1. 1
Usia dan Dosa
Ada sebuah kisah yang bisa menjadi pelajaran bagi diri kita. Yaitu kisah
tentang perjalanan hidup seorang ulama yang bernama Fudhail bin
‘Iyadh. Ia merupakan salah seorang ‘sufi’ yang hidup semasa dengan
Khalifah Harun al-Rasyid. Suatu hari, ia berjumpa seorang kakek tua
yang sedang bersandar di tongkatnya. Fudhail bertanya, “Berapa usia
tuan?” Sang kakek menjawab, “Enam puluh tahun.” Fudhail bertanya
lagi, “Apakah usia 60 tahun tuan gunakan untuk ketaatan kepada
Allah? Tuan hampir sampai,” (menemui ajal),” ujarnya. Mendengar hal
itu, sang kakek itu menangis tersedu-sedu. Ia berkata, “Aku galau.
Umurku terbuang percuma. Aku banyak melakukan dosa. Aku pun tak
tahu, apa yang akan Allah perbuat untukku.” Mendengar ungkapan
tulus itu, Fudhail menawarkan solusi. “Mau aku beri tahu jalan
keluarnya? Pergunakan waktu tersisa untuk kebaikan, niscaya Allah
SWT mengampuni kesalahan yang telah lalu,” kata Fudhail.
Dialog ini sangat inspiratif dan mendorong kita untuk merenung. Paling
tidak ada tiga hal penting dalam hidup ini, yaitu usia, dosa, dan amal saleh
sebagai bekal atau persiapan menyongsong kematian (al-isti`dâd li yaum al-
ma`âd).
Pertama, usia. Usia adalah waktu yang disediakan Tuhan untuk
beribadah. Sebagaimana firman Allah,
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin
mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS al-Furqân/25: 62).
Waktu terus berputar dan berlalu begitu cepat. Pertanyaannya:
“Apakah usia (waktu) yang kita miliki, kita pergunakan untuk kebaikan?
Inilah pertanyaan Fudhail yang mesti kita renungkan. Nilai usia tidak
terletak pada jumlah (kuantitas)-nya, tetapi pada kualitas dan keberkahannya.
Simaklah hadits-hadits berikut:
“Ada seorang laki-laki bertanya (kepada Rasululllah shallallâhu 'alaihi wa sallam): Ya
Rasulullah Siapakah orang yang terbaik? Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pun
2. 2
menjawab: (Sebaik-baik manusia) adalah orang yang panjang umurnya dan bagus
amalnya. Kemudian ditanyakan lagi, Siapakah orang yang paling buruk? Rasulullah
shallallâhu 'alaihi wa sallam pun menjawab: (Seburuk-buruk manusia) adalah orang
yang panjang umurnya dan buruk amalnya.” (Hadits Riwayat at-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmidzi, juz IV, hal. 566, hadits no. 2330 dan Hadits Riwayat Ahmad bin
Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 40, hadits no. 20431, dari Abu
Bakrah).
"Ada dua orang Arab dusun datang menemui Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Lalu
salah seorang dari mereka bertanya, "Siapakah laki-laki yang paling baik wahai
Muhammad?" Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjawab: "Orang yang panjang
umurnya dan baik amalnya." Kemudian laki-laki yang satunya lagi berkata, "Kami
telah banyak mendapatkan banyak pengajaran tentang syariat Islam, maka ajarkanlah
kepada kami satu pintu yang menghimpun seluruh kebaikan yang bisa kami jadikan
pedoman." Beliau bersabda: "Hendaknya lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada
Allah." (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin Busr, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal. 188, hadits no. 17716)
Kedua, dosa. Manusia, pada umumnya, lebih mengingat kebaikan
daripada dosa dan kesalahannya. Tetapi, perlu diketahui, bahwa Allah SWT tak
pernah lupa. Dia terus mencatat dosa manusia, dan memerlihatkannya kelak di
hari kiamat. Sebagaimana firman Allah,
ۚۚ
“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal
perbuatan itu, Padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu.” (QS al-Mujâdilah/58: 6).
Supaya tidak mudah lupa dengan dosa yang kita lakukan, Imam al-
Ghazali menyarankan agar kita melempar batu kecil (kerikil) di halaman rumah
setiap kali melakukan dosa. Jika hal itu dilakukan, demikian al-Ghazali, maka
3. 3
boleh jadi, dalam waktu tidak terlalu lama, kerikil itu akan menumpuk dan
menggunung.
Untuk menghapus dosa ini, maka cara yang harus dilakukan adalah
bertaubat. Taubat berasal dari kata tâba yang berarti kembali ke jalan yang benar
dengan cara berhenti melakukan dosa, baik yang besar maupun kecil.
Taubat adalah akses (jalan) yang disediakan Tuhan bagi hamba-hamba-
Nya yang ingin kembali ke jalan-Nya. Bagi mereka yang bertaubat, Allah
menyediakan pahala dan ampunan. Sebagaimana firman Allah,
ۗ
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS
al-Furqân/25: 70-71).
Ketiga, amal saleh. Secara harfiah, amal saleh bermakna kerja atau
perbuatan yang mendatangkan kebaikan. Amal saleh adalah mode of existence
atau cara beradanya manusia.
Manusia dipandang benar-benar eksis (ada), bila ia bekerja dan berbuat
kebajikan. Tanpa kerja (amal saleh), ia sama dengan tidak ada. Itu sebabnya,
amal saleh menjadi satu-satunya faktor yang memermudah jalan menuju Allah.
ۖ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia memersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi/18: 110).
Wallâhu A`lamu bish-Shawâb.