MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
THE POWER OF SHALAT.docx
1. “THE POWER OF SHALAT”: RAHASIA
IBADAT AHLI MAKRIFAT
29/03/2019 / Said Muniruddin
“THE POWER OF SHALAT”: Rahasia Ibadat Ahli Makrifat
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Sebagaimana diriwayatkan, semua kalimat azan yang
berulang-ulang itu, kata Nabi SAW, dijawab sesuai panggilan. Ketika diseru Allahu Akbar,
Asyhadu an-Lailaha illallah dan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (masing-masing 2
kali); direspon dengan kalimat yang sama.
Berbeda dengan “Hayya ‘alash Shalah” (juga Hayya ‘alal Falah), jawabannya: La haula wala
quwwata illa billah (“Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”).
Mengapa?
Ada yang berseloroh. Penyebab malas shalat tercermin dari jawaban azan. Semua panggilan
dijawab optimis dengan bahasa yang sama. Begitu sampai pada ajakan shalat, tiba-tiba
diserahkan semuanya kepada Allah: “Tidak mampu aku ya Allah”. Akhirnya tidak shalat.
Apakah benar kalimat للللل للللللل لللل للللل merepresentasikan fatalisme
dan kemalasan?
Tentu tidak demikian. Ada pesan sufistik yang tinggi pada jawaban yang sangat “rapuh” ini. La
haula wala quwwata illa billah hanya bisa dipahami oleh kaum sufi. Sebab, hakikat shalat ada
dalam perbendaharaan ‘arif rabbani.
Apa itu shalat?
Kata Nabi SAW: “Ash-shalatu mikrajul mukminin”. Shalat adalah bentuk mikrajnya kaum
mukmin untuk menjumpai Allah. Memang siapa diantara kita yang pernah berjumpa Allah saat
shalat? Tidak ada. Terlihat seolah-olah seperti sedang shalat. Padahal lebih tepat disebut latihan
2. shalat. Sedikit yang benar-benar menegakkan shalat. Sebab, kalau shalatnya asli, pasti berjumpa
(liqa’) Allah.
Shalat itu media komunikasi (“bercakap-cakap”) dengan Allah. Tetapi saat shalat kita tidak
berjumpa, tidak tersambung, tidak terhubung atau tidak terkoneksi “secara interaktif” dengan
Allah. Padahal, selain para nabi (QS. Albaqarah: 253, An-Nisa: 164), Allah juga menjanjikan
bagi manusia secara umum (basyar) untuk dapat berkomunikasi “secara langsung” dengan-Nya
dengan berbagai cara:
َمَا كَ كَ اِ اَ َرك ََا َكَََ اَ ه
ُكَّللا ُ ه
إ ُااوكحْاًُ َوا َ
ان اَكَ َوااِ َا اَ
او كَُيَاس ك
ُيَُاِ ااكَ َُن ََا ِإَكًاَ ِوكْا ُاهاكَّللا ۚ ََُا ا َا كاكاَِكمكٌ
“Tidak adalah bagi manusia, bahwa Allah bercakap-cakap dengan dia, kecuali dengan wahyu
atau dari belakang tabir, atau Dia utus seorang utusan (malaikat) lalu utusan itu
mewahyukan dengan izin-Nya apa-apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha
tinggi lagi Maha bijaksana” (QS. Asy-Syura: 51)
Mengapa dalam shalat kita tidak pernah berjumpa (terkoneksi) dengan Allah?
Itu akibat membawa diri sendiri. Mana mungkin rukuk, sujud dan bacaan kita sampai kepada
Allah. Mana mungkin dimensi fisikal dan unsur-unsur material sampai kepada Allah. Allah
maha gaib, melampaui dimensi bentuk dan gerak. Dia menolak unsur-unsur duniawi.
Allah berada pada dimensi ruhani murni. Dia hanya menerima unsurnya sendiri. Tidak mungkin
Dia menyerap unsur-unsur alam kebendaan. Yang sampai kepada Allah hanya “unsur-unsur”
Allah sendiri. “Hanya cahaya matahari yang sampai kepada matahari”, sebut Abuya Sayyidi
Syeikh Ahmad Sufimuda. Hanya cahaya Allah yang sampai kepada Allah.
Nabi Muhammad SAW juga begitu, bisa sampai ke sisi Allah juga karena adanya cahaya Allah,
yang populer disebut “Buraq”. Mana mungkin Muhammad sebagai makhluk biologis bisa
sampai ke sisi immaterial Allah SWT. Buraq-lah yang mengantarkan ibadahnya kehadirat Ilahi.
Buraq adalah “kilat”, sebutan lain dari “cahaya Allah” (yang maha cepat dalam
menyambungkan ruhani seseorang dengan Allah). Buraq bukan jenis binatang yang
digambarkan dalam ceramah-ceramah israk mikraj. Sebab, binatang dan makhluk material lain
yang berada pada dimensi rendah tidak pernah bisa sampai ke sisi Allah.
Memang dalam dunia sufi dan keagamaan klasik sering ditemukan cara memvisualkan atribut-
atribut ruhaniah agar mudah dipahami awam (sebagaimana halnya deskripsi imajiner tentang
pahala, surga dan neraka). Terkait mengapa Buraq dilukiskan sebagai kuda atau singa berwajah
perempuan yang bisa terbang, akan kami jelaskan pada tulisan yang lain.
Jadi, pada wujud hakikinya, shalat adalah bentuk mikrajnya orang-orang beriman. Shalat pada
level makrifati melampaui bentuk-bentuk “jasadi”. Secara syari’at, sempurnanya shalat tentu
dengan meniru gerak Nabi (meskipun dalam dunia Islam kita temukan tidak ada kesamaan
sempurna dalam gerak atau tata cara shalat). Untuk meniru gerak, kita harus melihat cara
Baginda shalat: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Tetapi untuk mengetahui
apa yang Beliau alami dalam shalat, kita harus memahami ayat-ayat mistik serta petunjuk-
petunjuk tarekat dari Nabi.
Shalat yang sempurna tidak hanya butuh jasad. Buraq-nya, ada atau tidak? Unsur “cahaya”-lah
yang mengatarkan kita ke sisi Allah. Inilah yang menentukan kita benar-benar shalat
(tersambung dengan Allah). Tanpa cahaya: “Shalat kita ibarat kabel listrik tanpa arus”, kata
Abuya Sufimuda. Tidak ada kontak. Yang menghidupkan segalanya bukanlah kabel. Melainkan
arus yang ada di dalamnya. Kata Nabi SAW, tidak ada yang diperoleh dari bentuk-bentuk ibadah
yang kosong dari “arus”, kecuali letih dan dahaga.
Apa itu “Cahaya Allah” (Buraq)?
3. Cahaya Allah adalah entitas awal yang Dia ciptakan dari unsurnya sendiri. Dari elemen inilah
tercipta alam semesta. Seluruh alam material ini sebenarnya tersusun dari atom-atom batiniah
yang tidak terlihat, yaitu cahaya-Nya sendiri. Ibarat tubuh manusia, apa yang terlihat nyata
(dhahir) pada diri kita, sebenarnya tersusun dari partikel-partikel dasar yang tak kasat mata
(gaib).
Cahaya Allah merupakan jiwa sekaligus ‘material dasar’ dari alam semesta. Allah adalah cahaya
langit dan bumi: “Allahu nur as-samawati wal-ardhi” (QS. An-Nur: 35). Baik dimensi malakut
(”langit”) maupun lahut (bumi) tercipta dari cahaya Allah.
“Cahaya Allah” ini dibahasakan beragam: Nur, Nurullah, Nurun ‘ala Nurin, Akal Awal, Akal
Pertama, Ruh, Ruh Ilahi, Ruhul Quddus, Ruhul Muqaddasah Rasulullah, Nur Muhammad,
Hakikat Muhammad, Rasulullah, Qalam ‘Ala, Buraq, dan sebagainya.
Jadi, yang sampai kepada Allah hanya ‘unsur’ Allah sendiri, yaitu cahaya-Nya. Sebenarnya agak
rancu dalam filsafat tauhid untuk mengatakan Allah memiliki unsur (seolah-olah Allah itu
memiliki bagian). Ini hanya bahasa untuk memudahkan pemahaman.
Singkat cerita, hanya mereka yang mahir mengunakan Buraq yang sampai kehadirat Allah.
Shalat yang terkoneksi dengan Allah adalah shalat yang “diterbangkan” ke langit spiritual
tertinggi melalui wasilah atau frekuensi yang tersambung dengan Allah (yaitu Buraq atau
cahaya Allah itu sendiri).
Oleh sebab itu, yang menyempurnakan segala bentuk ibadah (termasuk shalat) adalah
ketersambungan kita dengan Buraq atau Ruhul Muqaddasah Rasulullah. Inilah yang dilatih
dalam tasawuf dan praktik-praktik tarekat yang benar. Karena ini ruh suci, maka hanya bisa
melekat pada jiwa-jiwa yang telah disucikan. Tarekat adalah wadah penyucian jiwa (tazkiyatun
nafs) agar cahaya Allah bersedia hadir.
Bayangkan, mencuci baju yang sudah seminggu kotor butuh alat dan metodologi agar bersih.
Konon lagi menyucikan batin yang sudah belasan bahkan puluhan tahun terkotori oleh noda
dosa dan nafsu. Tentu butuh metodologi khusus untuk mengikis lembaran-lembaran hitam dari
jiwa.
Itulah tarekat; jalan ritual bagi taubat, dzikir, suluk dan riyadhah lainnya. Cahaya atau berbagai
atribut Allah yang maha suci baru akan melekat jika diri sudah kembali ke fitrah (suci).
Ketika entitas cahaya Allah (Buraq) sudah menyatu dengan jiwa, manusia bisa ‘terbang’
kemanapun juga. “Kamu tidak dapat menembus penjuru langit dan bumi kecuali dengan
kekuatan -illa bisulthan” (QS. Ar-Rahman: 33). Sulthan adalah kekuatan, “cahaya Allah” atau
teknologi spiritual yang dapat membuat kita menembusi berbagai dimensi (jabarut, malakut dan
rabbani). Semakin kuat entitas nurullah yang menghampiri, semakin canggih kecepatannya.
Dalam dunia fisika sekalipun, kecepatan cahaya masih menjadi ukuran kecepatan yang tertinggi.
Dengan kekuatan ini, jiwa nabi dan para auliya dapat mencapai makam “sidratul muntaha”.
Inilah makam pengetahuan ruhani yang sudah “meliputi segala sesuatu”. Makam Alquran al-
Karim (lauhul mahfudz). Makam orang-orang terpelihara. Makam yang tidak dapat disentuh
kecuali oleh orang-orang yang suci (QS. Al-Waqiah: 77-79).
Nabi Muhammad SAW secara fisikal terlihat sebagai manusia biasa (basyariah). Namun ada
entitas nurullah atau rasulullah dalam dirinya yang membuat ia punya pengetahuan serba
meliputi (kasyaf dan syuhud). Demikian juga sejumlah wali atau mursyid yang telah mengasah
dirinya sehingga mengalami penyatuan dengan elemen malaikat dan ruh. Mudah bagi mereka
untuk tersambung dengan Allah.
Karena sudah main pada kecepatan cahaya, gampang bagi mereka untuk mengetahui bermacam
perkara yang lampau maupun masa depan. Ini penyebab “malaikat” tau manusia akan
menumpahkan darah, jauh sebelum manusia diciptakan (QS.Al-Baqarah: 30) . Sebab malaikat
adalah “cahaya”.
4. Kalau manusia masih murni berdimensi “tanah” (adam), ia tidak akan banyak tau. Manusia
harus meng-upgrade diri untuk memiliki kapasitas (derajat) yang lebih tinggi. Ketika tanah ini
menyatu dengan unsur ruhillah (ruh tertinggi, nurun ‘ala nurin), maka makhluk-makhluk
lainpun -termasuk malaikat- harus tersungkur bersujud kepadanya. “(ingatlah) Ketika Tuhanmu
berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya” (QS. Shad: 71-72).
Orang-yang sudah “disempurnakan” ini, dalam sebuah hadis qudsi disebut sebagai orang-orang
yang “sudah dicintai Allah”. Sehingga telinga, mata dan lisannya sudah dalam dimensi qudrah
iradahnya Allah. Orang-orang yang tersambung dengan Allah pasti makbul doa-doanya:
“ud’uni astajib lakum” (QS. Al-Mukmin: 60). Tapi sehebat-hebatnya orang ini, iblis tetap tidak
mau sujud kepadanya (QS. Al-Baqarah: 34).
Temui Allah dengan Pertolongan Allah (Billah)
Ada tiga kata yang sering digunakan dalam konteks ibadah: lillah, fillah dan billah.
Pertama, Lillah (karena Allah). Ini terkait dengan niat ibadah yang mesti berhubungan dengan
motif dasar ketauhidan. Kedua, fillah (diatas Allah). Ini berhubungan dengan ibadah yang harus
dikerjakan diatas tuntunan atau bimbingan syariat. Ketiga, billah (dengan Allah). Ini berkaitan
dengan hakikat ibadah berupa hadirnya elemen ilahiah, pertolongan atau keikutsertaan Allah.
Jadi, jawaban la haula wala quwwata illa “billah” saat diseru untuk shalat adalah kalimat
kepasrahan total kepada Allah. Pada kata “billah” terkandung makna tunduk patuh dan
ketidakberdayaan kita dihadapan Allah. Kita lemah. Tidak mandiri. Mana mungkin kita shalat
dengan nafsu kita sendiri. Hanya dengan bantuan cahaya-Nya (billah) kita bisa menyembah-
Nya. Hanya via “ke-ahad-an” (keikhlasan/kesatuan) dengan elemen nurullah kita bisa
mencapai-Nya.
Surah Qulhuwallahu Ahad disebut surah Al-Ikhlas. Padahal tidak ada kata “al-ikhlas” dalam
surah ini. Ikhlas artinya kondisi jiwa yang sudah menyatu dengan Allah. “Dia” (Huwa) dalam
ayat pertama surah al-Ikhlas ada yang secara unik dimaknai sebagai Muhammad. “Katakanlah,
Dia (Muhammad) adalah Allah yang esa (Ahad)”. Sebagian ahli tasawuf mempercayai, sosok
Muhammad telah lebur dalam kemaksuman elemen nurullah. Ini sesuai dengan hadis: “Ana
Ahmad bila mim” (Aku adalah Ahmad tanpa huruf mim, alias “Ahad”).
Ketika seorang hamba sudah terintegrasi dengan elemen nurullah (seperti ahad-nya Muhammad
dengan Allah), barulah ia mencapai kelezatan intimasi dengan Allah. Dengan demikian, gerak
Muhammad adalah gerak Allah (“billah”). Sebagaimana setiap kata-katanya (hadis) tidak lain
adalah “wahyu” juga (QS. An-Najm: 3-4). Tafsir monisme sufistik Syeikh Qutbuddin Abdul
Karim Al-Jilli ini (1355-1421 M) memang kontroversial. Banyak fuqaha dan mufassirin dibuat
meradang olehnya.
Kembali ke “la haula wala quwwata illa billah“. Dari bentuk jawaban ini kita bisa tau bahwa
sesungguhnya shalat itu ibadah hakikat (billah). Shalat adalah ibadah yang tidak bisa dilakukan
tanpa adanya bantuan kekuatan atau daya yang berasal dari Dia sendiri. Daya ini merupakan
“arus” yang terbit dan tidak pernah terpisah dari diri-Nya.
Ketika arus ini masuk dalam jiwa seorang hamba, itulah yang disebut “tajalli”, atau hadirnya
bukti-bukti dhahir (nyata/fisik) dari eksistensi Allah yang maha batiniah. Terjadinya penyatuan
“arus” dengan kabel ini juga dibahasakan dengan “wahdatul wujud” (waddhahiru wal batinu).
Tetapi jangan terlalu dungu memahami filosofi kesatuan wujud:
“Arus adalah arus. Kabel adalah kabel. Keduanya tidak pernah sama. Allah tidak pernah
menjadi manusia, begitu juga sebaliknya. Tetapi ketika Allah (cahaya Allah) termanifestasi
dalam diri manusia, itulah penyebab terjadinya karamah” (Abuya Sayyidi Syeikh Ahmad
Sufimuda).
5. Maka jangan sombong dengan ibadah shalat kita. Kita tidak berdaya untuk menyembah-Nya.
Dalam tasawuf dikatakan: “Shalat itu ibadah Allah menyembah Allah”. Sesungguhnya, “Yang
menyembah dengan yang disembah adalah sama”. Sebab, “Hanya Dia yang dapat menyembah
diri-Nya sendiri”. Hanya cahaya-Nya yang dapat kembali kepada-Nya. Kita ini tidak sampai
kepada-Nya.
Dari penjelasan ini kita dapat memahami kalimat: “Innalillahi wainna ilaihi rajiun”.
Sesungguhnya yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah. Apa yang berasal dari Allah?
Apakah lempung pasir, mani, tulang, darah, daging dan tanah? Tentu bukan. Yang berasal dari
Allah adalah cahaya Allah itu sendiri.
Hanya itu yang bisa kembali kepada Allah. Hanya jiwa yang telah tersucikan (menyatu dengan
cahaya Allah) yang dapat kembali kepada Allah. Selebihnya, jiwa-jiwa yang kotor akan
gentayangan, tidak sampai ke langit dan juga tidak diterima bumi. “Sekali-kali tidak akan
dibukakan kepada mereka pintu-pintu langit” (QS. Al-‘Araf: 40). “Maka adalah ia seolah-olah
jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh (QS.
Al-Hajj: 31).
Oleh sebab itu, para ahli makrifat menasehati. Jangan shalat dengan membawa diri sendiri. Pasti
tidak sampai. Allah tidak mengenal lempung pasir dan tanah seperti kita. Bawalah diri-Nya
sendiri. Bawalah Allah. Bawalah cahaya-Nya. Hanya itu yang sekufu (sepadan) dengan-Nya.
Kalau sekedar shalat semacam gerakan mematuk-matuk seperti burung gagak, siapapun bisa.
Atau kalau sekedar membaca ayat dengan indah seperti merdunya nyanyian burung di waktu
fajar, banyak yang ahli. Namun yang bisa tembus ke alam rabbani, itu butuh kesadaran yang
tinggi untuk meng-upgrade kembali cara beragama kita.
Kata Nabi SAW, ada perbedaan mendasar antara ritus ibadah yang hanya berdimensi lahiriah
dengan yang menyertakan aspek batiniah. “Dua orang dari umatku mengerjakan shalat. Rukuk
dan sujud mereka sama. Tetapi diantara shalat mereka berdua ada perbedaan sejarak langit
dan bumi”. Inilah dimensi mistisisme (dzikir) yang membentuk shalat. Namun diakui Nabi
SAW, sedikit yang mengamalkannya:
ك َكْاك هُكَّللا َافَكس ا ه
إ ُنَُِلا اُ
“Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana cara memperoleh Cahaya Allah (Buraq)?
Untuk memperoleh cahaya Allah (buraq), kita harus menempuh sebuah jalan. Namanya
tarekatullah (jalan menuju Allah). Tidak susah memperoleh pengetahuan ini. Asal ketemu guru,
pasti bisa.
Namun dalam tasawuf, guru itu ada dua. Ada guru umum dan ada guru khusus. “Guru umum”
mengajari kita berbagai pengetahuan spiritual. Boleh jadi kajiannya mendalam sekali. Tetapi
tetap saja yang disentuh itu kecerdasan akal atau kesadaran kognitif. Guru seperti ini banyak
sekali. Bahkan lewat google dan youtube pun kita bisa berguru dengan para alim ulama seperti
itu. Tugas mereka mencerdaskan otak kita.
Selanjutnya ada yang namanya “guru khusus”. Inilah yang disebut walimursyid. Seorang wali
pendidik yang karamah. Dalam dirinya ada entitas “rasulullah” (kemursyidan). Dia
membimbing ruhani. Bahkan ruhnya hadir mendampingi kita dalam perjalanan di alam gaib
menuju sidratul muntaha. Dalam kubur pun mereka mendampingi (dalam agama sering
dibahasakan sebagai “sosok” amal baik kita selama di dunia).
Inilah yang disebut buraq/jibril, yang mendampingi kita dalam perjalanan menuju Allah SWT.
Guru seperti ini super langka. Dan tidak mungkin berguru kepada orang-orang seperti ini hanya
dengan membaca kitab-kitab mereka, atau nonton youtube-nya. Jiwa kita harus di-talqin secara
langsung olehnya (disalurkan Kalimah yang otentik ke dalam qalbu). Sebagaimana Jibril men-
talqin “Iqra” kepada Muhammad. Atau sebagaimana Muhammad men-talqin pengetahuan-
6. pengetahuan ruhani kepada para sahabat. Ini makna hakiki dari “diijazahkan”. Ilmunya pasti
berpower (memiliki ruh).
Terus terang kami ini bodoh. Dalam kebodohan ini kami berusaha menggali kembali ilmu-ilmu
irfani semacam ini di Dayah Tarekatullah Sufimuda, Aceh. Kami percaya, lautan pengetahuan
ilahi tidak berbatas. Maka kami terus mencari para arifbillah yang kaya dengan ilmu-ilmu
hikmah. Pencarian ini mempertemukan kami dengan khidzir.
Memang kami ini malas-malas. Berulang kali gagal. Namun terus diajarkan. Bahwa untuk
memperoleh cahaya Alquran, kita harus menanggalkan semua unsur diri yang penuh noda
duniawi. Kami dibimbing untuk melazimkan taubat, kesucian dan uzlah. Ada sejumlah amalan
yang kemudian dapat mengantarkan ruhani kita untuk lebih dekat kepada cahaya Allah.
Pada stasiun (makam) spiritualitas tertentu, ketika Allah berkenan, akan diperoleh sebuah
“pencerahan” (spiritual enlightment). Malaikat dan Ruh akan turun menaungi jiwa,
sebagaimana digambarkan dalam malam qadar: “tanazzalul malaaikatu war ruuh” (QS. Al-
Qadar: 4). Unsur malakuti dan rabbani inilah yang -bi izni rabbihim- mengantarkan kita ke sisi
Allah.
Tanpa quwwah (kekuatan) ini, tidak mungkin umat Muhammad dapat mencapai kemuliaan.
Allah sendiri telah sangat berbaik hati, menjanjikan kekuatan dan kemuliaan (qadar) ini
diberikan kepada semua umat Muhammad. Kita hanya perlu mencari mursyid yang otoritatif
(jibril/khidir) guna dibimbing, sehingga memungkinkan bagi Allah untuk menurunkan “power
ilahiah” (batin Alquran) yang sangat misterius ini.
Pengalaman Nabi-Nabi Lainnya
Proses mendownload cahaya Allah seperti ini juga dialami Musa as ketika diperintahkan untuk
meninggalkan unsur-unsur kotor dirinya saat menuju “lembah yang suci” (muqaddasi thuwa):
“tanggalkan kedua terompahmu”. Juga dengan perantaraan ‘api’ Musa mengalami musyahadah,
menyaksikan keagungan Allah. ‘Api’ adalah bahasa figuratif lainnya untuk buraq atau cahaya
Allah:
يُا َااَاَا َهواْاس) ياَيُ َا اكى(11) ) ن كيُ ك
هناارُوََ ك( ايَََكٌ عاهاكَّللا َعاَاَْكاا َااَََْاس ْعاٌاِ َااا وكحاكَّللا12) كَ َاكاوخَََاس عاَُ َانخََ َااا اَ) ياَُي َاو13)
ى ك
نَِكلكَ اَ هَّللاَ كإككا اَ وكاَاََُ َاس َااا ُكَّللا اااَكَّللا ا
ُ ُ ه
إ َااا وككهاكَّللا (14)
“Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah
Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah
yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan
diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku” (Qs Thaha: 11-14)
Dalam ayat itu juga dikatakan, setelah selesai menempuh perjalanan untuk berjumpa Allah,
Musa diperintahkan untuk melaksanakan shalat. Tujuannya untuk mengingat Allah: “dirikanlah
salat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha: 14). Jadi, shalat itu dilaksanakan setelah berjumpa
Allah. Shalat merupakan bentuk “dzikir” (mengingat Allah). Maka harus berjumpa terlebih
dahulu agar bisa mengingat-Nya. Kalau tidak pernah bertemu (tidak kenal/tidak memakrifati-
Nya) bagaimana mungkin kita mengingatnya?
Ibrahim as juga sama. Usaha mencari “buraq” (cahaya Allah) juga memerlukan waktu
sedemikian lama. Awalnya ia bertemu “bintang” yang kecil dan redup cahayanya. Lalu ia
melihat “bulan” yang lebih besar namun cahayanya tidak mandiri. Kemudian ia bertemu
“matahari” dengan cahaya yang lebih besar (QS. Al-‘An’am: 76-78).
Semua “benda” ini merupakan simbol-simbol dari gradasi atau lintasan cahaya yang disebut
dalam surah An-Nur: 35. Allah itu cahaya langit dan bumi. Cahaya-Nya memiliki gradasi, mulai
dari yang terlemah, sampai kepada yang terkuat yang disebut: Cahaya diatas Cahaya (Nurun
‘ala nurin/Nur Muhammad). Inilah Buraq, cahaya tertinggi yang menyambungkan Ibrahim
dengan Allah.
7. Setelah tersambung dengan Allah, barulah kemudian Ibrahim menegakkan shalat untuk kembali
mengingat-Nya (menghadapkan wajahnya kepada Wajah Allah). Ayat Ibrahim inilah yang kita
adopsi dalam shalat:
وكحاكَّللا كَراِ ك
نَ ُوََ راك َااا َا اَ ا َكمَككاَ ا َِا َ
أ اَ ك اََاوهاَ اناَاس كىلهْكَ اوكفَم اَ َُِفهم اَ
“Sesungguhnya aku (Ibrahim) menghadapkan wajahku kepada Wajah yang menciptakan
langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. Al-‘An’am: 79).
Itulah juga alasan mengapa perintah shalat turun kepada Nabi Muhammad SAW setelah beliau
menempuh perjalanan (tarekat) untuk memakrifati Allah. Dengan diperantarai malaikat dan ruh
(Jibril dan Buraq), beliau berhasil menemui Allah disebuah makam spiritual bernama sidratul
muntaha.
Setelah benar-benar “berjumpa” (liqa’) barulah shalat 5 waktu ditegakkan. Shalat merupakan
repetisi untuk menghadirkan (kembali mengingat) Allah. Kalau tidak pernah berjumpa,
bagaimana mungkin khusyuk? Apanya yang diingat? “Wajah” seperti apa yang harus
dihadirkan?
Maka untuk bisa sampai kepada Allah, bertahun-tahun Muhammad melakukan riyadhah (olah
ruhani). Ia berdzikir terus-menerus (baik di Gua Hirak maupun di rumahnya) guna menembus
alam malakut dan rabbani. Dzikir terawal Muhammad adalah “dzikir dinamis” tarekat untuk
me-rabith (menyambungkan ruhaninya) dengan entitas nurullah (buraq). Dzikir selanjutnya
adalah shalat, yaitu “dzikir statis” syariat untuk kembali mengingat-ingat Allah.
Maka tarekat (dzikir) menjadi jalan untuk menyempurnakan syariat (shalat). Batin dari shalat
adalah tarekatnya. Tanpa keterkoneksian dengan Allah, apalah artinya gerak-gerik dan bacaan
shalat? Sebab, hanya shalat yang berpower (tersambung dengan Allah) yang membuat akhlak
menjadi mulia (terjauhkan dari perilaku keji dan munkar).
Sebaliknya, jika setelah shalat masih korup dan suka menghasut, pasti itu shalat yang terkoneksi
dengan unsur-unsur syaithaniyah. Kalau nelpon, itu namanya salah sambung. Frekuensinya
terganggu, menghayal kemana-mana. Tujuannya tidak tercapai. Jiwanya ditangkap oleh syaitan.
Inilah bentuk-bentuk kelalaian dalam shalat (tidak khusyuk), yang diancam sebagai orang-orang
munafik, pendusta agama dan celaka (QS. Al-Ma’un: 1-7).
Kesimpulan
Jadi, tidak mungkin kita dapat menyembah Allah dan benar-benar tersambung dengan-Nya.
Tidak mungkin kita khusyuk. Kecuali ada bantuan quwwah dari Dia sendiri. Nur Muhammad
yang berasal dari sisi Tuhan inilah yang menjadi The Power of Shalat. Tanpa energi billah ini,
seindah apapun bacaan kita, sebesar apapun jubah kita, semahal apapun sajadah kita, seputih
apapun peci kita; shalat kita tidak bertenaga.
Rajin shalat tetapi tidak tersambung dengan elemen “ruhullah” (buraq), persis seperti orang
yang terus menerus meng-engkol motor yang businya rusak. Gerak shalat memang terlihat
gagah. Tetapi arus yang menyambungkan kita dengan Allah tidak ada.
Itulah mengapa ibadah Qabil tidak diterima Allah. Bentuk fisik persembahannya sangat
sempurna. Tetapi ruhnya tidak ada. Yang diterima justru ibadah Habil. Terlihat biasa, namun
cahaya ikhlasnya itu lho, luar biasa (QS. Al-Maidah: 27). Pada ayat lain Allah mengatakan,
elemen-elemen fisik dari ibadah tidak akan pernah mencapai Allah. Taqwa-lah yang sampai
kepada Allah (QS. Al-Hajj: 37). Taqwa itu ketersambungan, manifestasi cahaya Allah dalam
qalbu kita.
Saya bukan ahli makrifat. Namun pengetahuan ini hadir karena bimbingan Guru yang mulia.
Apalah salah saya kalau sekedar berbagi dengan anda. Tambah kopinya!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****
8. BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT RAHASIA KALIMAT-KALIMAT AZAN
LAINNYA: “The Power of Azan: Mengungkap Kesakralan Kalimat-Kalimat Azan”
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin
💥 powered by PEMUDA S