Ada perbedaan pendapat ulama mengenai kewajiban shalat Jumat bagi orang yang telah melaksanakan shalat 'ied ketika hari raya jatuh pada hari Jumat. Pendapat mayoritas menyatakan tetap wajib, sementara pendapat Hambali mengizinkan tidak menghadiri shalat Jumat. Pendapat kedua didukung riwayat sahabat seperti Ibnu Az-Zubair yang melakukannya. Imam masjid tetap menjalankan sh
Bila hari raya pada hari jumat, apa yang kita lakukan
1. 1
Bila Hari Raya
Jatuh Pada Hari Jumat, Apa Yang Kita Lakukan?1
Banyak – dari berbagai kalangan umat Islam -- yang menanyakan:
bagaimana jika Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat,
Apakah shalat Jumatnya gugur, karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Atau
tetapkah shalat Jumat wajib dikerjakan pada saat itu? Artikel ini ditulis untuk
menjelaskan secara ringkas permasalahan tersebut. Mudah-mudahan, meskipun
sangat ringkas, penjelasan berikut dapat menjawabpermasalahan ini.2
Diperkirakan bahwasanya kemungkinan besar hari raya Idul Fitri tahun
ini jatuh bertepatan dengan hari Jum’at, jika merujuk kepada hasil perhitungan
ilmu hisab-falaki, sebab diperkirakan tinggi hilal pada waktu itu sudah 3 derajat
lebih (dimana hal tersebut sudah di atas batas minimal bulan bisa terlihat
(imkânur ru’yah) yaitu 2 derajat.) Meskipun demikian jika berpatokan kepada
keputusan pemerintah maka hal tersebut perlu dilakukan ru’yatul hilâl terlebih
dahulu untuk memastikan bahwasanya bulan benar-benar bisa terlihat.
Lalu bagaimanakah jika hal tersebut terjadi? Apakah ketika seseorang
telah melaksanakan shalat ‘Id pada hari tersebut maka secara otomatis
kewajiban shalat Jum’atnya gugur?
Dalam hal ini secara umum para ulama berbeda pendapat antara yang
berpendapat bahwasanya kewajiban shalat Jum’at tidak gugur dengan yang
berpendapat kewajiban shalat Jum’at gugur dan bisa diganti dengan shalat
zhuhur.
Yang berpendapat tidak gugur pun terbagi menjadi dua kelompok,
antara yang berpendapat tidak gugur bagi semua orang dan yang berpendapat
tidak gugur kecuali bagi penduduk yang tinggal di kampung atau desa yang
tidak memiliki masjid jami’ yang digunakan untuk shalat Jum’at, sehingga
ketika shalat Jum’at atau shalat Id mereka harus datang ke kampung lain yang
terdapat masjid jami’ di sana.
1
Dikutip dan diselaraskan dari dari tulisan: Muhammad Abduh Tuasikal,
artikel dalam http://rumaysho.com, Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28
Dzulqa’dah 1430 H., http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2789-bila-hari-
ied-jatuh-pada-hari-jumat.html, pada hari Jumat, 10 Juli 2015. Dikutip dan diselaraskan
secara keseluruhan untuk keperluan pengajian menjelang berbuka puasa, di Masjid
Margo Rahayu, Namburan Kidul, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton,
Yogyakarta.
2
Pembahasan kali ini kami olah dari Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim,
Shahih Fiqih Sunnah, juz I, hal. 594-596, Al-Maktabah at-Taufîqiyyah.
2. 2
Salah satu sebab perbedaan pendapatnya adalah karena perbedaan di
samping pemahaman terhadap makna keumuman ayat al-Quran tentang
kewajiban ibdah Jum’at, dan juga terhadap hadits-hadits Nabi saw.
Untuk masalah ini, para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied “tetap wajib”
melaksanakan shalat Jumat.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah
menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al-bawadiy). Dalil dari
pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS al-Jumu’ah, 62:
9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jumat. Di antara
sabda Nabi s.a.w,
“Barangsiapa meninggalkan Jum'at tiga kali karena meremehkannya,
maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”3
Ancaman keras
seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jumat itu wajib.
Nabi s.a.w. juga bersabda,
3
HR Abu Dawud dari Abu al-Ja’d adh-Dhamri, Sunan Abî Dâwud, juz I, hal.
277, hadits no. 1052,. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan bahwa
hadis ini hasan-shahih, dalam Shahîh Abî Dâwud, juz IV, hal. 218, hadits no. 965.
3. 3
“Shalat Jumat merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim
dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3]
anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”4
Ketiga: Karena shalat Jumat dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang
sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib),
maka shalat Jumat dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya
sebagaimana shalat zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jumat bagi yang telah
melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang
nomaden, seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin
‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jumat. Kemudian beliau shalat
‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai
sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul
dua hari raya (dua hari raya, ‘ied al-fithri dan adh-hâ). Siapa saja
dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jumat,
4
HR Abu Dawud dari Tharib bin Syihab, Sunan Abî Dâwud, juz I, hal. 280,
hadits no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
mengatakan bahwa hadis ini shahih, dalam Shahîh Abî Dâwud, juz IV, hal. 232, hadits no.
978.
4. 4
maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan
dan telah kuizinkan.”5
Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat 'Ied boleh
tidak menghadiri shalat Jumat. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap
melaksanakan shalat Jumat agar orang-orang yang punya keinginan
menunaikan shalat Jumat bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied
bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini
terdapat riwayat dari ‘Umar bin al-Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi
Thalib, Ibnu [‘Abdullah bin) ‘Umar, Ibnu [‘Abdullan bin] ‘Abbas dan Ibnu
[‘Abdullah bin] az-Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari ’Iyas bin Abi Ramlah asy-Syamiy, ia
berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya
pada Zaid bin Arqam,
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha
bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “ya”, jawab Zaid.
Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan
ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi
keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat
Jumat, maka silakan.”6
Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrâr (1/304) mengatakan bahwa hadis
ini memiliki syâhid (riwayat penguat). An-Nawawi dalam Al-Majmû’ (4/492)
mengatakan bahwa sanad hadis ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen).
5
HR al-Bukhari dari Abu ‘Ubaid, Shahîh al-Bukhâriy, juz VI, hal. 134, hadits
no. 5572.
6
HR Abu Dawud dari ‘Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, Sunan Abî Dâwud,
juz I, hal. 281, no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
5. 5
‘Abdul Haq asy-Syubaili dalam Al-Ahkâm ash-Shugrâ (321) mengatakan bahwa
sanad hadis ini shahîh. ‘Ali al-Madini dalam al-Istidzkâr (2/373) mengatakan
bahwa sanad hadis ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh
Muhammadd Nashiruddin al-Albani dalam Al-Ajwibah an-Nâfi’ah (hal. 49)
mengatakan bahwa hadis ini shahih.7
Intinya, hadis ini maqbûl dan ma’mûl bih
(bisa diterima dan digunakan sebagai hujjah atau dalil).8
Kedua: Dari ‘Atha’, ia berkata, “Ibnu az-Zubair ketika hari raya [‘ied]
yang jatuh pada hari Jumat pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang.
Kemudian ketika tiba waktu shalat Jumat Ibnu az-Zubair tidak keluar, beliau
hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu
‘Abbas tiba, kami pun menceritakan tindakan Ibnu az-Zubair pada Ibnu ‘Abbas.
Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah
(ajaran Nabi s.a.w.) [ashâbas sunnah].”9
Jika sahabat mengatakan ashâbas sunnah
(menjalankan sunnah), itu berarti [tindakan sahabat, yang biasa disebut sebagai
hadis mauqûf] statusnya [meningkat menjadi] marfû’ yaitu menjadi setara dengan
sunnah Nabi s.a.w., sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah (dalil
dalam beragama)
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin al-Khattab melakukan seperti apa
yang dilakukan oleh Ibnu az-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak
menyalahkan perbuatan Ibnu az-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Thalib pernah
mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied, maka ia boleh
tidak menunaikan shalat Jumat. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain
yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.10
Kesimpulan:
Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak
menghadiri shalat Jumat sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari
para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi
pendapat ini.
Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah
mengerjakan shalat 'ied tidak menghadiri shalat Jumat, ini bisa dihukumi
7
Dinukil dari http://dorar.net
8
Bandingkan: Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahîh wa Dha’îf Sunan Abî
Dâwud, juz III, hal. 70, hadits no. 1079.
9
HR Abu Dawud dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, Sunan Abî Dâwud, juz I, hal. 281,
hadits no. 1071. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadis ini
shahih, dalam Shahîh Abî Dâwud, juz I, hal. 236, hadits 981.
10
Lihat Shahîh Fiqh as-Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al-Maktabah at-
Taufiqiyah.
6. 6
marfû’ (setara dengan sunnah Nabi s.a.w.) karena dikatakan “ashâbas
sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi s.a.w.)”. Perkataan semacam ini
dihukumi marfû’ (sama dengan perkataan Nabi s.a.w.), sehingga
pendapat kedua dinilai lebih tepat.
Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan
untuk tidak [melaksanakan] shalat Jumat adalah khusus untuk orang
yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat
Jumat), maka pendapat ini dipandang “lemah”, dan bisa dinyatakan
terlalu ‘memaksa-maksakan’ dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman bin
‘Affan mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan
telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu az-Zubair bukanlah orang yang
nomaden, namun ia mengambil keringanan untuk tidak melaksanakan
shalat Jumat, termasuk pula ‘Umar bin Khattab yang melakukan hal
yang sama.
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jumat
supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jumat atau yang tidak shalat
‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk
membaca surat al-A’lâ dan al- Ghâsyiyah jika hari raya (‘ied al-fithri dan al-
adh-hâ) bertemu dengan hari Jumat pada shalat ‘ied dan shalat Jumat.
Sebagaimana riwayat dari an-Nu’man bin Basyir, Nabi s.a.w. bersabda,
.
“Rasulullah s.a.w. biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jumat
“sabbihisma rabbikal a’lâ” dan “hal atâka hadîtsul ghâsyiyah”.” Dia
(An-Nu’man bin Basyir) mengatakan begitu pula ketika hari raya (‘ied)
bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.11
11
HR Muslim dari An-Nu’man bin Basyir, Shahîh Muslim, juz III, hal. 15, no.
2065.
7. 7
Hadis ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat al-A’lâ dan
al-Ghâsyiyah ketika hari raya (‘ied) bertetapan dengan hari Jumat dan dibaca di
masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jumat).
Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jumat dan telah menghadiri
shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat zhuhur sebagaimana
dijelaskan pada hadis yang sifatnya umum. Hadis tersebut menjelaskan bahwa
bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat, maka sebagai gantinya, ia
menunaikan shalat zhuhur (4 raka’at).12
Demikian penjelasan ringkas ini. Semoga apa yang kami sajikan ini
bermanfaat bagi jamaah. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna.
12
Lihat Fatwâ al-Lajnah ad-Dâimah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’, juz VIII,
hal. 182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ al-Iftâ.