota besar provinsi Aceh.
Menurut Bowen (2003) dan Schröter (2010),
kemajemukan Aceh tidak hanya berdasarkan latar
etnik budaya dan kepenganutan agama, tetapi
p e m a h a m a n d a n p r a k t e k k e a g a m a a n
penduduknya juga sungguh plural.
Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru
(1998), Aceh mendapatkan kesempatan untuk
menerapkan syariat Islam secara formal sebagai
bagian dari bentuk otonomi khusus yang diberikan
oleh pemerintah Indonesia. Sejumlah institusi
penegakan syariat Islam dibentuk dan aktor
pelaksananya direkrut. Hampir dua puluh tahun
sudah pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun
tidak dipungkiri masih banyak dirasakan
kelemahan dan kekurangan di berbagai sektor.
Salah satu aspek yang sering menerima kritikan
adalah dampak pelaksanaan syariat Islam bagi
kelompok minoritas yang tinggal menetap di Aceh.
Meski kelompok minoritas ini merasa aman dan
tenteram hidup di Aceh, pelaksanaan syariat Islam
tak jarang mengusik perhatian ataupun
memunculkan kekhawatiran mereka. Ini sedikit
banyak terkait dengan pemberitaan sebagian
media cetak dan online, baik yang lokal maupun
nasional, yang cenderung lebih bersifat provokatif
dan insinuatif. Tidak heran jika timbul pertanyaan-
pertanyaan seperti: (1) sejauhmana pelaksanaan
syariat Islam berdampak negatif bagi kehidupan
masyarakat minoritas dan perorangan di Aceh; (2)
Sejauhmana kelompok minoritas itu merasa
terdiskriminasi oleh keberadaan Qanun atau
3
POLICY BRIEF KAJIAN CONTENDING MODERNITIES ACEH
4. regulasi syariat Islam; (3) Sejauhmana berbagai
kelompok etnis atau keagamaan minoritas itu
merasa terpinggirkan akibat dominannya identitas
ke-Aceh-an; dan (4) sejauhmana kelompok
minoritas tersebut mengalami isolasi sosial seolah-
olah merasa layaknya tamu meski sebenarnya
mereka berada dan telah tinggal di bumi Aceh
sejak beberapa generasi.
E. ISU-ISU KRUSIAL
Studi ini memberi perhatian secara seksama
kepada sejumlah isu penting yang muncul di
berbagai tempat dan waktu yang berbeda, sebagai
berikut:
Pertama, penguatan identitas kelompok tertentu
tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak-
hak kewargaan dan kemajemukan Aceh. Kesan
bahwa Aceh seyogyanya adalah wilayah majemuk
tidak muncul ke permukaan dan seakan-akan
semuanya seragam. Dari sudut pandang internal
umat Islam, isu identitas sektarian yang
memperhadap-hadapkan antara Wahabi dan
Ahlussunnah wal-jamaah (Aswaja) berakibat
munculnya pertentangan antarmasyarakat yang
tidak produktif. Dari segi interaksi antarpemeluk
agama, meski kelompok minoritas mendapatkan
ruang untuk mengekspresikan identitas
kekhasannya di suatu daerah, di wilayah yang lain
ekspresi identitas semacam itu berlangsung
secara minimal, kalau tak ingin dikatakan tidak ada
sama sekali. Dominannya kelompok mayoritas
memang dapat dipahami, namun dalam konteks
meu-Aceh (menjadi Aceh) semestinya artikulasi
tiap-tiap identitas minoritas walaupun sebatas
simbolis perlu mendapatkan ruang artikulasi yang
memadai. Minimnya perasaan aman terlindungi
sedemikian itu bagi kelompok minoritas
menimbulkan kesan bahwa penerapan syariat
Islam di Aceh masih jauh dari cita-cita ideal sebagai
rahmatan lil-al amien.
Kedua, konsep toleransi yang masih dipahami
secara pasif dan asimetris. Kesadaran untuk
mendorong diri dan warga untuk saling
menghargai perbedaan tiap-tiap kelompok warga
dalam beragama, menjalankan ibadah, dan tradisi
keyakinan masing-masing agaknya belum menjadi
mainstream etika sosial. Di antara ragam persoalan
tersebut, masalah pendirian rumah ibadah adalah
topik utama yang paling sering menimbulkan
gejolak dan ketegangan di tengah kehidupan antar
komunitas beragama. Bukan hanya itu, tampaknya
dalam hal pendidikan keagamaan juga masih
merupakan persoalan tersendiri. Acapkali
kelompok minoritas menemukan pengalaman di
sekolah dan perguruan tinggi yang kurang
memberi keuntungan bagi pemenuhan hak-hak
mereka secara proporsional termasuk dalam hal
mendapatkan materi pengajaran agamanya.
Ketiga, lemahnya status atau posisi dalam
kesetaraan hak dan kesempatan kelompok-
kelompok minoritas untuk berpartisipasi dalam
lapangan politik, hukum atau kebijakan, termasuk
juga hak untuk bekerja. Keadaan ini jika dibiarkan
berlanjut dapat berujung pada eksklusi sosial.
Dalam berbagai keadaan, kelompok minoritas
hanya diperebutkan suaranya pada saat pilkada
atau pemilu, tetapi aspirasi mereka nyaris tak
terdengar dalam penentuan regulasi Qanun dan
kebijakan pemerintah tempatan, bahkan sekalipun
yang mempunyai implikasi atau akibat langsung
kepada mereka. Kesempatan kelompok minoritas
dalam bekerja dan menduduki posisi-posisi kunci
di sektor pemerintahan pun kecil karena, disadari
ataupun tidak, faktor agama seringkali masih
dijadikan kriteria pertimbangan rekrutmen. Apatah
lagi, upaya membela hak-hak mereka oleh
kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam
perumusan dan evaluasi kebijakan masih sangat
terbatas, kalau tidak ingin mengatakan 'dibatasi'.
Keempat, tata kelola kemajemukan agama yang
bukan saja bias mayoritas dan Banda Aceh-sentris,
tetapi juga lemah dalam sinergi antarlembaga dan,
dalam kasus tertentu, terdapat disorientasi dan
disfungsi kelembagaan. Belum tampak adanya
suatu koordinasi dan sinergi yang kuat antara
unsur-unsur pemerintah daerah kota ataupun
kabupaten dengan lembaga instansi pemerintah
lainnya, seperti Kantor Kementerian Agama di
masing-masing tingkatan wilayah. Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang
semestinya merupakan forum representatif bagi
kelompok minoritas dalam menyuarakan
p e n d a pa t d a n ke p e n t i n g a n n y a b e l u m
memperoleh perhatian yang selayaknya dalam
mendorong optimalisasi kerukunan antarumat
beragama.
POLICY BRIEF KAJIAN CONTENDING MODERNITIES ACEH
4
5. Kelima, kebijakan pelaksanaan syariat Islam masih
d i a n g g a p m e m i l i k i ke l e m a h a n d a l a m
memanfaatkan pengetahuan yang berbasis data
dan fakta (knowledge based policy). Data dan fakta
pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang tersedia
saat ini belum memiliki landasan akademis yang
memadai. Meski selama ini telah ada indikasi kuat
pelibatan kalangan akademisi, tapi pendekatan
yang digunakan masih bersandar pada asumsi
teologis dan legalistik. Banyak informasi yang
dapat digali dari lapangan, termasuk kearifan lokal
(local wisdom), yang belum sempat dipromosikan
sebagai mekanisme perumusan kebijakan ataupun
penyelesaian masalah sosial.
F. PENDEKATAN DAN STRATEGI
Merespon keadaan dan isu-isu kritis yang terus
berkembang, pemerintah Aceh termasuk para
tokoh masyarakat sejauh ini telah melakukan
sejumlah pendekatan, terutama dengan
memfungsikan pengambilan kebijakan yang lebih
berbasis pada pelaksanaan syariat Islam sebagai
momentum baru pembangunan Aceh. Respon
yang diberikan kemudian lebih menitikberatkan
pada pengembangan institusi dan penerbitan
regulasi.
Saat merespon keragaman keyakinan dan budaya,
pemerintah Aceh membentuk FKUB mulai dari
tingkat provinsi hingga ke kabupaten dan kota.
Dengan mengakomodir keanggotaan dari
sejumlah agama resmi, FKUB telah diarahkan untuk
memikul mandat pembinaan kesatuan
kebangsaan yang diawasi bersama antara Badan
Kesbangpol dan Linmas dan Kementerian Agama.
Dari sisi regulasi, Pemerintah Aceh terakhir kali
telah merespon dengan mensahkan Qanun Aceh
Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Tempat Ibadah. Di satu sisi Qanun ini
telah memberi indikasi atas kesadaran akan
kemajemukan yang ada di Aceh. Meski belum
memuat prinsip kesetaraan dengan kuat,
setidaknya Qanun ini telah mencoba menjawab
tuntutan masyarakat yang mendesak Pemerintah
Aceh meninjau ulang Peraturan Gubernur nomor
25 tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah
Ibadah Nanggroe Aceh Darussalam yang dianggap
kurang mencerminkan realitas keadaan
masyarakat Aceh.
Di atas segalanya, studi ini menemukan betapa
nuansa teknokratik sangat kental mewarnai
pendekatan yang dipilih pemerintah. Akibatnya,
tak jarang kearifan lokal yang ada menjadi
terabaikan. Ketidakharmonisan sosial yang
meningkat dalam tiga tahun ini cenderung dinilai
secara reaktif. Isu-isu pluralitas yang muncul ke
permukaan public dipandang sebagai nuansa
politik yang mengancam mayoritas ummat Islam.
Tidak heran jika akhirnya kebijakan yang muncul
lebih bersifat represif bagi penganut keyakinan
lainnya.
Pendekatan sentralistik sebagai ciri khas nuansa
teknokratik pemerintah cukup tampak dalam
menyikapi isu-isu sosial yang berkembang di
berbagai wilayah. Kendali dan kontrol pemerintah
provinsi dirasakan kuat mencengkram dalam
penanganan kasus-kasus lokal. Penyelesaian
polemik tempat ibadah non-Muslim di Singkil
adalah salah satu contoh kasus bagaimana pihak
pemerintah provinsi mencoba menunjukkan
kemampuannya yang besar dalam menghentikan
semua persoalan konflik di tingkat bawah.
Pendekatan sentralistik semacam ini justru
menyajikan sebuah fakta kelemahan serta
ketergantungan pemerintah di tingkat bawah
dalam menyelesaikan masalah di lapangan dan
sekaligus memperkecil tingkat partisipasi publik.
Bagi banyak kalangan di Aceh, pelaksanaan syariat
Islam sebagai salah satu kebijakan pembangunan
Aceh masih terus dinantikan efeknya untuk
memberikan resolusi atas semua persoalan di
berbagai sektor. Syariat Islam di Aceh diyakini tidak
hanya melulu sebagai persoalan reformasi hukum
Islam (Islamic legal reform), tapi sebagai suatu
ajaran agama yang mampu mengembangkan
seluruh sendi kehidupan manusia (Kaffah).
Langkah-langkah khusus untuk itu telah mulai
ramai didiskusikan di kalangan pemerintah dan
akademisi sejak tahun 2014. Melalui peninjauan
kembali desain (redesign) pelaksanaan syariat
Islam, pemerintah berusaha menghadirkan
strategi pendekatan yang lebih pro kepentingan
rakyat banyak. Hal ini juga tampak pada upaya
pemerintah yang menyusun indeks pembangunan
sebagai instrumen indikatif dari pelaksanaan
syariat Islam itu sendiri.
POLICY BRIEF KAJIAN CONTENDING MODERNITIES ACEH
5
6. Meskipun hingga saat ini belum terlihat langkah-
l a n g k a h y a n g l e b i h k o n k r e t d a l a m
menterjemahkan desain baru pelaksanaan syariat
Islam ataupun mengaktualisasikan indeks
pembangunan dalam proses pelaksanaan syariat
Islam di Aceh, semua upaya tersebut patut
dihargai. Betapapun, pemerintah Aceh masih
membutuhkan waktu dan upaya-upaya lanjutan
merintis implementasi desain baru itu, sekalipun
kemudian hal tersebut belum terakomodasi
dengan baik secara politik dan juga belum diakui
dengan kuat sebagai bentuk inovasi dari tatakelola
pembangunan Aceh yang lebih maju.
Menimbang semua hal di atas, studi ini ingin
menegaskan bahwa berbagai upaya pemerintah
yang telah dicobalakukan tersebut sesungguhnya
belum cukup terarah atau masih mencari-cari
bentuk yang seharusnya (unconsolidated). Oleh
karena itu, studi ini hendak menyarankan bahwa
dinamika pemahaman dan pelaksanaan syariat
Islam di beberapa kabupaten dan kota di Aceh
seyogyanya dapat menunjukkan arah dan
merealisasikan langkah-langkah yang seiring
dengan visi pembangunan global, yaitu
Sustainable Development Goals (SDG). Visi
pembangunan global ini (SDG) tidak dapat
dipungkiri memiliki semangat yang serupa dan
merupakan rangkaian yang tak terpisahkan
dengan cita-cita syariat yang rahmatan lil`alamin.
Karena itulah, SDG tentu sangat layak untuk
dipertimbangkan menjadi kerangka dan rujukan
bagi keberhasilan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh. SDG secara konkret merefleksikan tujuan
utama dari syariat Islam itu sendiri (maqasid).
Dalam hal ini, sejumlah kasus imbauan dan
keputusan ad hoc kepala daerah yang reaktif dan
sporadik mengenai praktek kehidupan bersyariah
di Aceh sungguh tidak signifikan untuk
mewujudkan syariat rahmatan lil-alamin.
POLICY BRIEF KAJIAN CONTENDING MODERNITIES ACEH
G. REKOMENDASI
1. Pemerataan akses, par tisipasi, dan
representasi kelompok masyarakat
D a l a m d i n a m i k a s e b u a h m a s y a r a k a t
yangmajemuk, dan perkembangan serta
perubahan masyarakat, maka kewajiban negara
salah satunya adalah memastikan bahwa hak-hak
kewargaan masyarakat dijaga dan dikelola dengan
baik. Dalam hal ini termasuk memastikan adanya
sebuah sistem yang mengakomodir akses dan
partisipasi masyarakat secara setara dan
berkeadilan. Kondisi ini akan terjadi melalui
perwujudan inklusi sosial, baik dalam aspek legal,
politik maupun kultural. Misalnya, melalui
pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal).
Partisipasi juga perlu diwujudkan lewat kebijakan
afirmatif dalam hal penerimaan keragaman
[identitas] dalam masyarakat, karena perbedaan
identitas sosial dan keagamaan seringkali
membuka ruang konflik antar kelompok sosial
yang berbeda-beda. Dalam situasi demikian,
afirmasi akan menjadi penyeimbang dalam sebuah
dinamika sosial yang memiliki budaya dominan
(dominant culture).
2. Pengembangan toleransi aktif melalui
berbagai media pendidikan
Model edukasi dapat dilakukan melalui berbagai
bentuk metode dan strategi, baik dalam lembaga
Pendidikan Islam seperti sekolah, madrasah, dan
lembaga Pendidikan, media sosial, dan media
lainnya. Hal ini terefleksi dari narasi buku teks dan
persepsi yang dibangun oleh guru dalam
pengajarannya yang dapat menyumbang
terbentuknya tolerance literacy. Edukasi ini mesti
diperluas juga dalam muatan ceramah keagamaan
dan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Upaya untuk
memperkuat respect dan trust perlu diperkuat,
misalnya melalui “duek pakat” lintas komunitas.
Pada tataran kebijakan, pengetahuan, yang
terwujud dalam knowledge based policy perlu
mendapat perhatian serius dari para pemangku
kepentingan (stakeholder).
3. Penguatan FKUB untuk bersinergi dengan
institusi dan komunitas terkait
Forum kerukunan umat beragama (FKUB) memiliki
peran strategis dalam upaya membangun
komunikasi dan sinergi yang berkelanjutan dengan
berbagai kelompok keagamaan yang ada di Aceh
6
7. Proporsi kepengurusan yang mempertimbangkan
dinamika yang ada, akan memberikan dampak
pada pemahaman dan pemaknaan keberagaman,
serta upaya untuk memperkuat toleransi. Kondisi
ini juga akan meminimalisir disfungsi yang terjadi
di beberapa institusi. Di pihak eksekutif, sinergisitas
PEMDA dengan Kementrian Agama juga perlu
diperkuat. Sementara itu, pada sisi lain, pihak
legislatif juga dapat mengambil peran-peran yang
lebih aktif misalnya seperti melakukan diskusi
publik refleksi 20 tahun pelaksanaan syariat Islam
(DPRA/DPRK) dalam upaya memperkuat,
melakukan advokasi, serta me-mainstreamkan
“syariat yang rahmatan lil'alamin”.
4. P e n e g a s a n s i k a p p e n y e l e n g g a r a
pemerintahan yang nonpartisan dalam
mencegah dominasi pemahaman dan praktek
keberagamaan tunggal
Di tengah potensi konflik yang ada di kalangan
kelompok sosial dengan identitas yang berbeda-
beda, maka kehadiran pemerintah atau negara
sangat dibutuhkan untuk mengambil peran-peran
mediasi dan fasilitasi. Pendekatan ini dilakukan
dengan berlandaskan pada “sikap” atau tafsir
pemerintah yang jelas terhadap konsep ideal
syariat rahmatan lil alamin yang relevan untuk Aceh
sekarang dan masa depan. Dalam hal ini, salah satu
peran yang perlu dilakukan oleh pemerintah
adalah memberi ruang yang cukup untuk
mengakomodir kontestasi dan partisipasi dari
berbagai kelompok sosial/agama yang berbeda-
beda secara fair (berimbang).
REFERENSI
Ansor, Muhammad. 2014. “We are from the same
ancestors': Christian-Muslim relations in
contemporary Aceh Singkil”, Borneo Journal of
Religious Studies 3 (1).
Barth, Fredrik (ed.) 1998. Ethnic groups and
boundaries: The social organization of culture
difference, (Long Grove: Waveland Press).
Bowen, John. 2003. Islam, Law and Equality in
Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning,
Cambridge: Cambridge University Press.
Bruner, E.M. 1974 “The Expression of Ethnicity in
Indonesia”, in Abner Cohen (ed.) Urban Ethnicity.
(London: Tavistock).
Feener, Michael. 2013. Shari`a and Social
Engineering: The Implementation of Islamic Law in
Contemporary Aceh, Indonesia (Oxford: Oxford
University Press).
Schröter, Susanne. 2010. Acehnese culture (s):
plurality and homogeneity. In A. Graf, S. Schröter
and E. Wieringa (eds). Aceh: History, Politics and
Culture. (Singapore: ISEAS), pp. 157-179.
Suparlan, Parsudi. 2006. “Kemajemukan, Hipotesis
Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan”,
Antropologi Indonesia 30 (3)
Viner, A.C. and E.L Kaplan. 1981. The Changing
Pakpak Batak. In Journal of the Malaysian Branch,
Royal Asiatic Society, 54 (1) pp. 93-105.
Weng, Hew Wei, Chinese Ways of Being Muslim;
Negotiating Ethnicity and Religiousity in Indonesia
(Denmark: NIAS – Nordic Institute of Asian Studies,
2018)
TIM CONTENDING MODERNITIES ACEH
ARSKAL SALIM adalah Professor Politik Hukum Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia.
Dia menyelesaikan PhD di bidang hukum pada Melbourne Law School, Australia, tahun 2006. Disertasinya telah
dipublikasikan oleh Hawaii University Press tahun 2008 dengan judul: Challenging the Secular State: The Islamization of
Laws in Modern Indonesia. Setelah menyelesaikan PhD, dia melanjutkan postdoctoral di Jerman, pada Max Planck Institute
for Social Anthropology dari tahun 2006 sampai 2009. Hasil penelitian postdoctoralnya telah dipublikasikan pada tahun
2015 oleh Edinburgh University Press dengan judul: Contemporary Islamic Law in Indonesia: Sharia and Legal Pluralism.
Arskal Salim
MOCH NUR ICHWAN telah menyelesaikan jenjang PhD di bidang Religious Studies and Islamic Politics pada Tilburg
University (2006) dan saat ini dia sebagai Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta,
Indonesia. Publikasi terbarunya adalah “Neo-Sufism, Shari'atism, and Ulama Politics: Abuya Shaykh Amran Waly and
Tauhid-Tasawuf Movement in Post-Conflict Aceh,” di dalam C. van Dijk and N. Kaptein (Eds.), Islam, Politics and Change: The
Indonesian Experience after the Fall of Suharto, Leiden: Leiden University Press, 2016.
Moch Nur Ichwan
EKA SRIMULYANI adalah Professor di bidang Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Ar-
Raniry, Banda Aceh, Indonesia. Di antara publikasinya yang terakhir adalah “Analysing the Spectrum of Female Education
Leaders Agency in Islamic Boarding Schools in Postconflict Aceh, Indonesia.” Di dalam jurnal Gender and Education,
Routledge, Talor and Francis Group tahun 2018.
Eka Srimulyani