2. Pengertian dan Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu
organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang
dijunjung tinggi oleh organisasi.
Budaya organisasi sebagai istilah deskriptif
Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak
terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif,
bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
Penelitian mengenai budaya organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka:
Apakah mendorong kerja tim?
Apakah menghargai inovasi?
Apakah menekan inisiatif?
Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja, seperti bagaimana
karyawan merasakan ekspektasi organisasi, praktik-praktik imbalan, dan sebagainya.
3. Asal muasal budaya organisasi
Ingvar Kamprad, pendiri IKEA. Sumber dari budaya organisasi yang tumbuh di IKEA adalah pendirinya.
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau
akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah
pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak
memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh
memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara.
Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri
melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri
bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi
keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor
penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
4. Karakteristik budaya organisasi
Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya organisasi.
Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, d perhatian pada hal-hal detail.
Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk
mencapai hasil tersebut.
Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada
di dalam organisasi.
Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu.
Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan
pertumbuhan.
Nilai dominan dan subbudaya organisasi
Budaya organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi atau dengan kata lain, budaya adalah sebuah
sistem makna bersama. Karena itu, harapan yang dibangun dari sini adalah bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang
yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami budaya organisasi dengan pengertian
yang serupa.
Sebagian besar organisasi memiliki budaya dominan dan banyak subbudaya. Sebuah budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti
yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang budaya sebuah organisasi, hal tersebut merujuk
pada budaya dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap budaya yang memberikan kepribadian tersendiri dalam organisasi.
Subbudaya cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama
yang dihadapi para anggota. Subbudaya mencakup nilai-nilai inti dari budaya dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.
Jika organisasi tidak memiliki budaya dominan dan hanya tersusun atas banyak subbudaya, nilai budaya organisasi sebagai
sebuah variabel independen akan berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa
yang merupakan perilaku semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek makna bersama dari budaya inilah yang
menjadikannya sebagai alat potensial untuk menuntun dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan seseorang
untuk mengatakan, misalnya, bahwa budaya Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan risiko dan selanjutnya
menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan Microsoft. Tetapi,
kenyataan yang tidak dapat diabaikan adalah banyak organisasi juga memiliki berbagai subbudaya yang bisa memengaruhi
perilaku anggotanya.
5. Pengaruh budaya
Fungsi-fungsi budaya
Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi.
- Batas
Budaya berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu organisasi dan
membedakannya dengan organisasi lainnya.
- Identitas
Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi.
- Komitmen
Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu.
- Stabilitas
Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara
menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan.
Tipologi Budaya Organisasi
Ada beberapa tipologi budaya organisasi. Kotter dan Heskett (1998) mengkategorisasi jenis budaya organisasi menjadi tiga yaitu budaya
kuat dan budaya lemah; budaya yang memiliki kecocokan strategik; dan budaya adaptif. Organisasi yang berbudaya kuat biasanya dapat
dilihat oleh orang luar sebagai memilih suatu gaya tertentu. Dalam budaya organisasi yang kuat ini nilai-nilai yang dianut bersama itu
dikonstruksi ke dalam semacam pernyataan misi dan secara serius mendorong para manajer untuk mengikutinya. Karena akar-akarnya
sudah mendalam, gaya dan nilai budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada pergantian pimpinan.
Sejalan dengan itu, Robbins (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan budaya yang kuat adalah budaya di mana nilai-
nilai inti dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin
besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka makin kuat pula budaya tersebut. Sebaliknya organisasi yang berbudaya lemah,
nilai-nilai yang dianut tidak begitu kuat sehingga jatidiri organisasi tidak begitu menonjol dan kemungkinan besar nilai-nilai yang
dianut pun berubah setiap pergantian pimpinan atau sesuai dengan kebijakan pimpinan yang baru.
Jenis budaya yang cocok secara strategik memiliki perspektif yang menegaskan tidak ada resep umum untuk menyatakan seperti
apa hakikat budaya yang baik itu, hanya apabila “cocok” dengan konteksnya. Konteks itu dapat berupa kondisi objektif dari
organisasinya, segmen usahanya yang dispesifikasi oleh strategi organisasi atau strategi bisnisnya sendiri. Konsep kecocokan sangat
bermanfaat khususnya dalam menjelaskan perbedaanperbedaan kinerja jangka pendek dan menengah. Esensi konsepnya
mengatakan bahwa suatu budaya yang seragam tidak akan berfungsi. Oleh karena itu, beberapa variasi dibutuhkan untuk
mencocokan tuntutan-tuntutan spesifik dari bisnis-bisnis yang berbeda itu.
6. Budaya adaptif didasari pemikiran bahwa organisasi merupakan sistem terbuka dan dinamis yang dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk dapat meraih sukses dalam lingkungan yang senantiasa berubah, organisasi harus tanggap
terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat membaca kecenderungan-kecenderungan penting dan melakukan
penyesuaian secara cepat. Budaya organisasi adaptif memungkinkan organisasi mampu menghadapi setiap perubahan yang
terjadi tanpa harus berbenturan dengan perubahan itu sendiri.
Selanjutnya, Luthans (1992) memaparkan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
Peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi
Norma-norma
Nilai-nilai yang dominan
Filosofi
Aturan-aturan
Iklim organisasi.
Semua karakteristik budaya organisasi tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dalam arti bahwa unsur-unsur
tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa maupun
organisasi yang menghasilkan produk barang.
Robbins (1990) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu:
Inisiatif individu
Toleransi terhadap risiko
Pengarahan
Integrasi
Dukungan manajemen
Pengawasan
Identitas
Sistem penghargaan
Toleransi terhadap konflik
Pola komunikasi.
7. Inisiatif individual adalah seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan
dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam
melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas
kebebasan mengambil keputusan.
Toleransi terhadap risiko, menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif dan mau
menghadapi risiko dalam pekerjaannya. Pengarahan, hal ini berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek
dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas,
kualitas dan waktu.
Integrasi adalah seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di
dalam suatu organisasi dengan koordinasi yang baik. Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer memberikan
komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku
karyawan. Identitas, menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh
loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi.
Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan
kriteria hasil kerja karyawan yang telah ditentukan. Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong
karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi. Karakteristik yang terakhir adalah pola komunikasi, yang terbatas pada
hierarki formal dari setiap perusahaan.
8. Kreativitas Individu dan Team Proses Inovasi
Kreativitas dengan inovasi itu berbeda. Kreativitas merupakan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru, sedangkan inovasi
adalah melakukan sesuatu yang baru. Hubungan keduanya jelas. Inovasi merupakan aplikasi praktis dari kreativitas. Dengan kata
lain, kreativitas bisa merupakan variabel bebas, sedangkan inovasi adalah variabel tak bebas. Dalam praktek bisnis sehari-hari, ada
perencanaan yang meliputi strategi, taktik, dan eksekusi. Dalam pitching konsultansi atau agency, sering terdengar keluhan bahwa
secara konseptual apa yang disodorkan agency bagus, tetapi strategi itu tak berdampak pada perusahaan karena mandek di tingkat
eksekusi. Mengapa? Sebab, strategi bisa ditentukan oleh seseorang, tetapi eksekusinya harus melibatkan banyak orang, mulai dari
atasan hingga bawahan. Di sinilah mulai ada gesekan antarkaryawan, beda persepsi hingga ke sikap penentangan.
Itu sebabnya, tak ada perusahaan yang mampu berinovasi secara konsisten tanpa dukungan karyawan yang bisa memenuhi
tuntutan persaingan. Hasil pengamatan kami menunjukkan, perusahaan-perusahaan inovator sangat memperhatikan masalah
pelatihan karyawan, pemberdayaan, dan juga sistem reward untuk meng-create daya pegas inovasi. Benih-benih inovasi akan tumbuh
baik pada perusahaan-perusahaan yang selalu menstimulasi karyawan, dan mendorong ke arah ide-ide bagus. Melalui program
pelatihan, sistem reward, dan komunikasi, perusahaan terus berusaha untuk mendemokratisasikan inovasi.