2. Dalam bidang pendidikan, Jepang sengaja menghilangkan diskriminasi.
Pendidikan tingkat dasar dijadikan satu macam, yaitu Sekolah Dasar Enam
Tahun. Ini dilakukan untuk penyeragaman dan memudahkan pengawasan
isi dan penyelenggaraan sekolah-sekolah.
ASPEK PENDIDIKAN
3. Pembukaan kembali
sekolah-sekolah
bahasa Melayu yang
dijadikan sebagai
bahasa pengantar di
sekolah.
Bahasa Jepang
digunakan sebagai
bahasa wajib.
Larangan pada
penggunaan bahasa
Belanda dan Inggris
baik di dalam atau
di luar sekolah.
Para pelajar
diharuskan
menghormati adat
istiadat Jepang
seperti,
Bersemangat ala
Jepang, menyajikan
lagu kebangsaan
Kimigayo, dsb
Penutupan
perguruan tinggi,
meskipun pada
tahun 1943 masih
ada yang buka
seperti Perguruan
Tinggi Kedokteran
Jakarta, Perguruan
Tinggi Teknik
Bandung, dll
Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan maklumat
4. Pada masa pendudukan Jepang, seluruh media komunikasi dikendalikan
oleh pemerintah militer sehingga sebagian besar tulisan sastra
diperuntukkan bagi kepentingan penguasa. Kendati mengundang unsur-
unsur semangat patriotisme dan semangat kerja keras, tetapi semuanya
diperuntukkan bagi pemujaan pada Dai Nippon.
ASPEK KEHIDUPAN BUDAYA
5. Didirikan pusat kebudayaan yang
bernama Keimin Bunka Shidosho di
Jakarta pada tanggal 1 April 1943.
Melalui pusat kebudayaan ini,
pemerintah Jepang hendak
menanamkan dan menyebarluaskan
seni budaya Jepang. Pusat kebudayaan
ini didirikan pada tanggal 1 April 1943.
Digunakannya nama-nama berbau
Barat yang diindonesiakan, seperti Java
menjadi Jawa, Batavia menjadi Betawi,
Meester Cornelis menjadi Jatinegara,
Buitenzorg menjadi Bogor, Preanger
menjadi Priangan.
6. Selain membutuhkan bantuan berupa prajurit, pemerintah Jepang juga
memerlukan bantuan tenaga untuk membuat sarana pendukung perang,
seperti kubu pertahanan, jalan raya, rel kereta api, jembatan, lapangan
udara. Oleh sebab itu, Jepang melakukan pengerahan tenaga kerja yang
disebut sebagai romusha.
ASPEK KEHIDUPAN KEMASYARAKATAN
7. Tenaga romusha kebanyakan
diambil dari penduduk desa-
desa yang tidak tamat sekolah
atau paling tamat sekolah
dasar. Mereka dikirim juga ke
luar Jawa bahkan ada yang
dikirim ke luar negeri seperti di
Myanmar, Malaysia, Thailand,
Indochina.
Kehidupan kesehatan para
romusha tidak terjamin,
makanan tidak mencukupi
sementara pekerjaan sangat
berat. Akibatnya banyak tenaga
romusha yang mati di tempat
pekerjaan sebab sakit,
kecelakaan, kurang gizi.
Sejak tahun 1943, Jepang
melancarkan kampanye yang
menjuluki para romusha
sebagai “prajurit ekonomi”
atau “pahlawan pekerja”.
Mereka digambarkan sebagai
prajurit yang menunaikan tugas
sucinya untuk angkatan perang
Jepang dan memperoleh pujian
sangat tinggi dan mulia.
8. Pengerahan bahan makanan yang dilakukan Jepang melebihi kemampuan produksi para
petani. Kebijakan itu berakibat pada tingkat kualitas hidup masyarakat, seperti
kekurangan makanan, kurang gizi, gairah kerja merosot, angka kematian meningkat,
kelaparan terjadi di mana-mana, berbagai penyakit timbul seperti pes, beri-beri, sakit
kulit, kutu kepala, dan sebagainya.
ASPEK PEREKONOMIAN
9. Masalah pokok seperti sandang
juga mengalami kesulitan
akibat larangan impor dari
Belanda. Pemecahannya dalah
dilakukan penanaman kapas di
Jawa, Su-matera, Bali, Lombok,
dan Sulawesi Selatan. Rakyat
lalu dilatih memintal kapas.
Sebagian besar rakyat di desa-
desa, terpaksa memakai
pakaian dari karung goni atau
“bagor” atau lembaran
karet/rami.
Makanan sangat sulit didapat.
Terpaksa rakyat makan umbi-
umbian, bekicot, pohon pisang,
pohon pepaya, dan sebagainya.
Belum lagi Jepang melakukan
berbagai perampasan kekayaan
seperti emas, intan.