The culture of poverty is contructed from the situation which categorized people
into two categories, under and above poverty line, which also being categorized by
specific characteristics including the impact on those groups. The culture of poverty
is an adaptation of a group of people on their marginal condition, but not for their
existence because some of their characteristics and attitudes are more limited on the
present orientation and their inferiority, apathy, and the lack of future planning.
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
KemiskinanBudaya
1. 20
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
1. PENDAHULUAN
Kondisi dan fenomena kemiskinan yang
mengungkung sebagian besar masyarakat kita
hingga kini masih menyimpan banyak
perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar
teori, konsep maupun metode-metode yang
menyangkut tentang kondisi kemiskinan di
sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan
penyusunan konsep, indikator, dan langkah-
langkah termasuk kebijaksanaan yang harus
diambil berhubungan dengan cara mengatasinya,
atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan
kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi
kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau
berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah
jumlah maupun tingkat kemiskinannya.
Fenomena kemiskinan sendiri berkaitan erat
dengan konsep dan permasalahan ketidak adilan
dan disintegrasi kelompok, menunjuk pada
sebuah jalinan konsep yang memberi sebuah
BUDAYA KEMISKINAN DI MASYARAKAT :
TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN
BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT
Ketut Sudhana Astika
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana, Bali
ABSTRACT :
The culture of poverty is contructed from the situation which categorized people
into two categories, under and above poverty line, which also being categorized by
specific characteristics including the impact on those groups. The culture of poverty
is an adaptation of a group of people on their marginal condition, but not for their
existence because some of their characteristics and attitudes are more limited on the
present orientation and their inferiority, apathy, and the lack of future planning.
Key words : poverty, culture of poverty, community
pengertian yang saling berkait satu sama lain.
Masing-masing konsep bisa dilihat secara tunggal
dengan pengertian tersendiri atau analisis saling
keterkaitan atau keterhubungan satu dengan
lainnya dalam konteks kausalitas. Kemiskinan
bisa terjadi karena adanya ketidak adilan di
masyarakat yang dapat mengganggu rasa
kebersamaan, atau karena perlakuan yang tidak
adil dalam perlakuan/pemerataan, ada
masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai
hal yang berakibat pada pertentangan dan
perpecahan.
Pola kekuasaan yang ada memungkinkan
sebagian kecil atau sekelompok individu merasa
dapat perlakuan yang tidak adil dan kesempatan
yang sama memperoleh asset dan akses untuk
berkembang, berpotensi pada terbentuknya
kelompok minoritas yang merasa miskin karena
proses pemiskinan yang berlangsung. Kelompok
seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang
2. 21
berperilaku menyimpang sehingga terjadilah
penentangan dan konflik dengan dampak yang
lebih luas, yaitu disintegrasi masyarakat.
Sebaliknya gejala terjadinya disintegrasi di
masyarakat dengan memudarnya kebersamaan
dan rasa persatuan diantara sesama warga
masyarakat memberi ciri pada melemahnya pola
interaksi sosial, menghilangnya rasa
kebersamaan diantara sesama warga hilangnya
rasa kohesi sosial dan berdampak pada tindak
ketidak adilan dan berlangsungnya proses
pemiskinan dikalangan warga masyarakat.
2. RAGAM PEMIKIRAN TENTANG
KEMISKINAN
Kemiskinan seperti diungkapkan oleh
Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu
keadaan kekurangan harta atau benda berharga
yang diderita oleh seseorang atau sekelompok
orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda
tersebut maka seseorang atau sekelompok orang
itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-
kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya.
Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya
pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat,
upacara-upacara, moral dan etika), atau pada
tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial
(pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-
minum, berpakaian, bertempat tinggal atau
rumah, kesehatan dan sebagainya).
Kemiskinan, masih menurut Suparlan
(1994), dengan demikian terserap ke dalam dan
mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek
kehidupan manusia. Kemiskinan yang diderita
oleh sekelompok orang bahkan sebuah
masyarakat, menghasilkan suatu keadaan dimana
warga masyarakat yang bersangkutan merasa
tidak miskin bila berada dan hidup diantara
sesamanya. Karena berbagai kegiatan yang
dilakukan dalam kehidupan para warga kelompok
tersebut dirasakan sebagai suatu hal yang biasa
(sebagai fenomena biasa dalam kehidupan
keseharian mereka). Pada kondisi seperti itu tidak
ada yang diacu untuk pamer, sehingga diantara
mereka tidak ada perasaan saling berbeda, yang
dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam
keadaan demikian, maka kemiskinan terwujud
dalam berbagai cara-cara mereka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat hidup.
Di kalangan masyarakat/kelompok yang
berada dalam kondisi miskin seperti itu,
berkembang suatu pedoman bagi kehidupan
mereka yang diyakini kebenaran dan
kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan
yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-
kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti
itu kemudian melahirkan model-model adaptasi
mereka menghadapi kemiskinan.
Pada era gencarnya prmbangunan di tahun
1970-1980, sebuah seminar ilmiah yang diadakan
oleh Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan
Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS), diadakan di Malang
tanggal 13-17 November 1979, dengan tema dan
hasil yang monumental sampai saat ini, yaitu
‘Kemiskinan Struktural’ (Soemardjan, 1980),
dimana dalam pendapatnya dinyatakan bahwa
kemiskinan struktural tidak menunjuk pada
individual yang miskin karena malas bekerja atau
tidak mendapatkan penghasilan, tetapi lebih
banyak karena struktur sosial masyarakat yang
ada telah membatasi hak-hak mereka untuk
mendapatkan/menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang tersedia untuk mereka.
Pada kondisi seperti itu kelompok
masyarakat yang berada pada kondisi seperti itu
pada umumnya memiliki kesadaran akan
Budaya Kemiskinan Di Masyarakat .............. ( Ketut Sudhana Astika)
3. 22
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
nasibnya yang berbeda dengan kelompok/
golongan lainnya. Dalam kelompok miskin
secara struktur ini, masih menurut Soemardjan,
ada para petani yang tidak bertanah atau
mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga
tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya.
Juga golongan mereka yang tidak terdidik dan
terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang
terhambat untuk memasuki pasar kerja, golongan
miskin itu juga meliputi para pengusaha tanpa
modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, atau
golongan ekonomi lemah.
Pembicaraan tentang kemiskinan penduduk
perkotaan, diungkap oleh Gavin Jones (dalam
Dorodjatun, 1986), yang menyatakan bahwa
sebagai akibat dari migrasi penduduk pedesaan
ke kota (khususnya kota-kota di Jawa), telah
menambah jumlah penduduk miskin yang ada
karena dua hal yaitu : karena penambahan secara
alamiah (lebih banyak kelahiran dari pada
kematian); dan karena adanya migrasi orang desa
ke kota yang terus bertambah (untuk mencari
pekerjaan). Gavin Jones bahkan berteori bahwa
bagaimanapun orang-orang desa yang bermigrasi
membandingkan bahwa ada peluang atau
kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih
panjang dikota, walau harus tinggal
diperkampungan.
Apa yang dinyatakan Gavin Jones,
sebenarnya ditunjang oleh temuan dua peneliti
lainnya. Peneliti pertama, Graeme Hugo (1986)
yang memfokuskan migrasi sirkuler penduduk
sekitaran Jakarta antara lain penduduk kabupaten
yang berdekatan dengan Jakarta, seperti
Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi.
Perkembangan industri dan pembangunan kota
di Jakarta sangat menarik minat para penduduk
di desa-desa kabupaten tadi untuk pindah dan
menetap di Jakarta. Dan secara umum para
migrant dalam teori yang dikemukakan oleh
Graeme Hugo, besarnya angka/jumlah migrant
sangat tergantung pada jarak daerah asal dan kota
tujuan, sarana transportasi yang tersedia, dan
kondisi perkembangan kota tujuan. Sehingga ia
kemudian mengklasifikasi model migrasi ke kota
yang ada yaitu : ‘pindah, merantau, dan pulang
balik’.
Temuan kedua merupakan penguatan teori
Graeme Hugo yang dilakukan Lea Jellinek
(1986), dalam tulisannya ‘sistem pondok dan
migrasi sirkuler’, khususnya pada migran
penduduk desa ke kota Jakarta. Jellinek
menganalogikan ‘pondok’ sebagai sebuah rumah
sederhana tempat menginap di pedesaan. Di
Jakarta para migrant mengartikan dan
memfungsikan ‘pondok’ bukan saja sebagai
tempat menginap, tetapi juga menjadi tempat
usaha dan kegiatan kehidupan lainnya. Karena
itu dalam temuan penelitiannya, ratusan pondok-
pondok yang tersebar di seluruh kota menjadi
berbagai pangkalan, tempat usaha kecil berjalan,
dan ada ribuan pengusaha dengan modal kecil
hidup (umumnya para migrant sirkuler) dalam
‘sistem pondok’ dengan sistem ‘tauke’ yang
terstruktur dan kuat. Pondok juga menampung
pendatang baru dari desa-desa yang sama, dan
menyediakan lapangan kerja sehingga selalu
menarik minat bagi berlangsungnya proses
‘migran sirkuler’.
Sebenarnya temuan-temuan penelitian dari
Gavin Jones, Graeme Hugo maupun Lea Jellinek,
lebih banyak barbicara dan berteori tentang
migarasi dan aspek-aspeknya, tetapi dampak dari
temuan mereka serta teori mereka sangat
berperan dalam berkembangnya jumlah
penduduk kelompok miskin diperkotaan
(khususnya Jakarta), atau model-model yang
mereka temukan telah menjadi ‘model’ yang juga
4. 23
melanda kota-kota lain yang berkembang di
Indonesia. Kemiskinan perkotaan telah menjadi
‘model’ dari perkembangan kota, dan juga
merupakan masalah bagi pemerintahan dan
manajemen perkotaan. Karena dari cara hidup
para migran di perkotaan inilah telah lahir pola
adaptasi, nilai-nilai yang diyakini, respons dalam
tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang khas
penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya
disebut dengan kebudayaan kemiskinan.
3. MAKNA KEBUDAYAAN
KEMISKINAN
Istilah kebudayaan kemiskinan untuk
pertama kalinya dikemukakan oleh seorang
antropolog Amerika, Oscar Lewis dalam
Suparlan (1984). Kebudayaan dalam pengertian
Oscar Lewis mencakup apa yang diyakini (nilai-
nilai), respons dalam tindakan (sikap), dan
abstraksi-abstraksi dari kelakuan (pola-pola
kelakuan). Tiga kategori inii sebenarnya tidak
dapat digolongakan sebagai/dalam sebuah
kategori budaya. Karena masing-masing kategori
tersebut dengan unsure-unsurnya terkategorisasi
secara bertimgkat-tingkat menurut ciri-cirinya.
Karena itu kemudian karya-karya Oscar Lewis
dalam mengkaji kebudayaan kemiskinan lebih
bersifat deskriptif dan kasuistik, yang tidak dapat
menghasilkan formula yang dapat digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah
kemiskinan. Namun, dengan kelemahan
metodologis yang dimilikinya Oscar Lewis masih
dapat/mampu mengidentifikasi bahwa
kebudayaan kemiskinan itu tidak pernah ada
dalam sebuah masyarakat yang menganut system
kekerabatan yang patrilineal atau matrilineal.
(Suparlan, 2008 : 369).
Selanjutnya menurut Oscar Lewis, dalam
Suparlan (1984), mengidentifikasi bahwa dalam
kebudayaan kemiskinan (terutama di perkotaan),
adalah sebagai konskwensi dari masyarakat
dengan kepadatan tinggi, terbatasnya akses-akses
terhadap barang-barang konsumsi, layanan
kesehatan dan sarana pendidikan. Kebudayaan
kemiskinan juga bisa terwujud dalam situasi
ekonomi yang terdeferensiasi, berkembamngnya
system ekonomi uang, buruh upahan, dan sistem
produksi untuk keuntungan.Demikian juga pada
masyarakat yang mempunyai institusi social yang
lemah untuk mengontrol dan memecahkan
masalah sosial dan kependudukan, yang
berdampak pada pertumbuhan tinggi dan
pengangguran juga tinggi.
Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu
adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum
miskin terhadap kedudukan marginal mereka
dalam massyarakat yang berstrata kelas, sangat
individualistis berciri kapitalisme. Sehingga yang
mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki
kebudayaan kemiskinan adalah kelompok
masyarakat yang berstratarendah, mengalami
perubahan social yang drastic yang ditunjukkan
oleh ciri-ciri :
1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi
kaum miskin kedalam lembaga-lembaga
utama masarakat, yang berakibat munculnya
rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis dan
perpecahan;
2. Pada tingkat komunitas local secara fisik
ditemui rumah-rumah dan pemukiman
kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan
rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga
inti dan keluarga luas;
3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa
kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa,
atau perkawinan usia dini, tingginya angka
perpisahan keluarga, dan kecenderungan
Budaya Kemiskinan Di Masyarakat .............. ( Ketut Sudhana Astika)
5. 24
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
terbentuknya keluarga matrilineal dan
dominannya peran sanak keluarga ibu pada
anak-anaaknya;
4. Pada tingkat individu dengan ciri yang
menonjol adalah kuatnya perasaan tidak
berharga, tidak berdaya, ketergantungan
yang tinggi dan rasa rendah diri;
5. Tingginya (rasa) tingkat kesengsaraan,
karena beratnya penderitaan ibu,lemahnya
struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan
dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini,
dan kekurang sabaran dalam hal menunda
keinginan dan rencana masa depan,
perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya
anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan
berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya;
6. Kebudayaan kemiskinan juga membentuk
orientasi yang sempit dari kelompoknya,
mereka hanya mengetahui kesulitan-
kesulitan, kondisi setempat, lingkungan
tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja,
tidak adanya kesadaran kelas walau mereka
sangat sensitif terhadap perbedaan-
perbedaan status;
Dengan enam ciri tersebut sebenarnya sudah
dapat diidentifikasi kelompok masyarakat mana
yang termasuk dalam kategori masyarakat
dengan kebudayaan kemiskinan. Mungkin ciri-
ciri yang dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut
memang lebih banyak dapat dilihat pada ciri
masyarakat miskin perkotaan.
Tokoh-tokoh lain yang juga berbicara
tentang kemiskinan antara lain Chris manning
dan tadjuddin Noer Effendi (1983) yng berbicara
tentang kemiskinan di perkotaan dengan
penekanan pada masalah urbanisasi,
pengangguran dansektor informal perkotan,
membawa analisa mereka pada budaya
kemiskinan yang dilihat dari berbagai dimensi :
ekonomi, politik dan social budaya. Dan hasil
seminar HIPIIS di Malang 13-17 Nopember
1079 adalah hasil monumental tentang
‘Kemiskinan Struktural’ yang mana pemikiran
para ahli ilmu sosial tentang kemiskinan
dihimpun oleh Alfian, Mely G. Tan dan Selo
Soemardjan (1980). Mereka menunjukkan
perhatian tentang kemiskinan dari berbagai
aspek.
Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang
menghimpun sejumlah hasil penelitian
kependudukan dan masalah kemiskinan dalam
‘Kemiskinan di Indonesia’ (1986), melihat
masalah kemiskianan muncul sebagai dampak
dari kebijakan pembangunan khususnya
pembangunan desa-kota yang tidak seimbang,
sehingga berdampak pada berkembangnya
fenomena kemiskinan (khususnya di perkotaan).
Pembicaraan secara khusus tentang ciri
kemiskinan yang lain adalah munculnya
fenomena sektor informal perkotaan seperti yang
dibicarakan Prof. Dr. Rusli Ramli,MS dalam
buku Sektor Informal Perkotaan : Pedagang Kaki
Lima (1992). Dikemukakan bahwa dimulai dari
kebijaksanaaan ekonomi, kesempatan kerja yang
terbatas, dan sifat para birokrat kota kepada para
pedagang kaki lima, dan terbentuknya jaringan
sosial antara pedagang kaki lima dengan berbagai
sektor lainnya, yang kemudian memberi wajah
dominan pada sebuah kota. Rusli Ramli juga
membicarakan tentang bagaimana latar belakang
social para pedagang antara lain : pola
orientasinya, organisasi, status perkawinan dan
jumlah tanggungan, yang menggambarkan
tentang adanya kemiskinan.
6. 25
4. KESIMPULAN
Ada banyak tokoh yang berbicara tentang
kemiskinan secara individual atau secara
berkelompok, namun diketahui ada kelembagaan
yang secara khusus berbicara tentang kemiskinan
(HIPIIS) dengan konsepnya yang cukup bergema
yaitu konsep kemiskinan struktural.
Pembicaraan tentang teori kemiskinan
khususnya tentang kebudayaan kemiskinan,
sampai kini masih dapat digunakan pemikiran
teori dari Oscar Lewis (1955), yang teorinya
masih dirujuk oleh pemikir setelahnya termasuk
antropolog Parsudi Suparlan yang lebih
mengkhususkan perhatiannya pada masalah
antropologi perkotaan.
Teori-teori lain yang berkembang dan
dikembangkan oleh para ahlinya, lebih banyak
menyatakan bahwa kemiskinan adalah dampak
dari masalah kependudukan khususnya migrasi
desa-kota yang tidak terkendali. Kemiskinan dan
kebudayaan kemiskinan terbentuk dari suatu
situasi, yang mengelompokkan masyarakat dalam
dua kategori, yaitu miskin dan tidak miskin.
Selain itu, kebudayaan kemiskinan membuat
sebuah kategorisasi dengan ciri-ciri khusus, dan
juga dampak yang ditimbulkannya pada
kelompok miskin tersebut.
Kebudayaan kemiskinan merupakan
adaptasi dan penyesuaian oleh sekelompok orang
pada kondisi marginal mereka, tetapi bukan untuk
eksistensinya karena sejumlah sifat dan sikap
mereka lebih banyak terbatas pada orientasi
kekinian dominannya sikap rendah diri, apatis,
dan sempitnya pada perancanaan masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan : 1980.
kemiskinan Struktural, Suatu Bunga
rampai; 1980. Jakarta. Yayasan Ilmu-
ilmu social.
Doyle, Paul Johnson : Teori Sosiologi, Klasik dan
Modern (terjemahan : Robert MZ
Lawang). 1986. Jakarta. Penerbit PT
Gramedia.
Hauser, Phillip M.cs : Penduduk dan Masa
Depan Perkotaan,1985. Jakarta.
Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Kompas, Penerbit Buku Kompas ; Demokrasi,
Kekerasan, Disintegrasi: 2001. Jakarta.
Penerbit Buku Kompas
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun : Kemiskinan di
Indonesia; 1986. Jakarta. Yayasan Obor
Indonesia.
Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Herlianto, : Urbanisasi, Pembangunan, dan
Kerusuhan Kota; 1997. PenerbitAlumni
Bandung.
Manning Chris dan Tadjuddin Noer Effendi :
Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor
Informal di Kota; 1983. Yogjakarta
Penerbit PPSK-Univ Gajah Mada.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael
Dove : Nelayan dan Kemiskinan, Studi
Ekonomi Antropologi di Dua Desa
Pantai; 1984. Jakarta. Penerbit Rajawali.
Ramli,Prof.Dr. Rusli : Sektor Informal Perkotaan
Pedagang kaki Lima; 1992. Jakarta.
Penerbit Ind-Hill-Co.
Sairin, Prof. Dr.Syafri : Perubahan Sosial
Masyarakat Indonesia, Perspektif
Antrpologi;2002. Yogjakarta. Penerebit
Pustaka Pelajar.
Sunarto, Kamanto : Pengantar Sosiologi; 1993.
Jakarta. Lembaga Penerbit, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Budaya Kemiskinan Di Masyarakat .............. ( Ketut Sudhana Astika)
7. 26
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010
Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan
Di Perkotaan, Bacaan Untuk
Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta.
Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan
Obor Indonesia.
Suparlan, Parsudi : Dari Masyarakat Majemuk
Menuju Masyarakat Multikultural;
(buku kumpulan tulisan Prof. Parsudi
Suparlan, Ph.D. In Memorium, editor :
Chrysnanda. DL dan Yulizar Syafri);
2008. Jakarta. Penerbit JPKIK.